H. M. DIRI HARAHAP S.H.
ANAK TAPANULI
DARI
HANOPAN SIPIROK
Pendahuluan
?
Zaman Penjajahan Belanda
Desa
Asal
Hanopan adalah sebuah kampung yang terdapat di jalan-raya yang menghubungkan Sipirok dengan Siborong-borong melalui Sipagimbar di Tapanuli
Selatan, Pangaribuan dan Sipahutar di Tapanuli Utara. Jalan ini dibangun pada zaman Hindia Belanda silam mengikuti lintasan yang biasa dilalui
warga ketika bepergian antar kampung, menjadi urat nadi ekonomi yang
menghubungkan Onderafdeeling (sub-bagian) Tapanuli Selatan dengan
Onderafdeeling Tapanuli Utara, juga dikenal dengan: “jalan pahulu”. Adapun urat nadi ekonomi lain ialah yang menghubungkan Sipirok dengan Tarutung lewat
Sarulla dan Onan Hasang dikenal dengan “jalan pahae”. Kini kedua jalan-raya itu
telah menjadi penghubung ekonomi daerah Tapanuli Selatan dengan daerah Tapanuli Utara di
Tanah Batak.
Peta Tapanuli Selatan
Baginda
Raja Muda Pinayungan
Hanopan kini sebuah desa yang terdapat di kecamatan
Sipirok, darimana ayahanda: Diri Harahap, gelar Baginda Raja Muda Pinayungan
berasal. Ayah merupakan putra kedelapan dari dua-belas orang bersaudara seayah
dan seibu, lahir tanggal 2 Agustus 1915 di Hanopan. Ayahnya: Abdul Hamid
Harahap, gelar Sutan Hanopan (1876-1939) dan ibunya: Dorima Siregar, putri
Sutan Bunga Bondar; ia juga dikenal dengan nama Tuan Datu Singar. Kakeknya:
Sengel Harahap, gelar Baginda Parbalohan (1846-1928), adalah pamungka (pendiri)
kampung Hanopan masih tinggal di Bunga Bondar dan menjadi Raja Pamusuk pertama
di Hanopan saat diresmikan.
Ayah lahir dari keluarga berpengaruh dalam masyarakat
ketika itu, tidak semat di kampung kelahirannya, tetapi juga kampung-kampung
yang terdapat dalam DAS (Daerah Aliran Sungai) Aek-Silo: Arse Jae, Huta Padang,
Napompar, Roncitan, Huta Tonga, Simatorkis, Bahap, Purba Tua (Pagaran Tulason),
Muara Tolang dan Tapus; bahkan hingga ke bagian-bagian lain luhat Sipirok. Ayah
banyak menhabiskan masa kecil bersama kedua orang tuanya dan saudara sekandung
yang banyak umlahnya; juga dengan saudara-saudara sepupu yang tidak sedikit
bilanagnnya datang dari dua orang paman ayag yang juga tinggal di Hanopan.
Kakeknya memiliki tiga orang anak, laki-laki semuanya, yakni: Abdul Hamid
Harahap, gelar Sutan Hanopan, Kasim Harahap, gelar Mangaraja Elias Hamonangan,
dan Rachmat Harahap, gelar Sutan Nabonggal.
Keluarga-keluarga marga Harahap dimanapun berada, baik yang
berdiam di Tapanuli maupun yang telah bermukim di perantauan awalnya memang
seasal; artinya mereka datang dari nenek moyang pemersatu yang sama oleh
kesamaan marga. Akan tetapi, karena berbilang abad waktu berlalu sang pemersatu
yang menjadi asal marga dan keterangan yang ditinggalkan tidak dapat ditemukan
kembali, maka tinggallah nama marga semata. Lalu muncul marga-marga Harahap
yang datang dari berbagai huta (kampung) dan luhat (daerah) serta lainnya.
Sementara itu ada pula berbagai keluarga marga Harahap yang menyatakan diri
sebagai sipungka huta di sejumlah tempat mereka berdiam di Tapanuli, dan
terdapat juga keluarga-keluarga marga Harahap yang tidak menyatakan diri
sebagai pendiri kampung di tempat-tempat mereka berdiam.
Sekarang masih banyak keluarga marga Harahap yang
mengetahui kampung-kampung yang didirikan leluhur mereka di waktu yang silam di
Tapanuli Selatan dari peninggalan yang mereka warisi, antara lain: Bagas Godang
(Rumah Adat), sawah, ladang, kahanggi, silsilah keluarga, dan para saksi. Di
fihak lain banyak pula keluarga marga Harahap yang tidak lagi mengetahui
kampung asal mereka di Bona Bulu, lalu mencari asal-usul mereka lewat hubungan
kekerabatan dengan keluarga-keluarga marga Harahap sipungka huta di bona bulu
sejauh masih dapat ditelusuri dari hubungan kekerabatan yang tersimpan dalam
ingatan kahanggi dan tarombo.
Begitu juga dengan keluarga-keluarga marga Harahap yang
telah bermukim di perantauan; mereka juga berusaha mencari asal usul keluarga
mereka di bona bulu silam lewat hubungan kekerabatan dengan mereka para
sipungka huta menurut garis laki-laki: ayah, kakek, amang tobang, dan
selanjutnya keatas sejauh yang masih dapat ditelusuri.
Guna memelihara hubungan kekerabatan, berbagai keluarga
marga Harahap yang datang dari satu asal atau kampung, dibuatlah catatan
keluarga dalam mana nama-nama mereka disusun menurut garis laki-laki sejalan
adat Batak. Awalnya catatan disuratkan di kulit kayu, bilah bambu, atau
lainnya, dalam aksara Batak, yang melahirkan bangun piramida yang dinamakan:
“Tarombo”. Tarombo dalam bahasa Indonesia disebut: “Pohon Keluarga”, berasal
dari bahasa Belanda: “Stamboom”, juga bahasa Inggris: “Family Tree”. Tarombo,
atau silsilah keluarga, dalam masyarakat Batak juga berarti kumpulan nama-nama
orang yang memiliki hubungan kekerabatan yang datang dari satu marga, dalam hal
ini marga Harahap menurut garis patrilenial atau kebapaan. Dan, kumpulan orang
bermarga Harahap dinamakan kahanggi ini juga bertanggungjawab menurut adat
Batak melindungi keselamatan para anggotanya.
Dengan masuknya agama Islam ke nusantara sekitar abad ke-13
Masehi, dan ke Tanah Batak dalam Perang Paderi, yang memperkenalkan aksara
Arab, tarombo pun beralih disuratkan dengan aksara baru. Dan dengan
diperkenalkannya huruf Latin oleh pemerintah Hindia Belanda memasuki abad ke-20
Masehi, tarombo yang dipelihara dan disimpan keluarga-keluarga marga Harahap
datang dari berbagai huta dan luhat lalu dialihkan penulisannya kedalam aksara
Latin.
Dari silsilah keluarga demikian diketahui hubungan
kekerabatan keluarga-keluarga marga Harahap datang dari berbagai kampung di
Bona Bulu hingga dengan mereka yang telah berdiam di perantauan. Lewat tarombo
demikian diketahui juga pertalian darah antara berbagai marga di Tanah Batak
yang membentuk kekerabatan: “Dalihan Na Tolu (Tungku Yang Tiga)”, atau disebut
keluarga besar dalam masyarakat Batak di Tapanuli pada awalnya, maupun yang
diperoleh lewat penelusuran kembali, untuk disampaikan kepada generasi penerus
di bona bulu maupun tanah perantauan.
Padang Sidempuan dan seputarnya adalah tempat asal marga
Harahap di Bona Bulu yang kini dikenal dengan Tapanuli Selatan. Dari Utara,
seperti: Siharangkarang hingga Selatan: Pijor Koling, begitu juga dari Barat,
antara lain: Sidangkal hingga Timur: Pargarutan; kawasan ini dikenal dengan kampung-kampung
tempat asal marga Harahap di Tanah Batak. Marga Harahap Hanopan yang kini
berada di luhat Sipirok juga berasal dari kawasan ini, tepatnya dari Hanopan
dekat Sidangkal yang berada di kecamatan Padang Sidempuan Barat. Adapun
kepindahan keluarga marga Harahap ini ke luhat Sipirok disebabkan Perang Paderi
yang berkecamuk merambah ke Angkola ketika itu.
Memasuki zaman penjajahan Hindia Belanda, Padang Sidempuan
dijadikan ibukota Afdeeling Tapanuli Selatan. Kota besar Tanah Angkola itu
menjadi pusat pemerintahan yang mengatur kawasan Tapanuli Selatan yang luas.
Memasuki alam kemerdekaan, Padang Sidempuan lalu ditetapkan menjadi ibukota
Kabupaten Tapanuli Selatan dan kemudian beralih menjadi sebuah Kota Madya di
Tanah Angkola.
Memasuki zaman Hindia Belanda, banyak
putera/putri dari Tapanuli Selatan yang memperoleh kesempatan mengikuti
pendidikan Barat, lalu menjadi: pamong, guru, ambtenar (pegawai) dan
lainnya. Tidak sedikit pula dari mereka yang ditugaskan pemerintah Hindia Belanda
ke luar daerahnya, antara lain: Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jambi, Sumatera
Selatan. Bahkan ada juga yang merantau keluar pulau, seperti: Jawa,
Kalimantan, dan lainnya ketika itu.
Bangsa Belanda pertama datang ke Tanah Batak dari Sumatera
Barat tahun 1833 lewat Tapanuli Selatan masih dalam suasana berkecamuknya
Perang Paderi (1825-1838). Serdadu-serdadu Belanda masuk ke Mandailing lewat
Rao nyaris tanpa perlawanan dari para Raja setempat dan rakyat mereka saat itu,
lalu mendirikan benteng Fort Elout di Panyabungan, Mandailing, untuk
menyatakanr kehadiran Bangsa Belanda di Tanah Batak. Setahun kemudian, Belanda
lalu mendirikan pemerintahan sipil di Tapanuli yang dipimpin seorang Controleur
bernama: Doues Dekker, juga dikenal dengan nama Multatuli berkedudukan di
Natal. Dengan demikian pemerintahan Hindia Belanda atas Tanah Batak resmi
dimulai, sekaligus zaman penjajahan Belanda berjalan. Pemerintahannya berakhir
tahun 1942, ketika serdadu-serdadu Fascis Jepang di awal Perang Dunia ke-II
berhasil menghalau pemerintah Hindia Belanda keluar meninggalkan Tanah Batak,
menyebabkan penjajahan Belanda atas Tanah Batak terpaksa berakhir setelah
berlangsung 109 tahun lamanya.
Sipirok
Pertama
Setelah
memasuki usia sekolah, ayah dari Hanopan lalu pindah ke Sipirok untuk mengikuti
sekolah Holland Inlandshe School (HIS) di kota itu dan selesai pada tahun 1930.
Dari HIS ayah melanjutkan pelajaran ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) ,
atau Sekolah Menengah Pertam (SMP) di kota yang sama hingga selesai tahun 1934.
Sejak pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan pendidikan
Barat tahun 1880 di Nusantara, dalam perjalanan waktu sedikit lebih dari satu
abad di Tanah Batak, tidak sedikit putera dan puteri dari berbagai huta dan
luhat di Bona Bulu yang berhasil mendapatkan pendidikan Barat, mulai rendah di
daerahnya, menjadi: murid Sekolah Gouvernement (Sekolah Pemerintah) bernama
Volksschool (Sekolah Rakyat) diperuntukkan bagi anak-anak pribumi dengan lama
belajar 3 tahun, kelas I, II, dan III, berbahasa Melajoe, tulis Latin ketika
itu. Adapun lanjutannya Vervogschool atau Sekolah Sambungan dengan lama belajar
2 tahun, mengikuti kelas IV, dan kelas V.
Untuk melanjutkan pelajaran ke Vervogschool, seorang murid
perlu terlebih dahulu diseleksi dengan ujian saringan. Pada saat itu kedua
jenjang pendidikan dinamakan orang: Sekolah Melajoe. Ada juga yang dinamakan
Schakelschool atau Sekolah Peralihan diperlukan untuk beralih dari Sekolah
Rakyat ke sekolah dasar berbahasa Belanda. Lama belajarnya 5 tahun dan
diperuntukkan bagi golongan pribumi. Lulusan sekolah Schakelschool ini dapat
melanjutkan ke MULO. Adapun sekolah yang berbahasa Belanda ketika itu ialah
Hollandsch-Inlandsche School (HIS) ialah Sekolah Bumiputra-Belanda yang
diperuntukan bagi keturunan Indonesia asli umumnya anak-anak keturunan
bangsawan setingkat SD (Sekolah Dasar), dengan lama pendidikan 7 tahun, ketika
itu dinamakan: Sekolah Belanda. Lainnya adalah Europeesche Lagere School (ELS)
juga setingkat SD ketika itu.
Lalu melanjutkan pelajaran ke pendidikan menengah pertama
masih di daerahnya, menjadi: pelajar: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO),
yakni Sekolah Gouvernement berbahasa Belanda, setingkat Sekolah Menengah
Pertama (SMP) sekarang. Terdapat juga Kursus Guru Sekolah Rakyat yang dinamakan
Kewekeling berdiri di Kota Radja (Banda Aceh) ketika itu. Lainnya HIK (Hollands
Inlandsche Kweek-school) bagian Onderbouw untuk menjadi Guru Sekolah Rakyat,
didirikan di Bukit Tinggi, lalu setelah kemerdekaan berubah menjadi Sekolah
Guru Bantu (SGB). Untuk pendidikan teknik terdapat Ambachts Leergang, yakni
sekolah pertukangan dengan bahasa daerah. Ada pula Ambatchtsschool sekolah
pertu-kangan berbahasa Belanda yang menerima lulusan HIS dan Schakelschool.
Sekolah ini mencetak mandor berbagai keahlian antara lain : montir mobil,
mesin, listrik, kayu dan penata batu dengan lama belajar 3 tahun. Yang akhir
ini lalu berubah menjadi STP (Sekolah Teknik Pertama) yang hanya terdapat di
pulau Jawa.
Kemudian untuk tingkat menengah atas di luar daerahnya
menjadi: siswa: HIK (Hollands Inlandsche Kweekschool) bagian Bovenbouw terdapat
di Bandung untuk menjadi Guru Sekolah Menengah, lalu berubah menjadi
Sekolah Guru Atas (SGA). Lainnya Algemeene Middelbare School (AMS) atau Sekolah
Menengah Umum setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Ada pula Hoogere Burger
School (HBS) yang menjadi kelanjutan ELS disediakan untuk golongan Eropa,
bangsawan pribumi, atau tokoh masyarakat terkemuka lainnya. Ada KWS
(Koninklijke Wilhelmina School) di Batavia yang lulusannya mendapat gelar Opzichter
(Opseter) artinya Pengawas, lalu berubah menjadi Sekolah Teknik Menengah (STM).
Terdapat juga Landboure Onderwijs atau Pendidikan Pertanian yang bertujuan
memenuhi kebutuhan penduduk agraris dan perusahaan perkebunan bangsa Eropa.
Sekolah yang berdiri di Bogor ini mempunyai lama pendidikan 3-4 tahun, kemudian
setelah kemerdekaan beralih menjadi Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA).
Untuk mencetak pegawai pribumi pemerintah Hindia Belanda
mendirikan Opleiding School Voor Indische Ambtenaren (OSVIA) di batavia dengan
lama belajar 5 tahun setelah ELS; sekolah berkembang menjadi. Middelbaar
Opleiding School Voor Indische Ambtenaren (MOSVIA) dengan lama pendidikan 3
tahun setelah MULO. Terdapat juga School to Opleiding Van Inlandse Artsen
(STOVIA) atau Sekolah untuk mendidik tenaga kesehatan di Batavia, dan
Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), di Surabaya. Kedua sekolah
ini dikenal dengan nama Sekolah Dokter Jawa. Di bidang perdagangan terdapat
Handels Onderwijs atau Pendidikan Dagang yang mendidik tenaga kerja keperluan
para pengusaha Hindia Belanda, yang kemudian menjadi Sekolah Menengah Dagang.
Seluruhnya masih menggunakan bahasa Belanda dan terdapa di pulau Jawa
ketika itu.
Pada tingkat pendidiksn tinggi masih semuanya terdapat
diluar daerahnya, menjadi: mahsiswa: Rechtskundige Hooge School (RHS) atau
Sekolah Tinggi Hukum, yang para lulusannya bergelar "Meester in de
Rechten", yang disingkat: Mr. Lainnya Geneeskundige Hooge School (GHS)
atau Sekolah Tinggi Kedokteran, yang lulusannya bergelar "docter",
dan disingkat: dr. Selanjutnya THS (Technische Hoge School), atau Sekolah
Tinggi Teknik, yang para lulusannya bergelar "Ingenieur", disingkat:
Ir. Seluruh pendidikan tinggi ketika itu masih menggunakan bahasa Belanda dan
hanya terdapat di pulau Jawa dan negeri Belanda.
Dengan diperkenalkannya pendidikan oleh pemerintah Hindia
Belanda di tanah-air, lahir pula pergerakan nasional bentuk
"perkoempoelan" di nusantara, seperti: Jong Java, Jong Sumateranen
Bond, Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Celebes, dan Jong Bataks Bond. Ada pula
perkumpulan lain yang dinamakan: Nederlandsch Indische Padvinderij Vereniging
(NIPV), atau Persatuan Kepanduan Hindia Belanda. Lalu Jong Islamieten
Bond, dan Jong Islamietiesche Meisjes Bond, serta lainnya di Jakarta.
Muncul pula di tanah-air berbagai macam partai politik,
antara lain: SDI (Sarikat Dagang Islam), PSI (Parteij Sarikat Islam); lalu
Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) tanggal 24 Oktober 1943 yang berubah menjadi
Majelis Soro Muslimin Indonesia, disingkat Masyumi dan partai politiknya pada
tanggal 7 Nopember 1945. Selain dari itu di Negeri Belanda lahir Indische
Vereniging (IV) atau Perhimpoenan Hindia pada tahun 1909 yang lalu berubah
menjadi Indonesische Vereniging (IV) dan akhirnya Perhimpoenan Indonesia (PI).
Semuanya digerakkan oleh para intelektual muda anak-anak negeri yang sadar akan
penderitaan bangsanya, dan menuntut perbaikan nasib rakyat yang telah terlalu
lama diabaikan pemerintah kolonial.
Sekilas
Sejarah
Sebelum kedatangan bangsa Belanda ke Tapanuli lewat Rao
dari Sumatera Barat tahun 1833, kawasan ini kenyataannya telah terbagi kedalam
beragam luhat, setiap daripadanya mempunyai pemerintahan sendiri bersifat
otonom, dan tidak mengenal adanya pemerintah pusat yang mengatur kesejahteraan
mereka dari luar. Diantara berbagai luhat yang ada di Tapanuli Selatan ketika
itu dapat dikemukakan: Luhat Sipirok, Luhat Angkola, Luhat Marancar, Luhat
Padang Bolak, Luhat Barumun, Luhat Mandailing, Luhat Batang Natal, Luhat Natal,
Luhat Sipiongot, dan Luhat Pakantan. Semua luhat yang terdapat di Tanah Batak
menempati kawasan bagian utara pulau Sumatera: di Utara berbatasan dengan Aceh,
di Timur berbatasan dengan tanah Melayu, di Selatan berbatasan dengan
Minangkabau, dan di Barat berbatasan dengan Samudera Hindia.
Luhat, dinamakan juga banua, ketika itu masih merupakan
sebuah kesatuan genealogi sebuah wilayah, atau teritorial, berada dibawah
pemerintahan dilakukan berdasarkan adat Batak ke-kerabatan Dalihan Na Tolu
(Tungku Yang Tiga) sebagaimana yang terbaca dalam surat Tum-baga Holing yang
diajarkan leluhur dahulu. Setiap luhat atau banua, selain berdiri sendiri juga
setara derajatnya satu sama lain. Pucuk pimpinan sebuah luhat ialah Raja
Panusunan Bulung (RPB), awalnya datang dari keluarga-keluarga sisuan haruaya
(si penanam pohon beringin atau para pendiri luhat) di daerah itu. Dalam sebuah
luhat bernaung berbagai huta atau kampung, yang juga dinamakan bona bulu (pohon
bambu), karena huta pada ketika itu memang diberi berpagar rumpun bambu untuk
melindunginya dari musuh yang menyerang. Ada pula bona bulu ketika itu yang
membawahi sejumlah pagaran (anak kampung).
Huta selain sebagai tempat berdiam, juga tempat mencari
nafkah karena meliputi: sawah, ladang; perairan (telaga, sungai, danau, laut),
padang, semak/belukar, hutan, lembah, dan pegunungan mengitari, darimana
berbagai maca keperluan hidup didapat. Pucuk pimpinan huta ialah Raja Pa-musuk,
awalnya datang dari keluarga-keluarga sisuan bulu (si penanam bambu atau
pendiri huta atau kampung) di tempat kediaman tersebut. Huta yang banyak
penduduknya oleh subur tanahnya dan kaya lingkungan alamnya, juga dipimpin Raja
Pamusuk, akan tetapi ia dibantu pula oleh Kepala Ripe atau Kepala Keluarga.
Raja dalam pemahaman masyarakat Batak saat itu bukanlah
orang yang berkuasa sebagaimana yang dijumpai dalam buku sejarah Eropa di zaman
feodal yang dipelajari di sekolah menengah, akan tetapi adalah orang yang
dihormati di kalangan masyarakat yang dinamakan: Hatobangon ni luhat atau huta
(Tetua luhat dan huta), karena selain ia memang pandai juga memiliki
pengetahuan dan pengalaman hidup yang banyak; tepatnya seorang terbijak
dikalangan mereka para warga (primus interpares) datang dari keluarga para
pendiri luhat dan huta. Ia juga dalam adat Batak dinamakan: haruaya
parsilaungan (pohon beringin tempat bernaung), di Angkola dan Sipirok
dinamakan: Banir Parkolipkolipan, sedangkan di Mandailing disebut Banir
Paronding-ondingan.
Cara pemerintahan sentralistik, pertama kali diperkenalkan
pemerintah Hindia Belanda yang kolonial di Tanah Batak dengan menempatkan
seorang Asistent Resident Nederlads Indie (Asisten Residen Hindia Belanda) di
Natal, kemudian seorang Resident Nederlands Indie (Residen Hindia Belanda) di
Sibolga. Pemerintah Belanda di Tapanuli ketika itu adalah bagian dari
pemerintah Hindia Belanda yang menjajah nusantara berkedudukan di Batavia,
pulau Jawa, dipimpin seorang Gouverneur-Generaal Nederlads Indie
(Gubernur-Jenderal Hindia Belanda). Gubernur-Jenderal Hindia Belanda
berkedudukan di Batavia saat itu adalah wakil Raja Belanda di Eropa yang
berdiam di Den Haag, bertugas untuk mengurus tanah jajahan Belanda seberang
lautan bernama Oost Nederlands Indie (ONI), atau Hindia Belanda Timur (HBT).
Raja Belanda masih memiliki tanah jajahan seberang lautan lain ketika itu
bernama West Nederlands Indie (WNI) atau Hindia Belanda Barat (HBB), yang lebih
dikenal dengan Suriname berada di Amerika Selatan.
Awalnya, pemerintah Hindia Belanda menamakan Afdeeling
Batak Landen (sub-bagian Tanah Batak) kepada wilayah yang berada disekitar
danau Toba dan menjadikan Tarutung sebagai ibukotanya. Sub-bagian Tanah Batak
lain dinamakan: Afdeeling Padang Sidempuan untuk wilayah Tapanuli Selatan, dan
Afdeeling Sibolga untuk wilayah Tapanuli Tengah. Pengga-bungan ketiga Afdeeling
menadi sebuah keresidenan Tapanuli di lingkungan pemerintah Hindia
Belanda muncul dari hasil penelitian Etnoloog (Belanda), atau Etnologist
(Inggris), yakni ahli bangsa dan suku-sukunya berkebangsaan Belanda yang
menemukan adanya kesatuan logat (bahasa) dan adat-istiadat yang tampak jelas,
baik dalam kehidupan sehari-hari maupun acara perhelatan Adat dalam masyarakat
di ketiga afdeeling itu. Lingkungan alam yang memudahkan perhubungan,
kekerabatan, perkawinan, dan Agama, turut mempengaruhi hasil penelitian Belanda
ketika itu. Pemerintahan Hindia Belanda lalu mengelompokkan suku-bangsa Batak
yang mendiami daratan pulau Sumatera menurut logat dan kehidupannya kedalam
berbagai puak: Karo, Simalungun, Pakpak dan Dairi, Toba, Angkola, dan
Mandailing yang dikenal suku-bangsa Batak hingga saat ini.
Sampai tahun 1867 Tanah Batak masih menjadi bagian dari
Gubernemen Sumatera Barat yang berkedudukan di Padang, Sumatera Barat, dengan
ibukotanya Padang Sidempuan. Kemudian pada tahun 1906. Tanah Batak lalu
memisahkan diri dan membentuk keresidenan Tapanuli dengan ibukotanya Sibolga.
Keresidenan Tapanuli selanjutnya oleh pemerintah Hindia Belanda dibagi kedalam
dua Afdeeling, masing-masing: Afdeeling Tapanuli Utara dipimpin seorang
A-sisten Residen berkedudukan di Tarutung, dan Afdeeling Tapanuli Selatan
dipimpin seorang A-sisten Residen yang berkedudukan di Padang Sidempuan.
Afdeeling yang akhir ini selanjutnya oleh pemerintah Hindia Belanda dibagi
kedalam 8 (delapan) Onderafdeeling, yang setiap daripadanya dipimpin seorang
Controleur yang masing-masing berkedudukan di: Batang Toru, Angkola, Sipirok,
Padang Bolak, Barumun, Mandailing, Ulu dan Pakantan, dan Natal.
Dibawah Onderafdeeling pemerintah Hindia Belanda
memperkenalkan sebuah daerah bernama Distrik dipimpin oleh seorang Demang.
Dibawahnya diperkenalkannya Onderdistrik dipimpin Asisten Demang. Dibawah
asisten Demang pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan Hakuriaan (Kekuriaan)
yang dipimpin seorang kepala Kuria untuk membawahi sejumlah huta beserta sawah
ladang dan lingkungan lainnya. Kata Kuria berasal dari “Curia”, sebuah istilah
pemerintahan yang digunakan Gereja Katholik di Vatikan, Roma, Italia dan oleh
pemerintah Hindia Belanda diperkenalkan di Tanah Batak. Dari Curia
menjadi Kuria, lalu melahirkan istilah Hakuriaan dalam bahasa Batak. Dengan
Hakuriaan pemerintah Hindia Belanda yang kolonial mencoba menghilangkan
pemerintahan luhat atau banua yang dipimpin seorang Raja Panusunan Bulung (RPB)
dari peredaran, kala itu bersemayam dalam ingatan orang-orang Batak yang menadi
kebanggaan daerah. Meski pemerintah Hindia Belanda tampaknya tidak berminat
mencampuri pemerintahan huta yang dijalankan menurut adat Batak setempat, akan
tetapi dalam pelaksanaannya orang-orang Belanda ketika itu banyak mempengaruhi
siapa yang sebaiknya dijadikan Raja Pamusuk memimpin sesuatu huta.
Dengan semakin merosotnya anggaran pemerintah Hindia
Belanda di Tapanuli Selatan, maka onderafdeeling yang delapan bilangannya di
Tapanuli Selatan ketika itu, lalu disusutkan menjadi 4 (empat), masing-masing:
Angkola dan Sipirok, Mandailing Besar dan Kecil Ulu serta Pakantan, Natal dan
Batang Natal, dan Padang Lawas. Dan menjelang bertekuk lututnya Belanda kepada
Fascist Jepang, pemerintah Hindia Belanda lalu menyusutkan kembali keempat
Onder-afdeeling menjadi 3 (tiga), yakni: Angkola dan Sipirok, Padang Lawas,
Mandailing dan Natal.
Setelah menyelesaikan MULO, ayah lalu merantau ke Pematang
Siantar dan bekerja menjadi pegawai pemerintah Hindia Belanda di kota itu. Kota
besar tanah Simalungun ini mengantarkan ayah berkenalan dengan pergolakan di
tanah-air dan dunia menjelang pecahnya Perang Asia Timur Raya yang dipicu
Jepang yang melahirkan Perang Dunia ke-II di kawasan Asia yang luas itu.
Ayah kemudian bergabung dengan organisasi pemuda “Jong Islamieten Bond”
(Persatuan Pemuda Islam) di Pematang Siantar hingga tahun 1935, lalu dengan Al
Djamiatul Washliyah daerah Simalungun. Tidak ada yang menyangka keberangkatan
ayah merantau ke Pematang Siantar dari Sipirok ketika itu telah diwarnai
perubahan besar perjalanan sejarah dunia: mulai dari Eropa di belahan Dunia
Barat hingga dengan Asia di belahan Dunia Timur.
Perkembangan di Eropa
Di daratan Eropa, perjanjian Versailles yang mengatur
perdamaian antar negara belahan bumi Barat dibidani: Perancis, Inggris dan
Amerika Serikat di penghujung Perang Dunia ke-I silam, tidak lagi memenuhi
aspirasi banyak fihak di kawasan yang luas itu. Perlucutan senjata guna
menghindarkan meletusnya perang antar negara besar Eropa yang disepakati demi
memelihara perdamaian dunia tidak lagi dihormati. Konferensi ekonomi dunia
Locarno tahun 1925, demikian pula London tahun 1933, menemui kegagalan. Gagasan
pembentukan Liga Bangsa-bangsa (League of Nations) untuk menjaga perdamaian
dunia, tidak akan kuat manakala Amerika Serikat tidak disertakan, dan tinggal
hanya gagasan yang tak akan terlaksana, konon lagi mempunyai kekuatan pemaksa.
Setelah berhasil menjabat ketua NSDAP
(Nationalsozialistische Deutsche Arbeiter Partei, atau Partai Pekerja
Nasionalsosialis Jerman), disingkat NAZI, maka pada tahun 1921, Adolf Hitler
berkampanye untuk membangun kembali Jerman yang takluk dalam Perang Dunia ke-I
silam, dengan bukunya berjudul: “Mein Kamph”, atau Perjuanganku. Kini dibawah
kepemimpinannya Jerman berupaya bangkit kembali. Pada tahun 1933 Adolf Hitler
menyatakan dirinya sebagai Pemimpin Tertinggi (Reich Chancellor) di
tanah-airnya.
Fascistme adalah sistim politik totaliter sayap-kanan,
ditandai penguasaan atas seluruh aktivitas bangsa dalam sebuah negara: politik,
ekonomi, industri, dan lain sebagainya; diselenggarakan Negara atas nama
bangsa; sebentuk ajaran Nasionalisme Extreem. Negara menjadi dewa negara
fascist, lahir dari mithologi Imperium Romanum (Kemaharajaan Roma), yang
terpaksa harus bertindak imperialist agar siap berperang untuk kelangsungan
hidupnya. Hegel (1770-1831) adalah seorang guru spiritual fascisme karena
mengajarkan sudut pandang politik: negara adalah penjelmaan Tuhan di dunia,
pencipta hak, dan bangsa adalah objeknya, sedangkan perorangan (individu)
sebagai warga Negara tidak memiliki arti, akan tetapi harus siap berkorban
untuk negara. Adolf Hitler lalu menjalankan Nazisme, sebuah pilihan fascistme
yang dilakukan Herrenvolk (bangsa tuan), yakni ras tertinggi manusia Jerman
yang pimpinan Führer. Tidak boleh ada oposisi dalam negara begitu pula kaum pengeritik
(kritikus). Nazi lalu bersumpah untuk merebut kembali seluruh tanah Jerman yang
hilang dalam Perang Dunia ke-I silam.
Tidak ada kekuatan besar yang dapat membendung agresi
militer yang berlangsung di dunia saat itu. Jepang, sekutu Jerman di belahan
bumi Timur, tahun 1931 lalu menyerbu Manchuria di negeri Cina dan mendudukinya
sekali. Italia dibawah pimpinan Benito Mussolini, sekutu Jerman di Eropa
Selatan, tahun 1935 mencaplok Ethiopia yang menyebabkan kegusaran Inggris.
Pierre Laval dari Perancis gagal menolong Inggeris mempertahankan negara Afrika
Utara itu dari perlakuan agresi yang menimpanya. Tidak lama kemudian, Jerman
pimpinan Adolf Hitler juga menerobos Rhineland yang berada dibawah penguasaan
Perancis lalu mendudukiya, dan Stanley Baldwin dari Inggris pun tidak dapat
memberi bantuan yang diperlukan.
Pada tahun 1936 organisasi paramiliter Jerman: SA (Sturm
Abteilung), SS (Schutz Staffel) dan RAD (Reichs Arbeits Dienst) telah berjumlah
1,5 juta orang. Dengan terlebih dahulu membunuh Kanselir Austria Engelbert
Dollfuss, dan menempatkan Kurt von Schusschnigg sebagai boneka disana, maka
pada tahun 1936 Jerman menyerbu negeri di selatan itu dengan mengerahkan
paramiliternya. Pada tanggal 14 Maret 1939 Adolf Hitler memanggil Presiden
Czekoslovakia untuk menemuinya di Berlin. Hitler lalu menuduh dan memarahinya
habis habisan dan me-ngancam akan menghancurkan Praha lewat serangan udara.
Dengan demikian, hanya dalam semalam Czekoslovakia (kini negara-negara Czeko
dan Slovakia) langsung dibuatnya bertekuk lutut, dan berubah menjadi negara
budak Jerman.
Pada tanggal 1 September 1939, Jerman selanjutnya menyerbu
Polandia dengan theori perang modern gagasan Jenderal muda Heinz Guderian.
Diawali serbuan udara jam 06.00 waktu setempat, Divisi-3 Jerman pimpinan
Jenderal Fedor von Bock lalu menerobos dari Prusia Timur arah tenggara. Ia
dibantu Divisi-4 Jerman pimpinan Jenderal Günter von Kluge yang membobol
perbatasan Polandia di Timur. Pukulan dua kali lebih besar selanjutnya
dilancarkan Divisi-8 Jerman dibawah Jenderal Johannes von Blaskowitz, dan
Divisi-10 pimpinan Jenderal Siegmund List yang menerjang dari Utara
Czekoslowakia, menyebabkan perlawanan Polandia menjadi porakporanda. Sebagai
akibatnya, pasukan Polandia pimpinan Marsekal Edward Smygly Ryds tidak terkoordinasi
lagi di lapangan dan pemerintahnya terpaksa melarikan diri. Jerman berhasil
menggunting habis seluruh perlawanan Polandia dalam satu blitzkrieg (perang
kilat) menggunakan kendaraan motor lapis baja kecepatan tinggi, nyaris tidak
mendapat perlawanan berarti dari kekuatan lawan yang mempersiapkan diri masih
cara konvensional.
Angkatan perang Polandia terdiri dari 30 Divisi dan 12
Brigade Kavaleri ketika itu, sesungguhnya tidak tergolong kecil dibandingkan
dengan satuan-satuan Jerman yang digunakan menyerang ditilik dari banyaknya
sumber daya manusia yang dikerahkan. Perbedaan tampak jelas pada kemutahiran
mesin-mesin perang yang digunakan Jerman, mutu latihan para prajurit, dan
doktrin yang digunakan. Inilah yang menyebabkan Pemerintah Polandia bersama
Panglima Tertinggi Angkatan Perangnya, terpaksa meninggalkan tanah-air mereka
pada tanggal 18 September 1939, dan lari menyelamatkan diri menuju Rumania.
Inggris dan Perancis, dua negara adidaya Eropa ketika itu
segera mengetahui perbuatan Jerman di Polandia, lalu marah besar. Keduanya
langsung memberi ultimatum kepada Jerman untuk segera meninggalkan Polandia.
Akan tetapi ultimatum Inggris dan Perancis, dua superpower Eropa ketika itu,
tidak diindahkan Jerman. Maka pada tanggal 3 September 1939, dua hari setelah
penyerbuan Jerman ke Polandia, dikumandangkanlah Perang Dunia kedua di daratan
Eropa.
Serdadu-serdadu Jerman lalu dengan cepat menduduki
negeri-negeri kecil di pesisir Barat Laut benua Eropa yang menyatakan mereka
diri netral. Jerman masuk ke negeri Belanda bulan Mei tahun 1940 membuat Ratu
Wilhelmina terpaksa melarikan diri ke Inggris. Belgia dan Luxemburg pun lalu
mendapat giliran diduduki Jerman. Perancis kemudian memperkuat
perbatasannya dengan Jerman di garis Maginot, yang menurut pandangannya
tidak akan dapat diterobos musuh. Jerman lalu melancarkan pemboman atas kota
London di Inggris, dari negara-negara kecil yang netral di daratan Eropa, tidak
terkecuali juga kota Paris di Perancis.
Mengetahui pertahanan Perancis di bagian utara yang
berbatasan dengan negara-negara kecil lagi netral tidak sekuat yang dibangunnya
di garis Maginot, Jerman dengan cerdik memainkan muslihat jitu dengan
menyeludupkan pasukannya ke berbagai negara netral tadi, lalu menyerbu
pertahanan terkuat Perancis itu dari belakang. Dan tak ayal lagi, dengan sangat
memalukan Pe-rancis terpaksa bertekuk lutut kepada Jerman dalam perang yang
berlangsung cuma 40 hari lamanya.
Perkembangan di Asia
Pada tanggal 7 Desember 1941, Kaigun (Angkatan Laut) Jepang
pimpinan Vice-Admiral Chuichi Nagumo melaksanakan serangan mendadak ke
pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, dan melumpuhkan Armada
Laut Amerika Serikat yang terbesar di kawasan Pasifik, dalam gugusan kepulauan
Hawai, di pulau Oahu; akan tetapi tidak mendu-dukinya. Ada analist Jepang yang
mengibaratkan serbuan pasukan Negara matahari terbit ini bagai membangunkan
seekor harimau yang sedang tidur, begitu terjaga langsung menerkam. Pada
serangan itu Kaigun mengerahkan 6 kapal induk mengangkut 360 pesawatterbang
yang dikawal: 2 kapal perang, 2 penjelajah berat, 11 perusak (destroyer),
berikut lainnya. Di Pearl Harbor, di hari yang naas itu sedang bersandar 70
kapal perang Paman Sam beserta 24 kapal pendukung; kebanyakan masih tertambat
karena ketika itu sedang hari libur. Keesokan harinya Amerika Serikat
mengumumkan perang kepada Jepang, dan Perang Dunia kedua pun merambah
kawasan Asia.
Jepang tampaknya telah tidak sabar ingin segera mewujudkan
impian pemerintahnya untuk secepatnya mewujudkan: Greater East Asia
Co-Prosperity (Per-Semakmuran Asia Timur Raya) meliputi: Korea, Cina, Indocina
(Vietnam, Laos, Kamboja), Malaya, Birma (Myanmar), Filipina, dan tanah Hindia
Belanda, dibawah naungan Kekaisaran Hiro Hito dari Negara Matahari Terbit yang
perkasa itu.
Pasukan Jepang pimpinan Jenderal Yamashita dengan cepat
menyerang ke Selatan lewat pulau Hainan di Cina, kemudian menerobos tanah
jajahan Perancis di Indocina dan Thailand. Sebagian dari mereka bergerak ke
Barat menuju Birma (Myanmar), sebuah tanah jajahan kerajaan Inggris. Yang lain
langsung bergerak menuju Selatan bersepeda menelusuri semenanjung Malaya dan
tiba di Kuala Lumpur dan Penang masih pada tahun yang sama, sebuah tanah
jajahan kerajaan Inggris yang lain. Kapal perang Inggris Prince of Wales dan Repulse
yang menghadang armada Jepang untuk melindungi pulau Singapura dihancurkan
Jepang dalam sekejap, menyebabkan pemerintah Inggris yang berkedudukan di kota
Singa itu terpaksa lari tunggang-langgang me-ninggalkannya.
Serbuan airbah Dai Toa Senso (Perang Asia Timur Raya)
pimpinan Jendral Imamura di Pasifik Barat Daya, atau Asia Tenggara, saat itu
membuat pasukan gabungan ABDACOM (Australian, British, Dutch dan American
Components) dari SEAC (South East Asia Command) pimpinan Jenderal Sir Archibald
P. Wavell ditugaskan melindungi tanah Hindia Belanda hanya mampu bertahan 10
hari, lalu dihancurkan Jepang tanggal 26 Februari 1942, membuat para Jenderal
yang memimpin masing-masing kesatuan harus melarikan diri ke India dan
Australia. Tujuan Jenderal Imamura memang jelas, yakni: segera menguasai
nusantara, lalu memaksa pemerintah Hindia Belanda yang tak berdaya di
Batavia, di pulau Jawa, menyerah tidak bersyarat, dan menjalankan lagi
ladang-ladang minyak dengan kilang-kilangnya segera, guna menyediakan kebutuhan
mesin perang yang dahaga bahan bakar dan minyak pelumas.
Jepang masuk ke Hindia Belanda diawali serangan udara atas
Tarakan di Kalimantan Utara pada tanggal 11 Januari 1942, Menado di
Sulawesi Utara tanggal 17 Januari 1942, Balikpapan di Kalimantan Timur tanggal
22 Januari 1942, Pontianak di Kalimantan Barat tanggal 1 Februari 1942,
Palembang di Sumatera Selatan tanggal 14 Januari 1942, dan Bali tanggal
26 Januari 1942. Serdadu-serdadu Jepang kemudian menyerbu ke pulau Jawa tanggal
28 Februari 1942, dan melakukan pendaratan di tiga tempat, masing-masing:
Banten, Indramayu dan Rembang. Dari Banten mereka lalu bergegas menuju Batavia
dan mematahkan perlawanan tentara-tentara Belanda yang mempertahankan kota itu
hanya dalam 4 hari. Yang dari Indramayu serdadu-serdadu Jepang dengan cepat
menuju lapangan terbang Kalijati, dekat Subang, untuk mencegat
Gouverneur-Generaal (Gubernur-Jenderal) Hindia Belanda Tjarda van Starkenberg
Stachhouer dan pimpinan tertinggi KNIL (Koninklijke Nederlads Indie Leger, atau
Angkatan Darat Kerajaan Hindia Belanda), Luitenant-Generaal (Letnan-Jenderal)
ter Poorten melarikan diri lewat udara.
Pada tanggal 8 Maret 1942 kedua pimpinan tertinggi
pemerintah Hindia Belanda itu terpaksa menyerah tak bersyarat setelah memberi
perlawanan kurang dari 9 hari, lalu menandatangani perjanjian bertekuk lutut
yang mempermalukan bangsa Belanda dihadapan anak-anak pribumi dan bangsa-bangsa
Asia lainnya. Dengan demikian penjajahan Belanda atas nusantara, diawali
kedatangan: pertama Cornellis de Houtman di Banten tahun 1596, dilanjutkan Jan
Pieterszoon Coon yang mendirikan benteng VOC di Batavia tahun 1619, terpaksa
harus berakhir dan masuk kedalam buku sejarah. Keesokan harinya, Jenderal ter
Poorten harus memerintahkan seluruh tentaraya di tanah Hindia Belanda
menghentikan perlawanan dan menyerah kepada Jepang, dan membubarkan KNIL. Di
pulaau Sumatera Generaal-Majoor (Mayor-Jenderal) Overtrakker dan rekannya
Gozenson juga trpaksa menyerah kepada Jepang tanggal 28 Maret 1942, di
perbatasan Aceh dengan Sumatera Utara tidak jauh dari Kotacane.
Zaman Penjajahan Jepang
Rakyat dimana-mana di seluruh nusantara dengan mata kepala
sendiri menyaksikan bagaimana bangsa Belanda (orang Eropa dari Barat), penjajah
nusantara berbilang abad, akhirnya terpaksa bertekuk lutut didepan bala tentara
Dai Nippon dari Jepang (orang Asia dari Timur), nyaris tidak menunjukkan
perlawanan berarti. Orang-orang Belanda yang kalah perang lalu diinternir
(tawan perang) oleh Jepang, dijadikan tenaga kasar (koeli) dan pekerja paksa
(rodi) yang diperintah tentara Jepang, lalu: dihardik, dipukuli, dicemeti, dan
ditendang saat tidak segera menunjukkan kepatuhan. Kepada mereka yang dituduh
bersalah lalu: digantung, dipancung, dan ditembak para regu pelaksana hukuman
mati Jepang dihadapan orang banyak. Kota-kota di pulau Sumatera pun lalu
berjatuhan ke tangan Jepang tahun 1942, antara lain: Palembang 14 Februari,
Jambi 26 Februari, Medan 12 Maret, dan Banda Aceh 13 Maret. Masyarakat pribumi
lalu merasakan hidup dibawah pemerintahan Fascist Jepang; dan zaman Hindia
Belanda lalu berganti menjadi zaman Jepang.
Pemerintah Jepang yang kemudian menggantikan Belanda di
Tapanuli, lalu memindahkan kantor Residen Tapanuli dari Sibolga ke Tarutung.
Saudara tua dari Negeri Matahari Terbit itu tak ayal lagi memperkenalkan pula
sejumlah istilah pemerintahan yang tergolong sentralistik di Tapanuli ketika
itu. Kata Residen diubahnya menjadi: Cokan, Bupati digantinya menjadi: Kenco,
Wedana ditukar menjadi: Gunco, Kepala Kampung dinamakannya: Kuco. Dalam jajaran
angkatan perangnya, Jepang memperkenalkan: Rikugun untuk Angkatan Darat, ketika
itu menjalankan pemerintahan di pulau-pulau Jawa dan Madura; lalu Kaigun untuk
Angkatan Laut, ketika itu menjalankan pemerintahan di pulau-pulau lain termasuk
Sumatera. Polisi Militer dinamakannya: Kem Pei Tai. Selain dari itu ada pula:
Sendenbu untuk menamakan Badan Penerangan Jepang. Ada lagi: Seinendan untuk
menamakan organisasi pemuda peserta latihan militer Kyoren. Ada juga: Fuzinkai
istilah bagi aktifis wanita anak-anak negeri yang pembantu Bala Tentara Jepang.
Keibodan adalah nama badan yang membantu kepolisian mematamatai penduduk
pribumi. Heiho ialah para pemuda yang direkrut guna membantu tentara Jepang di
medan perang Asia Timur Raya. Di pulau Jawa badan ini dinamakan: Kaigun-Heho
sedangkan di pulau Sumatera badan ini bernama: Rikugun-Heho. Ada lagi yang
dinamakan: Romusya, yakni tenaga-tenaga kerja anak negeri yang dihimpun oleh
Romukyoku (Jawatan Tenaga Kerja Jepang) untuk berbagai keperluan, termasuk
untuk ikut berperang yang tidak sedikit bilangannya.
Hengkangnya pemerintah Hindia Belanda dari bumi pertiwi,
telah lama menjadi idaman anak-anak negeri. Dalam pandangan masyarakat pribumi
ketika itu, sikap dan prilaku bangsa Belanda sebagai orang Eropa tergolong
sangat angkuh; kehidupan mereka jauh dari rakyat dibandingkan orang-orang
asing lainnya, antara lain: Arab, Cina, Keling (India), yang juga tergolong
pendatang ke nusantara ketika itu. Keserakahan atas hasil kekayaan alam:
perkebunan, perda-gangan, pertambangan hingga industri yang terdapat dibawah
kekuasaan pemerintah Hindia Belanda yang kolonial dalam rentang waktu berkuasa
yang begitu panjang, mereka perlihatkan dihadapan anak-anak negeri, nyaris
tidak ambil bagian untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat yang berarti
di tanah jajahan. Orang-orang Belanda sangat mendewakan Jenderal van Heutz
sebagai orang yang paling berjasa kepada Kerajaan Belanda di Eropa, karena
dengan kecerdasan dan kerja kerasnya berhasil menaklukkan begitu banyak
kerajaan di nusantara, besar dan kecil, menundukkan begitu banyak
Raja-raja di tanah-air untuk mendirikan Oost Nederlands Indie
(Hindia Belanda Timur) yang amat luas dari Sabang hingga Merauke. Akan
tetapi tanah jajahan yang luas itu tidak mensejahterakan kehidupan anak-anak
negeri di tanah kelahirannya.
Dalam kurun waktu ratusan tahun lamanya anak-anak negeri
telah dipaksa melakukan rodi (kerja paksa) yang menguras tenaga nyaris tidak
berimbalan, mengabdi kepada pemerintah Hindia Belanda yang kolonial membangun
jalan-raya dan jembatan yang diperintahkan oleh Dandels. Mereka juga menjadi
koeli di berbagai perkebunan dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda di
tanah-air dengan bayaran segobang (dua setengah sen uang Belanda saat itu)
sehari, lalu ditransmigrasikan ke sejumlah tempat di luar pulau Jawa. Tidak
sedikit dari mereka yang lalu dieksport ke luar negeri untuk dijadikan pekerja
rodi di berbagai perkebunan seperti: Suriname di Amerika Selatan, dan New
Caledonia di Timur Australia, untuk menjadi koeli di berbagai perkebunan milik
kerajaan Belanda dan asing lainnya. Dapat dimengerti apabila selama masa
penjajahan Belanda yang panjang itu lalu muncul protes dimanamana,
pembangkangan, penolakan, hingga dengan pemberontakan terhadap pemerintah
Hindia Belanda ketika itu.
Sampai dengan kedatangan Jepang di nusantara, seluruh
kebijakan yang diambil Kerajaan Be-landa dari Eropa atas tanah jajahan Hindia
Belanda Timur, menyebabkan yang disebut akhir menjadi: pemerintahan kolonial
terlemah didunia, rakyat buta-huruf yang terbanyak sejagat, orang-orang miskin
paling terhina di muka bumi, dan militer terlemah di Asia. Meski telah berlaku
sedemikian buruk terhadap anak-anak negeri di Hindia Belanda, orang-orang
Belanda masih menimpali lagi anak-anak bangsa ini dengan ucapan Helfferich:“Een
Natie van Koelies, en een Koelie onder de Naties” (Sebuah bangsa Kuli, dan Kuli
dibawah Bangsa-bangsa). Luka lahir bathin yang terpendam ditinggalkan
pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada anak-anak negeri sangatlah dalam dan
menyakitkan, sehingga tidak cukup kata terdapat dalam perbenda-haraan sebuah
bahasa untuk mengungkapkan semuanya. Demikian pahit kegetiran hidup yang
dirasakan anak-anak bangsa di tanah kelahirannya sendiri ketika itu.
Jepang rupanya faham sekali akan duka lahir-bathin yang
dirasakan anak-anak negeri di tanah Hindia Belanda, dan dengan cerdik
memanfaatkannya. Karena itu Jepang dengan cepat mena-warkan janji “kemerdekaan”
kepada rakyat di nusantara dalam satu paket dengan kemakmuran untuk seluruh
Asia, sebagaimana yang dikampanyekan dalam “Greater East Asia Co-Prosperity”,
dikumandangkan dalam gerakan 3A: “Nippon tjahaja Asia, Nippon pelindung Asia,
Nippon pemimpin Asia”.
Tidak dapat disangkal lagi anak-anak negeri dimana-mana di
nusantara bersuka cita lalu me-nyambut kedatangan serdadu-serdadu Jepang dari
negeri matahari terbit, apalagi diiringi sikap ramah tamah dan penuh hormat
yang dipertontonkan saudara tua pendatang baru itu. Pada tahap ini, keinginan
rakyat di nusantara yang diwakili para pemimpinnya sejalan dengan keinginan
tentara Jepang, yakni secepatnya mengenyahkan pemerintah Hindia Belanda yang
colonial dari bumi pertiwi.
Akan tetapi setelah pemerintah Hindia Belanda yang kolonial
itu tumbang, rakyat segera menuntut janji kemerdekaan pada Jepang. Sekelompok
anak bangsa lalu menyodorkan calon presiden pribumi berikut para menteri
kabinetnya, akan tetapi sang saudara tua itu terpaksa mengulur waktu. Baru
setelah anak-anak negeri menyaksikan dengan mata kepala sendiri orang-orang
Jepang menduduki berbagai jabatan yang ditinggalkan pemerintah Hindia
Belanda, barulah mereka sadar akan tujuan kedatangan orang-orang yang mengaku
diri sebagai saudara tua itu. Kini, keinginan rakyat dan kepentingan Jepang
telah berseberangan, bahkan menuju benturan kepentingan. Anak-anak bangsa
kemudian membayangkan kedatangan penjajah baru ke nusantara, tetapi kini oleh
yang bernama saudara tua dari Asia di Timur.
Apa yang segera diperlukan Jepang ketika itu adalah tenaga
kerja, ratusan hingga ribuan ribu anak bangsa untuk berkingrohoshi (berkerja
bhakti) menjadi heiho membantu prajurit Jepang dalam perang Dai Toa Senso
menghadapi pasukan sekutu. Demikian pula juga romusya untuk membangun
benteng-benteng pertahanan, menyiapkan lapangan terbang, membongkar/pasang
rel-rel kereta api seperti di Tratak dan Petain 170 km barat daya Pekanbaru,
membangun kubu-kubu pertahanan, melaksanakan penggalian tanggul, membuat
tempat-tempat perlindungan untuk serdadu Jepang, membuat terowongan lengkap
dengan lorong dan gua persembunyian serdau-serdadu Jepang, dan masih banyak
lagi. Tenaga yang dibutuhkan tidak semata yang bertugas di tanah-air,
juga yang untuk dieksport ke luar negeri sebagaimana yang dilakukan pemerintah
Hindia Belanda silam, hanya kini oleh pemerintah Fascist Jepang untuk
memenangkan perang Dai Toa Senso.
Jepang tidak disangkal lagi memerlukan bahan pangan: beras,
sayur, daging, buah yang dikumpulkan dari petani, peternak, yang dibayar
uang kertas Jepang. Pemerintah Fascist ini juga memerlukan anak-anak negeri
yabg dapat dijadikan polisi untuk megamankan masyarakat di garis belakang. Kini
serdadu-serdadu Jepang telah menanggalkan seluruh keramah-tamahan sebelumnya,
dan menukarnya dengan sikap kasar, keras dan kejam kepada anak bangsa.. Kini
serdadu-serdadu Jepang memperlakukan anak-anak pribumi dengan kasar, bengis,
dan kejam dalam tuntutan mematuhi perintah. Jepang juga membutuhkan bantuan
aktif penduduk mempertahankan nusantara dari serangan pasukan sekutu pimpinan
Amerika Serikat.
Karena serdadu-serdadu Dai-Nippon telah memperlihatkan
keperkasaannya mengusir pemerintah Hindia Belanda dari bumi nusantara dengan
mudah; mengamati kecepatan perubahan prilaku orang-orang Jepang mengambil alih
berbagai jabatan yang ditinggalkan pemerintah Hindia Belanda yang kolonial,
anak-anak negeri dan para pemimpinnya di tanah-air ketika itu terpaksa
mengalah. Mereka sadar, bahwa kedatangan Jepang tidak lain untuk merampas tanah
jajahan Hindia Belanda, setelah pemerintah yang disebut akhir ini
ditaklukkan. Maka untuk menghindarkan pertumpahan darah sia-sia melawan pasukan
pendudukan Jepang yang perkasa, kasar, bengis, kejam, dan tidak beradab
saat itu, maka anak-anak bangsa terpaksa memilih langkah koopertif dengan
mengikuti keinginan saudara tua.
Serangan tentara Jepang yang meluluhlantakkan pasukan SEAC
dan pertahanan tanah Hindia Belanda, lalu diarahkannya menuju Australia. Dengan
terlebih dahulu menduduki Rabaul di gugusan kepulauan Bismarck, Jepang lalu
melangkah ke semenanjung di Utara benua kanguru, dan berusaha menggunting jalur
pengiriman senjata datang dari Amerika Serikat ke Australia. Akan tetapi
malang, dalam pertempuran Laut Coral (Laut Karang) tanggal 4 Mei tahun 1942,
angkatan laut Jepang pimpinan Jenderal Hyakutake menderita kekalahan telak,
lalu mundur disusul jatuhnya Guadalkanal tanggal 6 Nopember 1942. Sebelumnya
pada bulan Juni tahun yang sama, empat kapal induk Jepang sarat pesawat tempur
ditenggelamkan Amerika Serikat tidak jauh dari Midway. Pukulan terbesar Jepang
pada ketika itu ialah tewasnya laksamana Yamamoto tanggal 1 Maret 1943.
Kendati Jepang berusaha memacu terus serangannya, akan
tetapi setelah Jenderal Hyakutake digantikan Jenderal Imamura, maka sampai
penghujung tahun 1942 pasukan Jepang yang menyerbu bagian Utara benua Australia
itu terus terpukul mundur. Duet Jenderal Nimitz di Pearl Harbor dengan Jenderal
McArthur yang ditarik ke Australia dari Filipina, dan melakukan gerakan leap
frog (lompat katak) dari kepulauan-kepulauan: Marshall, Gilbert, Mariana, dan
Carolina, memaksa serdadu-serdadu Jepang melaksanakan strategi mundur sambil
bertahan secara bergantian. Dalam periode tahun 1942 hingga 1943, Jenderal
McArthur terus memburu pasukan Jepang yang terdesak mundur ke Papua, dari sana
ke Morotai, lalu kepulauan Filipina, pulau Taiwan, kepulauan Okinawa, hingga
menghampiri Jepang di tanah-airnya.
Dalam gerakan mundur, diawali dari Filipina Jepang
memperlihatkan perlawanan sengit, dan mengerahkan squadron pesawat tempur
Kamikaze (angin utusan Tuhan) dikemudikan peberbang-penerbang berani mati.
Mereka menyerang setiap armada perang sekutu bergerak dalam formasi menuju
perairan Jepang, menyebabkan banyak yang disebut akhir ini terbakar dan
tenggelam. Gerakan gunting yang dilakukan Jenderal McArthur sejak dari
Australia menyebabkan pasukan Jepang yang terdapat di pulau-pulau: Sumatera,
Jawa, dan Kalimantan terpencil dari induk pasukannya di wilayah pasifik Barat.
Banyak adegan perang mempertontonkan kemutakhiran teknologi
peralatan perang yang dimiliki Amerika Serikat dan sekutunya disatu fihak,
Jerman dan Jepang di fihak lainnya, telah diangkat ke layar perak untuk
meramaikan bioskop-bioskop di seluruh dunia, untuk memuaskan rasa ingin tahu
orang banyak akan malapetaka dunia buatan manusia terbesar abad ke-20 silam,
dan gemanya masih terus bergaung memasuki abad-abad selanjutnya di bidang:
politik, ekonomi, sosial, budaya, strategi perang dan lainnya. Dan yang tak
kalah mendapat perhatian dunia juga kepahlawanan yang diperlihatkan para
perajurit dari kedua kubu yang berseteru di berbagai medan laga Eropa dan Asia.
Kemajuan pasukan Amerika Serikat di front Pasifik, disusul
keberhasilan tentara Inggris mengusir serdadu-serdadu Jepang meninggalkan Birma
(kini Myanmar) di front Asia Tenggara, dan memburu semuanya kembali ke
semenanjung Malaya. Pasukan Australia kemudian mulai menduduki nusantara bagian
Timur, menyebabkan serdadu-serdadu Jepang yang terperangkap di tiga pulau
dikemukakan sebelumnya semakin terjepit. Hal ini menyebabkan nasib
anak-anak negeri yang berada dibawah kekuasaan Jepang di ketiga pulau itu
semakin menderita, karena serdadu- serdadu ini semakin tergantung kehidupannya
dari pemerasan milik masyarakat mulai hasil pertanian hingga harta benda
lainnya. Untuk memenuhi beragam keperluan di pulau-pulau: Sumatera, Jawa dan
Kalimantan, seperti: pangan, tenaga kerja, dan lain sebagainya, serdadu-serdadu
Jepang mengandalkan senjata ditangan, prilaku kasar, dan kekejaman, agar
anak-anak negeri mengikuti perintah, dan menyerahkan apa saja yang diinginkan
dengan cepat.
Dengan demikian Jepang berhasil merekrut ratusan ribu
pemuda dari kota hingga desa yang didudukinya, untuk dijadikan heiho dan
romusha yang dikirim ke Singapura, Malaya, Siam (Thailand), Birma (Myanmar),
Nikobar, dan Andaman, untuk menahan serangan sekutu. Banyak dari mereka lalu
terbunuh diperlakukan sebagai umpan peluru, kurus kering kurang pangan,
terlantar menjadi gelandangan di negeri orang, tenggelam dilaut, dan
hilang tak tentu rimbanya,. Banyak romusya yang tidak diketahui lagi dimana
keberadaannya, karena samasekali tidak terdaftar. Ada para romusya penggali
persembunyian tentara Jepang yang dibunuh setelah menyelesaikan pekerjaan guna
merahasiakan lokasi. Tidak sedikit jumlah keluarga anak negeri yang
menanyakan nasib sanak saudara mereka yang direkrut Jepang, akan tetapi
yang akhir ini tidak mengindahkannya. Banyak kampung dan desa lalu kekurangan
tenaga kerja untuk melola lahan pertanian penghasil pangan yang menghidupi
rakyat di berbagai daerah tahah-air.
Memasuki tahap akhir penjajahan Jepang yang setahun jagung
lamanya, serdadu-serdadu Jepang kehabisan bekal, karena tidak lagi mendapat
bantuan logistik dari induk pasukannya. Untuk bertahan hidup, mereka memburu
pangan rakyat: beras, jagung, ketela, dan lain sebagainya. Dengan peluru
ditangan dan prilaku kasar, serdadu-serdadu Jepang mengumpulkan semua hasil
pertanian rakyat untuk menimbunnya. Kepada penghasil pangan yang setia,
Jepang memerintahkan semuanya berbaris untuk mendapat jatah bahan pangan.
Rakyat di berbagai tempat di pulau-pulau: Sumatera, Jawa dan Kalimantan, lalu
menderita kekurangan pangan. Mereka yang kelaparan berusaha mencari
makanan ke hutan mencari tanaman liar yang mereka ketahui dapat dimakan dari
generasi sebelumnya. Keracunan makanan pun terdengar dimana-mana ketika itu,
karena banyak dari mereka yang tidak tahu lagi menyiapkan untuk dimakan.
Serdadu-serdadu Jepang yang terkepung memperlakukan
anak-anak negeri tidak alang kepalang kasar dan menyakitkan. Kepada mereka yang
tidak cepat menghormat ketika bertemu langsung ditempeleng. Mereka yang tidak
sudi, atau ragu, menurut perintah ditendang dan dipukul gagang senapan. Mereka
yang diketahui bersalah dicemeti dihadapan orang banyak di lapangan terbuka.
Musuh dan penghianat yang tertangkap serdadu Jepang dipancung, atau ditembak
mati. Dalam pemerintahan Jepang yang Fascist ketika itu, tidak ada pengadilan
tempat membuktikan kesalahan atas perkara yang dituduhkan terhadap anak-anak
negeri, konon lagi menegakkan kebenaran dan menghormatinya.
Dengan menunjukkan kekasaran dan kekejaman, Jepang berharap
anak-anak negeri akan patuh pada perintah tanpa berfikir. Tujuan Jepang
jelas, menciptakan rasa takut dalam masyarakat untuk menciptakan ketertiban
dan ketenteraman dalam masyarakat di garis belakang dalam masa
pendudukannya. Berbeda sekali dari cara yang dilakukan pemerintah Hindia
Belanda silam untuk memperoleh yang sama diketahui anak-anak negeri selama ini.
Di lain fihak, bahasa kasar dan perbuatan kejaman yang dilakukan Fascist Jepang
berdampak buruk terhadap anak-anak bangsai karena menimbulkan trauma kejiwaan
yang berat. Anak-anak negeri ini tidak mampu menemukan dalam akal-budi
penalaran mereka, apa gerangan nasib seburuk itu menghampiri kehidupan mereka
di dunia ini, apa gerangan kesalahan atau dosa yang pernah mereka lakukan
sebelumnya?
Meski serdadu-serdadu pendudukan Jepang telah memperlihatkan
kekasaran dan kekejaman kepada masyarakat berulang kali, tidak berarti
anak-anak pribumi urung samasekali memberikan perlawanan. Rakyat Singaparna di
Jawa Barat, pimpinan K.H. Zaenal Mustafa menolak seikeirei (menyembah) Tenno
Heika yang berada di Tokyo, karena menyalahi ajaran Darul Islam yang diyakini
rakyat. Sang Kiayi mengatakan sembahyang hanya menghadap Ka’bah di Mekah, Saudi
Arabia, bukan menuju Tokyo di mana Tenno Heika berada, sebagaimana
diperintahkan para perajurit Jepang. Pemberontakan Indramayu yang meletus dan
menimbulkan korban ketika itu telah sebelumnya dipicu kebencian rakyat pada
serdadu-serdadu Jepang melakukan pemerasan hasil bumi dan kekayaan melampaui
batas.
Kehidupan di tanah-air dari hari ke hari dirasakan rakyat
semakin menghimpit di penghujung pendudukan Jepang, terlebih lagi dengan adanya
blokade pasukan sekutu. Beragam bahan makanan dan pakaian yang di zaman Hindia
Belanda didapat melalui import dari luar negeri, di zaman pendudukan Jepang
hilang dari pasaran. Kalau pun ada, tidak mudah mendapatkannya, tidak
terkecuali obat-obatan. Yang pertama menderita anak-anak dalam pengungsian yang
membutuhkan pangan berbahan dasar susu. Kaum ibu terpaksa mengusahakan makanan
tambahan untuk anak mereka di pengungsian guna memenuhi gizi.
Begitu juga dengan pakaian yang tidak dapat lagi dibeli
dipasar, sehingga banyak warga yang masih mengenakan pakaian yang dibeli di
zaman Hindia Belanda silam, dikenakan hingga buruk di badan. Apabila cabik
dimakan usia, tambal sulam bukan halangan. Banyak pakaian yang dikenakan
orang-orang yang berkeliaran di jalan-raya telah bertambal sulam dimana-mana.
Beragam warna potongan kain dijahitkan orang dengan tangan menghiasi baju atau
celana dari luar. Orang-orang berpakaian compang-camping tampak berkeliaran menjadi
pemandangan sehari-hari di zaman pendudukan Jepang. Ada sementara anak negeri
yang telah mengenakan pakaian dari goni (karung), atau dari terpal dikupas dari
saluran air di kota-kota; sedangkan di kampung-kampung rakyat dikhabarkan telah
mengenakan pakaian kulit kayu dan bagor (karet giling tipis) untuk ganti kain
pembalut badan.
Juga lenyap dari pasaran selama pendudukan Jepang mainan
anak-anak yang di zaman Belanda banyak ditemukan di pasar. Para pengungsi perlu
membantu anak-anak mereka menciptakan peralatan bermain guna merangsang
berfikir dan berkreasi dari imajinasi masing-masing. Banyak anak-anak para
pengungsi yang tidak segera dapat berbaur dengan anak-anak di berbagai kampung
tempat bermukim. Alat-alat bemain dibuat dari bahan apa saja yang ditemukan di
tempat pengungsian. Dengan alat bermain seadanya di zaman Jepang, para
pengungsi berusaha mencerdaskan buah hati mereka: putera dan puteri, sekaligus
mengantarkan anak-anak ini bermasyarakat dengan anak-anak lain di lingkungan
hidup yang baru. Kaum ibu pun tidak ingin ketinggalan menyediakan beragam
permainan anak perempuan agar mereka juga mampu bermain dan bergaul
dengan sebayanya.
Dengan kian terpukulnya tentara Dai Nippon dalam perang Dai
Toa Senso, pada tanggal 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang: Koisho
menyampaikan dihadapan Parlemendi negerinya, bahwa pemerintah Jepang akan dngan
resmi memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Kemudian janji itu
diulangi lagi oleh pemerintah Jepang dengan pengumuman pemerintah yang
dikeluarkan tanggal 29 April 1945.
Dengan hengkangnya pemerintah Hindia Belanda dari
tanah-air, maka ayah lalu bekerja menjadi pegawai pemerintah Jepang di Pematang
Siantar. Di ibukota tanah Simalungun itu, ayah juga menjabat sebagai Ketua
Daerah Al Djamiatul Washliah setempat.
Zaman Perang Kemerdekaan
Dengan keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Dunia
ke-II membantu: Inggris, Perancis, dan lainnya dari front Barat Eropa,
demikian juga Uni-Sovyet (kini Rusia) menyerang dari front Timur, Nazi Jerman
pimpinan Adolf Hitler menjadi terjepit ditengah medan laga, membuat negeri Fascist
itu segara ditaklukkan; dan Perang Dunia ke-II di Eropa pun berakhir.
Kemenangan sekutu dalam Perang Dunia ke-II di daratan
Eropa lalu dirayakan tanggal 8 Mei 1945. Perang dahsyat yang telah
meluluhlantakkan negeri Jerman beserta aliansi perangnya yang jaya saat itu
oleh serbuan Sekutu yang lebih perkasa, membuat pemerintah Fascist Jerman
pimpinan Partai Nazi terpaksa bertekuk lutut tak bersyarat, dan menandatangani
perjanjian Potsdam (kota kecil dekat Berlin) yang menyakitkan. Dalam perjanjian
itu dikatakan, bahwa negeri Jerman harus dibagi kedalam empat sektor, sesuai
jumlah pasukan Sekutu yang berhasil menaklukkannya, masing-masing: Amerika
Serikat, Inggris, Perancis, dan Uni-Sovyet.
Penggabungan ketiga sektor negeri Jerman yang diduduki:
Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis, terdapat di bagian Barat negeri
itu, melahirkan Jerman Barat dengan ibukotanya Bonn; sedangkan sektor keempat
yang berada di bagian Timur Jerman dan dikuasai Uni-Sovyet, oleh perbedaan
ideologi negara-negara penakluk, terpaksa memisahkan diri dan membentuk Jerman
Timur dengan ibukotanya Berlin. Akan halnya kota Berlin, bekas ibukota Nazi
Jerman yang tersohor itu, dalam kesepakatan Potsdam juga harus dibagi kedalam empat
sektor. Penggabungan sektor-sektor kota Berlin yang diduduki: Amerika Serikat,
Inggris dan Perancis di bagian Barat kota itu melahirkan Berlin Barat;
sedangkan sektor Timur yang berada dibawah kekuasaan Uni-Sovyet, memisahkan
diri oleh perbedaan ideologi membentuk Berlin Timur, lalu menjadi ibu-kota
Jerman Timur.
Pada awalnya kedua komunitas warga Jerman yang berdiam di
kota Berlin, yakni warga Berlin dibawah pemerintah gabungan Amerika Serikat,
Inggris, dan Perancis, begitu juga warga Berlin yang berada dibawah pemerintah
Uni-Sovyet; dengan kata lain mereka yang berada di blok Barat (Amerika Serikat,
Inggris dan Perancis) dan yang berada di blok Timur (Uni-Sovyet) sesuai
perjanjian Potsdam, hanya dipisahkan oleh garis yang erdapat di peta. Akan
tetapi dengan kian banyaka penduduk Berlin Timur yang melarikan diri
meninggalkan bagian kota itu bergabung dengan penduduk Berlin Barat, maka
pemerintah Jerman Timur dengan persetujuan Uni-Sovyet terpaksa mendirikan
"dinding beton" pada garis peta yang memisahkan kedua bagian kota.
Dinding beton ini lalu dikenal dengan nama: “Tembok Berlin” atau "Berlin
Wall". Tembok Berlin ini didirikan pada zaman pemerintahan Perdana Menteri
Uni Sovyet Nikita Khrushchev yang berhaluan Sosialis-Komunis berkuasa di Kremlin,
di kantor pemerintah Uni-Sovyet, di pusat kota Moskow.
Kendati Perang Dunia ke-II telah berakhir di Eropa, akan
tetapi hal itu samasekali belum terjadi di Asia, meski Jepang telah kehilangan
para aliansi perangnya dari belahan bumi Barat. Kini Jepang harus berperang
sendirian dengan segala kemampuan militer yang ada padanya berhadapan langsung
dengan Amerika Serikat yang dibantu para sekutu perangnya dari Eropa, khususnya
Inggris, dan Belanda, yang mempunyai kepentingan di kawasan Asia Tenggara,
karena memiliki tanah jajahan amat luas lagi kaya akan berbagai sumber daya
alam, yang belum lama direbut Fascist Jepang. Seteru Jepang lain di Asia
Pasifik ketika itu ialah Cina Nasionalis pimpinan Jenderal Chiang Kai Shek yang
bukan komunis, dan Australia.
Dengan semakin dekat keberadaan Jenderal McArthur dengan
armada perangnya ke perairan negeri Sakura, Jepang memperlihatkan perlawanan
beragam di laut dan udara. Di laut, selain kapal-kapal perang angkatan lautnya,
Jepang mengembangkan ribuan kapal motor bunuh diri pembawa bom: mulai kapal
selam mini bertorpedo dikemudikan perajurit jibaku (berani mati), perahu cepat
pemburu kapal perang, dan lainnya; semunya ditebar ke lautan disekeliling
negeri Sakura. Tujuannya mengkaramkan kapal-kapal armada sekutu yang berani mendekat.
Pasukan sekutu pimpinan Amerika Serikat benar-benar mendapat rintangan besar
menghadapi perajurit-peraju jibaku yang banyak bilangannya dan beragam bentuk,
karena berhasil mengkaramkan banyak kapal, sehingga terpaksa berpaling pada
keunggulan teknologi senjata, untuk membuat Jepang segera bertekuk lutut.
Pilihan kemudian jatuh pada penggunaan senjata nuklir atau bom atom bernama:
“Little Boy”.
Dua kota industri Jepang dipilih untuk menjadi sasaran
Little Boy, yakni: Hiroshima di pulau Honshu, dan Nagasaki di pulau Kyushu. Bom
pertama dijatuhkan di Hiroshima tanggal 6 Agustus 1945 dilepas dari lambung
pembom B-29 “Enola Gay” dikemudikan Kapten Penerbang Warfield Paul Tibbets Jr,
merenggut 120.000 jiwa dalam sekejap, disusul 80.000 orang yang mati
perlahan oleh penyinaran radio-aktif. Melihat kengerian yang ditimbulkan bom
pertama menghantam Jepang di tanah-airnya, kabinet Jepang langsung bersidang
hari itu juga. Tiga hari kemudian, bom kedua dijatuhkan di Nagasaki tanggal 9
Agustus 1945 merenggut 80.000 orang seketika. Tak pelak lagi, negara Matahari
Terbit itu mengibarkan bendera putih tanda menyerah, sekaligus menyatakan
bersedia mengikuti Jerman menerima perjajian Potsdam tak syarat yang memilukan
kaum samurai, dan mempermalukan mereka semuanya.
Lalu pada tanggal 8 Agustus 1945 Uni-Sovyet memaklumkan
perang pada Jepang dan angkatan perangnya langsung menerobos memasuki
Manchuria, tanah jajahan Jepang di Tiongkok. Negara Beruang Merah
melibatkan diri dalam Perang Pasifik setelah Kerajaan Jepang menyatakan
bertekuk lutut kepada sekutu yang dipimpin Amerika Serikat.
Pada tangal 14 Agustus 1945 Presiden Amerika Serikat Truman
dan Perdana menteri Inggris Lord Attlee mengumumkan ke seluruh penjuru dunia,
bahwa Jepang telah bertekuk lutut tak bersyarat. Kemudian Kaisar Hirohito
memerintahkan seluruh pasukan Jepang yang ada di kawasan pasifik “menghentikan
perlawanan”, bukan “menyerah”, pilihan kata bijak untuk tidak terlalu
menyakitkan hati bangsanya. Lalu, pada tanggal 18 Agustus 1945 Menlu Jepang
Shigemitsu mengumumkan kekalahan Jepang terhadap Sekutu keseluruh dunia,
dan Perang Dunia ke II, atau Perang Dai Toa Senso, yang dimulai Jepang di
kawasan Asia pun berakhir.
Pada tanggal 30 Agustus 1945 Marsekal Terauchi, Panglima
Tertinggi Bala Tentara Jepang daerah Selatan, menyerahkan pedang
samuraiya kepada Laksamana Lord Louis Mountbatten dari SEAC yang berada di
Saigon (Vietnam). Sementara di atas Kapal Perang Glory, Jenderal Imamura,
Panglima Besar Jepang Kawasan Pasifik Barat Daya, menyerah kepada Jenderal Sturdes
dari Australia. Baru pada tanggal 2 September 1945 utusan Pemerintah Jepang
dipimpin Shigemitsu, atas nama Kaisar Hirohito dan Markas Tertinggi Angkatan
Perang Jepang, dikawal Jenderal Yoshijiro Umetsu, berangkat menemui Jenderal
McArthur dari Amerika Serikat yang sedang menunggu bersama 50 orang Jenderal
sekutu lainnya di atas geladak kapal perang “Misouri” berlabuh di teluk Tokyo.
Dalam laporannya, utusan Jepang itu mengatakan atas nama Kaisar Jepang bahwa
tentara Dai-Nippon telah kalah berperang melawan sekutu, ungkapan yang
menyakitkan hati para perajurit Jepang di tanah-air mereka ketika itu.
Setelah Fascist Jerman pimpinan Adolf Hitler ditumbangkan
di Eropa, Belanda lalu membangun kembali pemerintah Belanda di negerinya, yang
selama Perang Dunia ke II terpaksa hengkang ke Inggris karena diduduki Jerman;
lalu mengangkat Dr. L. J. M. Beel menjad perdana menteri. Pemerintah Beel di
Den Haag lalu menunjuk Dr. Hubertus J. van Mook menjadi Leutenant
Gouverneur-Generaal Hindia Belanda yang baru berkedudukan di Batavia, tetapi
untuk sementara berada di Brisbane, Australia.
Pada tanggal 15 Agustus 1945, ayah sekeluarga berduka di
Pematang Siantar setelah mendapat khabar bahwa Namboru Duma Harahap yang
berdiam di Matapao, Perkebunan Kelapa Sawit terletak antara Medan dan Tebing
Tinggi (Deli), berpulang ke rakhma-tullah. Ayah sekeluarga lalu mengunjungi
perkebunan tersebut untuk melayat dan bertemu dengan keluarga namboru yang
tengah berduka saat itu.
Sejak tanggal 15 Agustus 1945, pemerintah Hindia Belanda pasca
Perang Dunia ke-II dalam pengasingan tu telah melangsungkan berbagai pertemuan
untuk mengatur kepindahannya ke Batavia setelah Bala Tentara Dai Nippon
ditaklukkan, untuk kembali menerima tanah Hindia Belanda dari tangan Jepang
disaksikan Sekutu. Pemerintah Hindia Belanda yang baru mereka namakan: NICA
(Nederlands Indies Civil Administration, atau Pemerintah Sipil Hindia Belanda)
yang akan dipimpin Ch.O. van der Plas, sebagai wakil van Mook.
Sejalan dengan usaha membangun kembali pemerintahan sipil
seberang lautan di Asia Tenggara, Belanda juga melaksanakan mobilisasi umum di
tanah-airnya guna merekrut para pemuda yang bersedia untuk dijadikan serdadu
KNIL yang dikirim ke tanah Hindia Belanda Timur. Dalam pidato melepas rombongan
serdadu KNIL sejumlah 3000 orang, angkatan pertama dinamakan: “7 Desember
Divisie” pada tanggal 20 Desember 1946 di geladak kapal Boissevain dari
Amsterdam, Jenderal Kruls selaku Kepala Staf Umum Tentara Belanda di Nederland
mengatakan: mereka dikirim bukan untuk melaksaanakan perang kolonial yang baru,
tetapi guna mendatangkan perdamaian dan ketenteraman di tanah seberang.
Kapal-kapal pengangkut serdadu KNIL lainnya lalu menyusul, seperti: Klipfontein
dengan 1386 serdadu, Kotaagung memuat 1500 serdadu, Ruys, Tegelberg, dan lainnya.
Selain para serdadu yang didatangkan langsung dari negerinya di Eropa, Belanda
juga merekrut anggota-anggota KNIL bekas internir Jepang yang bertebaran
dimana-mana di Asia Tenggara usai perang Asia Timur Raya.
Dalam amar perjanjian kalah perangnya, Jepang mengatakan
menyerah kepada Sekutu: Amerika Serikat, Inggris, Rusia dan China yang diwakili
Jenderal McArthur. Jepang juga membuat rincian kepada siapa saja
wilayah-wilayah taklukannya akan dikembalikan. Hindia Belanda Timur akan
dikembalikan Jepang kepada SEAC diwakili Laksamana Mountbatten dari Inggris dan
Jenderal Blamey dari Australia. Tidak tercantum ketika itu nama-nama: negeri
Belanda dan Negara Republik Indonesia dalam dokumen perjanjian, meski dua nama
yang disebut akhir ini amat berkepentingan terhadap wilayah yang akan
ditinggalkan Kerajaan Dai-Nippon itu.
Sekutu lalu memerintahkan Detasemen Marinir dan Batalyon
Seaforth Highlanders dari Inggris masuk ke bekas tanah Hindia Belanda, dan
tanggal 15 September 1945 kapal perang Camberlain pimpinan Laksamana kelas III
Patterson lalu berlabuh di Tanjung Priok, pelabuhan Batavia ketika itu.
Patterson bertindak sebagai penerima bekas tanah Hindia Belanda yang
dikembalikan Jenderal Nagano, Panglima Tertinggi Jepang di pulau Jawa ketika
itu. Sepanjang bulan September tahun yang sama, berdatangan lagi
pasukan-pasukan Sekutu lainnya ke bekas tanah Hindia Belanda yang disusul
tibanya beberapa divisi yang berasal dari India.
Pada tanggal 27 September 1945 Jenderal Sir Philip
Christison dari Amerika Serikat ditunjuk sekutu untuk menjadi Pimpinan
Tertinggi bekas tanah Hindia Belanda berkedudukan di Batavia. Van Mook yang
mengamati rencana Sekutu, tak pelak lagi berupaya mengikutsertakan
NICA-Australianya dengan melobi Jenderal McArthur, kala itu masih menjadi Panglima
Tertinggi Sekutu kawasan Pasifik, namun tidak memperoleh tanggapan. Adapun
tujuan sekutu masuk ke tanah Hindia Belanda saat itu untuk melaksanakan amar
perjanjian dengan Jepang yang ditandatangani di Tokyo, melucuti seluruh pasukan
Jepang yang terdapat di kawasa itu lalu mengembalikan seluruhnya ke Jepang, dan
membebaskan para APWI (Allied Prisoners of War and Internees) dari berbagai
penjara dan tempat-tempat tawanan perang Jepang lainnya.
Di pesisir Timur pulau Sumatera, dalam keadaan kosong
(vakum) kekuasaan antara anggal 14 Agustus 1945 hingga 2 September 1945, yakni
ketika Kaisar Hiro Hito menyampaikan menghentikan perlawanan Jepang kepada
Sekutu hingga ditandatanganinya perjanjian kalah perang Jepang di geladak kapal
Misouri milik Amerika Serikat, Belanda telah mengutus Pasukan Komando ke
Sumatera Timur bersandi “Force 136” dari pangkalannya di Sri Langka. Pasukan
ini diterjunkannya dari udara di: Bagan Siapiapi, Rantau Prapat, Banda Aceh,
dan Medan. Di lapangan terbang Polonia, Medan, diterjunkan Letnan Turco
Westerling tanggal 16 September 1945, disusul Letnan Laut I Brondgeest yang
membawa serta 165 orang pasukan lengkap dengan persenjataan mereka. Pasukan
komando ditugaskan untuk menghubungi keluarga-keluarga: Sultan Deli, Sultan
Langkat, yang mempunyai banyak pengaruh dalam masyarakat di Sumatera Utara;
juga simpatisan pemerintah Hindia Belanda silam, dalam usaha menegakkan
kembali pemerintah Hindia Belanda pasca Perang Dunia ke-II.
Pada tanggal 10 Oktober 1945, sebagian divisi ke-26 Sekutu
asal India kemudian mendarat di Belawan dan langsung menuju Medan. Mendengar
rencana sekutu masuk ke Sumatera Timur, van Mook juga tidak segan memohon pada
sekutu untuk menyertakan NICA berikut sedadu-serdadu KNIL, akan tetapi Jenderal
Christison di Batavia menolak, karena khawatir akan terulang kembali kerusuhan
yang timbul di pulau Jawa. Brigade Inggris ini konsekwen melaksanakan
butir-butir pertama perjanjian Sekutu dengan Kaisar Jepang, dan menolak tegas
keikutsertaan pasukan Belanda yang ingin mendarat di Sumatera Timur. Akan
tetapi dalam kenyataan oleh kurangnya personalia yang diperlukan untuk mengatur
wilayah yang luas itu di lapangan, sedikit demi sedikit bantuan NICA dan
kehadiran serdadu-serdadu Belanda diterima juga oleh sekutu, menyebabkan
pemerintah NICA lalu hadir Sumatera Timur dan serdadu-serdadu KNIL semakin
banyak jumlahnya khususnya di kota Medan dalam perjalanan waktu.
Zaman Kemerdekaan
Alam Demokrasi Parlementer
Kabinet Sukarno-Hatta
Dalam suasana
kosong kekuasaan di tanah-air antara: tanggal 18 Agustus 1945, saat bala
tentara Dai Nippon menyerah kepada Sekutu tak bersyarat di negerinya, hingga
tibanya pasukan Sekutu ke nusantara tanggal 15 September 1945,
menimbulkan keinginan anak negeri menolak kembalinya pemerintah Hindia Belanda
yang baru bernama NICA. Orang-orang muda pribumi merasa dapat bertanggung-jawab
atas tanah-airnya sendiri, kemudian mengorganisasi diri untuk membangun
kekuatan guna menolak kembalinya pemerintah Hinia Belanda usai perang Dunia
ke-II yang membonceng pasukan sekutu.
Anak-anak bangsa kemudian memproklamirkan Negara Republik
Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945 yang tidak diakui
kerajaan Belanda di Eropa, begiitu pula Sekutu. Propinsi Sumatera ketika itu
masih merupakan sebuah pulau dengan gugusan kepulauan berdampingan yang
mengitari, lalu dinyatakan sebagai kawasan terbarat NRI dengan ibukotanya
Medan. Untuk mewakili propinsi terbarat ini, lalu diangkat Mr. Teukoe Moehammad
Hasan sebagai Gubernur dengan wakilnya Dr. Amir. Dengan demikian kedaulatan NRI
atas pulau Sumatera dengan gugusan kepulauan berdampinga ditegakkan sudah. Pada
awal zaman kemerdekaan, propinsi Sumatera Utara yang dikenal sat ini masih
berupa dua keresidenan, yakni: Keresidenan Sumatera Timur dengan ibukotanya
Medan, dan Keresidenan Tapanuli dengan ibukotanya Sibolga. Pembagian ini masih
berasal dari peninggalan pemerintah Hindia Belanda silam.
Meski Gubernur NRI dan Wakilnya telah berada di Medan,
tetapi pengambilalihan kekuasaan dari Jepang masih berjalan lambat. Banyak
warga masyarakat saat itu yang belum mengetahui apa yang sesungguhnya
berlangsung di muka bumi oleh terbatasnya komunikasi, transportasi, surat
khabar, dan sumber informasi lainnya. Masih terlihat banyak keraguan dikalangan
berbagai golongan masyarakat tentang kemerdekaan, karena pasukan Jepang ketika
itu masih berkuasa secara defakto. Banyak khabar yang simpang siur beredar: di
satu fihak khabar dari para penyusup menginginkan kembalinya pemerintah Hindia
Belanda usai Perang Dunia ke-II, sedangkan difihak berseberangan kaum
pergerakan menginginkan kemerdekaan segera dikumandangkan, dan menentang
Belanda yang ingin kembali menjajah di tanah-air. Inisiatif merdeka lalu
terpulang pada keinginan rakyat banyak di wilayah-wilayah Sumatera Timur dan
Tapanuli yang digerakkan i para pemuda berbagai aliran termasuk unsur-unsur
masyarakat berpandangan kanan dan kiri.
Baru tanggal 17 September 1945, sebulan kemudian,
kemerdekaan NRI diproklamirkan kembali di Medan, dilaksanakan Panitia
Kebangsaan. Lalu pada tanggal 30 September 1945 dibentuk Barisan Pemuda
Indonesia (BPI), dan tanggal 2 Oktober 1945 dilaksanakan pawai besar di kota
Medan dengan mengibarkan beragam spanduk besar bertuliskan ”We are a Free
Nation”, “Down with Imperialism” dan lain sebagainya. Latihan-latihan militer
lalu dilaksanakan diprakarsai para pemuda, muncul beragam organisasi pasukan,
begitu pula lasykar partikelir, dan lainnya. Aktivitas ini lalu menyebar ke
segala penjuru Sumatera Timur dan melimpah ke Tapanuli yang terdapat di sebelah
Barat.
Setelah kemerdekaan, ayah bekerja menjadi pegawai menengah
tingkat II di Pematang Siantar, di ibukota tanah Simalungun, di Kantor
Pemerintah Republik Indonesia Propinsi Sumatera. Karena ayah ketika itu juga
menjabat salah seorang Ketua Daerah Al Djamiatul Washliah Pematang Siantar,
beliau juga ikut aktif terlibat medirikan “Lasykar Sabilillah” untuk menetang
agresi militer Belanda yang akan masuk ke tanah Simalungun.
Pengambilalihan kekuasaan dari Jepang oleh anak-anak bangsa
di Sumatera Utara setelah NRI diproklamirkan di Jakarta, dimulai tanggal 2
September 1945, berjalan lancar di berbagai tempat, dengan menurunkan Hino-Maru
(bendera Jepang) dan menaikkan Merah-Putih; akan tetapi di tempat lainnya, seperti
Tebing Tinggi (Deli), menuntut pengorbanan jiwa. Masih terdapat persekongkolan
antara pasukan Jepang yang ditaklukkan Sekutu dengan para penyusup Belanda kala
itu didalangi pasukan komando yang diterjunkan Belanda. Juga antara orang-orang
Belanda bekas internir yang sudah dibebaskan dengan serdadu-serdadu Jepang,
yang membantu berkampanye untuk menegakkan kembali pemerintah Hindia Belanda
baru di Sumatera Timur.
Mereka melakukan provokasi dimanamana dengan tembakan
keudara menggunakan senjata peninggalan Jepang, dan mengharapkan kedatangan
pasukan Sekutu yang akan menyertakan serdadu-serdadu Belanda. Para penyusup
Belanda ini merekrut anak-anak pribumi bekas ambtenar (pegawai), karyawan,
simpatisan, dari pemerintah Hindia Belanda silam, menjadikan orang-orang ini
berpihak kepada mereka, yang oleh kaum pergerakan dinamakan “kakitangan NICA”,
atau collaborator. Dan yang akhir ini menyebabkan pengambilalihan kekuasaan
dari Jepang di berbagai tempat berjalan tersendat, bahkan gagal samasekali.
Pada tanggal 3 September 1945 Komite Nasional Indonesia (KNI) terbentuk di
Medan. Sadar akan tidak jelasnya sikap sekutu pada NRI di Sumatera Timur ketika
itu, perlawanan anak-anak bangsa muncul di berbagai tempat terhadap pelaksanaan
serahterima kekuasaan dari Jepang. Banyak usaha partikelir dilakukan anak-anak
negeri untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan kembali di
Medan untuk mengatasi hambatan terhadap serahterima kekuasaan.
Orang-orang Belanda yang membonceng Sekutu berupaya
menegakkan kembali kedaulatan pemerintah Hindia Belanda yang baru, mendapat
perlawanan dari masyarakat di Sumatera Timur. Peristiwa jalan Bali
tanggal 13 Oktober 1945 di Medan menjadi pemicu benturan antara orang-orang
Belanda pendatang dengan anak-anak negeri ketika itu. Begitu para penyusup
asing dari Belanda yang melakukan provokasi lalu menembaki bendera Merah-Putih
yang berkibar di halaman asrama BPKI (Badan Pelaksana Kemerdekaan Indonesia) di
Pematang Siantar. Rakyat yang marah ketika itu lalu memburu para provokator ke
tempat persembunyian di Hotel Siantar dan membakarnya hingga terpaksa
menyerah.
Pada tanggal 23 September 1945 berdiri Barisan Indonesia
Muda di Medan yang bersemboyan “merdeka atau mati”. Untuk mempertahankan NRI
lahir organisasi TRI (Tentara Republik Indonesia); lalu organisasi lasykar,
seperti: Naga Terbang pimpinan Timur Pane, Harimau Liar dibawah Saragih Ras,
Halilintar pimpinan Slamet Ginting, Napindo PNI, Brigade Tapanuli,
Pesindo PSI (Pemuda Sosialis Indonesia), Mujahidin dari Masyumi, dan masih
banyak lainnya. Dengan diperkenankannya partai politik baru berdiri oleh Wakil
Presiden, maka selain PSI, PSII, Masyumi, PNI, timbul lagi partai-partai
politikbaru, baik dari sayap kanan maupun kiri di nusantara; semuanya berjuang
bahu membahu untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan kembali
di Medan.
Dengan kian besarnya jumlah serdadu-serdadu KNIL dan
personalia NICA di Sumatera Timur, Belanda semakin giat membuat prakarsa
memperluas wilayah kekuasaannya lewat serangan bersenjata terhadap
lasykar-lasykar perlawanan yang befihak kepada republik. Sejak bulan Mei 1946,
Belanda terus menggiatkan serangan terhadap pertahanan-pertahanan NRI,
khususnya yang terdapat di sekitar kota Medan. Selain oleh alasan di atas,
serangan Belanda ada kaitannya dengan tibanya serdadu-serdadu Belanda yang
didatangkan langsung dari negerinya di Eropa. Peningkatan jumlah serdadu
Belanda di Sumatera Timur ketika itu juga berhubungan dengan keinginan Negeri
Kincir Angin itu untuk menggantikan pasukan sekutu (Inggris-India) yang masa
tugasnya akan berakhir tanggal 22 Oktober 1946 di Sumatera Timur, untuk kembali
ke negerinya.
Adapun berbagai
bagian kota Medan yang telah diserang Belanda sejak tanggal 21 September hingga
Oktober 1946, ialah: Medan Barat, Medan Timur, dan Medan Selatan.
Serdadu-serdadu Belanda juga berhasil merebut bagian kota lainnya berikut
sejumlah bangunannya. Tekanan pasukan Belanda mencapai puncaknya pada
bulan yang sama, ketika serdadu-serdadu Belanda berusaha merebut seluruh
bangunan penting yang terdapat di kota besar tanah Deli itu. Oleh banyaknya
insiden bersenjata yang muncul antara Belanda dan NRI di lapangan, dan saling
tuduh diantara mereka tentang siapa yang terbanyak menggunakan
serdadu-serdadu Jepang yang ditawanan setiap fihak, maka Perdana Menteri
Syahrir yang ketika itu memimpin Kabinet di Jakarta, mengusulkan
dilaksanakannya gencatan senjata (truce). Usul lalu diterima kedua fihak,
dan gencatan senjata yang ditengahi Lord Killearn dari Inggris kemudian
diberlakukan pada tanggal 14 Oktober 1946.
Pada tanggal 29 Oktober 1946, Belanda melakukan pembersihan
di kota Medan dan menangkap yang dicurigai, membakar rumah-rumah penduduk yang
dituduh menjadi sarang gerilyawan. Pos-pos penjagaan polisi digeledah, para
pegawai yang dicurigai ditahan, orang-orang yang mengenakan lencana
"merah-putih" dipaksa menelannya. Antara tanggal 1 hingga 5 Nopember
1946, berlangsung perundingan antara: Gubernur Sumatera Mr. Teukoe Moehammad
Hasan dengan Jenderal Hadly dengan wakil pasukan Sekutu yang berkedudukan di
Medan. Mereka membahas pelaksanaan gencatan senjata di Sumatera Timur yang
telah disepakati kedua belah fihak di Jakarta sebelumnya. Turut hadir dalam
perundingan: Dr.A.K.Gani, yang bertindak sebagai wakil Menteri Pertahanan NRI
dan para pembesar Belanda lainnya.
Memasuki pertengahan bulan Nopember, bertepatan dengan akan
berakhirnya masa tugas pasukan sekutu asal India meninggalkan wilayah Sumatera
Timur kembali ke negaranya, juga bertepatan dengan akan dilaksanakannya
serahterima pemerintahan oleh sekutu di Sumatra Timur, direncanakan berlangsung
di Medan tanggal 18 Nopember 1946, van Mook di Batavia rupanya telah menyiapkan
dua orang personalia yang akan berangkat ke Medan, masing-masing: Indenberg dan
Verbeck untuk mewakili Pemerintah Sipil NICA, sedangkan untuk militer di
Sumatera Timur dipercayakannya pada Jenderal Mayor Scholten. Yang disebut akhir
ini telah pula menyiapkan Brigade Z dengan 6000 orang serdadu-serdadu
untuk menduduki wilayah yang ditinggalkan sekutu.
Meski tidak jelas sikap yang ditunjukkan pemerintah NRI di
Jakarta terhadap serah terima kekuasaan yang akan dilakukan sekutu di Medan
ketika itu, akan tetapi Gubernur Mr. Teuku Muhammad Hasan dengan tegas menolak
rencana Belanda. Ia berusaha agar pemerintah NRI propinsi Sumatera ikut serta
begitu pula TRI yang berada di Sumatera Timur; akan tetapi Belanda menolaknya,
dan balik mengatakan agar TRI menghentikan semua perlawanan dan mengakui
pendudukan dilakukan serdadu-serdadu Belanda. Merasa diabaikan sekutu dan
Belanda, pemerintah NRI propinsi Sumatera di Medan lalu mengerahkan TRI dan
para lasykar melakukan serangan umum ke berbagai kedudukan serdadu Belanda di
Medan, dan berhasil merebut berbagai posisi strategis dalam berbagai kampung
ibukota tanah Deli itu dan bertahan habishabisan.
Akan tetapi malang bagi anak-anak negeri saat itu, karena
sejak dari Kabinet Sukarno pertama NRI Jakarta menerapkan taktik
“bertempur sambil berdiplomasi”. Bertitik tolak dipliomasi, NRI di Jakarta
rupanya telah menerima sebuah syarat Belanda untuk berunding, lalu mengutus Mr.
Amir Sjarifudin Harahap dan KSU (Kepala Staf Umum) Jenderal Urip Sumoharjo
berangkat ke Medan. Belanda rupanya telah bersepakat dengan NRI di Jakarta,
membuat pemerintah NRI propinsi Sumatera di Medan pimpinan Mr. Teukoe Moehammad
Hasan terpaksa mengosongkan TRI dan para lasykar dari kantong-kantong
pertahanan strategis yang baru saja mereka menangkan di Medan berikut
sekitarnya tanpa perlu meletuskan sebutir peluru.
TRI dan para lasykar Sumatera Timur amat kecewa pada keputusan
yang diambil pemerintah NRI di Jakarta, namun harus dipatuhi meski kesal.
Wilayah kota Medan yang diperoleh Belanda dari kesepakatan dengan NRI di
Jakarta ketika itu lalu dikenal dengan istilah: “Medan Area”, dan perbatasan
yang mengitarinya dinamakan: “garis van Mook”. Pengosongan kantong-kantong
strategis kota Medan dari TRI dan para lasykar, mengharuskan Gubernur Mr. Teuku
Muhammad Hasan selaku gubernur pemerintah NRI propinsi Sumatera melaksanakan
keputusan DPRD Propinsi Sumatera di Bukit Tinggi tanggal 17 hingga 19 April
1946, memindahkan ibukota propinsi itu dari Medan ke Pematang Siantar,
menjadikan kota besar Tanah Simalungun itu menjadi ibukota Propinsi
Sumatera yang baru, dan memindahkan pula ibukota Keresidenan Sumatera Timur ke
Tebing Tinggi (Deli).
Tidak lama setelah kepindahan ibukota Propinsi Sumatera ke
Pematang Siantar, Menteri Pertahanan NRI yang saat itu dijabat Mr. Amir
Sjarifuddin Harahap, berkujung ke ibukota tanah Simalungun dari ibukota NRI di
Bukit Tinggi untuk mengobati kekecewaan masyarakat Sumatera Timur karena
kehilangan kota Medan. Di depan kantor walikota Pematang Siantar, ia
menyampaikan pidato berapiapi dihadapan rapat raksasa yang dibanjiri ratusan
ribu warga kota dan rakyat Simalungun yang datang berduyunduyun menyaksikan. Di
kota perbatasan itu ia membakar semangat patriotik bangsanya menentang segala
upaya Belanda untuk kembali menegakkan pemerintah Hindia Belanda yang baru di
wlayah itu.
Khabar kekalahan Jepang pada sekutu diterima masyarakat
dengan tenang di Tapanuli. Banyak yang menyangka terlebih lagi kaum terpelajar
dan pegawai ketika itu, Belanda akan menguasai kembali bekas tanah Hindia
Belanda; karena untuk “merdeka” dari penjajahan Belanda tampaknya belum masuk
akal untuk kebanyakan rakyat ketika itu. Sebahagian besar orang di Tapanuli
masih belum peduli dengan apa yang terjadi, karena kebanyakan masih menaruh
perhatian pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang masih sulit didapat, apatah
lagi melibatkan diri pada kegiatan politik. Dengan ditaklukannya Jepang,
kehidupan masyarakat terasa lapang dan bebas. Ini terbukti dengan
turunnya harga beras, bahan sandang mulai tampak diperdagangkan orang di pasar
yang dapat dibeli dengan ORI (Oeang Republik Indonesia).
Bertekuk lututnya Jepang kepada sekutu diketahui orang
secara resmi di Tapanuli pada tanggal 22 September 1945. Padahal kemerdekaan
NRI telah diproklamasikan di Jakarta lebih dari satu bulan lalu.
Serdadu-serdadu Jepang masih ingin menyembunyikan kekalahannya agar masyarakat
di Tapanuli tidak tahu perkembangan dunia dengan masih menyimpan radio
milik rakyat yang disita silam, dan tidak pula segera mengembalikannya kepada
para pemiliknya setelah kalah perang. Dengan tibanya khabar kemerdekaan yang
menerobos ke Tapnuli dibawa orang berjalan kaki dari Medan, para pemmuda dan
kaum intelektual di Tapanuli lalu bergerak. Di Tarutung, ibukota pemerintah
Jepang saat itu, Dr. Ferdinand Lumban Tobing dan rekannya membentuk BKR (Badan
Keamanan Rakyat). Tugas pokok badan ini untuk menjaga keamanan masyarakat,
melindungi rakyat dari perbuatan sewenang-wenang serdadu-serdadu Jepang yang
masih bersenjata.
Pemikiran politik kemudian bersemi dan tampil ke permukaan
dari kalangan intelektual sejak lahirnya gerakan pemuda di Tapanuli. Beragam fikiran kemudian mengemuka, dari yang
hanya menuntut janji kemerdekaan kepada Jepang hingga yang radikal dan menuntut
dilaksanakan revolusi. Para Raja di tanah Batak juga tidak lupa
mengharapkan kembalinya peran mereka dalam masyarakat sebagai penguasa luhat
dan huta yang diatur adat Batak berjalan turun temuruam hingga timbulnya perang
dunia ke-II. Apapun corak pemikiran yang tampil dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat di Tapanuli saat itu, kerukunan hidup dalam masyarakat masih
banyak dikendalikan oleh kekerabatan Dalihan Na Tolu (Tungku Yang Tiga) yang
masih terpelihara dalam masyarakat Batak.
Meski sudah ditaklukkan di negerinya oleh sekutu, akan
tetapi di Tarutung serdadu-serdadu Jepang masih berkuasa secara defakto,
kendati tinggal empat ratus orang jumlahnya lengkap dengan persenjataan berdiam
di Rumah Sakit ibukota Tapanuli itu. Masyarakat di Tarutung telah berani secara
sendiri mengibarkan bendera Merah-Putih di depan rumah, begitu pula di gedung
pertemuan dan sejumlah tempat lainnya. Penguasa sementara Jepang masih melarang
rakyat melakukan kegiatan politik ketika itu, meski pasukan gabungan sekutu
(Inggris-India) berbasis di Medan telah dengan teratur melakukan patroli
melalui jalan-raya antara Medan dan Padang melewati Tarutung. Pasukan sekutu
yang belum lama tiba ini tidak pula ingin terlibat dan mencampuri urusan
anak-anak negeri dan pemerintah peralihan sipil Jepang yang masih berkuasa
ketika itu.
Setelah kejadian di Hotel Siantar, pada suatu ketika ada
lagi seorang kulit putih yang berdiam di Tarutung yang dicurigai sebagai
anggota NICA. Setelah tempat tinggalnya digeledah, ditemukan bendera Belanda
akan tetapi identitasnya menunjukkan warganegara Switzerland. Tak lama
kemudian, pada saat yang lain, ada serombongan serdadu NICA berseragam sekutu
yang melintas di tengah kota Tarutung. Awalnya tidak terdapat kecurigaan yang
tampak pada mereka, akan tetapi setelah tiba di jalan utama kota, lalu
mengibarkan bendera Belanda. Tak ayal lagi rakyat yang menyaksikan marah, dan
menyerbu rombongan serdadu Belanda merampas sang MerahPutihBiru, dan
merobek-robek lalu menginjak-injak sitigawarna. Tidak seorang pun dari anggota
NICA itu yang berani menunjukkan keberanian membela lambang negaranya di
ibukota tanah Batak itu.
Arus informasi mengalir menuju Tapanuli dari segala penjuru
tanah-air membuat kaum pergerakan: pemuda, pemuka masyarakat, dan kaum
terpelajar di Tarutung menuntut janji kemerdekaan pada Jepang, menyebabkan
ibukota Tapanuli versi Jepang itu segera bergolak. Masyarakat di ibukota
Tapanuli itu ingin lebih tegas lagi menuntut kemerdekaan pada Jepang. Saat yang
baik awalnya direncanakan berlangsung tanggal 8 September 1945, menjelang “Hari
Raya Idulfitri 1365 H”, setelah pemimpin pergerakan pada hari-hari sebelumnya
meminta rakyat mengibarkan bendera Merah-Putih disetiap rumah. Akan tetapi
karena seruan masih ditanggapi tidak merata ketika itu, maka baru pada tanggal
14 September 1945 ratusan pemuda dari segenap pelosok Tapanuli dapat digerakkan
untuk berdemonstrasi di Tarutung.
Dalam luapan emosi massa ketika itu, para demonstran yang menuntut
“merdeka” lalu bergerak menuju kantor Cokan (Residen Tapanuli versi Jepang),
dan memnta Jepang segera menyerahkan kekuasaan. Sanyo, seorang putra pribumi
yang ditunjuk Jepang menjadi pejabat di kantor itu, langsung aktif ambil bagian
dan melaksanakan serah terima kekuasaan dari Jepang ke pemerintah NRI dengan
damai. Maka pada tanggal 3 Oktober 1945, turun surat keputusan pemerintah NRI
di Jakarta mengangkat Dr. Ferdinand Lumban Tobing menjadi Residen NRI pertama
di Tapanuli dengan wakilnya Abdul Hakim Harahap. Dengan demikian Keresidenan
Tapanuli secara resmi menjadi bagian dari NRI, dengan ibukotanya
Tarutung.
Pada tanggal 4 Oktober 1945 dibentuk KNI (Komite Nasional
Indonesia) di Tarutung setelah terlebih dahulu BKR setempat dibubarkan. Adapun
susunan anggota KNI Tarutung mulai ketua hingga anggota, ialah sebagai berikut:
Ketua M. Jakub Siregar, gelar Sutan Naga; dan anggotanya: Sutan Kumala Pontas,
G. Silitonga, Rufinus L. Tobing, M. Simatupang, A. Lubis, M. Siregar, Sutan
Sumurung, Raja Junjungan, R. M. Sojuangon, Hasan Basyarudin Nasution, dan F.
Nasution. Kemudian rapat pleno KNI Tapanuli dilangsungkan pada penghujung tahun
1945.
Pada tanggal 17 Oktober 1945, kemerdekaan NRI
diproklamirkan kembali di Tapanuli, berlangsung di tanah lapang kota Tarutung,
dibanjiri tidak kurang dari 15.000 orang dari segala penjuru Tapanuli saat itu.
Pada ketika itu dibacakan juga ikrar Rakyat Tapanuli yang mengatakan setia
kepada Presiden dan Negara Republik Indonesia. Pemerintah NRI lalu dibentuk di
Tapanuli, dan para anggotanya dipilih dari kalangan muda pergerakan, baik Badan
Eksekutif maupun Badan Legislatif dengan otonomi penuh yang diterima semua
fihak ketika itu.
Pada tanggal 7 Januari 1946 berlangsung rapat Badan
Eksekutif pemerintah NRI Tapanuli yang pertama di Tarutung, sekaligus
memperkenalkan para pemimpin wilayah itu. Dalam rapat kedua berlangsung di
Sipoholon tanggal 16 Januari 1946, diatur kembali hubungan kerja badan
Eksekutif dengan badan Legislatif pemerintah NRI di Tapanuli. Lalu pada
tanggal 28 Januari 1946 oleh Badan Legislatif ditata kembali aturan baru yang
berhubungan dengan Dewan Negeri, sehingga semua ketentuan yang diberlakukan
sebelumnya menjadi diperbaharui. Lalu pada tanggal 15 Mei 1946 ibukota
Keresidenan Tapanuli NRI dengan resmi dipindahkan dari Tarutung kembali ke
Sibolga, bekas ibukota Keresidenan Tapanuli di zaman Hindia Belanda silam.
Tidak ada yang mengira bahwa perjalanan sejarah dunia akan
kembali bergani haluan, mulai Eropa di belahan bumi Barat hingga Asia di
belahan bumi Timur, tetapi kini dalam arah yang sebaliknya. Belum banyak warga
masyarakat di Tapanuli yang mengetahui apa yang sesungguknya yang terjadi di
muka bumi ketika itu, oleh miskinnya berita dan terbatasnya sarana perhubungan.
Kebanyakan berita yang masuk ke Tapanuli saat itu dibawa orang yang bepergian,
baik yang disampaikan lisan begitu juga lewat surat. Keadaan diperburuk oleh
pengetahuan masyarakat tentang dunia yang masih rendah belum memadainya
pendidikan masyarakat ketika itu secara pukul rata.
Belum banyak dalam persen jumlah penduduk di Tapanuli yang
berhasil mendapat pelajaran di bangaku sekolah; lalu yang bersekolah kebanyakan
masih keluaran Sekolah Gouvernement, seperti: Volks School 3 tahun, yang
dilanjutkan Vervog School 2
tahun bahasa Melajoe tulis Latin. Meski telah terdapat sekolah lainnya seperti
madrasah, akan tetapi yang akhir ini lebih memusatkan perhatian kepada
pengajaran Agama Islam ketimbang mengajarkan pengetahuan umum kepada anak-anak
didiknya. Dengan latar belakang pengetahuan demikian dapat dimengerti
sebahagian besar warga masyarakat di Tapanuli ketika itu belum mampu mengikuti
perkembangan dunia melalui berita.
Lebih sedikit lagi jumlah mereka yang belajar
disekolah-sekolah: HIS, MULO, AMS, dan lain diatasnya di Tapanuli yang berbahasa
Belanda, dan yang menyelesaikannya. Kebanyakan dari mereka memilih berdiam di
perkotaan ketika itu. Itulah sebabnya mengapa perkembangan dunia luput dari
pemantauan orang banyak di Tapanuli Selatan termasuk Padang Sidempuan. Selain
dari itu, pesawat radio milik masyarakat pun masih ditangan Jepang, sehingga
perkembangan keadaan tidak langsung tampak dikethui orang banyak saat itu.
Meski tidak banyak diketahui orang di Tapanuli saat itu,
Perang Dunia ke-II telah berganti haluan. Nazi Jerman pimpinan Adolf Hitler
yang perkasa di Eropa silam telah ditaklukkan sekutu pimpinan Amerika Serikat,
kemudian Fascist Jepang pimpinan Jenderal Tojo di Asia telah pula bertekuk
lutut kepada sekutu dengan dijatuhkannya dua bom atom, masing-masing di
Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat.
Lalu tersiar khabar di Tapanuli, Belanda akan kembali ke
Sumatera Timur untuk memulai pemerintahan Hindia Belanda yang baru, dan
serdadu-serdadunya pun telah tiba di Medan, dan akan menuju tanah Simalungun
untuk masuk ke Tapanuli. Masih banyak orang di Tapanuli yang mengira pemerintah
pendudukan Jepang yang menjalankan mandat Sekutu masih berkuasa di Tarutung.
Dikhabarkan lagi pemerintah peralihan Jepang tengah menanti timbang terima pada
sekutu yang akan segera dilaksanakan meski tanggalnya belum lagi
ditentukan.
Khabar serdadu-serdadu Belanda yang tiba di Sumatera Timur,
akhirnya diketahui orang juga di Padang Sidempuan di Angkola. Kaum pergerakan
dimotori para pemuda Sumatera Timur dan Tapanuli yang tidak suka melihat
kembalinya pemerintah Hindia Belanda yang membonceng sekutu, lalu membangun
kekuatan untuk melakukan perlawanan. Muncul barisan pemuda pembela NRI berbagai
bentuk dimana-mana di Sumatera Timur lalu menerobos masuk ke Tapanuli. Suhu
politik di kedua wilayah itu pun kemudian menngkat mencapai puncak yang
menimbulkan pecahnya perang.
Belanda melakukan agresi militer pertama tanggal 21 Juli
1947, yang dinamakannya “politionele actie”, yang artinya pemulihan
keamanan. Diawali melanggar kesepakatan gencatan senjata “Medan Area” tanggal
14 Oktober 1946, dan Perjanjian Linggarjati tanggal 25 Maret 1947, Belanda
melakukan agresi militer di propinsi Sumatera, tepatnya di Keresidenan Sumatera
Timur, diperintahkan van Mook dari tempatnya di Batavia. Tujuannya, untuk
merebut kembali berbagai wilayah di Sumatera Timur dan Tapanuli yang dinilai
secara ekonomi dan politik penting ketika itu, antara lain: beragam perkebunan
yang terpaksa ditinggalkan Belanda saat serdadu-serdadu Jepang menyerbu di awal
Perang Dunia ke-II.
Belanda memulai serangan dengan menerobos garis van Mook
yang mengitari Medan Area, dilaksanakan Brigade Z pimpinan Jenderal Mayor
Scholten. Belanda rupanya ingin menerapkan theori perang kilat Heinz Guderian
dari Jerman yang berhasil meluluhlantakkan Polandia di daratan Eropa. Belanda
mengerahkan empat batalyon infantri kendaraan lapisbaja dibantu pesawat terbang
dari udara. Agresi militer Belanda ini akan dirhadapi Divisi X NRI pimpinan
Kolonel Husin Yusuf yang bermarkas di Bahjambi, tidak jauh dari Pematang
Siantar.
Pasukan-pasukan republik berada di empat sektor kuat ketika
itu, masing-masing: Medan Utara berpusat di Binjai, Medan Timur berpusat di
Batang Kuwis, Medan Selatan berpusat di Tanjung Morawa, dan Medan Barat
berpusat di Deli Tua. Pada setiap sektor pasukan-pasukan NRI merupakan gabungan
dari beragam organisasi perjuangan dan partai politik, antara lain: Napindo
dari PNI, Pesiperindo dari Pemuda Sosialis Indonesia, Mujahidin Masyumi dari
Aceh. Selain dari itu ada lagi organisasi-organisasi: Marechaussee dari
kepolisian, Tentara Republik Indonesia (TRI) asal pelajar disingkat TRIP (TRI
Pelajar), Brigade Tapanuli, dan aneka lasykar rakyat lain; semuanya ditaksir
berkekuatan tidak kurang dari 20.000 orang bersenjata ketika itu.
Tepat jam 05.30 pagi, Belanda memulai agresi melakukan
serangan udara tiba-tiba ke garis pertahanan sektor Medan Utara, menembaki kota
Binjai dan markas Resimen I dengan senapan mesin serta menjatuhkan bom.
Serangan datang bertubi-tubi sehingga berhasil mematahkan perlawanan sektor
terkuat dari seluruh yang dipersenjatai ketika itu. Setelah melumpuhkan Medan
Utara, Scholten memutar haluan ke Selatan, lalu Timur, dan berbalik lagi ke
sektor Utara dan menghantam pertahanan Republik sektor Medan Barat dari
belakang, setelah sebelumnya menghujani sektor-sektor itu dari udara dan
menjatuhkan bom berikut sektor Medan Timur. Melihat kedatangan serdadu-serdadu
Belanda dari belakang yang tidak disangka-sangka, pertahanan sektor ini pun
porak-poranda, dan pasukan NRI yang mempertahankan terdiri dari berbagai
organisasi kebanyakan partikelir, belum terlatih, dan tidak mempunyai strategi
perang dan doktrin, menjadi kucar-kacir lari tunggang langgang lari
menyelamatkan diri masing-masing.
Hubungan dengan markas tentara Republik di Bahjambi rupanya
telah lebih diputus Belanda, sehingga anggota pasukan yang berada di lapangan
tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat. Ketika itu komandan Divisi X sedang
bepergian ke Aceh, dan disana pun ia tidak tahu apa yang terjadi di daerah
tanggung-jawabnya. Serdadu-serdadu lalu dengan cepat menduduki Binjai, Deli
Tua, Pancur Batu, Tembung, dan Tanjung Morawa termasuk berbagai tempat yang
mengitari. Serangan infantri Belanda dengan tembakan dari udara ke berbagai
markas TRI di seputar Medan, dan pemboman ke berbagai tempat yang dianggap
penting oleh Belanda, menimbulkan korban dan penderitaan masyarakat di Sumatera
Timur ketika itu.
Pada bulan Agustus 1947, serdadu-serdadu Belanda yang
bergerak cepat lalu tiba di Berastagi dan Kabanjahe, lalu memperagakan keganasan
dengan membakar rumah-rumah penduduk dan membunuh orang dengan semena-mena.
Lasykar republik yang dikirim kesana untuk melindungi rakyat tanggal 19 Agustus
1947 hanya mampu bertahan beberapa jam, kemudian terpukul mundur oleh
persenjataan yang tidak seimbang. Kekejaman lalu dipertontonkan serdadu-serdadu
Belanda dihadapan umum untuk menakuti rakyat menagih patuh, antara lain:
menggilas orang dengan tank, mencungkil mata orang dicurigai, memenggal kapala
dan paha yang melawan, dan membakar orang dengan siraman bensin. Pada tanggal
21 Agustus dengan dua pesawat Mustang Belanda sekonyong-konyong menyerang
Prapat dan Lumbanjulu dari udara yang menimbulkan korban jiwa. Keesokan harinya
Belanda melanjutkan serbuan udara ke Aek Nauli untuk membantu pasukan yang tengah
menghadang lasykar republik.
Meski perlawanan terhadap Belanda oleh NRI hari-hari
berikutnya dikhabarkan menunjukkan kemajuan dengan keberhasilan membuat
kantong-kantong pertahanan di berbagai kampung kota Medan sebagaimana laporan
yang masuk, akan tetapi Wakil Presiden memutuskan untuk meninjau kembali
pertahanan Divisi X yang telah terpukul berat, dan melakukan langkah
reorganisasi; terlebih dengan timbulnya pertikaian diantara para
pemanggul senjata yang menimbulkan peristiwa berdarah. Penyusunan kembali
lasykar-lasykar NRI di garis belakang amat diperlukan untuk bertahan, khususnya
menghadapi serangan serdadu-serdadu Belanda yang segera akan datang.
Agresi militer Belanda yang pertama di Sumatera Timur
menimbulkan gelombang arus pengungsian penduduk dari daerah-daerah konflik yang
menuju Tapanuli, karena ingin mencari perlindungan republik. Selain para
pengungsi yang bergerak kacaubalau umumnya berasal dari masyarakat sipil yang
ingin menyelamatkan diri, terdapat juga sejumlah lasykar yang terpukul mundur,
antara lain yang dipimpin Mayor Bejo dan Mayor Malao. Hingga tanggal 20
September 1947, jumlah pengungsi dari Sumatera Timur telah melampaui angka
150.000 orang. Mereka adalah para warga simpatisan republik yang tidak sudi
lagi berdiam di daerah-daerah pendudukan Belanda, berbondong-bondong
meninggalkan: Binjei, Tanjung Pura, Pancur Batu, Tanjung Morawa, Lubuk Pakam,
Rampah, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Kabanjahe, mengungsi menyelamatkan
diri ke wilayah republik mencari perlindungan.
Belanda lalu mengembangkan pula “perang urat syaraf” dengan
menyebarkan pamflet dalam agresi militernya termasuk tembakan-tembakan
provokasi di berbagai tempat. Keesokan harinya pesawat tempur Belanda menyerang
Tebing Tinggi (Deli), dan daerah sekitar Pematang Siantar, Tanjung Berangin,
dan sejumlah sasaran strategis lain disekitar. Awalnya orang-orang diwilayah
republik mengira bahwa Belanda akan segera masuk ke Pematang Siantar,
menyebabkan pemerintah NRI di ibukota Simalungun, masyarakat sipil, tentara, lasykar,
dan rakyat yang baru tiba mengungsi dari Sumatera Timur, kembali bersiap untuk
mengungsi lagi. Begitu juga pemerintah propinsi Sumatera dan pemerintah
keresidenan Sumatera Timur di Pematang Siantar dan masyarakat sipil, semuanya
bersiap kembali meninggalkan kota itu. Ayah ketika itu bekerja sebagai pegawai
pemerintah propinsi Sumatera Pematang Siantar lalu ikut meninggalkan kota besar
itu. Mereka semuanya berbondong-bondong meninggalkan ibukota Simalungun
mengungsi ke Tapanuli, padahal Wakil Presiden Dr. Mohammad Hatta baru
saja tiba dari ibukota NRI Bukit Tinggi pada tanggal 22 Juli 1947 untuk
menyaksikan medan perang dari garis depan.
Perjalanan menuju wilayah republik untuk mereka yang
berasal dari dari: Binjei, Stabat, Tanjung Pura, dan Pangkalan Berandan harus
ditepuh lewat semak belukar dan hutan lebat untuk tiba di Aceh, sdangkan mereka
yang berasal dari: Tanjung Morawa, Lubuk Pakam, Rampah, Tebing Tinggi dan
Pematang Siantar harus bersusah payah mendaki pegunungan tanah Karo untuk
sampai di Tapanuli. Perjalanan yang dilakukan para pengungsi amat berat dan
menyakitkan, karena penuh penderitaan dan duka, khususnya anak-anak dan
orang-orang tua. Rintangan dihadapi selain perjalanan jauh yang melelahkan,
juga terik matahari disiang hari dan dingin malam setelah kelam; lebih dari itu
tidak tahu dimana akan menginap, tidak ada makanan dan minuman berhari-hari
berjalan kaki. Yang juga muncul dan tidak diharapkan para pengungsi ketika itu
munculnya kejahatan dalam perjalanan. Ada para pengungsi ditahan dan hartanya
dirampas, ada perempuan dalam pengungsian yang diperkosa dan yang melawan
dibunuh.
Kejadian dikhabarkan berlangsung di Langkat Hulu, di
pegunungan tanah Karo, di perbatasan Simalungun dan Toba, tepatnya di
perbatasan Sumatera Timur dengan Tapanuli; muncl masih saat awal agresi militer
Belanda. Masih belum jelas diketahui siapa yang sampai hati melakukan perbuatan
tidak berprikemanusiaan kepada para pengungsi yang telah letih dan lemah itu.
Pemuda-pemuda pengawal kampung di tanah Karo dan tanah Simalungun tidak kuasa
menahan gelombang arus pengungsian yang banyak jumlahnya melintasi tempat
mereka di pegunungan, lalu terheran-heran menyaksikan begitu banyak tentara dan
lasykar yang ikut mundur, padahal Pematang Siantar masih belum lagi jatuh ke
tangan Belanda. Para perwira yang mundur terlihat melepaskan tanda pangkat dari
bahu masing-masing agar tidak dikenali.
Kecurigaan timbul, ketika pemuda-pemuda pengawal kampung
yang kecewa menyaksikan kelakuan tentara dan lasykar ketika itu, lalu berhasil
menggeledah sejumlah yang dicurigai. Para pegawal menemukan barang-barang emas
dan permata berada ditangan sekelompok perwira. Kejadian itu menggemparkan
orang-orang di tanah Karo dan Simalungun. Khabar perbuatan tercela itu pun lalu
tersebar kemana-mana, dan para pemuda setempat kemudian mengambil langkah tegas
tanggal 5 Agustus 1947 untuk membasmi segala bentuk kejahatan kemanusiaan
mendera para pengungsi yang telah menderita dalam perjalanan panjang, dan
memberi penerangan agar selalu waspada di perjalanan.
Di perbatasan Sumatera Timur dan Tapanuli lasykar-lasykar
NRI, tidak terkecuali tentara dan marechaussee semakin terdesak mundur oleh
kemajuan serdadu-serdadu Belanda di berbagai front, lalu berikai diantara
sesama pemanggul senjata memperebutkan daerah operasi yang terus menyusut.
Mereka juga saling salah menyalahkan dalam berbagai hal, lalu mengancam siapa
yang berani mundur; bahkan tidak jarang berperang diantara sesama
mempertontonkan kehebatan pasukan masing-masing. Perbuatan itu jelas merugikan
perjuangan anak-anak bangsa melawan Belanda ketika itu, dan menambah
penderitaan rakyat di daerah- daerah pengungsian.
Untuk mengatasi persoalan ini, dengan keputusan yang dibuat
tanggal 23 September 1947, Wakil Presiden RI mengangkat Jenderal Mayor Tituler
Dr. Ginda Siregar menjadi Gubernur Militer Tapanuli dan Sumatera Timur,
meliputi: kabupaten-kabupaten: Deli Serdang, Simalungun, Asahan dan Labuhan
Batu Bagian Selatan, dan Tapanuli. Ia harus menanggalkan jabatan sebelumnya
yakni Wakil Ketua KNI Sumatera. Dengan bantuan 7 orang staf, ia kemudian
ditugaskan menekuni pembelaan dan pertahanan negara dengan membe-reskan segala
macam pertikaian yang terdapat dikalangan para lasykar dan tentara, untuk
mendirikan TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang professional.
Setelah sejumlah persoalan lapangan dapat diselesaikan,
pertahanan NRI menghadapi serangan agresi militer Belanda di Tapanuli
selanjutnya dibebankan pada 4 (empat) kesatuan, masing-masing:
1. TNI Brigade XI (bekas TRI
Tapanuli), pimpinan Kolonel P. Sitompul.
2. TNI Brigade XII (bekas TRI
Sumatera Timur, termasuk Brigade B dibawah Mayor Bejo),
pimpinan Letnan Kolonel Ricardo Siahaan.
3. TNI Brigade A (bekas lasykar
Harimau Liar), pimpinan Kolonel Saragih Ras.
4. TNI Legium Penggempur (bekas
lasykar Marechaussee Lama dan Baru), pimpinan Kolonel
Timur Pane.
Sejalan dengan keputusan Gubernur Militer, satuan-satuan 3
dan 4 harus dimasukkan kedalam satuan 2 pimpinan Letnan Kolonel Richardo
Siahaan, agar terkoordinasi di lapangan, akan tetapi hal itu masih tinggal di
atas kertas, menyebabkan Brigade A (Saragih Ras), Brigade B (Mayor Bejo), dan
Legium Penggempur (Timur Pane), masih bertindak sendiri-sendiri dan mengambil
keputusan berdasar keinginan komandan masing-masing. Selain dari itu, daeah
operasi tiap satuan masih belum ditentukan meski pusat komando yang berhubungan
langsung dengan Jenderal Suharjo (Komandemen Sumatera di Bukit Tinggi) telah
dipindahkan ke Gubernur Militer Tapanuli/Sumatera Timur Bagian Selatan
berkedudukan di beberapa kota di Tapanuli. Akan tetapi ketika itu masih ada
sebagian kecil anggota pasukan: Brigade B pimpinan Mayor Bejo, Legium
Penggempur dibawah Rajin dan Malao, dan Brigade A, yang terus berkegiatan di
Sumatera Timur yang senantiasa bertikai diantara mereka.
Tanggal 26 Juli 1947 Barisan Harimau Liar lalu dibubarkan,
dan dijadikan Brigade A Divisi X TNI pimpinan Mayor Selamat Ginting. Sedangkan
Legium Pengempur dan lainnya menjadi bagian dari Brigade B Divisi X TNI
pimpinan Mayor Bejo. Daerah operasi kedua pasukan ini lalu ditetapkan sebagai
berikut: Brigade A di sebelah kiri rel jalan kereta api yang menghubungkan
Pematang Siantar dengan Pangkalan Berandan, sementara Brigade B di sebelah
kanan rel jalan kereta api tersebut.
Setelah mengevaluasi keadaan di lapangan, tanggal 28 Juli
1946 Belanda mendaratkan serdadu-serdadu baru dari tujuh kapal perangnya di
pantai cermin. Pasukan yang baru diturunkan ini langsung menyerang ke
Parbaungan. Dengan didukung dua pesawat tempur dari udara, mereka melanjutkan
serangan Tebing Tinggi (Deli) dan mendudukinya sekali. Pasukan ini kemudia
menuju ke Pematang Siantar dan menduduki ibukota tanah Simalungun itu tanggal
29 Juli 1947. Serdadu-serdadu Belanda yang terlatih, bersenjata moderen,
berdoktrin perang, dan didukung pesawat tempur dari udara, memang bukan
tandingan para pemuda yang membentuk TNI dan lasykar dipersenjatai sekadarnya
ketika itu. Serdadu-serdadu Belanda dengan mudah mematahkan perlawanan yang
diberikan pasukan NRI di beragam front pertahanan republik di Sumatera Timur ketika
itu.
Sehari sebelum jatuhnya kota Pematang Siantar, ketikat
tank-tank sedadu Belanda bergerak menuju kesana, Wakil Presiden Dr.
Mohammad Hatta dan Gubernur Propinsi Sumatera Mr. Teuku Muhammad Hasan dan
keluarga serta para stafnya telah lebih dahulu meninggalkan ibukota Simalungun
itu. Mereka berangkat dengan mobil Chrysler putih menuju ibukota R.I. Bukit
Tinggi melalui Tapanuli.
Dengan keputusan yang dibuat
Wakil Presiden R.I., pertahanan NRI di Sumatera Timur dan Tapanuli kemudian
dibagi kedalam dua sektor, atau sub-territorial, masing-masing:
Sektor I, atau Sub-Territorial
VII, dipimpin Mayor Bejo, mencakup Tapanuli Selatan dan Sumatera Timur bagian
Selatan.
Sektor II, atau Sub-Territorial
VII, dipimpinan Mayor Malau, meliputi Tapanuli Utara dan Sumatera Timur bagian
Tengah.
Adapun Brigade A yang menduduki kota Padang Sidempuan
ketika itu, dalam organisasi yang baru, berada dibawah Mayor Bejo dari
Sektor I. Kemudian Brigade A oleh Mayor Bejo dipecah menjadi dua batalion,
yakni: Batalyon V pimpinan Kapten Mena Pinem, dan Batalyon VI pimpinan Kapten
Basingan Bangun.
Agresi militer pertama sesugguhnya telah dimulai Belanda
tanggal 12 Mei 1947, karena di pantai barat pulau Sumatera kapal perang JT-1
dari Angkatan Laut Belanda telah masuk ke teluk Sibolga dan menghujani ibukota
Keresidenan Tapanuli ini dengan tembakan meriam dari laut selama 45 menit yang
menimbulkan kebakaran besar. Penduduk kota itu lalu berbondong-bondong
meninggalkan kota itu ke pedalaman untuk mengungsi menyelamatkan diri,
menyebabkan ibukota Tapanuli ini berubah menjadi kota mati.
Agresi militer Belanda juga menyebabkan wilayah Tapanuli
menghadapi masalah besar dengan gelombang arus pengungsi ratusan ribu jumlahnya
meninggalkan Sumatera Timur, termasuk tentara NRI dan para lasykar yang terus
terpukul mundur oleh tekanan Brigade Z pimpinan Mayor Scholten. Panitia
penampung pengungsi lalu dibentuk di berbagai kota di wilayah Tapanuli, antara
lain: Sipangan Bolon, Sidikalang, Tarutung, Balige, Padang Sidempuan dan
lainnya; begitu pula kantor-kantor Palang Merah, tempat-tempat pendaftaran
orang sakit, dan gawat darurat.
Sipirok Kedua
Dari tempat pengungsiannya di daerah Tapanuli Selatan, ayah
yang sebelumya bekerja di Kantor Provinsi NRI Sumatera di Pematang Siantar,
pada tahun 1947 lalu diangkat menjadi Wedana Kepala Daerah Sipirok. Guna
memberi kebebasan bergerak pada pemerintah NRI di Tapanuli, terlebih lagi dalam
keadaan darurat, maka oleh Dewan Pertahanan Daerah (DPD) bilangan kabupaten
yang terdapat dalam Keresidenan Tapanuli ditingkatkan jumlahnya dari 4 (empat)
menjadi menjadi 9 (sembilan), dan ibukota Keresidenan Tapanuli lalu dipindahkan
dari Sibolga (disebut Sibolga I) ke Aek Sitahuis (Naga Timbul), dinamakan juga
Sibolga II, sebelas kilometer dari kota Sibolga. Langkah pemecahan wilayah ini
perlu ditempuh untuk menghindarkan lumpuhnya pemerintah NRI di Tapanuli,
manakala serdadu-serdadu Belanda dalam operasi militernya berhasil menduduki
salah satu kabupaten yang ada di Tapanuli.
Pada tanggal 15 Agustus 1947, pemerintah Keresidenan
Tapanuli mencetak ORITA (Oeang Repoeblik Indonesia Tapanuli) pecahan Rp.5,- dan
Rp.10,-. Pecahan mata uang baru ini diperlukan untuk penukar URIPS (Oeang
Repoeblik Indonesia Sementara) pecahan Rp.100,- dikeluarkan di Pematang
Siantar, yang terlalu besar digunakan berbelanja yang banyak dibawa para
pengungsi dari Sumatera Timur ke Tapanuli saat itu. Sejalan munculnya ORITA,
beredar pula uang palsu yang dibuat orang-orang yang mencoba mencari keuntungan
dan turut mengacaukan perekonomian rakyat di Tapanuli ketika itu.
Dahaga berita amat dirasakan kaum intelektual anak negeri
yang kembali ke kampung halaman dari tanah perantauan, baik yang masih tinggal
di perkotaan maupun telah sampai di desa di Tapanuli Selatan ketika itu; dan
kian menjadi siksaan dalam perjalanan waktu. Pesawat radio milik rakyat masih
ada ditangan Jepang, sehingga perkembangan dunia dan tanah-air luput dari
pengamatan warga dimana-mana di wilayah Tapanuli Selatan ketika itu. Tidak ada
jalan masuk berita dari Sumatera Timur ke Tapanuli, karena Belanda telah
menutup seluruhnya. Tidak ada orang yang tahu di Tapanuli bahwa Negara Sumatera
Timur telah berdiri pada tanggal 25 Desember 1947. Orang-orang Republik yang
berdiam di berbagai kota pendudukan turut berjasa membantu warga masyarakat di
pedalaman mendapat khabar terbaru.
Kurir Kantor Residen Sibolga II kerap menyampaikan
perkembangan terakhir kepada pemerintah dan pasukan republik di pedalaman,
seperti: pertemuan Hoge Veluwe di Nederland, persetujuan Linggarjati,
perjanjian di geladak Kapal Perang Amerika Serikat Renville, dibentuknya Komisi
Tiga Negara (KTN) guna menengahi pertikaian Indonesia-Belanda di lapangan.
Inggris dikhabarkan menyampaikan rasa kekecewaannya kepada Belanda pada tanggal
21 Juli 1947 dan mengatakan tidak lagi terikat kepada perjanjian Linggarjati;
yang menyebabkan Belanda lalu menyerang republik dari Laut dan Udara. Kaum
buruh dan mahasiswa Australia melancarkan pula demonstrasi ke kedutaan Belanda
di Australia untuk menyampaikan protes mereka. Di New York, Dewan Keamanan PBB
kemudian membicarakan persoalan Indonesia pada akhir bulan Juli tahun yang
sama.
Surat kabar Waspada pimpinan Mohammad Said terbit di Medan
dijual orang sampai ke Rantau Prapat. Semakin jauh selembar surat kabar dari
tempat penerbitannya berada, akan semakin mahal pula harganya. Di Simangambat
kecamatan Sipirok, koran Waspada yang telah berusia tujuh hari saat itu
dihargai orang sekaleng beras. Banyak orang yang tidak lagi mempedulikan isi
berita yang dimuat dalam sebuah surat khabar, seperti keberhasilan Belanda
menduduki daerah-daerah Republik di Tapanuli Selatan atau tempat lainnya; adanya
khabar saja untuk sebagian orang di Tapanuli Selatan ketika itu, seakan telah
mengetahui perkembangan dunia.
Ada lagi berita yang dibawa rombongan orang-orang muda yang
melakukan “Long March” dari Tanjung Karang (Bandar Lampung) menuju Kota Raja
(Banda Aceh) dengan berjalan kaki. Ketika itu rombongan yang dipimpin Letnan I
Kohar Chourmain tiba di Simangambat kecamatan Sipirok tanggal 24 April 1946.
Mereka mengabarkan kepada masyarakat besarnya simpati dunia kepada perjuangan
bangsa Indonesia. Juga dikhabarkan perkembangan tanah-air lainnya ketika itu,
disampaikan langsung dalam kerumunan orang banyak di tengah lapangan kota dan
halaman desa disinggahi dalam perjalanan Long March yang amat melelahkan itu.
Khabar pemerintah Hindia Belanda baru bernama NICA telah
tiba di Sumatera Timur diketahui orang di Tapanuli dibawa orang berjalan kaki.
Begitu pula tentang para pemuda beragam organisasi yang menolak keberadaan
mereka disana. Di fihak berseberangan, terdapat orang-orang pribumi yang masih
meragukan kemampuan bangsanya untuk merdeka, apalagi untuk menghadapi
pemerintah Hindia Belanda yang telah menjajah nusantara berbilang abad lamanya.
Terlebih bagi mereka yang masih setia dan pernah bekerja di zaman Hindia
Belanda silam, yang mereka namakan: “zaman normal”, antara lain: bekas para
pamong (Demang, Kuria, dan lainnya), maupun bekas ambtenar (pegawai) Belanda
berbagai bidang layanan masyarakat zaman normal silam, di pulau-pulau: Jawa dan
Sumatera, serta lainnya.
Begitu juga mereka yang mngenyam pendidikan zaman Belanda
dari rendah hingga tinggi saat itu. Banyak yang tahu benar betapa besarnya
dukungan Belanda pada Sekutu di Eropa dalam Perang Dunia ke-II silam, sebelum
tanah Hindia Belanda di Asia Tenggara jatuh ketangan Jepang. Mereka masih tidak
habis pikir bagaimana anak-anak negeri yang tak berpendidikan kebanyakan masih
buta huruf ini nanti akan mengatur negara baru, dan mempertahankannya terhadap
serangan serdadu-serdadu Belanda yang dibantu sekutu lengkap dengan
persenjataan moderen lagi berpengalaman perang. Kedua kubu anak negeri
berseberang pandang di Tapanuli Selatan ketika itu kemudian terpolarisasi,
meski batas-batasnya tidak tampak jelas. Masing-masing kubu berusaha membangun
kekuatan dan mencoba merebut hati rakyat dari kota hingga ke desa, menyebabkan
ketegangan sosial muncul dalam kehidupan bermasyarakat. Ketegangan ini lalu
mengganggu kekerabatan Dlihan na Tolu (Tungu yang Tiga) yang diatur adat Batak.
Ketegangan yang sama juga berpengaruh pada pemenuhan keperluan hidup
sehar-hari, seperti: pangan, sandang, papan, pekerjaan, keamanan, keadilan, dan
lainnya.
Desas-desus siapa yang mendukung perjuangan NRI di Tapanuli
Selatan, begitu pula bisik-bisik siapa yang berfihak pada pemerintah Hindia
Belanda yang baru dan menjadi kakitangan NICA, lalu tersebar dalam masyarakat
dan telah menjadi rahasia umum yang mengusik ketenteraman hidup dalam
masyarakat ketika itu. Tekanan agresi militer Belanda dibantu sekutu datang
dari luar di satu pihak, perjuangan anak-anak negeri yang memperjuangkan
kemerdekaan bangsa timbul dari dalam di pihak lain, membuat kehidupan warga
masyarakat di Tapanuli Selatan ditimpa beban politik ketika itu. Tidak mudah
bagi warga melakukan pilihan tepat ketika itu, termasuk di kota Padang
Sidempuan. Apakah memilih ikut pemerintah Hindia Belanda yang baru dengan
janji: pekerjaan, gaji menarik, pangan, sandang, papan, dan lain sebagainya;
atau berfihak pada kaum pergerakan dengan hidup baik setelah kemerdekaan,
kendati terpaksa hidup serba kekurangan sampai waktu yang belum dapat ditentukan;
menyebabkan banyak orang melakukan pilihan berangkat dari keyakinan
masing-masing dan latar belakang hidup sebelumnya.
Dua kubu bertentangan yang membangun kekuatan saling
berseberangan ini tidak semata di tingkat daerah, tetapi juga di tingkat nasional,
dan kian menaikkan suhu politik saat itu. Pada tahun 1947 Belanda
melaksanakan Politionele Actie (aksi polisionil) yang pertama, karena menurut
pendapatnya, perlu diambil langkah untuk menertibkan kehidupan masyarakat di
bekas tanah Hindia Belanda, agar pemerintah NICA bentukannya dapat berjalan.
Akan tetapi oleh anak-anak bangsa di fihak Republik yang berseberangan
melihatnya dari kacamata yang berbeda, mengatakan bahwa Belanda telah melakukan
agresi militer terhadap NRI yang te-lah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus
1945; semakin menegaskan sikap kedua kubu yang berseteru termasuk juga para
simpatisan masing-masing.
Mundurnya tentara dan para lasykar NRI dari Sumatera Timur
saat itu, selain karena terpukul serangan Belanda setelah pendaratan serdadu-serdadu
barunya di pantai cermin lalu menduduki Deli Serdang dan Simalungun, juga dalam
rangka mematuhi perintah gencatan senjata yang dikeluarkan PBB untuk menetapkan
garis demarkasi di lapangan. Oleh lemahnya koordinasi pasukan di lapangan dan
minimnya sarana komunikasi ketika itu, laskar-lasykar yang dipersenjatai
menjadi terlalu berdekatan satu sama lain. Sebagai akibatnya tidak dapat
dihindarkan pertikaian diantara para pemanggul senjata yang tertantang
memperebutkan: supremasi (keunggulan), antara lain: daerah operasi, harta, dan
lainnya. Dan yang akhir ini turut jadi penyebab mengapa perang antar lasykar di
Tapanuli Selatan tidak dapat dihindarkan ketika itu.
Selain karena kurang terkoordinasi, tentara dan para
lasykar yang bergerak mundur kebanyakan dipimpin oleh komandan yang kurang
terpuji prilakunya, sehingga pertikaian dalam ruang operasi militer yang seakin
menciut menjadi tidak berkesudahan. Akibatnya, senjata di garis belakang banyak
yang digunakan untuk menghadapi kawan seperjuangan, terhadap kaum kerabat,
bahkan untuk keperluan pribadi dan kelompok. Keadaan diperuncing lagi dengan
keterlibatan kerabat dekat pimpinan pasukan. Sikap kurang disiplin para
pemimpin pasukan di garis belakang menyebabkan perlawanan terhadap Belanda
tidak mudah disatukan, dan menjadi salah satu sebab mengapa perang saudara
tidak dapat dielakkan. Perang saudara di Tapanuli belum dapat dihindarkan
dengan langkah reorganisasi pasukan yang dilakukan oleh Wakil Presiden R.I. Dr.
Mohammad Hatta di Pematang Siantar.
Perang saudara sekitar bulan Oktober 1947, berawal dari
agresi militer Belanda pertama di Sumatera Timur sebelumnya. Sebagai akibatnya
sebagian dari Brigade A (bekas lasykar Brigade Naga Terbang pimpinan Mayor
Timur Pane), terpaksa mundur dan masuk ke Tapanuli Selatan lewat Asahan dan
Labuhan Batu lalu masuk ke Gunung Tua. Brigade ini tidak memberitahu
kedatangannya kepada Brigade B (Brigade Tapanuli) yang bermarkas di Padang
Sidempuan, dan menguasai daerah itu. Hal ini membuat kompi Brigade B pimpinan
Letnan I Sutan Muda Harahap yang bermarkas di Gunung Tua terpaksa meninggalkan
pos tempat tugasnya, lalu melapor kepada Kapten Koima Hasibuan, pimpinan
Batalyon di Padang Sidempuan. Di ibukota Angkola itu bermarkas Brigade B
dipimpin Mayor Bejo, dan salah satu Resimennya berada dibawah Mayor Maraden
Panggabean, adalah komandan Kapten Koima Hasibuan. Perbuatan Brigade A
menyulut ketegangan militer di Angkola, dan perang saudara kemudian berkecamuk
di Sipirok, tujuh hari lamanya, menyebabkan banyak pasukan dari kedua belah
fihak yang gugur, tertembaknya orang-orang yang tidak bersalah, terbuangnya
amunisi sia-sia, dan kerugian harta benda yang disesalkan.
Agresi militer Belanda yang sama juga membuat pasukan
Brigade A (bekas Harimau Liar pimpinan Jakub Siregar, Saragih Ras, dan Payung
Bangun), mundur ke perbatasan Simalungun-Karo. Karena mereka tidak disukai oleh
masyarakat setempat oleh politik divide et impera peninggalan zaman penjajahan
Belanda silam, maka oleh Mayjen Dr. Gindo Siregar selaku Gubernur Militer Daerah
Tapanuli/Sumatera Timur, pasukan ini diizinkan berdiam di daerah Sipirok. Di
kota ini Kapten Koima Hasibuan telah menempatkan kompinya dibawah Letnan I
August Marpaung. Kompi akhir ini ternyata lebih diterima masyarakat setempat
dalam pergaulan sehari-hari ketimbang yang hijrah dari perbatasan
Simalungun-Karo, lalu menimbulkan perselisihan diantara para pemanggul senjata.
Pendatang perbatasan Simalungun-Karo rupanya kurang menghargai keluarga “si
Pungka Huta” (Pendiri Kampung) di tempat mereka berdiam yang amat dihormati
kalangan masyarakat Batak di Angkola. Begitu juga adat-istiadat setempat,
dimana orang muda menghormati yang lebih tua, kurang mendapat perhatian
pendatang bersenjata yang telah terpukul mundur ini.
Kemudian mundur lagi pasukan Naga Terbang pimpinan Habiaran
Pane yang bergerak lewat Tarutung dan Pahae untuk bergabung dengan induk
pasukannya yang telah berdiam di Sipirok dan Padang Lawas. Berkat campur tangan
Residen Tapanuli: Dr. Lumban Tobing saat itu, perseteruan antar pasukan di Angkola
dapat dihindarkan. Dan dengan dinonaktifkannya Mayor Timur Pane, dibubarkannya
Brigade Naga Terbang, dan dilucutinya persenjataan mereka oleh pasukan Kapten
Koima Hasibuan, keamanan dan ketertiban di Tapanuli Selatan menjadi
tanggungjawab Resimen Mayor Maraden Panggabean.
Pada suatu hari dipertengahan tahun 1948, malam hari
pasukan Mayor Malau bekas Brigade A yang pernah berada dibawah pimpinan Mayor
Bejo, melakukan serangan terhadap Batalyon VI dan menghalaunya meninggalkan
Sipirok. Batalyon ini lalu mundur, dan melapor kepada induk pasukannya di
Padang Sidempuan. Setelah beberapa hari Mayor Malau dan pasukannya menduduki
Sipirok, Mayor Bejo bersama pasukannya datang dari Padang Sidempuan untuk
membebaskan kota itu. Setelah keduanya bertempur hampir seharian ditengah kota
Sipirok, pasukan Mayor Malau kemudian melarikan diri, dan meninggalkan kota itu
dalam keadaan kacau balau.
Setelah berdiam di Sipirok empat bulan lamanya, pemimpin
Brigade A pada suatu malam melangsungkan rapat rahasia untuk melakukan makar di
Padang Sidempuan. Rapat yang dihadiri pemimpin dan para staf Brigade bermaksud
untuk menghancurkan Resimen Mayor Maraden Panggabean dan Batalyon Kapten Koima
Hasibuan. Keputusan rapat lalu dibocorkan seorang ibu kepada Wedana Sipirok,
yang saat itu dijabat M. D. Harahap, gelar Baginda Raja Muda Pinayungan.
Menyadari akan malapetaka yang bakal ditimbulkan, Wedana lalu mengutus seorang
kurir dalam jalur pemerintah untuk langsung bertemu dengan Mayjen Dr. Gindo
Siregar (Gubernur Militer) dan Soetan Doli Siregar (Bupati Padang Sidempuan),
agar berita secepatnya disampaikan kepada komandan-komandan Resimen dan
Batalyon. Berita penting itu rupanya tidak mendapat tanggapan yang semestinya
oleh kedua komandan, karena dianggap tidak akan sampai hati melakukan makar.
Maka dua hari setelah rapat rahasia di Sipirok berlangsung,
tanggal 10 Februari 1948, pasukan Brigade A berangkat menerobos kelamnya malam
menuju ibukota tanah Angkola, dan menjelang subuh mereka sudah sampai di
pinggir kota. Lalu pada jam 05.00, dengan diam-diam serangan dilancarkan pada
Batalyon Koima Hasibuan, dan berhasil, karena pasukan akhir ini sedang tidur
nyenyak di tangsi militer, sehingga tidak dapat memberikan perlawanan. Kapten
Koima Hasibuan sendiri tewas, dan seluruh anggota pasukan yang masih hidup
dilucuti. Begitu pula komandan Resimen Mayor Maraden Panggabean tidak dapat
berbuat apa-apa, lalu ditawan Brigade A di Sipogu, kecamatan Sipirok. Kompi
yang dipimpin Letnan I August Marpaung, anak buah Kapten Koima Hasibuan yang
bertugas di Sipirok, samasekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi. Ia pun
ditawan anggota pasukan Brigade A yang kembali dari Padang Sidempuan ke induk
pasukannya di Sipirok.
Dalam keadaan genting menjelang agresi militer Belanda
kedua, Gubernur Militer Mayjen Dr.Gindo Siregar yang ditunjuk mewakili
pemerintah NRI pusat, lalu menegluarkan pengumuman yang menyatakan bahwa
Tapanuli Selatan berada dibawah tanggungjawab Brigade A, dan para anggota
Resimen Mayor Maraden Panggabean termasuk Batalyon Kapten Koima Hasibuan
dinonaktifkan. Dan atas keputusan wakil Presiden Drs. Muhammad Hatta, lewat
Panglima Sumatera Jenderal Soeharjo Hardjowardjojo, semua tawanan perang
Brigade A di Sipogu lalu dipindahkan ke Bukit Tinggi. Dengan demikian telah
terjadi pengambilalihan kekuasaan (coup d’etat) militer oleh Brigade A terhadap
Brigade B di Tapanuli Selatan tanpa dapat dipersoalkan lebih lanjut
keabsahannya saat itu.
Kabinet Darurat
Agresi militer kedua, yang dinamakan Belanda Politionele
Actie, muncul oleh perubahan sikap Amerika Serikat di PBB terhadap perjuangan
bangsa Indonesia yang sangat mengecewakan kerajaan Belanda. Awalnya negeri
Paman Sam itu berpihak kepada Belanda karena masih belum bersedia menyetujui
berdirinya NRI yang dipimpin Presiden Sjafrudin Prawiranegara. Akan tetapi
setelah melihat sikap yang diperlihatkan Wakil Presiden Dr. Monammad Hatta,
ketika itu juga merangkap Perdana Menteri dalam Kabinet Darurat tanggal 7
Desember 1948 hingga 13 Juli 1949, dengan tegas menolak pemberontakan
Madiun yang dilakukan PKI, lalu mengutus pasukan Siliwangi dari Jawa Barat
pimpinan Kolonel Abdul Haris Nasution dari tanggal 18 September hingga 7
Desember 1948 untuk menumpasnya, Amerika Serikat menjadi yakin dan dengan cepat
bertukar fikiran.
Di PBB, negara Paman Sam lalu meninggalkan Belanda dan
kemudian berfihak pada NRI. Pemerintah Belanda yang kecewa dan kesal ketika
itu, memerintahkan Jenderal Spoor mengeluarkan perintah harian di Batavia
tanggal 18 Desember 1948. Dan, serdadu-serdadu Belanda kembali menerobos garis perbatasan
kedua pihak yang sebelumnya disepakati di Sumatera Timur keesokan harinya.
Menjelang agresi militer Belanda kedua berlangsung, pemerintah NRI di Jakarta
memutuskan untuk membebastugaskan Mayjen Dr. Gindo Siregar dari jabatan
Gubernur Militer Sumatera Timur/Tapanuli, lalu digantikan Dr. F. Lumban
Tobing merangkap Residen Tapanuli, untuk mengkonsolidasikan perlawanan
terhadap Belanda. Dalam menghadapi serangan serdadu-serdadu Belanda dalam
agresi militer yang dapat menimbulkan banyak korban di daerah Republik baik
kota maupun desa di Tapanuli Selatan, maka untuk senantiasa menghadirkan
pemerintah NRI dalam pengungsian, Kabupaten Padang Sidempuan perlu dipecah
menjadi tiga kabupaten, masing-masing:
1. Kabupaten Padang Sidempuan
Terdiri dari kewedanaan
Padang Sidempuan dan kewedanaan Sipirok, dengan ibukotanya
Padang Sidempuan.
2. Kabupaten Batang Gadis.
Terdiri dari
Mandailing, Ulu, Pakantan dan Batang Natal, dengan ibukotanya Panyabungan.
3. Kabupaten Padang Lawas dan
Barumun.
Terdiri dari
Padang Lawas dan Barumun, dengan ibukotanya Gunung Tua.
Dengan demikian, apabila sebuah kabupaten jatuh ke tangan
Belanda dalam agresi militer kedua, salah satu kabupaten yang belum jatuh
akan menjadi pusat pemerintahan republik di Tapanuli Selatan. Pada tanggal 20
Desember 1948 kota Sibolga jatuh ke tangan Belanda. Dan, dengan kejatuhan
ibukota tanah Batak itu, pemerintah NRI Tapanuli menetapkan untuk melebur
seluruh lasykar perjuangan yang ada, dan menugaskan pasukan republik pimpinan
Mayor Bejo menghadang serangan serdadu-serdadu Belanda yang masuk ke Tapanuli
dari arah Barat. Pada tanggal 28 Desember 1948, serdadu-serdadu Belanda telah
tiba di jembatan Batang Toru. Jembatan sepanjang 100 meter itu, telah lebih
duhu diruntuhkan pasukan republik pimpinan Kadiran agar tidak dapat
dimanfaatkan serdadu-serdadu Belanda.
Dalam perang menghadapi Belanda yang masuk dari Barat,
tentara NRI dan para lasykar diperintahkan untuk melakukan taktik "bumi
hangus". Dengan taktik ini, seluruh jembatan yang ada diruntuhkan,
pohon-pohon yang ada sepanjang jalan-raya ditumbangkan dirobohkan ke tengah
jalan, jalan yang rata dilubangi agar tidak dapat dilalui kendaraan militer,
bangunan dan gedung yang mungkin dapat digunakan Belanda menjadi markasnya
dibakar atau diruntuhkan. Semua langkah bumi hangus yang dilakukan pasukan
republik hanya melambatkan gerakan serdadu-serdadu Belanda terlatih,
berpengalaman perang, dan bersenjata lengkap ketika. Mereka selalu mengungguli
pasukan republik di berbagai medan laga Tapanuli Selatan. Maka pada tanggal 1
Januari 1949, pasukan Belanda berhasil masuk ke Padang Sidempuan dari Barat,
dan mendapati ibukota Angkola itu sudah di bumi hangus pasukan republik.
Pemerintah NRI Tapanuli Selatan pimpinan Bupati Sutan Doli
Siregar, Patih Ayub Sulaiman Lubis, dan Wedana Maraganti Siregar gelar Ompu
Sahang, serta kepala persediaan makanan rakyat Kalisati Siregar, telah lebih
dahulu meninggalkan Padang Sidempuan mengungsi ke Sipirok untuk kemudian
melanjutkan perjalanan ke Panyabungan, ibukota Kabupaten Batang Gadis. Di
kecamatan Sipirok, perlawanan terhadap serangan serdadu Belanda dihadaapi tidak
saja oleh pasukan republik pimpinan Mayor Bejo, juga oleh AGS (Angkatan Gerilya
Sipirok) pimpinan Sahala Muda Pakpahan sebagai komandan dengan wakilnya Maskud
Siregar. Angkatan akhir ini dibentuk dan dilantik Wedana Sipirok: Muhammad Diri
Harahap tanggal 3 Januari 1949, selaku PPK (Pimpinan Pertahanan
Kewedanaan) berkedudukan di Sipirok. Sebagai anggota AGS dihimpun bekas para
lasykar yang terpukul mundur dari Sumatera Timur silam, antara lain: pasukan
Naga Terbang, anak buah Kapten Koima Hasibuan, anggota kepolisian Sipirok;
semuanya dipersenjatai dengan senapan locok.
Pada tanggal 5 Januari 1949, pasukan republik dari Sipirok
melancarkan serangan menuju Padang Sidempuan yang diduduki Belanda, dan berhsil
masuki kota. Akan tetapi balasan mortir yang dihamburkan serdadu-serdadu
Belanda bertubi-tubi bukan imbangan pasukan yang menyerang. Yang disebut akhir
ini terpaksa kembali mundur ke Sipirok membawa serta yang gugur dan luka berat
maupun ringan. Pada tanggal 21 Januari 1949, Sipirok lalu diserang
serdadu-serdadu Belanda dan pemerintah NRI di kota itu terpaksa mengungsi ke
Arse, dan AGS harus dipindahkan markasnya ke Bukit Maondang 3 km dari Sipirok.
Pada tanggal 30 Januari 1949, Binanga Siregar, selaku Wakil Residen Tapanuli,
berkunjung ke Bukit Maondang dan Arse untuk melihat pertahanan NRI Tapanuli
Selatan dari garis depan. Keesokan harinya Wakil Residen bersama Wedana Sipirok
menyampaikan pidato tentang isi surat Residen Tapanuli dihadapan rakyat
pedalaman yang mengutip: “All Indian Radio” dan “Radio Australia”, bahwa
Indonesia telah berhasil menang melawan Belanda di PBB di bidang
diplomatik. Selanjutnya dikhabarkan kerajaan Belanda di Eropa, di ibukota Den
Haag, akan menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
Pada tanggal 1 Februari 1949, Ayub Sulaiman Lubis dan
Kalisati Siregar berangkat menuju Angkola Jae untuk merintis jalan menuju ke
Mandailing. Keesokan harinya jalan itu lalu ditempuh: Binanga Siregar, Sutan
Doli Siregar, Sutan Hakim Harahap, dan Maraganti Siregar untuk mengabarkan
keberhasilan bangsa Indonesia di PBB kepada masyarakat pedalaman.
Mengetahui pemerintah NRI Tapanuli Selatan telah
meninggalkan Sipirok, maka pada tanggal 17 Februari 1949 serdadu-serdadu
Belanda melanjutkan serangan ke Bunga Bondar. Kampung yang dikenal salah satu
lumbung intelektual di tanah Batak. Seratus tahun silam, tepatnya pada tahun
1847, serdadu-serdadu Belanda datang ke kampung ini untuk pertama kalinya.
Belanda mendapat perlawanan sengit dari Sutan Ulubalang yang menjadi Raja
ketika itu, setelah wafat digantikan adiknya Sutan Doli. Belanda membutuhkan
waktu empat tahun lamanya mematahkan perlawanan Raja akhir ini di sarang marga
Siregar itu, dan membuang para penantangnya meninggalkan Sumatera. Pada
kedatangan Belanda kedua, kampung itu telah dikosongkan warganya untuk
melakukan perang gerilya, karena Belanda mengancam akan menembak setiap
laki-laki yang ditemui di kampung itu.
Pada tanggal 8 Mei 1949, serdadu-serdadu Belanda beserta
kendaraan lapis bajanya melanjutkan serangan ke Arse. Meski dalam setiap
langkah agresi militer diambil serdadu-serdadu Belanda pasukan republik selalu
menunjukkan perlawanan sengit, akan oleh tidak memadainya: latihan, pengalaman,
dan persenjataan, dari pasukan republik membuat gerakan mundur sambil bertahan
tidak dapat dihindarkan. Pemerintah NRI di Tapanuli Selatan terpaksa kembali
mengungsi meninggalkan Arse. Perjuangan bangsa Indonesia untuk membebaskan diri
dari penjajahan silam memang bertumpu di dua front, masing-masing: front
diplomatik di dunia internasional berpusat di PBB, dan front medan laga di
tanah-air, dan yang disebut paling akhir adalah yang terlemah dari keduanya.
Dengan tewasnya pimpinan tertinggi KNIL: Jenderal Spoor di
Situmba, sebuah desa tidah jauh dari Sipirok di Tapanuli Selatan, bangsa
Belanda di negerinya tidak lagi menaruh harapan pada "Politionele
Actie" untuk menegakkan lagi pemerintah Hindia Belanda usai Perang Dunia
ke-II bernama NICA. Serangan serdadu-serdadu Belanda di Tapanuli Selatan
berakhir di Arse, karena dari Panyabungan telah tiba khabar disampaikan oleh
utusan Bupati Batang Gadis: Raja Junjungan Lubis, Gubernur Militer Tapanuli:
Kolonel Kawilarang, dan Komandan Territorial VII: Ibrahim Adji, yang mengatakan
bahwa perang kemerdekaan melawan Belanda telah dimenangkan republik di PBB pada
front diplomatik. Sebagai konsekuensinya agresi militer Belanda, atau yang
dinkenal dengan politionele actie di seluruh wilayah republik termasuk Tapanuli
Selatan harus dihentikan. Belanda diperintahkan untuk mengembalikan seluruh
wilayah republik yang berhasil direbut dan didudukinya dalam agresi
militer pertama dan kedua. Dan untuk wilayah Sumatera Timur dan Tapanuli, akan
diawali dari Kewedanaan Sipirok.
Pada tanggal 17 Desember 1948, Indonesia dan Belanda
menyepakati perjanjian Renville, dan tanggal 23 Januari 1949 berlangsung
konferensi 19 Negara Asia.di New Delhi, India, untuk mendukung Indonesia. Lalu
tanggal 14 April 1949, UNCI (United Nation Commission on Indonesia) yang
menggantikan KTN (Komisi Tiga Negara) melangsungkan perundingan di
Jakarta/Batavia. Ketika itu Indonesia dipimpin Mr. Muhammad Rum, sedangkan
Belanda dipimpin Dr. van Royen, Persetujuan Rum-Royen lalu disepakati Indonesia
dan Belanda tanggal 7 Mei 1949, mengantarkan keduanya menuju ke Ronde Tofel
Conferentie (RTC), atau Konferensi Meja Bundar (KMB). Menjelang berlangsung
KMB, di Yogyakarta diselenggarakan KAI (Konferensi Antar Indonesia) antara
tanggal 19 hingga 22 Juli 1949, yang kemudian disusul di Jakarta antara tanggal
31 Juli hingga 2 Agustus 1949. KAI selain dihadiri NRI, juga oleh berbagai
Negara bentukan van Mook dikenal dengan BFO (Bijeenkomst voor Federaal
Overleg), yakni: 1.Negara Indonesia Timur (NIT 1946), 2. Negara Sumatera Timur
(NST 1947), 3. Negara Madura (NM 1948), 4. Negara Pasundan (NP 1948), 5. Negara
Sumatera Selatan (NSS 1948), 6. Negara Jawa Timur (NJT 1948). Konferensi Meja
Bundar (KMB) berlangsung antara tanggal 23 Agustus hingga 2 September 1949 di
Den Haag, ibukota Kerajaan Belanda. Adapun wakil delegasi NRI ke KMB ialah:
Drs. Mohammad Hatta, wakil delegasi BFO: Sultan Hamid, dan wakil kerajaan
Belanda: Maarseveen; sedangkan wakil-wakil PBB: Merle Cochran, Critchley, dan
Romanos.
Setelah penyerahan kedaulatan dilaksanakan Ratu Belanda,
sejak bulan Agustus hingga Nopember 1949 berlangsung serah terima tanah Hindia
Belanda dilapangan, kecuali Irian Barat. Sejak saat bersejarah itu Republik
Indonesia Serikat (RIS) berdiri dengan resmi berdiri dipimpin Kepala Negara:
Ir. Sukarno dan Perdana Menteri: Drs Mohammad Hatta. RIS yang berdiri saat itu
adalah sebuah Negara Federal beranggotakan NRI dan BFO, diresmikan tanggal 2
Desember 1949, hasil kesepakatan tiga fihak dalam KMB di Den Haag,
masing-masing: Negara Republik Indonesia (NRI), Bijeenkomst voor Federaal
Overleg (BFO), Kerajaan Belanda, disaksikan United Nation Commission for
Indonesia.
Pada tanggal 30 Nopember 1949, berlangsung serah terima
Pemerintah Sipil kecamatan Sipirok dari Belanda kepada NRI dilaksanakan Kortoir
selaku PBA (Plaatselijk Bestuurs Adviseur, atau Penguasa Pemerintah Setempat)
Belanda berkedudukan di Padang Sidempuan kepada M. Diri Harahap selaku Wedana
Sipirok yang sangat menggembirakan warganya. Di bidang keamanan serah terima diberikan
Kortoir kepada Mayor Bedjo. Hadir dalam upacara serah terima jabatan itu
perwakilan dari KTN (Komisi Tiga Negara). Puluhan ribu rakyat lalu membanjiri
kota Sipirok menjadi saksi dan bersorak gembira. Kortoir tidak lupa dalam acara
serah terima juga mengatakan:“Hidup Republik Indonesia”, usai penandatanganan
dokumen bersejarah selesai dilakukan.
Kabinet Hatta
Meski anak-anak negeri tidak berhasil memenangkan perang di
medan laga, akan tetapi oleh besarnya keberfihakan dunia pada perjuangan bangsa
Indonesia, khususnya: Amerika Serikat, Inggris, India, dan lainnya, menyebabkan
NRI berhasil dibidang diplomatik, dan Indonesia memperoleh kemerdekaannya.
Tanah jajahan Hindia Belanda Timur hasil kerja keras Jenderal van Heutz dengan
segala kecerdikannya, setelah proklamasi 17 Agustus 1945, berubah menjadi
Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diakui dunia di PBB. Kendati Uni-Sovyet
(Rusia) bersuara abstain dalam pemungutan suara di PBB tanggal 28 Januari 1949,
karena kegagalan pemberontakan PKI tanggal 18 September 1948 di kota Madiun
sebelumnya, akan tetapi sebagian besar suara dalam sidang Dewan Keamanan PBB
ketika itu memutuskan Belanda harus menyerahkan kekuasaan tanah Hindia
Belanda kepada RIS, kecuali Irian Barat.
Keberhasilan diplomatik bangsa Indonesia ketika itu, tidak
tidak disangsikan lagi berkat perlawanan bersenjata yang ditunjukkan: tentara
NRI, para lasykar, organisasi perjuangan, dan lain sebagainya yang dengan gigih
dengan senjata seadanya mengorbankan jiwa dan harta yang tidak sedikit jumlahnya,
yang akhirnya membuahkan Konferensi Meja Bundar (KMB) di ibukota Negeri Belanda
Den Haag. Dalam RTC diputuskan pula bahwa RIS harus turut memikul beban hutang
pemerintah Hindia Belanda yang kolonial berjumlah 6,1 Milyar Gulden, terdiri 3
Milyar hutang dalam negeri dan 3,1 Milyar hutang luar negeri. Pemerintah
Belanda menyatakan hanya bersedia menanggung 500 juta Gulden, sehingga sisanya
harus dilunasi oleh pemerintah RIS.
Pada tanggal 30 Desember 1949 Ratu Yuliana, selaku wakil
pemerintah Belanda, menyerahkan kedaulatan tanah Hindia Belanda kepada RIS
(Republik Indonesia Serikat), yang ketika itu diterima Drs.Mohammad Hatta,
terkecuali Irian Barat (Papua). Langkah selanjutnya melaksanakan timbang terima
lapangan oleh wakil-wakil pemerintah kerajaan Belanda kepada wakil-wakil
pemerintah RIS berbagai jabatan di bekas tanah Hindia Belanda silam. Menurut
Anak Agung Gede Agung, dipilihnya RIS sebagai bentuk negara saat itu, tidak
lain untuk mengganti sifat pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sangat
sentralistis saat itu, sehingga menimbulkan banyak ketegangan dalam pelaksanaan
kekuasaan, agar berbagai kesalahan yang timbul dimasa silam tidak terulang
kembali setelah Indonesia merdeka.
Negara Republik Indonesia Serikat lahir dari kesepakatan
Indonesia-Belanda di Den Haag lalu dipimpin Perdana Menteri: Drs Mohammad
Hatta. Ir. Sukarno kemudian kembali dari pengasingannya di Yogyakarta dan
menjadi Presiden RIS di Jakarta. Adapun program kerja Kabinet RIS yang pertama
ketika itu adalah:
1. Melakukan peralihan kekuasaan
dari pejabat Belanda ke pejabat RIS di lapangan.
2. Melaksanakan ketenteraman
umum, hak azazi manusia, demokrasi, dan kemerdekaan.
3. Pemilihan umum untuk anggota
konstituante.
4. Perbaikan ekonomi, keuangan,
perhubungan, perumahan, kesehatan, dan kemakmuran.
5. Meningkatkan pendidikan tinggi
dan pemberantasan buta huruf.
6. Menyelesaikan persengketaan
Irian Barat.
7.
Melaksanakan politik luar negeri perdamaian dunia dan kawasan Asia Tenggara.
Australia kemudian mengakui berdirinya RIS pada tanggal 27
Desember 1949. Bersamaan dengan kelahiran RIS di Den Haag, Pejabat Presiden Mr.
Assaat Datuk Mudo bersama Perdana Menteri Dr. Halim masih memimpin NRI,
menjadikan tanah Hindia Belanda yang baru diserahkan Belanda dipimpin oleh dua
orang Presiden dengan dua orang Perdana Menteri dari dua Kabinet berlainan.
Tidak lama setelah serahterima kedaulatan dilangsungkan di Den Haag, muncul
berbagai macam pemberontakan yang menolak berdirinya NRI dan lahirnya RIS di
tanah-air. Pada awal bulan Agustus 1949 muncul pemberontakan DI (Darul Islam)
di Jawa Barat pimpinan Sekar Maji Kartosuwiryo, yang berkembang menjadi DI/TII
(Darul Islam/Tentara Islam Indonesia), lalu menyebar ke Jawa Tengah, Kalimantan
Selatan, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Pemberontakan yang berlangsung 3 tahun
lamanya itu, berasal dari sebuah tempat kecil yang tidak jauh dari Tasikmalaya,
bertujuan mendirikan Negara Islam di nusantara.
Sibolga Pertama
Selama agresi militer Belanda pertama dan kedua hingga
kemerdekaan ayah menjabat Wedana di Sipirok Tapanuli Selatan bekerja sampai
tahun 1951. Lalu ayah dipidahkan ke ibukota Tapanuli Sibolga menjadi
Wedana d/p Kantor Gubernur Propinsi Tapanuli dan Sumatera Timur. Di Jawa Barat
ketika itu timbul pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) pimpinan
Kapten Raymond Pierre Westerling yang juga menolak berdirinya RIS lewat KMB di
Den Haag. Westerling gagal mencapai ibukota Jakarta pada tanggal 22 Januari
1950, akan tetapi berhasil menyerbu masuk ke kota Bandung keesokan harinya.
Pada tanggal 5 April 1950 muncul pemberontakan Andi Azis di Makassar. Pada
tanggal 25 April 1950 di Ambon timbul pula pemberntakan RMS (Republik Maluku
Selatan) pimpinan Dr. Soumokil yang juga menolak berdirinya RIS lewat KMB di
Den Haag. Di Kudus muncul pemberontakan Batalyon 426 meski cepat ditumpas. Akan
tetapi sisa-sisanya melarikan diri ke Jawa Barat dan bergabung dengan DI/TII.
Gangguan keamanan yang ditimbulkannya kemudian meluas ke Jawa Barat dan Jawa
Tengah bagian Barat.
Medan
Hanya satu tahun ayah bertugas di Kantor Gubernur Propinsi
Tapanuli dan Sumatera Timur di Sibolga, lalu dipindahkan ke Medan tahun 1951
menjadi Referendaris Kantor Gubernur Propinsi Sumatera di kota besar tanah Deli
itu. Pada bulan Agustus 1951 Letkol Abdulkahar Muzakar memimpin pemberontakan
pasukan yang tidak puas dengan imbalan yang diterima di Sulawesi Selatan. Tahun
berikutnya ia bergabung dengan Darul Islam di Jawa Barat pimpinan S.M.
Kartosuwiryo. Di Kalimantan timbul lagi pemberontakan gerombolan yang dipimpin
Ibnu Hajar.
Pada tanggal 27 Oktober 1951, ayah melangsungkan pernikahan
yang kedua di Pematang Siantar setelah dari perkawinan pertama tidak
mendapatkan keturunan. Kali ini ayah menikahi Nilakesuma, boru Pane dari Arse
yang tidak jauh letaknya dari kampung ayah berasal yakni Hanopan Sipirok. Pada
tanggal 30 Juli 1952, lahir anak ayah yang pertama di Medan, laki-laki, dan
diberi nama: Dirwan Yuliansyah Harahap. Kegembiraan meliputi marga Harahap dari
Hanopan idak terkecuali Dalihan na Tolu (keluarga besar)-nya mulai dari
rantau hingga kampung halaman. Acara adat anaktubu menurut adat Batak lalu
diselenggarakan di Hanopan ketika itu yang dihadiri kahanggi dan anakboru
serta mora.
Ketika pesta olah raga PON ke II tengah berlangsung di kota
Medan tanggal 20 September 1953, timbul pemberontakan di Aceh. Awalnya
Persatuan Ulama Seluruh Aceh, disingkat PUSA, pimpinan Daud Beureueh langsung
berfihak kepada Republik Indonesia usai proklamasi 17 Agustus 1945 karena
terlibat dalam usaha besar bangs yang gemilang, dan banyak menyumbang kepada
negara yang baru berdiri, antara lain: mendirikan “Indonesian Airways” dengan
pesawat Dakota buatan Amerika Serikat, daan lainnya. Maskapai penerbangan
Indonesian pertama ini lalu beroperasi di Birma (Myanmar) untuk mendatangkan
valuta asing yang dibutuhkan perjuangan bangsa menghadapi agresi Belanda. Akan
tetapi Presiden Sukarno ingkar janji yang mengecewakan PUSA, karena Aceh tidak
memperoleh status propinsi berikut keistimewaannya, namun dilebur pemerintah
begitu saja kedalam Propinsi Sumatera Utara saat itu. Pemberontakan ini
menyebabkan hubungan militer antara Aceh dan Sumatera Utara lalu memburuk dan
mengganggu rehabilitasi ladang-ladang minyak daerah-daerah Langkat dan
Pangkalan Brandan ketika itu. Pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo dari Jawa Barat
lalu meluaskan kegiatannya merambah masuk ke tanah rencong. Baru pada tahun
1962 pemberontakan akhir ini dapat diberantas dengan operasi militer dan pagar
betis untuk menangkap pemimpinnya, mengadili dan menghukum mereka. Ternyata
tidak semua dapat diselesaikan dengan cara operasi militer, karena
pemberon-takan Daud Beureueh berhasil diselesaikan lewat perundingan.
RIS yang belum lama didirikan tanpa Irian Barat terbukti
tidak bertahan lama. Dalam waktu empat bulan, satu persatu negara-negara bagian
BFO, ketika NRI masih dikepung Belanda, lalu berguguran menyisakan: Negara
Sumatera Timur (NST) dan Negara Indonesia Timur (NIT). Setelah perundingan
berlarut-larut antara negara-negara bagian yang tergabung dengan RIS dan NRI,
akhirnya Mosi Integral Mohammad Natsir diterima. Maka pada tanggal 16 Agustus
1950, RIS yang berusia sejak tanggal 20 Desember 1949 hingga tanggal 15 Agustus
1950 yang terbatas dan masih penuh ketergantungan pada Belanda saat itu,
lalu dibubarkan Presiden, lalu menyatakan Indonesia menjadi Negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang sentralistis sebagaimana di zaman pemerintahan
Hindia Belanda yang kolonial silam, menggunakan UUDS (Undang Undang Dasar
Sementara) tahun 1950, dibawah pemerintah Demokrasi Parlementer. Usaha Belanda
untuk kembali menjajah nusantara usai Perang Dunia ke-II dengan membentuk
NICA menemui kegagalan, karena Dewan Keamanan PBB di New York, Amerika
Serikat, pada tahun 1949 memutuskan negara Kincir Angin itu harus menyerahkan
kedaulatan tanah jajahannya kepada RIS; dan anak-anak pribumi berhasil
memerdekakan tanah-airnya dari penjajahan ratusan tahun lamanya.
Dengan tidak disangka-sangka, pada tanggal 19 Maret 1950
muncul sanering (penyehatan) mata uang Rupiah yang pertama setelah Indonesia
merdeka. Pemerintah RIS ketika itu menggunting uang Rupiah yang sedang beredar.
Setiap lembar uang kertas pecahan Rp.5,- keatas, dipotong dengan gunting
menjadi dua bagian. Bagian kiri lembar kertas dapat dibelanjakan 50% dari angka
tertera, sedangkan lembar kanan kertas tidak berlaku, tetapi harus dikembalikan
kepada pemerintah lewat Bank, dan dinyatakan sebagai pinjaman obligasi (wajib)
negara kepada rakyatnya, dengan janji akan dikembalikan kelak. Langkah moneter
drastis yang diambil pemerintah dinamakan “gunting Sjafruddin”, karena
diperintahkan oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang ketika itu menjabat
Menteri Keuangan dalam Kabinet RIS dipimpin Perdana Menteri Drs. Mohammad
Hatta. Devaluasi Rupiah pertama ini menggelisahkan rakyat, karena menurunkan
kualitas hidup anak-anak bangsa di tanah-air terutama yang berpenghasilan
tetap, karena pendapatan para pekerja yang menghidupi keluarga menjadi
terpangkas setengahnya.
Pada tahun timbuk peristiwa 17 Oktober 1952 di ibukota, dan
para demonstran menuntut dibubarkannya Parlemen oleh Kepala Negara. Berawal
rencana mengutus Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel A.H. Nasution belajar ke
luar negeri, seorang perwira PETA (Pembela Tanah Air) yang dekat dengan Istana
berkirim surat pada Perdana Menteri Wilopo dan Menteri Pertahanan, tentang
ketidak percayaannya pada Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP), terutama Kepala
Staf Angkatan Darat. (KSAD) ketika itu. Perwira tersebut lalu diberhentikan
karena telah melangkahi hierarki dalam militer. Merasa tidak puas, ia melapor
ke Parlemen, atau Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) saat itu, dan
pertikaian politik antara Angkatan Perang dan Parlemen lalu dimulai.
Zaenal Baharuddin, seorang anggota Parlemen yang telah
berminggu-minggu terlibat dalam perdebatan korupsi dalam tubuh militer,
mengajukan mosi tidak percaya pada Menteri Pertahanan, karena tidak mampu
menangani konflik yang terdapat dalam tubuh Angkatan Perang. I. J. Kasimo,
anggota Parlemen dari fraksi Katolik ketika itu mengusulkan pembentukan Panitia
Negera untuk menyelesaikan pertikaian. Manai Sophiaan dari PNI menimpali, agar
Panitia Negera diberi wewenang memecat pimpinan Angkatan Perang. Maka pada
tanggal 16 Oktober 1952, usul anggota Perlemen akhir ini diterima, menyebabkan
para perwira berang, karena wilayah teknis militer telah dicampuri Parlemen.
Pada tanggal 17 Oktober 1952 Letkol Kemal Idris mengarahkan
empat meriam Howitzer kedepan Istana di jalan Merdeka Utara, begitu pula
sejumlah tank ke gedung Parlemen di Pejambon di Jakarta Pusat. Ribuan preman
dan jagoan beragam kawasan seputar ibukota: Pulogadung, Pasar Minggu,
Kebayoran-Ciputat, Cileduk-Tangerang, dan Tanjung Priok lalu diangkut kendaraan
militer lalu diterjunkan di Stadion Ikada dan Lapangan Banteng. Mereka kemudian
menyerbu gedung Parlemen di seberang Lapangan Banteng, lalu menjungkirbalikkan
kursi-kursi di dalam gedung itu, memecahkan kaca, dan menuntut agar Parlemen
dibubarkan. Kobra (Komando Organisasi Barisan Rakyat) pimpinan Kol. Dr. Mustopo
yang tersohor ketika itu juga turut ambil bagian mengepung Jakarta.
Peristiwa ini tampaknya juga dilatarbelakangi oleh upaya
Kabinet didukung Parlemen untuk melaksnakan demobilisasi militer memasuki alam
kemerdekaan. Para pejuang yang merasa ikut mempertahankan negara dengan jiwa
dan raganya dalam agresi militer Belanda silam terancam disingkirkan.
Dilibatkannya penasehat militer dari negeri Belanda untuk membangun pasukan
kecil tapi profesional tidak disetuji para lasykar yang menyebabkan keretakan
dalam tubuh militer. Masuknya anasir kiri kedalam angkatan bersenjata ketika
itu turut memicu kecemasan kalangan militer yang tidak menyukainya.
Sepekan setelah perdebatan di Parlemen berlangsung, di
Teritorium V/Brawijaya terjadi pengambilalihan pimpinan oleh kelompok
anti-peristiwa 17 Oktober terhadap kelompok pro-peristiwa 17 Oktober 1952.
Begitu juga di Teritorium VII Sulawesi Selatan, dan di Teritorium II Sumatera
Selatan. Perpecahan antara kubu yang kontra dengan kubu yang pro dalam tubuh
Angkatan Perang berlanjut. Bahkan di Teritorium VII, Herman Nicholas Ventje
Sumual tanggal 2 Maret 1957 mengumumkan wilayahnya berada dalam keadaan perang.
Kudeta yang gagal tanggal 3 Desember 1952 menyebabkan Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo memberhentikan KSAD Kolonel A.H. Nasution untuk kedua kalinya,
dan menggantikannya dengan Bambang Sugeng. Lalu, tanggal 13 Maret 1957 malam,
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan wakilnya Idham Chalid mengundurkan diri,
dan mengembalikan mandat kepada Presiden Sukarno.
Keamanan negara memburuk dengan munculnya pemberontakan di
daerah-daerah, memaksa Presiden Sukarno dan Perdana Mentari demisioner Ali
Sastroamidjojo mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) untuk yang kedua
tanggal 14 Maret 1957, dan mengumumkan SOB (Staat van Oorlog en Beleg), atau
Keadaan Darurat Perang, di seluruh Indonesia. Dengan diberlaku-kannya SOB, maka
Sistim Demokrasi Parlementer yang liberal di tanah-air disingkirkan, dan
digantikan dengan Sistim Demokrasi Terpimpin sebagaimana yang diinginkan
pemerintah. Sejak dari saat itu Angkatan Perang, khususnya Angkatan Darat
menjadi amat berkuasa di seluruh nusantara.
Sejak pertengahan dasawarsa 1950, hubungan
Indonesia-Amerika Serikat dan sekutunya merenggang. Ada dua hal menyebabkan hal
ini: pertama, sikap Amerika Serikat yang semakin agresif membendung penyebaran
Komunisme di Asia Tenggara: pertama tanggal 8 September 1954 Amerika mendirikan
SEATO (South East Asia Treaty Organization) yang berpusat di Manila, Filipina,
beranggotakan: Thailand, Pakistan, Inggris, Perancis, Amerika Serikat,
Australia, dan Selandia Baru; kedua, sikap Indonesia yang tidak mau berpihak
kepada salah satu kubu, dan ingin berada dalam kubu Non-Blok, meski Perang
Dingin sudah merambah ke kawasan Asia Tenggara.
Sibolga Kedua
Pada tahun 1954 ayah kembali bertugas di Sibolga, dan
dilantik menjadi Patih menjabat d/p pada Kantor Residen Tapanuli. Sejak ayah
kembali berdiam di Sibolga, pemerintahan Sistim Demokrasi Parlementer yang
liberal dan demokratis yang mengatur negara ketika itu memperlihatkan ketidak
stabilannya, ditandai dengan sering jatuh bangunnya kabinet yang memerintah.
Setelah Indonesia meninggalkan RIS berubah menjadi NKRI dengan Sistim Demokrasi
Parlementer, jabatan Perdana Menteri ketika itu dipercayakan pada Mohammad
Natsir dari Masyumi. Pada bulan pertama pemerintahannya, Indonesia diterima
menjadi anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang ke 60. Kemudian muncul
Perang Korea yang membawa rezeki tak terduga (windfall profit) kepada Indonesia
yang membuat pendapatan eksport Indonesia terus meningkat hingga tahun 1951.
Natsir berpegang teguh pada konstitusi, dan menganggap Kepala Negara hanyalah
lambang, dan yang akhir ini tidak menyenangkan Presiden Sukarno. Kepala Negara
balik menilai Natsir lebih mementingkan ekonomi ketimbang mengutamakan
kedaulatan NKRI atas Papua. Kabinet Natsir lalu terjungkal bulan September 1950
karena tidak mempunyai basis kelompok ekonomi yang kuat di Parlemen, konon lagi
menghadapi politik retorika di luar Parlemen ketika itu.
Natsir kemudian digantikan Sukirman Wirosandjojo (April
1951 hingga Feb.1952), lalu Wilopo (April 1952 hingga Juni 1953). Kabinet
Sistim Demokrasi Parlementer yang liberal lalu silih berganti. Pada bulan Juli
1953 Ali Sastroamidjojo dari PNI menjadi Perdana Menteri memimpin kabinetnya
yang pertama. Karena Partai Masyumi, Partai Sosialis, dan partai-partai lainnya
memilih menjadi oposisi saat itu, PNI yang berkuasa terpaksa minta bantuan PKI.
Dalam pidatonya yang mempesona publik tanggal 9 Nopember 1954 di Palembang,
Kepala Negara tidak menunjukkan sikap netral terhadap semua partai. Ia
menunjukkan keberpihakan pada Kabinet Ali Sastroamidjojo dari PNI dengan jelas,
membuat Kepala Negara terjun kedalam kampanye salah satu partai menjelang
pemilu.
Pada tanggal 28 April 1954, lima orang Perdana Menteri:
Indonesia, India, Pakistan, Birma (Myanmar), dan Srilangka, melaksanakan
Konferensi Colombo di ibukota Srilangka (Ceylon) untuk membahas perdamaian
dunia. Lalu pada tanggal 29 Desember 1954, kelima Perdana Menteri juga
melangsungkan Konferensi Bogor di Indonesia. Dalam Konferensi akhir ini juga
dibahas persiapan untuk menyelenggarakan Afro-Asian Conference (Konferensi
Asia-Afrika) gagasan Sir John Kotelawala dari Srilangka.
Lalu pada tanggal 18 hingga 24 April 1954 berlangsung
Konferensi Asia-Afrika di Bandung, Indonesia. Konferensi yang dihadiri 25
negara dari Asia dan Afrika kekuatan Non-Blok itu, namun terdapat pula
utusan-utusan berbagai negara dari Blok Timur, antara lain: Vietnam Utara dan
RRT.
Pada tanggal 16 April 1955 di Sibolga lahir anak ayah yang
kedua, perempuan, dan diberi nama: Dirwani Evy Yuswita Harahap. Kegembiraan
kembali meliputi keluarga dari kahanggi, anakboru dan mora dari perantauan
hingga ke kampung halaman.
Jakarta
Ayah bekerja di Sibolga sebagai Patih setahun lamanya, lalu
tahun 1955 dipindahkan lagi, kali ini ke Jakarta, menjadi Patih d/p Biro
Pemerintahan Umum Pusat (Kantor Keresidenan) di Jakarta. Karena di tempat tugas
yang baru belum terdapat rumah, maka ayah sekeluarga untuk sementara berdiam di
“paviliun” Hotel Dharmanirmala di jalan Segara, yang berubah menjadi jalan
Veteran. Kini Hotel Dharmanirmala yang berdampingan dengan Istana Negara
di jalan Merdeka Utara itu telah tiada, karena di atasnya oleh Orde Baru telah
dibangun Kantor Presiden Suharto bernama: Bina Graha. Baru setahun kemudian
ayah sekeluarga mendapat rumah tempat berdiam di jalan Hang Tuah VIII/8
kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Pada bulan Juli 1955, Kabinet Ali Sastroamidjojo dari PNI
yang pertama mundur, dan digantikan Kabinet Burhanuddin Harahap dari Masyumi.
Kabinet ini dilantik tanggal 12 Agustus 1955 lalu menyelenggarakan Pemilihan
Umum (Pemilu) pertama setelah Indonesia merdeka. Pemilu yang bertujuan menyusun
anggota Konstituante (Dewan Pembentuk Undang-Undang Dasar) berlangsung tanggal
29 September 1955, sesungguhnya telah dipersiapkan Kabinet Ali Sastroamidjojo
sebelumnya. PKI, meski telah melaksanakan pemberontakan Madiun tujuh tahun
silam, berhasil memperoleh tempat keempat dalam pengumpulan suara, setelah:
Masyumi, NU, dan PNI.
Keberhasilan PNI dan PKI mengumpulkan suara dalam pemilu
ketika itu, tidak diragukan lagi karena keberpihakan diunjukkan Kepala Negara
pada keduanya. Untuk menanggulangi permasalahan internal Angkatan Darat,
tanggal 7 Nopember 1955 Presiden Sukarno kembali melantik Kolonel A. H.
Nasution menjadi KSAD lalu menaikkan pangkatnya menjadi Mayor Jenderal. Dalam
suasana hubungan Indonesia dengan Blok-Barat yang semakin renggang, Perdana
Menteri Burhanuddin Harahap lalu membatalkan isi perjanjian KMB yang membidani
berdirinya RIS, untuk membersihkan semua unsur yang berbau hubungan Indonesia-Belanda,
dalam melanjutkan perjuangan pembebasan Irian Barat yang independen.
Pada tanggal 20 Agustus 1955 Kabinet Burhanuddin Harahap
mengusulkan Rancangan Undang-Undang Darurat Anti-Korupsi, disingkat RUUDAK.
“Orang-orang kaya mendadak harus membuktikan bahwa dirinya tidak korupsi”,
demikian ucapan Burhanuddin yang dikutip Harian Indonesia Raya saat itu.
Menteri kehakiman Lukman Wiriadinata ketika itu menambahkan pula, bahwa
undang-undang itu akan menganut pembuktian terbalik yang berlaku surut. Dikatakannya
lagi, bahwa Pengadilan Khusus Anti-Korupsi akan dibentuk disejumlah kota:
Jakarta, Surabaya, Medan dan Makassar. Akan tetapi RUUDAK usulan Kabinet
Parlementer ini ditolak Presiden Sukarno, dan Kabinet Burhanuddin Harahap lalu
tumbang, dan terpaksa mengembalikan mandatnya kepada Kepala Negara tanggal 24
Maret 1956.
Kemudian Ali Sastroamidjojo diangkat kembali menjadi
Perdana Menteri untuk yang kedua kalinya pada bulan Maret 1956. Akan tetapi
Kabinet inipun tidak mampu bertahan lama, dan pada bulan Maret 1957 harus
mengembalikan mandatnya pada Kepela Negara. Keenam Kabinet RIS sistim Demokrasi
Parlementer yang liberal kala itu hanya dapat bertahan tidak lebih dari 6
(enam) tahun.
Untuk mengatasi kekosongan kekuasaan, maka pada tanggal 9
April 1957 Presiden Sukarno menunjuk seorang politikus non-partai: Ir. Djuanda
Kartawidjaja menjadi Perdana Menteri, yang menuai protes dari kalangan
masyarakat. Menurut budaya trias politika yang berlaku saat itu, seorang
Presiden menunjuk seorang formatur untuk menyusun Kabinet, dan bukan menunjuk
dirinya sendiri. Karena yang akhir ini merupakan pebuatan inkonstitusional yang
dilakukan oleh seorang Kepala Negara dalam Sistim Demokrasi Parlementer, dan
akan menjadi preseden buruk di tanah-air. Akan tetapi Kepala Negara melanjutkan
perbuatannya lalu menamakan pemerintah bentukannya: "Kabinet Karya".
Kabinet akhir ini memuat selain para menteri yang berasal dari wakil-wakil
golongan karya yang ada, juga memuat tiga orang perwira militer aktif yang
memimpin beberapa departemen.
Pada tanggal 10 Nopember 1956, berlangsung Sidang Dewan
Konstituante untuk menyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUDRI) yang
baru di kota Bandung. UUDRI ini untuk menggantikan Undang-Undang Dasar
Sementara (UUDS) tahun 1950 yang selama ini digunakan. Dengan diterapkannya
Sistim Pers Terpimpin oleh Kabinet Karya pimpinan Perdana Menteri Djuanda, maka
sampai akhir tahun 1957 saja telah diambil 125 tindakan pada pers di Indonesia,
tahun berikutnya 95, dan selanjutnya 73, sejalan dengan larangan berpolitik
yang diberlakukan pemerintah dalam mengebiri segala macam aktifitas partai
politik di tanah-air, dan Konstituante pun menemui lonceng kematiannya.
Pada tanggal 18 Juli 1958 di Kebayoran Baru, Jakarta, lahir
pula anak ayah ketiga, perempuan, dan diberi nama: Machnora Chairina Harahap.
Kegembiraan kembali menggema membahagiakan seluruh keluarga besar: kahanggi,
anakboru, dan mora, dari perantauan hingg ke kampung halaman.
Dalam perdebatan sidang Dewan Konstituante tanggal 2 Juni
1959 tentang UUDRI, ternyata tidak berhasil dicapai kata sepakat atas Piagam
Jakarta. Kubu Islam terdiri dari: Masyumi, NU, PSII, dan partai berazaskan
Islam lainnya menghendaki dicantumkannya kalimat,”.…dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Akan tetapi kubu Pancasila
terdiri dari: PNI, PKI, Murba, Partindo, dan Partai Katolik, menolaknya. Usul
yang kemudian disampaikan Kabinet Karya pimpinan Djuanda Kartawidjaja dalam
sidang: “agar kembali ke UUD 1945” juga ditolak dalam sidang. Walaupun demikian,
Sidang Dewan Konstituante berhasil menyusun: bentuk negara, sistim
pemerintahan, sistim perwakilan, hak azasi manusia, dan dasar Negara Republik
Indonesia.
Pada tanggal 19 Februari 1959, Presiden Sukarno mengusulkan
dibentuknya: “Kabinet kaki empat” guna menciptakan pemerintahan yang stabil
berangkat dari perolehan suara dalam pemilu; akan tetapi usul Kepala Negara ini
ditolak pimpinan partai-partai: Masyumi, NU, PNI, dan PKI. Pada bulan Oktober
1959, Brigjen A. H. Nasution meresmikan pergantian istilah teritorial di
lingkungan Angkatan Darat. Istilah “Teritorium” lalu diganti dengan “Komando
Daerah Militer”, disingkat “Kodam” dan dipimping seorang Panglima Kodam,
disingkat "Pangdam". Ke 7 (tujuh) Teritorium dalam lingkungan
Angkatan Darat diresmikan tanggal 20 Juli 1950 silam, kemudian diubah menjadi
16 (enam belas) Kodam yang terdapat di setiap Propinsi. Selain dari itu dalam
setiap Propinsi terdapat lagi “Komando Resort Militer”, disingkat “Korem”;
untuk setiap Keresidenan; “Komando Daerah Militer ”, disingkat “Kodim”, untuk
setiap Kabupaten; “Komando Rayon Militer”, disingkat “Koramil”, untuk setiap
Kecamatan; Bintara Pembina Desa”, disingkat “Babinsa” untuk setiap Desa atau
Kampung di nusantara. Semuanya menjadi bagian dari Doktrin Perang Wilayah Republik
Indonesia. Setiap jenjang lingkungan Angkatan Darat yang berada dalam kooednasi
Pangdam ini bergabung kedalam “Musyawarah Pimpinan Daerah”, disingkat
“Muspida”, bersama: Pemerintah, Kejaksaan, Kepolisian, yang terdapat di daerah.
Memerahnya warna perolitikan tanah-air mulai terlihat sejak
PKI menduduki posisi keempat dalam perolehan pemilu pertama, yang membuka jalan
kepada aliran kiri untuk mengembangkan pengaruh. Simpati kepada aliran kiri
juga datang dari Presiden Sukarno yang mengaku sebagai seorang “revolusioner”,
dan mengemukakan dalam bukunya: “Dibawah Bendera Revolusi”, disusun penulis
Cindy Adams tentang hukum revolusi: ”pukul musuh kamu, bunuh atau dibunuh;
penjarakan atau dipenjarakan, dan lain sebagainya”. Dan hukum revolusi juga
mewarnai corak kepemimpinannya. Ajaran Sosialisme dan Komunisme datang ke
nusantara dibawa orang Eropa dari negeri Belanda dan anak-anak bangsa yang
bersekolah disana, dan Eropa lainnya, tiba di tanah-air masih dalam zaman
Hindia Belanda. Henk Sneevliet, seorang Marxist Belanda, datang ke tanah Hindia
Belanda saat itu untuk mencari pekerjaan, awalnya tinggal di Semarang. Orang
kelahiran Rotterdam ini ikut mendirikan ISDV (Indische Sociaal-Democratische
Vereinigung, atau Perhimpunan Sosial Demokratis Hindia) tahun 1914, yang
beranggotakan orang-orang Belanda dan putra-putra pribumi yang antikapitalis
dan menentang pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa ketika itu.
Adapun yang disebut kaum buruh di tanah Hindia Belanda
ketika itu, ialah mereka yang tergabung dalam serikat-serikat Sekerja: Staat
Spoor Bond (Serikat Sekerja Kereta Api); Post Bond (Serikat Sekerja Pos);
Cultuur Bond (Serikat Sekerja Budaya), Suiker Bond (Serikat Sekerja Gula);
Vereniging van Spoor en Tram Personeel (Persatuan Personalia Kereta Api dan Trem),
dan lain sejenisnya; terbentuk masih dalam dasawarsa pertama abad ke-20. ISDV
kemudian berubah menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia). Pada tahun 1920
Sneevliet lalu diutus ke kongres kedua Komunis Internasional (Komintern) di
Moskow. Adapun Semaun dan Darsono serta kawan-kawannya, semula adalah anggota
Serikat Dagang Islam (SDI) didirikan di Semarang tahun 1911, lalu oleh pengaruh
Sneevliet keduanya meninggalkan SDI dan bergabung dengan PKI tahun 1920.
Partai berhaluan Marxis Leninis di tanah Hindia Belanda
saat itu tampaknya tergoda keberhasilan rekan mereka di ibukota Kekaisaran
Rusia di Petrograd tahun 1917, lalu berupaya menirukan tatacara kaum Bolshevik
merebut kekuasaan. Pada tanggal 13 Nopember 1926, PKI melakukan pemberontakan
terhadap pemerintah Hindia Belanda di Batavia, namun gagal. Pada tanggal 18
September 1948, dibawah pimpinan Muso, PKI mencoba lagi mendirikan Negara
Sovyet Sosialis Indonesia (NSSI) yang menimbulkan banyak korban jiwa di Madiun,
juga gagal. Setelah kemudian diberlakukan larangan terhadap kegiatan partai
ini, Tan Malaka kemudian mendirikan Partai Murba untuk mengisi kekosongan
partai politik aliran kiri pasca pemberontakan Madiun di tanah-air.
Marxisme adalah pandangan hidup materialisme dialektik
historis diperkenalkan Karl Marx (1818-1883), seorang Jerman, pengikut G.W.F.
Hegel. Menurut pandangan Marx, Kapitalisme itu akan runtuh dengan sendirinya
lalu berubah menjadi Sosialisme oleh berbagai kontradiksi yang ada didalamnya.
Di pertengahan abad ke-19 silam, ketika industri mulai bersemi di Eropa, hanya
segelintir orang yang memiliki kapital atau modal yang mendapat gelar ”Kaum
Kapitalis”. Sebagian besar rakyat ketika itu adalah pekerja yang mencari nafkah
diberagam industri yang tengah berkembang disebut “Kaum Buruh” yang tidak
memiliki apa-apa, kecuali dirinya sendiri. Pertentangan kepentingan lalu muncul
antara Kaum Borjuis, nama lain Kaum Kapitalis yang hidup berkelebihan, dengan
Kaum Proletar, gelar lain Kaum Buruh yang serba kekurangan dalam masyarakat
yang tidak dapat dihindarkan. Kenyataan hidup dalam masyarakat ketika itu
melahirkan ajaran (teori) pertentangan kelas dalam benak Karl Marx yang
tersohor. Masih banyak teori lain yang kemudian dikembangkan dari model
pertentangan kelas ini, atara lain: teori nilai lebih, dan lainnya, hingga
dengan ajaran moral sosialis dan komunis.
Setelah Karl Marx meninggal di Inggris, para pengikutnya
lalu terpecah dua, yakni: kaum Revisionisme Sosialis E. Bernstein, dan kaum
Marxisme Ortodox K. Kautsky. Kelompok pertama berkembang di Jerman dan
meninggalkan ajaran revolusi sosial, lalu mencari jalan damai untuk memperbaiki
nasib kaum buruh lewa reformasi. Akan tetapi kelompok kedua yang hijrah ke
Rusia dipimpin Vladimir Ilich Uliyanov Lenin, lalu menumbangkan Kekaisaran
Ramanov negeri itu dari bulan Februari 1905 hingga Oktober 1917, dengan jalan
revolusi menggerakkan kaum buruh, membentuk Kaum Bolshevik berpandangan
Marxisme Leninisme.
Kaum Bolshevik lalu mendirikan Uni-Sovyet lewat persekutuan
paksa (enforced union) dari sejumlah negara yang ketika itu berada dibawah
kekaisaran Rusia: Rusia, Belarusia, Ukraina, dan Republik trans-Kaukasia. Kaum
Bolshevik selnjutnya menurunkan Tsar Nikolas II (1868-1918) dari singgasananya
di ibukota kekaisaran Petrograd, menyebabkan seluruh wilayah kekuasaan Dinasti
Romanov yang telah berkuasa selama 300 tahun, dari Timur Polandia di Eropa
hingga ujung utara semenanjung Korea di Asia, jatuh ke tangan mereka. Tsar
Nikolas II dan istrinya berikut kelima anaknya lalu diasingkan ke Ekaterinburg
di pedalaman Siberia. Disana mereka dibantai para prajurit Bolshevik tanggal 17
Juli 1918 dengan senapan mesin di kolong bangunan. Jenazah Tsar dan keluarganya
dikubur pada tempat tersembunyi untuk menghilangkan jejak. W.I. Lenin sendiri
tampaknya yang memerintahkan pembunuhan Tsar Nikolas II dan keluarganya, karena
takut akan pengaruh Tsar yang besar di Eropa Barat yang dapat membuat revolusi
kaum buruh gagal samasekali.
Setelah Perang Dunia ke-II, Kung Chang Tang (Cina Marxis)
di Asia Timur dipimpin Mao Tze Tung berhasil mengusir Kuo Min Tang (Cina
Nasionalis) pimpinan Chang Kai Sek tahun 1949 dari daratan Cina yang luas itu,
lalu mendirikan RRT (Republik Rakyat Tiongkok). Awalnya partai Komunis Cina
dipimpin oleh Li Li San, juga beraliran Marxisme Leninisme sebagaimana rekannya
kaum Bolshevik di Rusia. Namun Mao Tse Tung yang ketika itu terasing di
pedalaman, berhasil menggerakkan kaum tani dan melakukan “long marsh” menuju
Beijing, dan menyingkirkan Li Li San dengan para pengikut kaum Bolshevik dari
negeri itu.
Berlainan dari W.I. Lenin yang melaksanakan revolusi
menggerakkan kaum buruh sejalan ajaran Marx lalu mendirikan Negara Sosialis
Uni-Sovyet (NSU) beraliran Marxisme Leninisme, maka Mao Tze Tung memodifikasi
ajaran Marx dengan revolusi yang menggerakkan kaum tani dan mendirikan Negara
Sosialis Cina (NSC) beraliran Marxisme-Maoisme. Lahir dengan demikian dua
raksasa Marxis berlatar belakang revolusi yang berbeda di dunia ketika itu: Uni
Sovyet dengan tirai besinya, RRC dengan tirai bambunya; keduanya lalu
memisahkan diri dari masyarakat dunia lainnya di muka bumi. Perbedaan kedua
negara Marxis lahir dari revolusi tampak juga pada lambang palu-arit digunakan:
palu-arit NSU bertangkai batang, sedangkan palu-arit NSC bertangkai bola.
Dengan penduduk diatas satu milyar, mendiami lahan di planet biru dunia yang
begitu luas, tidak diragukan lagi keduanya menimbulkan ketakutan besar kepada
umat manusia berpandangan: liberal, demokratis, religius, dan lainnya; termasuk
beragam bangsa yang mendiami kawasan Asia Tenggara, mulai daratan hingga dengan
kepulauannya.
Pada tahun 1950 Amerika Serikat melontarkan theori domino
di kawasan itu. Menurut ajaran ini, satu persatu negara-negara di Asia Tenggara
yang bertetangga dengan dua raksasa komunis itu akan jatuh ke pangkuan mereka
bagai robohnya barisan kartu domino. Lalu dilontarkan juga theori leap frog
(katak lompat) yang mengatakan, bahwa ajaran Marxis tidak hanya mencaplok negara-negara
tetangga berdekatan, tetapi juga melompat langsung ke Indonesia. Umat beragama
di tanah-air kebanyakan umat Islam, sudah tentu tidak bergembira menemukan
kenyataan di abad ke-20 di belahan bumi ini. Begitu juga Amerika Serikat
dibawah Presiden Eisenhower dengan Menteri Luar Negerinya John Foster Dulles
termasuk sekutu Perang Dunia ke-II silam.
Mereka lalu menyiapkan “the policy of containment”
(kebijakan membendung) kedua raksasa komunis dunia itu; karena khawatir
“program ekonomi komunis” akan mengancam “program ekonomi kapitalis” dan sistim
pasar bebas yang masih mengatur perekonomian sebahagian besar umat manusia di
bumi. Khusus untuk Australia yang dalam Perang Dunia ke-II silam telah
dihampiri Angkatan Laut Jepang sekitar laut Coral yang bermakna bahaya kuning
(Jepang), dan kini akan digantikan bahaya merah (Cina).
Dunia lalu terpolarisasi kedalam dua ajaran besar
kemasyarakatan yang tidak mudah didamaikan, dan semakin meruncing dalam
perjalanan waktu, yakni: Liberal/Kapitalis yang demokratis dan Sosialis/Komunis
yang totaliter. Dunia selanjutnya terjerumus kedalam Perang Dingin (Cold War)
usai Perang Dunia ke-II; artinya meski perseteruan antara kubu Blok Barat dan
kubu Blok Timur terus meningkat dan kian memanas dalam perjalanan waktu, akan tetapi
masing-masing fihak masih dapat menahan diri untuk tidak menggunakan senjata
yang dapat menyulut pecahnya Perang Dunia ke-III.
Kedua kubu politik-ekonomi yang mengatur kesejahteraan umat
manusia di bumi ketika itu saling bertatapan dan memperlihatkan kegeram, dan
menunjukkan taring masing-masing terha-dap lawan. Di satu fihak kaum
liberal/kapitalis berwajah demokratis pimpinan Amerika Serikat dan sekutu
Perang Dunia ke-II silam dengan ekonomi pasar berpangkalan di Washington,
terhimpun dalam Dunia Pertama (First World), dikenal dengan Blok-Barat; adapun
lawannya kaum sosialis/komunis bertampang totaliter pimpinan Uni-Sovyet dan
sekutu Perang Dunia ke-II silam, dengan ekonomi komando bermarkas di Moskow
terkumpul dalam Dunia Kedua (Second World), dikenal dengan Blok-Timur.
Adapun negara-negara di planet biru ini yang tidak ingin
bergabung dengan kubu pertama, maupun kubu kedua, menjadi kelompok negara
netral yang bergabung kedalam Kubu Tidak-berfihak yang dikenal dengan Non-Blok.
Istilah lain yang juga kerap digunakan untuk kubu akhir ini ialah Dunia Ketiga
(Third World), dan Indonesia adalah salah satu negara yang menjadi anggota kubu
ini. Dalam suasana Perang Dingin, tidak dapat dihindarkan munculnya percikan
api yang menyulut Perang Panas. Perang akhir ini lalu timbul ketika Korea Utara
pimpinan Kim Il Sung menyerang Korea Selatan Selatan yang dipimpin Syngman Rhee
tahun 1950 yang membakar semenanjung Korea. Uni-Sovyet dan China dari
Blok-Timur langsung membantu Korea Utara, sedangkan Amerika Serikat dengan
sekutunya dari Blok-Barat membantu Korea Selatan. Kedua blok mengerahkan
persenjataan masing-masing, sekaligus menguji teknologi persenjataan mutakhir
yang mereka hasilkan untuk menaklukkan lawan. Perang Korea yang berlangsung 3
tahun, merenggut tidak kurang dari 2 juta orang, dengan kerugian harta benda
yang tidak terhitung banyaknya hingga tercapainya gencatan senjata, menyebabkan
tanah semenanjung itu terbagi dua pada lintang 38° Utara hingga saat ini.
Perang Korea menyebabkan Amerika Serikat dan sekutunya
membangun Lingkaran Pertahanan Timur, mulai dari kepulauan Aleutina di
sebelah Utara Jepang (Perjanjian AS-Jepang 8 September 1951), lalu kedua
sekutu Amerika Serikat: Korea Selatan dan Taiwan di sebelah Timur, dilanjutkan
dengan Filipina (Perjanjian AS-Filipina 30 Agustus 1951) di sebelah Selatan;
untuk membendung penyebaran ajaran sosialis dan komunis. Di belahan bumi
Selatan ada pula perjanjian: Australia, New Zealand dengan United States,
disingkat ANZUS tanggal 1 September1951; begitu juga antara Amerika Serikat
dengan dua sekutunya di kawasan Asia Tenggara, yakni: Thailand dan Persekutuan
Tanah Melayu tahun 1948.
Pada tanggal 6 September 1963, muncul negara federasi
Persekutuan Tanah Melayu di bekas tanah jajahan Inggris yang sebelumnya berstatus
protektorat, terdiri dari: semenanjung Malaya, Sarawak, Sabah, Brunei, dan
pulau Singapura. Setelah usulan berdirinya negara federasi disetujui di Inggris
tanggal 9 Juli 1963, maka pada tanggal 31 an 1957 lahir Kerajaan Malaysia di
bekas protektorat Inggris terdiri dari: semenanjung Malaya, Sarawak, Sabah, dan
Singapura. Negara Federasi yang memperoleh kemerdekaan secara damai dari
Inggris dipimpin Raja dengan gelar: Yang Dipertuan Agung: Sultan…….. dengan
Perdana Menteri: Tunku Abdul Rachman Putra Al-Haj.
Pada tahun 1958 ayah diagkat menjadi Bupati, Kepala Bagian
Pemerintahan Umum di Kantor Walikota, bagian dari Kantor Gubernur Jakarta Raya.
Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Sukarno menganggap
Malaysia yang berdiri tidak melalui sebuah revolusi rakyat adalah boneka
Inggris dan Amerika di Asia Tenggara, lalu pada tanggal 17 September 1963
memerintahkan pemutusan hubungan diplomatik. Dalam konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) berlangsung di Manila dari tanggal 31 Juli hingga Agustus 1963, Kepala
Negara menuntut dilaksanakannya plebisit untuk mengetahui keinginan rakyat yang
sebenarnya di Kalimantan Utara. Akan tetapi tim yang dipimpin Michelmore dari
Amerika Serikat yang diutus Sekretaris Jenderal PBB U Thant, rupanya tidak
memuaskan Indonesia ketika itu. Maka pada tahun berikutnya Presiden Sukarno
mencanangkan perintah Dwikora dengan sasaran ganda: memperhebat ketahanan
revolusi bangsa Indonesia, dan membantu revolusi rakyat-rakyat di: Malaya,
Singapura, Sabah, Sarawak, dan Brunei, dan konfrontasi dengan Malaysia pun
dimulai. Kerajaan Malaysia terdiri dari 13 negara bagian saat itu, sembilan
diantaranya dipimpin para Sultan, lalu dengan cepat membangun perekonomian
untuk mensejahterakan kehidupan rakyatnya.
Pada tanggal 9 Agustus 1965, dengan tidak disangka-sangka
pulau Singapura dengan rakyatnya dikeluarkan dari Kerajaan Malaysia, dan sejak
dari saat itu pulau kecil ini berubah menjadi sebuah Republik Singapura yang
berdaulat dipimpin Presiden ………dengan Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Negara
pulau yang kecil ini juga dengan sangat cepat membangun perekonomian negaranya
yang mensejahterakan kehidupan rakyatnya.
Dalam periode 1950-an, sebetulnya telah tampak jelas dua
corak kepemimpinan di Indonesia ketika itu. Pertama, kepemimpinan administratif
(pragmatic minded), dilaksanakan orang-orang yang memiliki keahlian di berbagai
bidang: hukum, pemerintahan, ekonomi, managemen, pembangunan, dan lain
sebagainya, termasuk kecakapan berbahasa asing. Golongan ini sangat
menitikberatkan pembangunan sosial dan ekonomi menyimak keadaan bangsa
Indonesia ketika itu, dan dapat menerima kedatangan tenaga dan modal asing yang
akan membantu mewujudkannya. Kedua, kepemimpinan massa (solidarity maker) yakni
orang-orang yang pandai menghimpun massa lalu membakar semangatnya. Selain pandai
membakar semangat, mereka juga terampil mengumbar janji dan harapan muluk akan
hari depan bangsa, meski samasekali tidak tahu bagaimana mewujudkannya. Yang
disebut akhir ini juga pandai menemukan kambing hitam, seandainya beragam janji
dan harapan yang telah disampaikan, lalu dibawah kepemimpinan mereka nantinya
tidak menjadi kenyataan. Kepemimpinan pertama melahirkan kaum teknokrat yang
berfikir cerdas dan pragmatis, sedangkan kepemimpinan kedua melahirkan kaum
demagog, para orator pengumbar emosi para pendukung yang hanya membodohi
rakyat.
Oleh luapan emosi kemerdekaan dalam era 1950-an, corak
kepemimpinan pertama dikalahkan corak kepemimpinan kedua, menyebabkan semua
kebijakan politik industri yang berpihak kepada peanaman modal asing menurut
syarat ditetapkan, tidak memperoleh dukungan Presiden Sukarno, menyebabkan
timbulnya sentimen anti-modal asing yang berlebihan di Indonesia ketika itu.
Lebih dari 160 perusahaan milik Belanda yang terdapat di Indonesia berikut:
rumah, tanah, bisnis, dan lain sebagainya, klalu dinasionalisasi pemerintah dan
pengamanannya diserahkan begitu saja kepada militer. Sebagai akibatnya di
sejumlah lapangan minyak, muncul pengelolaan usaha yang diorganisir dan
dioperasikan oleh kelompok-kelompok pekerja bersenjata, menamakan diri “lasykar
minyak” .Mereka adalah bekas para pekerja lapangan dan pengilangan minyak di
zaman Hindia Belanda silam.
Pada tahun 1956 ladang-ladang minyak Bataafsche Petroleum
Maatschappij (BPM) Langkat dan Pangkalan Brandan di Sumatera Utara berganti
nama menjadi: Tambang Minyak Sumatera Utara (TMSU), lalu: P.T. Eksploitasi
Tambang Minyak Sumatera Utara (ETMSU), kemudian: P.T. Permina (Perusahaan
Minyak Nasional), dan tanggal 20 Agustus 1968 menjadi: P.T. Pertamina
(Pertambangan Minyak Nasional). Di Sumatera Selatan, ladang-ladang BPM juga
berganti nama jadi: Perusahaan Minyak Republik Indonesia (PERMIRI), di Jawa
Tengah ladang minyak Nederlandsche Indische Aardolie (NIAM) berganti menjadi:
Tambang Minyak Nasional (PTMN). Akan tetapi gemuruh nasionalisasi ternyata
berakhir buntung, karena orang-orang pribumi yang menguasainya tidak mempunyai
keahlian yang diperlukan untuk melola tambang minyak bermodal besar. Prokontra
lalu mencuat kepermukaan antara: kubu yang ingin mengembalikan perusahaan
minyak kepada Belanda menurut perjanjian KMB, dengan kubu yang menentangnya dan
ingin meneruskan nasionalisasi.
Perkembangan selanjunya Belanda setuju untuk membagi
kepemilikan perusahaan minyak kepada Indonesia lalu mengutamakan tenaga
lokal di lapangan. Akan tetapi di Sumatera Selatan tahun 1955, Belanda
mengganti nama ladang minyak dari: Nederlansche Koloniale Petroleum Mij (NKPM)
berkilang di Sungai Gerong menjadi: “Stanvac Petroleum” milik Amerika Serikat.
Begitu juga ladang minyak: Nederlansche Pacific Petroleum Mij (NPPM) di Riau
menjadi “Caltex Pacific”, dan ladang minyak BPM di Sumatera Selatan dan
sekitarnya yang berkilang di Pelaju menjadi: “Shell Petroleum”. Dengan demikian
ketiga perusahaan minyak milik Belanda ini lalu mendapat perlindungan hukum
Amerika Serikat, salah sebuah negara yang membidani berdirinya RIS di KMB,
menjelang penyerahan kedaulatan dari Belanda silam. Ketiga perusahaan minyak
Belanda itu menjadi milik Amerika Serikat lalu berkembang menjadi
raksa-sa-raksasa minyak dunia, meninggalkan P.T. Pertamina yang tetap raksasa
kerdil.
Koninkleijke Paketvaart Maatschapeij (KPM), perusahaan
pelayaran Belanda direbut oleh kaum buruh Marhaen lalu dinasionalisasi menjadi
PELNI (Pelayaran Nasional Indonesia). Keadaan perusahaan ini pun juga
tidak banyak berbeda dari Pertamina setelah dinasionalisasi.
Ketika Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memimpin kabinet
yang pertama tahun 1954, Indonesia lalu membuka hubungan diplomatik dengan
Uni-Sovyet. Negara yang bersuara abstain dalam resolusi Dewan Keamanan PBB
tanggal 28 Januari 1949 menjelang dilangsungkannya RTC (KMB) di Den Haag,
ibukota negeri Belanda, memiliki nama dalam bahasa Rusia bersingkatan: CCCP
atau SSSR, dan kepanjangan: Soyuz Sovietskih Sotsialisticheskih Respublik.
Langkah Indonesia ini menyebabkan Amerika Serikat dan sekutunya berpaling
dari pemerintah Indonesia lalu mendukung gerakan separatis di sejumlah daerah
di tanah-air untuk memperjuangkan otonomi daerah.
Pada tanggal 19 Maret 1956 Mr. Assaat Datuk Mudo
menyampaikan sebuah pidato dalam Kongres Importir Nasional di Surabaya, dan
mengemukakan “Orang-orang Cina sebagai suatu golongan eksklusif menolak
masuknya orang-orang lain….terutama di bidang ekonomi. Mereka begitu eksklusif
sehingga dalam prakteknya bersikap monopolistis…”. Pidato yang menimbulkan
sentimen anti-perusahaan asing lainnya, berujung dengan dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah (PP) 10 tahun 1959, oleh Departemen Perdagangan. Langkah
yang ketika itu dinamakan “Gerakan Asaat”, atau Pribumisasi, mendapat sambutan
baik dari seluruh penjuru tanah-air, terutama di pulau-pulau: Jawa, Sumatera,
Lombok, dan Sulawesi. Peraturan ini mengakibatkan dilarangnya orang asing
melakukan perdagangan eceran dari kabupaten kebawah. Orang-orang asing lalu
diharuskan melakukan alih usaha kepad orang-orang Indonesia asli. Yang dimaksud
orang asing dalam PP 10 ini ialah orang-orang Tionghoa, karena lebih dari 90%
pedagang kecil terdaftar di kantor Departemen Perdagangan ketika itu
ialah para pedagang Cina. Terhitung tanggal 1 Januari 1960, para pedagang
Tionghoa harus sudah menutup usaha perdagangan mereka.
Peraturan yang dipaksakan dengan kekuatan militer membuat
orang-orang Cina dan keturunannya terpaksa hengkang dari Indonesia untuk
kembali ke tanah leluhurnya. Pemerintah RRT (Republik Rakyar Tiongkok) terpaksa
mengirim kapal-kapal laut untuk menjemput ratusan ribu Hoakiau yang akan
meninggalkan tanah-air untuk kembali ke tanah asalnya. Banyak dari mereka lahir
dan dibesarkan di sejumlah tempat di nusantara terlanjur ikut dibawa pulang ke
Cina kemudian kecewa karena setibanya disana tidak mendapatkan apa yang
sebelumnya mereka harapkan, lalu ingin kembali lagi ke Indonesia.
Pada tanggal 20 Juli 1956 Dr. Mohammad Hatta mengundurkan
diri sebagai Wakil Presiden RI. Surat Khabar PKI: Harian Rakyat, menurunkan
komentar di bagian pojok surat khabarnya, lalu menulis: “Dwi Tunggal, tanggal
tunggal tinggal tunggal”.
Dalam reuni perwira TNI AD berlangsung tanggal 19 Nopember
1956 di Bandung, para delegasi dari tujuh teritorium korps Sekolah Staf Komando
Angkatan Darat (SSKAD) menyaksikan keadaan Angkatan Darat yang terbelah kedalam
beragam kubu. Banyak perwira dalam reuni yang mengemukakan ketidak senangan
melihat kenyataan saat itu, seperti: ketimpangan ekonomi antara pusat dan
daerah, defisit anggaran belanja negara berjalan, inflasi melambung menerobos
angka 33%, dan daya beli Rupiah yang semakin melemah saat itu. Keretakan dalam
tubuh AD periode 1956-1957 mengakibatkan munculnya polarisasi kekuasaan antara
pusat dan daerah. Dilantiknya kembali Mayor Jenderal A. H. Nasution memimpin
Angkatan Darat oleh Presiden Sukarna setelah sebelumnya diberhentikan, tidak
mendapat sambutan para perwira sebagaimana saat peristiwa 17 Oktober 1952
silam, karena ia dianggap tidak akan dapat memperbaiki kesejahteraan para perajurit
yang mendiami tangsi-tangsi militer kumuh. Bahkan ia dirtuduh terlibat mengutus
pasukan untuk menangkap para panglima yang melakukan barter dan smokel
(penyeludupan) untuk memperbaiki kesejahteraan prajurit di daerah ketika itu.
Lima hari usai reuni, sejumlah opsir telah berada di
Padang. Letnan Kolonel Ventje Sumual harus terbang ke Singapura dan dengan
speedboat menuju Pakanbaru untuk bergabung pada tanggal 10 Desember 1957. Ia
disambut Kolonel Maludin Simbolon, Letnan Kolonel Ahmad Husein, Muhammad Natsir,
Sumitro Djojohadikusumo di Sungai Dareh, di perbatasan Sumatera Barat dengan
Jambi. Lalu bergabung juga Syafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap.
Dewan Perjuangan lalu dibentuk pada tanggal 10 Januari 1958. CIA dari Amerika
Serikat dan Singapura lalu mengirim paket persenjataan lewati perairan menuju
ke Padang.
Dewan Perjuangan kemudian menyusun Piagam Perjuangan, dan
menuntut dibubarkannya Kabinet Ir. Haji Djuanda di Ibukaota Jakarta dalam waktu
5 x 24 jam. Dewan menuduh Presiden Sukarno telah bertindak inkonstitutional
dengan mengangkat dirinya sebagai formatur Kabinet, dan memecat Kol. Maludin
Simbolon dan Let. Kol. Ahmad Husein. Dewan Perjuangan lalu membentuk Pemerintah
Tandingan, dinamakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, disingkat PRRI
yang dipimpin Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara dan Herman Nicholas
Ventje Sumual sebagai panglima.
Lahir dengan demikian Dewan Banteng pimpinan Letnan Kolonel
Ahmad Husein, Komandan Resimen Sumatera Tengah yang termasuk kedalam Teritorium
I / Bukit Barisan. Dewan-dewan lain lalu bermunculan mewakili Teritorium
masing-masing, seperti: Dewan Garuda di Sumatera Selatan pimpinan Kol. Barlian,
Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Hasanuddin di Sulawesi Selatan, Dewan
Manguni di Sulawesi Utara, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan; untuk
menyatukan semua daerah yang bergolak dari Sumatera hingga Sulawesi. Mereka
kemudian mengambil alih birokasi pemerintah pusat di daerah masing-masing yang
tidak lagi mampu mengatasi keadaan.
Maka pada tanggal 2 Maret 1957, di Kantor Gubernur
Makassar, Sulawesi Selatan, H.N. Ventje Sumual selaku Panglima PRRI
memproklamirkan berdirinya Permesta (Perjuangan Semesta) yang anti-komunis
dengan otonomi yang luas bertujuan untuk membangun daerah guna kesejahteraan rakyat.
Ia lalu mengumumkan keadaan darurat perang, dan memerintahkan otonomi kepada
seluruh daerah untuk mempercepat pembangunan bangsa. Piagam proklamasi
ditandatangani 52 orang terdiri dari para tokoh -tokoh sipil dan militer saat
itu.
Pada tanggal 15 Februari 1958, di Bukit Tinggi
dikumandangkan pemerintah PRRI berhaluan anti-komunis yang menuntut
desentralisasi dengan otonomi daerah yang dipimpin Kolonel Maludin Simbolon.
Pemerintah PRRI bermaksud untuk mensejahterakan kehidupan rakyat yang telah
demikian lama terlantar sejak dilancarkannya revolusi tahun 1945 silam.
Pemberontakan daerah terhadap pemerintah pusat di Jakarta, selain dipicu oleh
ketidak puasan daerah terhadap kabinet Ali Sastroamidjojo yang amat
sentralistis dan mementingkan pulau Jawa saat itu, juga sikap pemerintah pusat
yang membiarkan rakyat di daerah-daerah yang berpotensi ekonomi baik untuk
dikembangkan tetap dibiarkan dalam kemiskinan. Minimnya anggaran pembangunan
yang dialokasikan pemerintah pusat pada daerah-daerah membuat yang akhir ini
melegalkan berbagai peraktek penyeludupan. Selain dari itu, juga ketidak
senangan daerah-daerah terhadap PKI yang semakian berhasil mendekati pusat
kekuasaan di ibukota Jakarta.
Ketegangan antara pusat dan daerah selanjutnya diwarnai
semakin mengerasnya tuntutan kaum regionalis (orang-orang di daerah) terhadap
kaum sentralis (orang-orang di pusat), lalu mengajukan tuntutan sebagaimana
yang tertera dalam Piagam Palembang tanggal 7 - 8 September 1957. Dalam
pertemuan yang dihadiri: Maludin Simbolon, Ahmad Husein, Zulkifli Lubis,
Barlian, dan Ventje Sumual, diajukan tuntutan: 1. Dikembalikannya dwitunggal
Sukarno-Hatta, dan mengangkat kembali Dr Mohammad Hatta sebagai Perdana
Menteri. 2. Menurunkan KSAD A.H. Nasution lalu para stafnya diganti. 3 Perkembangan
kaum komunis harus dibatasi dengan undang-undang. 4. Pembentukan Komando daerah
Sumatera berpusat di Padang. 5. Menjalin hubungan politik dan ekonomi yang
lebih erat dengan Permesta.
Pada tanggal 30 Nopember 1957 malam, di Jakarta muncul
usaha pembunuhan terhadap Presiden Sukarno saat menghadiri pertemuan orangtua
Sekolah Dasar di Perguruan Cikini jalan Cikini Raya 74/76 Jakarta, namun gagal,
namun banyak menimbulkan korban anak sekolah. Ketegangan antara pusat dan
daerah yang semakin meningkat saat itu, menyebabkan Perdana Menteri Ir. H.
Djuanda terpaksa turun tangan untuk menengahi, akan tetapi tidak berhasil, dan
perang saudara antara pusat dan daerah tidak dapat lagi dihindarkan.
Pada tanggal 17 April 1958 pemerintah pusat mengirim
angkatan perang ke daerah bergolak di pantai Barat pulau Sumatera, lalu
menyerang kota Padang dari laut dan udara, dan berhasil menduduki kota itu.
Pada tanggal 4 Mei, masih dalam tahun yang sama, pasukan pusat memasuki kota
Bukit Tinggi, ibukota PRRI, menyebabkan para pemimpinnya melarikan diri ke
hutan untuk bergerilya. Tak kurang dari 30.000 orang anggota pasukan gugur
hingga PRRI berhasil ditaklukkan. Para pemimpin PRRI tertangkap, tidak sedikit
yang menyerahkan diri, dan akhirnya mendapat perlakuan amnesti dan abolisi dari
Kepala Negara.
Pada tahun 1958, atas perintah yang dikeluarkan Jaksa
Agung, lima orang anggota Dewan Konstituante dari partai Masyumi ditahan,
karena mengecam konsep Demokrasi Terpimpin yang diperkenalkan Presiden Sukarno,
karena mereka khawatir akan menjadi jalan menuju pemerintahan diktator.
Peristiwa itu mengawali senjakala penegakan hukum di Indonesia, karena Jaksa
Agung telah menjadi alat kekuasaan pemerintah. Dewan Nasional, disingkat Denas,
kemudian dibentuk dipimpin bersama oleh Presiden Sukarno dengan Ruslan
Abdulgani sebagai menteri penerangan saat itu. Denas dibentuk untuk mengimbangi
Dewan Kontituante, dan para anggotanya diambil dari keempat kepala staf
angkatan bersenjata dan wakil-wakil golongan fungsionaris serta utusan daerah. Denas
lalu berkembang menjadi Golongan Karya yang berfungsi menandingi Dewan
Konstituante. Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit
yang membubarkan Dewan Konstituante, dan Indonesia lalu kembali ke UUD 1945.
Dengan demikian zaman Demokrasi Parlementer kemudian berakhir di nusantara.
Pada tanggal 4 Oktober 1957, umat manusia dikejutkan oleh
keberhasilan Uni-Sovyet meluncurkan sebuah satelit ke angkasa yang diberi nama
“Sputnik I”. Benda angkasa pertama buatan manusia itu berhasil keluar dari gaya
tarik medan gravitasi bumi, dan mengorbit pada ketinggian 480 km diatas
permukaan laut. Satelit buatan manusia yang mengitari bola bumi itu melaju
dengan kecepatan 7,5 km per detik dan menyiarkan isyarat-isyarat radio bernada
pendek.
Perang Dingin antara Blok-Barat dan Blok-Timur memasuki
usaha Amerika Serikat dan sekutunya membendung meluasnya ajaran komunisme ke
seluruh penjuru dunia. Di Eropa: Jerman Timur, Polandia, Cekoslovakia (kini
Ceko dan Slovakia), Rumania, dan negara-negara Baltik (Estonia, Latvia,
Lituania), yang dibebaskan dari cengkraman Nazi Jerman dalam Perang Dunia ke-II
silam, dengan sendirinya masuk kedalam Blok-Timur yang dipimpin Uni-Sovyet.
Adapun negara-negara Eropa diluar yang disebutkan diatas, lalu menjadi sekutu
Amerika Serikat di daratan Eropa, karena telah bekerjasama dengan negara Paman
Sam dalam Perang Dunia ke-II silam, menjadi benteng anti-komunisme di belahan
bumi Barat tergabung kedalam NATO (North Atlantic Treaty Organization),
sekaligus menjadi perisai untuk menahan penyebaran ajaran komunisme di bagian
bumi itu. Di laut tengah yang menjadi sekutu negara Paman Sam ialah: Turki dan
Yunani.
Parameter pertahanan Asia Tenggara tidak lupa juga dibentuk
oleh Amerika Serikat saat itu. Pada tahun 1956 Vietnam Utara (Tonkin) yang
beribukota Hanoi pimpinan Ho Chi-Minh giat mendukung gerilyawan Vietcong
sekitar Annam (Cochin Cina) yang menyusup ke Vietnam Selatan dengan ibukotanya
Saigon. Hal ini menyebabkan Vietnam Utara berseteru dengan Vietnam Selatan yang
dipimpin Ngo Dinh Diem. Awalnya kedua negeri itu tidak ubahnya semenanjung
Korea, yang menurut kesepakatan Geneva terbelah dua pada lintang 17° Utara.
Akan tetapi setelah berperang 19 tahun lamanya, pasukan Vietnam Utara berhasil
masuk ke ibukota Vietnam Selatan Saigon, lalu mengusir pasukan Amerika Serikat
angkat kaki meninggalkan bagian negeri Vietnam itu dengan memalukan saat negeri
Paman Sam dipimpin oleh Presiden Nixon.
Republik Sosislis Vietnam (RSV) lalu diproklamirkan tahun
1976, terdiri Vietnam Utara dan Vietnam Selatan, dengan ibukotanya Hanoi.
Seiring kejatuhan Vietnam Selatan, maka menurut teori domino, Laos pun akan
jatuh ke pangkuan aliran Marxis. Keberhasilan Vietnam Utara memembebaskan
Vietnam Selatan, membuat negeri Paman Ho itu menjadi latah perang, lalu menyerang
kerajaan Kamboja membuat tanah Khmer bertekuk lutut kepada Vietnam, dan
menjadikannya negara boneka pad tahun 1979.
Pada tahun 1972 terjadi kudeta (coup d’état) di Birma yang
saat itu dipimpin Perdana Menteri U Nu. Jenderal Ne Win yang kemudian berkuasa,
lalu memproklamirkan negaranya menjadi: Republik Sosialis Uni Birma (RSUB),
lalu mengganti nama negerinya menjadi: Myanmar. Negara Pagoda yang awalnya
sebuah negara demokrasi lalu berubah menjadi negara otoriter dipimpin junta
militer berkepanjangan hingga kini. Adapun negara-negara kawasan Asia Tenggara
yang belum jatuh ke pangkuan aliran Marxis ketika itu, baik Marxis-Leninis
model Uni-Sovyet maupun Marxis-Maois model RRT di kawasan itu menurut theori
domino, hanyalah tinggal: Thailand dan Malaysia. Adapun Singapura masih menjadi
bagian dari Malaysia ketika itu.
Zaman Demokrasi Terpimpin
Sejak dikumandangkannya dekrit 5 Juli 1959 oleh Presiden
Sukarno di Jakarta dan kembali ke UUD 45, Negara Kesatuan Republik
Indonesia beralih dari Sistim Demokrasi Parlementer (SDP) menjadi Sistim
Demokrasi Terpimpin (SDT). Istilah lain yang juga kerap diguna-kan ketika itu
ialah: Sistim Guided Democracy (SGD). Adapun tujuan kembali ke UUD 45 ialah
untuk melenyapkan sifat liberal dari Sistim Demokrasi Barat yang mendominasi
pemerintahan ketika itu, yang oleh Kepala Negara dianggap bertentangan dengan
azas permusyawaratan untuk mufakat terkandung dalam ideologi negara Pancasila,
dan kepribadian bangsa Indonesia. Dalam Sistim Demokrasi Terpimpin, Presiden
adalah seorang "Perdana Menteri", sekaligus "Panglima Tertinggi
Angkatan Perang Republik Indonesia", dan "Pemimpin Besar Revolusi
Bangsa Indonesia", sehingga seluruh kekuasaan yang ada dalam negara berada
disatu ditangan, yakni di tangan: Kepala Negara.
Kabinet Kerja I
Kabinet sistim Demokrasi Terpimpin mengawali
pemerintahannya dari tanggal 10 Juli 1959 hingga 18 Februari 1960, juga besifat
Presidensial. Kekuasaan negara berada ditangan Kepala Negara: Presiden Sukarno.
Adapun program kerja kabinet baru ini ialah:
1. Menyediakan sandang dan pangan
untuk rakyat dalam waktu sesingkat-singkatnya,
2. Menyelenggarakan keamanan
rakyat dan desa, dan
3.
Melanjutkan perjuangan menentang imperialisme ekonomi dan imperialisme politik.
Dalam kongres pemuda berlangsung di Bandung pada bulan
Februari tahun 1960, Kepala Negara menyampaikan dalam sebuah orasinya tentang
Manifesto Politik, disingkat Manipol, perjuangan bangsa Indonesia menentang
kapitalisme dan imperialisme ekonomi bersarikan USDEK, sebagaimana yang
terjabar dibawah ini:
U - Kembali ke Undang Undang
Dasar 1945,
S - Sosislisme Indonesia,
D - Demokrasi Terpimpin,
E - Ekonomi Terpimpin,
K-
Kepribadian Nasional, atau Kebudayaan Terpimpin.
Pada kesempatan yang sama ditegaskan pula oleh Kepala
Negera, bahwa UUD 1945 adalah juga Konstitusi 1945, dan Konstitusi Proklamasi.
Presiden selanjutnya mengatakan bahwa NRI (Negara Republik Indonesia) telah
berubah menjadi NSI (Negara Sosialis Indonesia). Sejumlah surat khabar ibukota
lalu berkomentar agar teriakan: “Merdeka!” diganti saja dengan “Usdek!” Pidato
Kepala Negara tanggal 17 Agustus 1960 berjudul “Djalannya Revolusi Kita” lalu
ditetapkan menjadi pedoman pertama pelaksanaan Manipol.
Dalam pemerintahan Demokrasi Terpimpin, pada bulan Agustus
1959, muncul sanering kedua mata uang Rupiah yang beredar, sembilan tahun
setelah yang pertama. Setiap uang kertas Rp.1000,- lama, dipangkas nilainya
menjadi Rp.1,- baru. Sisanya menjadi pinjaman konsolidasi negara kepada
rakyatnya yang akan dikembalikan kelak. Devaluasi Rupiah kedua yang membuat
pendapatan orang berpenghasilan tetap tinggal seperseribunya, membuat hidup
rakyat di nusantara menadi sengsara. Meski awalnya harga-harga barang dan jasa di
pasaran turun, akan tetapi karena langkah moneter akhir ini juga tidak diiringi
jaminan mata uang memadai, maka harga bahan kebutuhan pokok dan jasa lalu
meningkat.
Pada bulan Oktober 1958 bantuan Covert Operation (Operasi
Terselubung) kepada PRRI/ Permesta berdatangan dari: Amerika Serikat, Inggris,
Australia, dan sekutu lainnya. Negara-negara ini membantu PRRI/Permesta untuk
membendung meluasnya pengaruh komunis yang mengajarkan Sistim Ekonomi Komando
(SEK) corak Sosialis/Komunis yang otoriter di Asia Tenggara, dan bertolak
belakang dengan Sistim Ekonomi Pasar (SEP) corak Liberal/Kapialis lagi
demokratis yang telah lama berkembang di kawasan ini.
Selain dari itu, ajaran komunis juga menuntut dibentuknya
pemerintah totaliter atas nama negara dalam satu negara yang dilaksanakan satu
partai, bahkan oleh satu orang, yang menjalankan kekuasaan tanpa adanya kritik,
bahkan tanpa adanya partai opisisi. Pandangan politik demikian jelas bertolak
belakang dengan prinsip liberal demokratis yang telah lama berkembang di banyak
negara maju termasuk juga di negara-negara berkembang lain, dimana kekuasaan
berada di tangan partai terpilih secara demokratis oleh rakyat, dan dibenarkan
adanya kritik terhadap partai berkuasa, begitu juga hadirnya partai-partai
oposisi dalam negara yang merdeka.
Tak pelak lagi para sekutu Amerika Serikat dan Inggris di
Asia Timur, mulai dari Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Thailand, Malaysia, dan
Singapura, dikerahkan membantu pemberontakan PRRI / Permesta dengan: uang,
senjata, personalia, dan latihan militer. Pelabuhan-pelabuhan: Dumai, Painan,
lalu dimanfaatkan; termasuk danau Singkarak untuk disinggahi kapalterbang air
Catalina. Covert Operation Sekutu langsung dikendalikan dari Teluk Subic di
Filipina, dan pulau Singapura. Dengan timbulnya pemberontakan PRRI, maka
angkutan jalan-raya dari Medan ke Padang, begitu juga sebaliknya, harus masuk
kedalam konvoi (pengawalan) angkatan perang untuk keselmatan di jalan.
Pengawalan militer lalu menjadi pemandangan umum sehari-hari jalan darat di pulau
Sumatera.
Memburuknya hubungan Indonesia dengan Amerika dan sekutunya
membuka peluang politik luar negeri Uni-Sovyet berkembang ke negara-negara
dunia ketiga, termasuk Indonesia ketika itu. Hal ini semakin tampak jelas
setelah meninggalnya Josif Vissarinovich Stalin tahun 1953, yang digantikan
Perdana Menteri Malenkov, kemudian Khruschev. Uni-Sovyet tidak lagi memandang
Indonesia sebagai pengikut setia Amerika Serikat dan sekutunya. Masa itu
digunakan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dari Indonesia membuka hubungan
bilateral lewat misi diplomatik. Sejalan kebijakan baru yang diambil
pemerintah, PKI yang beraliran Marxisme-Leninisme ketika itu mendapat peluang
untuk mengembangkan pengaruhnya di tanah-air, yang pada masa sebelumnya hampir
tidak mungkin dapat diraihnya.
Perjuangan untuk pembebasan Irian Barat dilancarkan
pemerintah Indonesia lewat Majelis Umum PBB dari tahun 1954 hingga tahun 1958,
akan tetapi tidak mendatangkan hasil. Indonesia kemudian menghentikan langkah
diplomatik di badan dunia itu, lalu menggantikannya degan konfrontasi militer
lewat Trikora (Tiga Komando Rakyat) guna mengenyahkan Belanda dari bumi Irian
Barat (Papua). Pada tanggal 6 April 1956, Indonesia melaksanakan pembelian
senjata dari sejumlah negara Eropa Timur: Polandia, Cekoslovakia, Yugoslavia,
dan berusaha mengubah peta kekuatan militer di ujung Timur kepulauan Nusantara.
Indonesia yang semula pembeli senjata setia dari Blok-Barat, lalu mengalihkan
pembelian snjata ke Blok-Timur, termasuk Uni-Sovyet. Front Nasional untuk Pembebasan
Irian Barat kemudian dibentuk tahun 1958, dan dilanjutkan dengan mobilisasi
kekuatan masyarakat (sosial) di tanah-air untuk membebaskan Irian Barat dari
penjajahan Belanda.
Dalam perjuangan pembebasan Irian Barat, pemerintah
menuntut rakyat Indonesia untuk mengencangkan ikat pinggang dan menjalani hidup
sederhana. Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Sukarno memperlihatkan
dengan jelas sikap bermusuhan terhadap negara-negara, yang menurut penilaian
Kepala Negara berhaluan kapitalis dan liberal demokratis. Pemerintah Indonesia
kemudian menamakan negara-negara tersebut: “The Old Established Forces”,
disingkat “Oldefos”. Sebagai akibatnya perdagangan export ke negara-negara
tersebut, begitu juga import kebutuhan pokok dari negara-negara tadi, mengalami
gangguan yang menimbulkan kelangkaan sandang pangan dalam negeri. Sebaliknya
hubungan dagang dengan negara-negara berhaluan sosialis dan komunis, yang
menurut penilaian Kepala Negara saat itu sebagai negara-negara: “The New
Emer-ging Forces”, disingkat “Nefos”, tidak mendatangan manfaat ekonomi berarti
kepada rakyat di tanah-air, karena orang-orang sosialis dan komunis di negara
mereka hidup sederhana. Kebijakan yang diambil pemerintah mengalihkan hubungan
diplomatik dari Blok-Barat ke Blok-Timur, tidak mendatangkan perbaikan ekonomi
kepada bangsa, hanya memperbaiki hubungan persahabatan antar bangsa dan budaya
semata.
Dalam zaman pemerintahan Demokrasi Terpimpin, kaum
intelektual, pemimpin masyarakat, cendekiawan, mahasiswa, dan lainnya
diharuskan mengikuti indoktrinasi yang diselenggarakan Departemen Penerangan
RI, ketika itu dipimpin Haji Dr.Ruslan Abdulgani. Mereka diminta untuk menelaah
dan mendalami kandungan buku TUBAPI (Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi) yang
dikeluarkan pemerintah lewat Departemen Penerangan, sebagai pengamalan Ideologi
Pancasila yang telah digariskan pemerintah. Tubapi selanjutnya ditetapkan
menjadi satu-satunya rujukan bagi anak bangsa menulis karya ilmiah, seperti:
skripsi, makalah, menyusun ceramah dan pidato, dengan mengutip butir-butir
ajaran politik yang telah ditentukan pemerintah berlaku untuk seluruh
Indonesia; dan melarang intelektual bangsa mempelajari buku-buku keluaran
Amerika Serikat dan sekutu-sekutu baratnya beraliran liberal demokratis dan
kapitalis, karena oleh pemerintah Indonesia saat itu dianggap tidak sesuai
dengan ajaran Pancasila yang telah menjadi ideologi Bangsa Indonesia, juga
kepribadian Bangsa Indonesia. Menteri Penerangan R. I. yang telah haji ketika
itu lalu mendapat gelar: Haji Jubir Usman, singkatan: Haji Juru Bicara Usdek
Manipol.
Buku-buku terbitan Uni-Sovyet dan negara-negara sosialis
lain yang berbahasa Inggris kemudian membanjiri toko-totko buku tanah-air
menggantikan literatur negara-negara liberal kapitalis dan demokratis Barat
yang sebelumnya beredar dan banyak digunakan sebagai rujukan berbagai tulisan.
Datang pula membanjiri pasar buku-buku murah kertas dari koran dari anak benua
India.
Kabinet Kerja II
Kabinet Kerja pemerintah zaman
Demokrasi Terpimpin ini berlangsung dari 18 Februari 1960 hingga 6 Maret 1962,
juga bercorak Presidentil. Adapun program kerjanya, ialah sebagai berikut:
1. Menyediakan sandang pangan
untuk rakyat dalam waktu sesingkat-singkatnya,
2. Melaksanakan pengamanan rakyat
dan negara,
3. Meneruskan perjuangan
menentang imperialisme ekonomi dan imperialisme politik untuk
merebut Irian Barat.
Berbagai kejadian penting yang
muncul dalam masa kerja kabinet ini. Pada tanggal 24 Juni 1960 berhasil
dibentuk DPR-GR (DPR-Gotong Royong). Antara tanggal 10 Nopember hingga Desember
1960 Sidang Umum MPRS (MPR Sementara) telah berlangsung, melahirkan Manifesto
Politik Republik Indonesia yang menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara,
sekaligus Garis-garis Besar Politik Pembangunan Nasional Semesta Tahap Pertama
1961-1969. Sidang Umum MPRS juga mengangkat Presiden Sukarno menjadi Pemimpin
Besar Revolusi Bangsa Indonesia; sekaligus Mandataris MPRS.
Perjuangan pembebasan Irian Barat
dilanjutkan kembali setelah berbagai usaha yang dilakukan lewat PBB tidak
membawa hasil. Pada tahun 1960 Presiden Soekarno menyampaikan pidato di PBB
berjudul “To Build The World Anew” (Membangun Dunia Kembali) untuk merombak
organisasi Badan Dunia itu. Pada tanggal 17 Agustus 1960 Indonesia memutuskan
hubungan diplomatik dengan negeri Belanda, dan negeri Kincir Angin itu lalu
mengirim kapal induk: Karel Doorman ke perairan Papua. Pada tanggal 4 Maret
1961 Republik Indonesia, dengan cara berhutang, menandatangani perjanjian
pembelian senjata terbesar dengan Uni-Sovyet untuk memperkuat jajaran angkatan
perangnya.
Di Jakarta dibentuk KOTI (Komando Operasi Tertinggi)
berpusat di Istana untuk merebut Irian Barat (Papua), langsung dibawah komando
Presiden Sukarno. Dan, sejak tanggal 14 Agustus 1961 seluruh kepanduan yang
terdapat di tanah-air, mulai Padvinderij lahir di zaman Hindia Belanda silam
hingga dengan gerakan kepanduan muncul setelah Indonesia merdeka dilebur
menjadi satu, dan oleh Presiden Sukarno dinamakan: “Pramuka”.
Di Beograd, ibukota negara Yugoslavia silam, sejak tanggal
1 hingga 6 September 1961 berlangsung Konferensi Tingkat Tinggi Negara-negara
Non-Blok yang diprakarsai sejumlah negara, yakni: Indonesia, Yugoslavia, India,
Mesir dan Afganistan.
Pada tanggal 19 Desember 1961 di
Yogyakarta, Presiden Sukarno mengumandangkan perintah Tri Komando Rakyat,
disingkat Trikora, berisikan:
1. Gagalkan pembentukan
negara-boneka Papua buatan Belanda,
2. Kibarkan sang merah-putih di
Irian Barat
3. Bersiaplah untuk mobilisasi
umum untuk mempertahankan kemerdekaan dan tanah-air.
Dan pada tanggal 2 Januari 1962,
Komando Mandala untuk Pembebasan Irian Barat dibentuk dan dipimpin Jenderal
Soeharto berkedudukan di Makassar. Pada tanggal 15 Januari 1962 pecah
perpertempuran laut antara Angkatan Laut Republik Indonesia dengan Angkatan Laut
Kerajaan Belanda di Laut Arafuru. PKI yang mendapat banyak kesempatan berperan
dalam perjuangan pembebasan Irian Barat, tidak lupa pula mengorganisir
tokoh-tokoh negara Blok-Timur untuk bertandang ke Indonesia, seperti dari
Hongaria dan Polandia. Mereka datang untuk untuk menyaksikan dari dekat
konfrontasi Indonesia melawan Belanda di ujung Timur nusantara.
Selain menyiagakan ketiga angkatan perang di dalam negeri,
pemerintah juga melaksanakan mobilisasi umum dan menyelenggarakan latihan
militer terhadap terhadap masyarakat sipil, khususnya mahasiswa dan pemuda. Resimen
mahasiswa dibentuk di kota-kota besar diseluruh nusantara, dan latihan militer
diberikan kepada mereka, sehingga banyak waktu perkuliahan tersita untuk
melaksukan latihan baris-berbaris kala itu. Latihan militer lalu berkembang
dari menjadi latihan tempur ke medan perang diluar kota. Selain dari itu
terdapat sejumlah anggota resimen mahasiswa ibukota yang dikerahkan untuk
melakukan kegiatan kemasyarakatan lain antara lain: mencacar warga untuk
menghindarkan wabah berkembang, dan lainnya. Mobilisasi umum kemudian merambah
jajaran pegawai negeri sipil Republik Indonesia tersebar kedalam departemen
dari pusat hingga daerah. Tidak hanya laki-laki yang memperoleh latihan
militer, tidak terkecuali kaum wanita dari pusat hingga daerah tidak lupa
dikerahkan, menirukan tatacara negara-negara sosialis dan komunis dari
Blok-Timur yang amat populer di Indonesia ketika itu.
Pada tahun 1961 Amerika Serikat melantik Presiden baru, dan
Dwight D. Eisenhour lalu digantikan John F. Kennedy. Presiden negeri Paman Sam
yang baru mengembangkan politik luar negeri baru pula, berpaling dari yang
dilaksanakan oleh pendahulunya. Pada bulan Februari tahun berikutnya, ia
mengutus adiknya Jaksa Agung Robert Kennedy berkunjung ke Indonesia, lalu ke
Negeri Belanda, untuk meminta kedua negara yang berseteru berunding kembali.
Pada bulan September 1961, persoalan Irian Barat menjadi agenda pokok
perbincangan dalam Sidang Umum PBB.
Pada tanggal 12 April 1961, umat manusia dikejutkan oleh
keberhasilan Uni-Sovyet mengirim warga negaranya Yuri Alekseyevich Gagarin
meninggalkan bumi menuju orbit satelit mengitari bumi dengan kendaraan Vostok
I. Ia merupakan orang pertama di bumi yang menjadi antariksawan penjelajah
angkasa. Gagarin memerlukan waktu 1 jam 29 menit untuk mengitari bumi sekali,
dan merupakan orang pertama yang berhasil melawat ke luar angkasa.
Kabinet Kerja III
Sebagaimana halnya dengan dua
sebelumnya, kabinet ini memerintah antara tanggal 6 Maret 1962 hingga tanggal 13
Nopember 1963, juga bersifat Presidentil; adalah hasil pengelompokan
anggota-angota kabinet yang pendahului. Adapun program kerjanya juga tidak
berbeda, yakni:
1. Menyediakan sandang pangan
untuk rakyat dalam waktu sesingkat-singkatnya,
2. Melaksanakan pengamanan rakyat
dan negara,
3. Meneruskan perjuangan
menentang imperialisme ekonomi dan imperialisme politik guna
membebaskan Irian Barat.
Dalam UUD 1945 tercantum, bahwa: DPA, DPR dan MPR adalah
badan-badan negara yang berada diluar pemerintah, dan anggotanya tidak
diperkenankan untuk duduk dalam kabinet. Akan tetapi dalam sistim Demokrasi
Terpimpin (Guided Democracy) dengan semua kekuasaan berada di tangan Kepala
Negara, Presiden Sukarno dengan mudah menempatkan: Ketua MPRS, Ketua DPRGR dan
Wakil Ketua DPA menjadi Wakil Perdana Menteri. Kemudian mengangkat: Ketua
Mahkamah Agung, Wakil Ketua MPRS dan Wakil ketua DPRGR menjadi setingkat
Menteri, lalu didudukan dalam Kabinet. Keputusan kontrversial yang diambil
Kepala Negara ini membuka peluang PKI masuk kedalam jajaran pemerintah
sekaligus berwenang mengambil keputusan politik.
Pada tahun 1962, pengaruh Uni-Sovyet di Indonesia telah
sangat besar ketimbang di saat awal dibukanya hubungan diplomatik oleh Perdana
Menteri Ali Sastroamidjojo tahun 1957 silam. Dan bantuan yang didatangkan
negara Beruang Merah itu ke Indonesia telah pula melampaui seluruh yang pernah
diterima Indonesia dari negeri Paman Sam, baik ekonomi maupun peralatan perang,
guna mengimbangi kekuatan militer Belanda di Irian Barat yang didukung Amerika
Serikat dan sekutunya, antara lain: “Jeep Rusia” buatan pabrik “GAZ” dari
Uni-Sovyet saingan “Jeep Willis” bikinan Amerika Serikat; yang semakin banyak
berkeliaran di jalan-raya ibukota.
Presiden Amerika Serikat John Fitzgerald Kennedy mengungkapkan
foto udara yang diambil pesawat penginta U2 pada tanggal 22 Oktober 1962. Foto
udara itu memperlihatkan pembangunan instalasi peluru kendali milik Uni-Sovyet
yang sedang dibangun di Kuba. Negeri Paman Sam itu lalu memblokir wilayah laut
dan udara di gugusan kepulauan Antilla Besar yang terdapat di laut Karibia, dan
memberi ultimatum 6 hari kepada Perdana Menteri Uni-Sovyet Nikita Khruschev
yang berkusa di Kremlin, Uni-Sovyet, atau akan dihancurkan, lalu melahirkan
krisis pulau Kuba. Perang Dunia ke-III sudah berada diambang pintu. Meski
Uni-Sovyet membantah instalasi peluru kendali itu diarahkan ke jantung
Blok-Barat, akan tetapi setelah blokade berlangsung dua pekan lamanya,
Uni-Sovyet kemudian mengalah dan menyatakan bersedia menarik instalasi peluru
kendali yang terpasang di Kuba. Meskipun Presiden Fidel Castro menolak
keterlibatan Amerika Serikat dalam pengawasan darat pembongkaran instalasi
peluru kendali di pulau itu, akan tetapi negeri Paman Sam itu terus melakukan
pengawasan dari udara dan laut berbulan lamanya terhadap gugusan pulau yang ada
di laut Karibia itu.
Keamanan dalam negeri Negara Republik Indonesia menunjukkan
kemajuan dengan tertangkapnya tokoh DITII Karto Suwiryo di Jawa Barat pada
tanggal 4 Juni 1962.
Perseteruan Indonesia dengan Belanda atas Irian Barat terus
meruncing, memaksa PBB menurunkan Ellsworth Bunker, seorang diplomat Amerika
Serikat, mendesak kedua fihak yang berseteru berunding kembali. Kali ini,
perundingan antara Menteri Luar negeri Indonesia: Dr. Subandrio dengan Duta
Besar Belanda Dr. H.J. van Royen berlangsung di New York ditengahi Pejabat
Sekretaris PBB U Thant, dan berhasil mencapai kesepakatan segi-tiga: Belanda,
PBB, dan Indonesia, tanggal 16 Agustus 1962. Di tanah-air, Presiden Sukarno
pada tanggal 19 Nopember 1962 mengumumkan pencabutan dekrit “Negara dalam
keadaan bahaya” sehubungan dengan perjuangan pembebasan Iran Barat.
Perundingan New York berhasil menelurkan resolusi Majelis
Umum PBB tanggal 21 September 1962 yang memuat kesepakatan tiga fihak, yakni:
1. Pada tanggal 1 Oktober 1962, bendera PBB dikibarkan berdampingan
dengan bendera Belanda. Sejak saat itu pemerintahan di Irian
Barat dilakukan UNTEA (United Nation Temporary Executive Authority, atau
Badan Pelaksana Pemerintahan PBB) berkedudukan di Hollandia (Jayapura) Papua
Barat.
2. Pada tanggal 31 Desember 1962, Dwi Warna dikibarkan mendampingi
bendera PBB, sedangkan Sitiga Warna, atau Bendera Belanda, diturunkan.
3. Pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintah UNTEA menyerahkan kedaulatan
Irian Barat kepada pemerintah Indonesia, dan Bendera PBB di Hollandia
diturunkan.
Sejumlah negara anggota PBB mengutus waki-wakill negara
mereka berangkat ke Irian Barat untuk bertugas di UNTEA menjadi pejabat
sementara dari PBB. Dari Indonesia, Departemen Dalam Negeri R.I. mengutus M.
Diri Harahap. Pada tahun 1962 ayah sebagai pejabat UNTEA menjadi kepala Daerah
Keresidenan Hollandia di Papua. Setelah penyerahan kedaulatan istilah Hollandia
lalu digantikan dengan Jayapura.
Ayah kembali dari Irian Barat tahun 1963, dan bertugas lagi
di Kantor Residen d/p Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota, melanjutkan tugas
sebelumnya.
Pada tanggal 24 Agustus 1962, muncul siaran televisi
hitam-putih yang pertama di Indonesia, di ibukota Jakarta jam 14.30 WIB,
bertepatan pembukaan pesta olehraga Asian Games IV, dipancarkan langsung dari
gelanggang olahraga Senayan. Pesawat penerima televisi digunakan masyarakat
menangkap siaran ketika itu berasal kebanyakan dari dalam negeri hasil rakitan
Leppin, sebuah badan kerjasama antara Departemen Penerangan dan Departemen
Perindustrian Indonesia saat itu.
Berbagai peristiwa yang telah mewarnai keadaan dalam negeri
ketika itu, antara lain: pemasyarakatan Manipol Usdek. Manipol Usdek lalu
dijadikan acuan untuk semua kegiatan kenegaraan. Ada lagi gerakan Nasakomisasi
(Nasionalisme-Agama-Komunisme) yang terus digalakkan. Lalu terjadi pula
penyelewengan terhadap UUD 1945 yang sangat kentara, salah satu dari padanya
keputusan Sidang Umum MPRS tanggal 15 hingga 22 Mei 1963 yang menetapkan
Presiden Sukarno/Mandataris MPRS menjadi Presiden seumur hidup. Padahal, dalam
UUD 1945 jelas tersurat: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama
lima tahun, dan sesudahya dapat dipilih kembali. Tidak ada samasekali pasal
yang memberi kewenangan ada seseorang untuk menjadi Presiden seumur hidup.
Gerakan anti Blok-Barat berikut antek-anteknya yang oleh
pemerintah Republik Indonesia dinilai imperialis keika itu makin keras
disuarakan. Sebagai akibatnya Kedutaan Besar R.I. di Kuala Lumpur didemonstrasi
massa. Massa di Indonesia lalu membalas, dan Kedutaan Besar Persekutuan Tanah
Melayu (Malaysia dan Singapura) dan Kedutaan Besar Inggris Raya di Jakarta saat
itu didemonstrasi massa pula. Bahkan Kedutaan Besar Inggris Raya yang terdapat
di Bundaran Hotel Indonesia kemudian dibakar oleh para demonstran sampai habis.
Perdana Menteri Uni-Sovyet Nikita Khruschev menunjuk
Valentina Vladimirovna Tereshkova seorang wanita dari negeri Beruang Merah
untuk dijadikan astronaut. Dan pada tanggal 16 Februari 1963 ia mengejutkan
dunia dengan mengendarai Vostok 6 terbang ke angkasa luar. Ia menjadi wanita
pertama dunia yang mengorbit pada ketinggian satelit mengitari planit
biru.
Berbagai langkah yang diambil pemerintah corak politik
mercusuar menyebabkan Rupiah semakin merosot nilainya terhadap Dollar Amerika.
Daya beli masyarakat berpendapatan tetap: pegawai negeri begitu juga swasta
termasuk rakyat akan kebutuhan bahan pokok, seperti: sandang, pangan, dan lain
sebagainya yang didatangkan dari luar negeri kian melemah. Untuk mengatasi
permasalahan ekonomi yang terus memburuk di tanah-air, pemerintah Indonesia
lalu memperkenalkan Deklarasi Ekonomi, disingkat Dekon, yang disusul Peraturan
Pemerintah (PP) 26 Mei 1963. Akan tetapi kedua langkah yang diambil Presiden
Sukarno ketika itu tidak memperlihatkan perbaikan diharapkan, dan ekonomi
Indonesia semakin terpuruk, inflasi membengkak, dan kehidupan rakyat memburuk
dalam perjalanan waktu.
Games of the New Emerging Forces pertama, disingkat Ganefo
I, berlangsung di Jakarta tanggal 22 Nopember 1963, diikuti 48 negara dari:
Asia, Afrika, dan Amerika Latin, untuk menandingi Olimpiade Internasional.
Dalam rencananya, Ganefo I akan disusul dengan Ganefo II dan seterusnya, karena
pemerintah Indonesia saat itu menganggap Olimpiade Internasional hanya
mementingkan negara-negara kaya yang oleh pemerintah Indonesia ketika itu dicap
sebagai negara-negara imperialis dan neokolonialis.
Seruan “Go to Hell with your Aid” krmudian dilontarkan
pemerintah Indonesia terhadap negara-negara berhaluan ekonomi liberal
kapitalis. Begitu juga seruan “Berdiri diatas kaki sendiri, disingkat
berdikari” kepada anak-anak bangsa. Kedua langkah ini merugikan bangsa
Indonesia, karena Sumber Daya Manusia (SDM) di dalam negeri lalu terisolasi
dari kemajuan ilmu dan teknologi negara-negara maju, termasuk perkembangan
masyarakatnya. Juga terhalang sejumlah kerjasama antar negara/bangsa lebih
maju, baik: sosial, ekonomi, dan budaya, dari Indonesia di: Eropa dan Amerika
Utara, sebagaimana yang dinikmati negara-negara sekawasan: Malaysia, Thailand,
Singapura, Taiwan dan Korea Selatan. Kelima negara ini dengan cepat memberantas
buta huruf, lalu lewat pendidikan dan pelatihan SDM mengembangkan perekonomian
negara dan memajukan kesejahteraan rakyatnya. Beberapa darinya bahkan berhasil
memperlihatkan kepada dunia, bahwa SDM bermutu tinggi dapat mengalahkan
keterbatasan Sumber Daya Alam (SDA) untuk mendatangkan devisa.
Untuk mengalihkan perhatian rakyat dari kegagalan
pemerintah Demokrasi Terpimpin membangun ekonomi untuk mensejahterakan rakyat
yang dijanjikan dalam revolusi fisik tahun 1945 silam, dikumandangkanlah
seruan: “revolusi Indonesia belum selesai”; juga dalam berbagai pidato
kenegaraan presiden Sukarno tidak lupa mengingatkan rakyat akan adanya
pertentangan kubu: “New Emerging Forces”, disingkat “Nefos”, dimana: Indonesia
bersama negara sosialis, komunis, dan Non-Blok lainnya ketika itu berada,
melawan kubu” “Old Esta-blished Forces”, disingkat “Oldefos”, ialah
negara-negara yang menurut penilaian pemerintah Indonesia saat itu liberal dan
kapitalis serta neokolonialis.“Mana dadamu Oldefos ini dadaku Nefos”, adalah
materi bahasan konfrontatif yang selalu dikumandangkan Kepala Negara dalam
pidato berapi-api untuk menagih simpati rakyat Indonesia oleh
pemimpinnya, sekaligus menuntut kesediaan anak-anak bangsa tetap mengencangkan
ikat pinggang dan mendukung kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia ketika
itu.
Apabila dalam zaman perjuangan kemerdekaan periode 1945
hingga 1950 silam, kelangkaan: pangan, sandang, dan lainnya, disebabkan blokade
Belanda pada teerhadap kapal dagang yang bergerak keluar masuk perairan
nusantara, maka kelangkaan yang sama muncul satu dekade sesudahnya lebih
disebabkan kebijakan pemerintah Indonesia dengan sistim Demokrasi Terpimpin
yang terpenjara dalam logika politik “Nefos melawan Oldefos” tidak
berkesudahan. Indonesia hanya bersedia melakukan hubungan dagang dengan
negara-negara berlabel Nefos, istilah lain dari negara-negara Blok-Timur
berhaluan sosialis dan komunis, tetapi menolak melakukan kegiatan ekonomi
dengan negara-negara Oldefos, alias negara-negara Blok-Barat berhaluan liberal
kapitalis yang dituduh imperialis ekonomi ketika itu.
Inilah logika politik pemerintah Indonesia di zaman
Demokrasi Terpimpin dengan Deklarasi Ekonomi bersemboyan “berdikari”,
yang berdampak buruk pada kehidupan rakyat, membuat bangsa Indonesia setidaknya
tertinggal satu generasi mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi dunia, antara
lain: managemen, ekonomi, pemerintahan, kemasyarakatan, demokrasi, dan lainnya
yang berkembang di dunia ketika itu. Langkah percepatan perlu diambil untuk
mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia di beerbagai bidang agar dapat setara
dengan negara sekawasan.
Pada tangal … …, di Jakarta, berlangsung “ First
Conference of the New Emerging Forces”, disingkat “Conefo I”, dihadiri 36
negara Asia-Afrika termasuk RRT (Republik Rakyat Tiongkok) dan RPA (Republik
Persatuan Arab), untuk menandingi PBB di New York, Amerika Serikat. PBB kecil
gagasan pemerintah Indonesia itu dirancang bermarkas di Senayan, Jakarta.
Conefo I akan disusul dengan Conefo II dan seterusnya, sebagaimana
sidang-sidang umum PBB yang bermarkas di kota dagang terbesar Amerika Serikat
yang tersohor itu.
Hubungan Indonesia dengan negara-negara sosialis dan
komunis selanjutnya kian mesra dalam perjalanan waktu, ini ditandai kunjungan
sejumlah tokoh negara-negara Blok-Timur saat itu, antara lain: Presiden Antonin
Novotny dari Chekoslowakia, Presiden Liu Shao Chi dari RRC, Presiden Dr.
Heinrich Lübke dari Jerman Timur. Juga bertandang ke Indonesia Pangeran Noodom
Sihanouk dari Kamboja, dan tidak terkecuali Presiden Woroshilov dari
Uni-Sovyet. Kunjungan tokoh-tokoh Blok-Timur yang oleh Indonesia dinilai
tergolong Nefos saat itu, melahirkan aliansi politik bernama: “poros Jakarta -
Pnom Penh - Beijing - Pyong Yang”, yang ketika itu amat tersohor di belantika pepolitikan
tanah-air.
Pada tanggal 22 Nopember 1963 Presiden J. F. Kennedy dari
Amerika Serikat tertembak di Dallas, negara bagian Texas, ketika berkendaraan
atap terbuka mengelilingi pusat kota. Jiwanya tidak dapat diselamatkan,
menyebabkan Wakil Presiden Lyndon Baines Johnson naik ke tampuk kekuasaan
negeri Paman Sam itu.
Pada tahun 1964, Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser dan
Perdana Menteri Nikita Khruschev dari Uni-Sovyet meresmikan pembangunan
bendungan Aswan di Sungai Nil, Afrika. Selain untuk irigasi, bendungan dibangun
juga untuk membangkitkan tenaga listrik. Pembuatan bendungan mendapat protes
dari dalam dan luar negeri, karena membuat banyak peninggalan arkeologi zaman
urba di Mesir terendam air. Para pencinta arkheologi purba dari dalam dam luar
Mesir harus bekerja keras mencari dana guna menyelamatkan situs-situs berharga
peninggalan kemanusiaan dari tergenang air.
Pada tahun 1964 Perdana Menteri Nikita Khruschev terguling
dari pemerintahan Uni-Sovyet. Ia lalu digantikan Leonid Ilyich Brezhnev bersama
Alexey Kosygin. Dalam masa kepemimpinan L.I. Brezhnev dari tahun 1964 hingga
hingga 1982, rakyat negara Beruang Merah itu memasuki zaman keemasan, karena
jutaan blok apartemen bermunculan diseantero negeri. Mobil mewah merek “Lada”
buatan dalam negeri juga mulai berkeliaran di jalan-jalan raya negeri Tirai
Besi itu. Begitu juga: leari pendingin, televisi, dan mesin cuci, serta lainnya
menjadi perlengkapan rumah tangga rakyat banyak yang dapat dibeli di pasar.
Radio transistor juga dapat dibeli di negeri itu, sehingga
siaran radio "Liberty" dan "Voice of Amerika" yang populer
di dunia ketika itu yang menerobos angkasa negeri itu dapat didengarkan rakyat
dimana-mana kalau frekuensinya sedang tidak diacak. Dalam pemerintahan Leonid
Brezhnev tidak diperkenankan lagi polisi rahasia membuka paksa pintu-pintu
rumah rakyat negeri itu sebagaimana di zaman Josef Stalin masih berkuasa. Akan
tetapi ia mengeluarkan “doktrin Brezhnev” terkenal yang mengatakan, akan
mengintervesi setiap negara satelit Uni-Sovyet di Eropa Timur yang
berkuasa mendapat ancaman dari luar negeri.
Kabinet Kerja IV
Sebagaimana dua kabinet
pendahulunya, Kabinet ini berlangsung antara 13 Nopember 1963 hingga 27 Agustus
1964 juga bercorak Presidentil, adalah hasil pengelompokan kembali anggota-anggota
Kabinet sebelumnya. Adapun program kerja Kabinet ini, ialah:
1. Sandang pangan,
2. Pengganyangan Malaysia,
3. Melanjutkan pembangunan.
Pada tanggal 12 Desember 1964, ayah,
ibu, uak Baginda Soripada, dan Uda Zainuddin, pada tengah malam jam 03.00, mengantarkan
abang Rusli Harahap ke lapangan terbang Kemayoran untuk berangkat ke Rusia melanjutkan
sekolah. Penerbangan dengan pesawat IL-18 turboprop melalui rute Jakarta-Ranggon-Karachi-Tashkent-Moskow
ketika itu memerlukan waktu penerbangan 24 jam. Awalnya abang Rusli Harahap perlu
belajar bahasa Rusia di Baku, Azerbaijan, dan baru setahun kemudian melanjutkan
ke Московский Энергетический Институт (МЭИ), atau Moscow
Power Electric Institute (MPEI), di jalan Krasnokazarmennaya no. 14 Moskow.
E-250, Rusia 111250. Pada bulan Juni tahun 1968 abang Rusli Harahap kembali dari
Rusia dan tinggal di Jakarta lagi.
Zaman Kabinet Dwikora
Setelah Irian Barat kembali ke pangkuan NKRI, perseteruan
Indonesia dengan negara-negara Oldefos, atau negara-negara yang berfaham
liberal dan kapitalis serta imperialis, belum berakhir. Keakraban Indonesia
dengan negara-negara Blok-Timur, yang menurut pendapat pemerintah Indonesia
ketika itu tergolong Nefos, berfaham sosialis dan komunis dan totaliter justru
semakin akrab dan mesra.
Pada tanggal 16 September 1963 diproklamirkan berdirinya
Negara Federasi baru bernama Malaysia. Berdirinya negara ini disambut
demonstrasi di Indonesia dan Philipina. Hubungan Indonesia dengan Malaysia dan
Inggris menjadi genting, melahirkan konfrontasi antara Indonesia dengan bekas
negara Persekutuan Tanah Melayu (Malaysia dan Singapura). Kerajaan yang baru
berdiri dipimpin duet: Raja ........bergelar: Yang Dipertuan Agung dengan
Perdana Menteri: Tengku Abdul Rachman Al Haj. Negara baru berpandangan
politik: Liberal/Demokratis, berada dalam hubungan tidak harmonis dengan
Indonesia, ketika itu dipimpin duet: Presiden Sukarno dengan Menteri Luar
Negeri Dr. Subandrio berpandangan politik: Sosialis Indonesia dengan pemerintah
Demokrasi Terpimpin.
Pada tanggal 3 Mei 1964 Presiden
Sukarno mengumandangkan Dwi Komando Rakyat, disingkat Dwikora, yang bermuatan
berikut ini:
1. Perhebat Ketahanan Revolusi
Indonesia,
2. Bantu perjuangan revolusioner
rakyat-rakyat Malaya, Sabah, dan Serawak serta Brunai, untuk
memerdekakan
diri, dan
3. Bubarkan negara Malaysia.
Pemerintah Indonesia saat itu
menganggap Persekutuan Tanah Melayu yang berubah menjadi Malaysia adalah sebuah
boneka Inggris dan Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara.
Dimana-mana dari seluruh nusantara kemudan dihimpun
para sukarelawan yang bersedia dikirim ke semenanjung Malaya dan Sarawak di
Kalimantan Utara, untuk mengganyang negara yang dituduh sebagai boneka
imperialis itu. Para sukarelawan terdiri pula dari pasukan pilihan yang
ditempatkan di daerah-daerah perbatasan sekitar Selat Malaka dan
Kalimantan Utara. Aktivitas kebanyakan diprakarsai oleh PKI ketika itu
bertujuan memanfaatkan momentum untuk merebut kekuasaan manakala saatnya tiba.
Perlu dicatat, PKI ketika itu tengah bergant ideologi dari Marxisme-Leninisme
(model Uni-Sovyet) menjadi Marxisme-Maoisme (model Cina), karena para pemimpin
yang mengendalikan partai saat itu sedang bergeser dari angkatan tua ke
angkatan muda. Juga menyimak keadaan masyarakat Indonesia pada umumnya yang
lebih didominasi kaum petani daripada kaum buruh; sehingga model perjuangan
kaum tani dari RRT lebih cocok diterapkan ketimbang model perjuangan kaum buruh
dari Uni-Sovyet silam.
Konfrontasi Indonesia melawan Malaysia berlangsung 3 tahun
lamanya dan sangat melemahkan Indonesia di segala bidang. Karena menghadapi
pasukan yang didatangkan dari: Inggris, Kanada, Selandia Baru, dan Australia
yang memenangkan perang Dunia ke-II silam, banyak sukarelawan yang dikirim ke
perbatasan gugur siasia melaksanakan perinah, karena menjumpai keadaan yang
tidak seimbang di medan perbatasan. Lainnya tertangkap di Malaysia dan
Singapura, dipenjarakan, diadili, dan dihukum mati. Konfrontasi Indonesia
dengan Malaysia berakhir tahun 1966, setelah Presiden Sukarno terguling dari
kekuasaan oleh munculnya Gerakan 30 September di Jakarta tahun 1965.
Pada tahun 1964 Presiden Diosdaldo Makapagal dari Filipina
berkunjung ke Indonesia dalam rangka menggalang persatuan diantara
negara-negara sesama Nefos: Asia, Afrika dan Amerika Latin untuk melawan
negara-negara Odefos.
Dalam acara Lembaga Pertahanan Nasional berlangsung di
Bandung tanggal 11 Mei 1965, Presiden Sukarno dengan tegas mengatakan, bahwa
musuh Indonesia bukan datang dari Utara (Cina), akan tetapi dari Barat (Ingris
dan Amerika). Pada bulan April tahun yang sama Perdana Menteri Cina Cho En
Lay berkunjung ke Indonesia untuk bertemu Presiden Sukarno. Tamu negara
dari Utara ini mengusulkan agar di Indonesia dibentuk Angkatan ke-5, terdiri
kaum buruh dan kaum tani yang dipersenjatai. Dinamakan angkatan kelima, karena
menempati urutan terakhir setelah: 1.Angkatan Darat, 2.Angkatan Laut,
3.Angkatan Udara, dan 4.Angkatan Kepolisian.
Pada tanggal 30 Agustus 1965 massa berdemonstrasi didepan
kedutaan besar Amerika Serikat dan menuntut agar duta besar negeri Paman Sam
Marshall Green “go home” (pulang). Demonstrasi ini disusul dengan pembakaran
piringan hitam lagu-lagu the Beatles, dan buku-buku ilmu pengetahuan terbitan
Barat. Sastra Manifesto Kebudayaan, disingkat Manikebu, dan kebudayaan dari
Amerika Serikat dan sekutunya ditolak dan peredarannya lalu dilarang di
tanah-air.
Berawal surat Duta Besar Inggris Gilchrist ditujukan kepada
Menteri Luar Inggris di negeri kemudian jatuh ke tangan Dr. Subandrio Menteri
Luar Negeri Republik Indonesia. Surat tentang keadaan di Indonesia ketika itu
menceritrakan kerjasama Inggris dan Amerika Serikat di Indonesia, memuat
untaian kata: “our local army friend”. Mempercayai keaslian surat tersebut,
Menteri Luar Negeri lalu menyampaikannya kepada Kepala Negara. Pada tanggal 26
Mei 1965 Presiden Sukarno memanggil Pimpinan TNI dan membacakan isi surat itu.
A. Yani selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat ketika itu menjawab, tidak ada
hubungan Perwira TNI dengan Inggris dan Amerika Serikat. Ia juga membantah
adanya Dewan Jenderal dalam tubuh Angkatan Darat yang berada dibawah
kepemimpinnya.
Maka pada malam tanggal 30 September 1965, muncul Gerakan
30 September, disingkat G30S, yang disusul penculikan dan pembunuhan terhadap
tujuh orang pimpinan Angkatan Darat Republik Indonesia: Menko HANKAM/KASAB,
Menteri Panglima Angkatan Darat berikut para asistennya, oleh sekelompok
perwira Angkatan Bersenjata simpatisan PKI aliran Marxisme/Maoisme di Jakarta.
Para korban dituduh menjadi anggota Dewan Jenderal yang berusaha menggulingkan
Presiden Sukarno dari kekuasaan, kemudian disiksa, dibunuh, dan dimasukkan
kedalan sumur tua di Lubang Buaya untuk menghilangkan jejak. Akan tetapi
Jenderal Abdul Haris Nasution yang termasuk dalam daftar penculikan, luput dari
perbuatan makar yang keji itu.
Dalam siaran RRI, Letkol Untung, Komandan Balatyon
Cakrabirawa Pengawal Presiden, mengumumkan Kabinet Dwikora demisioner, dan
negara berada dibawah Dewan Revolusi Indonesia (DRI) yang ia pimpin
bersama empat orang wakil. Keesokan harinya Presiden Sukarno mengatakan bahwa
dirinya berada dalam keadaan sehat walafiat dan mengumumkan masih memegang
tampuk pemerintahan; ia juga mengatakan apa yang telah terjadi adalah hal biasa
dalam sebuah revolusi. Pernyataan Presiden Sukarno, sekaligus Perdana Menteri
Demokrasi Terpimpin dan Pemimpin Besar Revolusi Bangsa Indonesia, berarti
Revolusi yang tlah menyengsarakan Bangsa Indonesia sejak saat itu telah
memangsa anak-anaknya sendiri, sebagaimana revolusi-revolusi yang berlangsung
di negeri Tirai Besi aliran Marxisme/Leninisme diktatur proletar, dan negeri
Tirai Bambu aliran Marxisme/Maoisme yang diktatur kaum tani itu.
Standing order (perintah menanti) Angkatan Darat
mengatakan, bila Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani berhalangan,
Panglima Kostrad dijabat Mayjen Suharto mengambil alih pimpinan, menyebabkan
yang disebut akhir ini bertindak melaksanakan penumpasan. Lolosnya Jenderal
Abdul Haris Nasution meruntuhkan moral Gerakan 30 September, menyebabkan yang terlibat
pada makar lalu mencari perlindungan Kepala Negara. Pada tanggal 1 Oktober
1965, Presiden Sukarno memerintahkan Mayjen Pranoto Reksosamudro menjadi
pelaksana harian menggantikan Letjen Ahmad Yani. Sebagai akibatnya muncul
dualisme kepemimpinan dalam tubuh Angkatan Darat ketka itu. Panglima Angkatan
Laut lalu mengatakan tidak mendukung G30S, begitu juga Panglima Angkatan Udara
setelah meralat keterangan sebelumnya. Penyelesaian dualisme kepemimpinan
Angkatan Darat lalu terpulang kepada Kepala Negara.
Merasa tidak aman di Istana Negara Jakarta, Presiden
Sukarno yang memimpin sidang Kabi-net tanggal 11 Maret 1966 terburu-buru
mengungsi ke Istana Bogor dengan helikopter, dan me-nyerahkan pimpinan sidang
pada Waperdam II yang dijabat Dr. Leimena ketika itu. Tarik ulur antara
“standing order” dengan “perintah Presiden” menggantikan Letjen Ahmad Yani
menjadi agenda utama sidang saat itu. Presiden Sukarno kemudian mengeluarkan
surat perintah 11 Maret 1966, disingkat Supersemar, untuk menertibkan kerusuhan
Ibukota. Supersemar melahirkan lem-baga bernama:“Panglima Komando Opersi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban”, disingkat “Pangkopkamtib”. Mayjen Suharto
yang menerima supersemar dari Kepala Negara menjadi Pangkopkamtib yang
melaksanakan tugas menertibkan Ibukota.
Tanggapan Presiden Sukarno terhadap keadaan ibukota
menimbulkan ketidak puasan masyarakat ketika itu, terutama sikap Kepala Negara
terhadap para pemimpin PKI yang terlibat: G30S, penganiayaan Mesjid Jami
Kanigoro di Kediri, pembunuhan di Perkebunan Negara Bandar Betsi, pembantaian
di Lubang Buaya, dan lainnya. Presiden Sukarno yang meninggalkan istana dan
berada di Halim Perdanakusuma ketika itu hanya memerintahkan agar fihak-fihak
berseteru menghentikan gerakan, akan tetapi tidak bersedia membubarkan PKI yang
telah melakukan makar. Padahal rakyat yang anti-komunis dimana-mana tengah
menantikan keberpihakan Kepala Negara kepada penegakan hukum adil beradab.
G30S telah menimbulkan gempa politik dahsyat di tanah-air,
menyebabkan jutaan orang terbunuh semena-mena oleh tindakan pemerintah yang
membenarkan aniaya pada anak-anak bangsa di tuduh komunis golongan A ketika
itu. Mengirim belasan ribu lainya ke Pulau Buru terisolasi dari masyaakat
Indonesia lainnya di Maluku kepada yang disangka komunis golongan B, dan jutaan
orang lainnya yang memperoleh perlakuan diskriminatif sebagai warga
negara Indonesia dalam masyarakat yang dituduh orang komunis golongan C.
Menteri PTIP (Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan), saat
itu dijabat Dr.Syarif Tayeb, tanggal 25 Oktober 1965, lalu mengundang sejumlah
tokoh dan para mahasiswa anti-komunis datang kerumahnya bertukar fikiran
untuk mencari jalan keluar. Lahirlah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia,
disingkat KAMI, untuk menyingkirkan Perhimpunan Pergerakan Mahasiswa Indonesia,
disingkat PPMI, Majelis Mahasiswa Indonesia, disingkat MMI, yang para
pemimpinnya berafiliasi dengan PNI Ali-Surachman, disingkat PNI-ASU. KAMI
kemudian bergerak mendukung ABRI untuk mendirikan kekuatan Orde Baru. Langkah
para mahasiswa lalu disusul Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia, disingkat
KAPPI; Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia, disingkat KAPI; Kesatuan Aksi Guru
Indonesia, disingkat KAGI; Kesatuan Aksi Buruh Indonesia, disingkat KABI;
Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia, disingkat KASI; Kesatuan Wanita Indonesia,
disingkat KAWI; dan lainnya. Seluruh kesatuan aksi lalu berkembang menjadi
Front Pancasila berke-dudukan di Jakarta.
Pada tanggal 28 Juli 1965 Ferry Awom dari kelompok
Organisasi Papua Merdeka, disingkat OPM, memproklamirkan di Monokwari berdirinya
negara Papua Barat yang bebas dari NKRI dan merekrut para pemuda untuk
melaksanakan perang gerilya. Mandacan adalah salah satu kelompok OPM yang
sangat gigih memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat.
Pada tanggal 13 Desember 1965, Kabinet Dwikora pimpinan
Presiden Sukarno kembali melakukan sanering mata uang Rupiah yang beredar, enam
tahun setelah penyehatan kedua. Langkah moneter drastis ini membuat uang
Rp1000,- lama setara dengan uang Rp.1,- baru. Karena jaminan uang Rupiah baru
tidak dibuat lebih baik dari sebelumnya, pendapatan karyawan berpenghasilan
tetap kembali terpangkas, menyebabkan kehidupan rakyat Indnesia makin sengsara.
Selain dari itu, ada lagi ketentuan tambahan diberlakukan, setiap penukaran
uang lama dengan uang baru, dikenakan pungutan 10% untuk “Dana Revolusi”. Kini,
tidak ada lagi janji pemerintah mengembalikan uang rakyat yang hangus karena
sanering Rupiah yang terus menyengsarakan hidup orang banyak. Harga-harga bahan
kebutuhan pokok lalu melambung, inflasi mencapai 650% dan mengarah 1000%.
Sanering Kabinet Dwikora sistim Demokrasi Terpimpin ini menyulut kemarahan para
mahasiswa ibukota yang langsung turun ke jalan-jalan raya untuk berdemonstrasi.
Sebagai akibat dari rangkaian sanering Rupiah yang diabil
pemerintah dibawah pimpinan Presiden Sukarno: pertama 1/2, kedua 1/1000, dan
ketiga 1/1000, maka uang Rupiah tahun 1965 menjadi tinggal 1/2.000.000
dari Rupiah tahun 1950, membuat para pekerja, baik pegawai negeri maupun
karyawan swasta, tidak lagi mampu menghidupi keluarga dari tempat mereka
bekerja mencari nafkah. Ketiga langkah sanering Rupiah dalam sistim Demokrasi
Terpimpin mengantarkan ekonomi Indonesia menemui kehancuran yang menyengsarakan
hidup rakyatnya dalam tempo 16 tahun, atau satu setengah dasawarsa, sesudah
kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan tanah Hindia Belanda kepada RIS
di Den Haag tahun 1949 yang diterima Dr. Mohammad Hatta.
Pada tanggal 10 Januari 1966, di
halaman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Salemba, Front Pancasila
menyampaikan “Tri Tuntutan Rakyat”, disingkat Tritura, kepada pemerintah untuk
segera dijawab. Adapun ketiga tuntutan mahasiswa tadi ialah:
1. Bubarkan PKI,
2. Rombak Kabinet Dwikora, dan
3. Turunkan harga-harga bahan
kebutuhan hidup rakyat.
Tiga hari setelah Tritura dibacakan, Presiden Sukarno
menunjukkan kemarahan sekaligus penyesalan atas para menteri kabinet yang
diteriaki para mahasiswa dengan kata-kata: “goblok dan tolol”, “suka kawin”,
“menteri gundik” dan “vestin (vested interest)”. Hartini yang sedang menjadi
ibunegara ketika itu tidak luput dari kecaman para mahasiswa yang sedang marah.
Mahasiswa menuntut agar vestin dienyahkan karena menjadi musuh pembaharuan
bangsa dan koreksi total perekonomian negara. Tiga perbendaharaan kata,
masing-masing: Tritura, Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat), dan Tuhanura
(Tuntutan Hati Nurani Rakyat) menjadi seruan populer yang diteriakkan massa
yang berdemonstrasi saat itu. Kepala Negara rupanya tidak menghiraukan tuntutan
para mahasiswa membuat kesatuan aksi menjalar ke berbagai kota lain di
tanah-air.
Pada tanggal 15 Januari 1966, berlangsung sidang Kabinet
Dwikora di Bogor dipimpin Presiden Sukarno yang ketika itu dihadiri pula
oleh sejumlah tokoh KAMI. Kepala Negara juga berjanji akan menyelesaikan
persoalan politik di tanah-air. Pada saat itu ia juga menawarkan kepada siapa
saja yang dapat memperbaiki ekonomi Indonesia yang telah hancur dalam waktu
singkat.
Tuntutan mahasiswa, pelajar, masyarakat, terus menggema
dalam perjalanan waktu. Keadaan Jakarta saat itu, digambarkan mingguan Amerika
Serikat terkenal: Newsweek dengan ungkapan: “sixty days that shook the world”
(60 hari yang mengguncang dunia). Pemerintah Indonesia ketika itu berusaha
keras menekan aktivitas beragam kesatuan aksi, dan Menteri Luar Negeri R.I.
selaku Waperdam I Dr. Subandrio, semakin memperlihatkan perlawanan dengan
melangsungkan rapat akbar di Senayan. Ia bahkan mengatakan:“bahwa tindakan
teror harus dibalas dengan teror pula”. Ucapan ini memicu bentrokan fisik
antara pendukung pemerintah dengan penentangnya. Selain dari itu Presiden
Sukarno juga menganjurkan dibentuk: “Barisan Sukarno”, dengan semboyan “Hidup
matiku bersama Bung Karno”. Presiden Sukarno menunjuk Chaerul Saleh selaku
Waperdam III menjadi pemimpin tertinggi Barisan Sukarno. Tindakan ofensif
dilancarkan Dr. Subandrio selaku Waperdam I sekaligus Menteri Luar Negeri yang
didukung Presiden Sukarno saat itu, tidak menyurutkan gerakan beragam kesatuan
aksi, bahkan semakin menyalakan dan menggelorakan semangat mereka
memperlihatkan perlawanan.
Kabinet Dwikora Disempurnakan
Presiden Sukarno lalu mereshuffle Kabinet Dwikora,
menjadikannya Kabinet Dwikora disempurnakan, lebih dikenal lagi dengan Kabinet
100 Menteri. Dalam kabinet yang disempurnakan ini terdapat seratus orang
menteri yang memimpin departemen, termasuk mereka yang telah dicurigai
masyarakat terlibat dalam G30S. Menjelang pelantikan Kabinet Dwikora
disempurnakan tanggal 24 Februari 1966 di Jakarta, sejumlah kesatuan aksi
turun kembali ke jalan-jalan raya di ibukota. Mereka memblokade semua jalan menuju
Istana yang akan dilalui para menteri, mengempeskan ban-ban mobil yang ada di
sepanjang jalan raya agar tidak dapat bergerak lagi. Lahirlah “Angkatan 66”
yang melakukan tindakan koreksi.
Para demonstran di ibukota kemudian bergerak memasuki
kantor-kantor yang para menterinya dicurigai terlibat G30S, antara laini:
Departemen Luar negeri (Deplu) dan juga lainnya. Lalu muncul istilah “DPR
jalanan” di tanah-air. Rumah kediaman Waperdam I Dr. Subandrio dan para menteri
dicurigai terlibat G30S tidak luput menjadi sasaran untuk dimasuki. Sejak
dilangsungkannya reshuffel, kekuasaan Kabinet Dwikora telah diganjal
kekuatan fisik para demonstran secara formal di lapangan yang mewakili rakyat.
Banyak menteri saat itu terpaksa menginap di guest house istana. Kegiatan
belajar mengajar dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi di sejumlah kota
terlantar; dan baru dapat dimulai lagi berbulan lamanya kemudian.
Pada bulan Januari 1966 berlangsung seminar KAMI di
Universitas Indonesia Jakarta, untuk menemukan cara memperbaiki ekonomi bangsa
yang hancur. Pada tanggal 30 Januari 1966, KAMI mempelopori massa melaksukan
apel Siaga di depan gedung DPRGR guna menolak diselenggarakannya Nawaksara,
yakni pidato pertanggungjawaban Presiden Sukarno dihadapan Parlemen. Dan pada tanggal
9 Februari 1966, KAMI mensponsori pawai Ampera sepanjang 4 km di kota Bandung.
Pada tanggal 26 Februari 1966, Presiden Sukarno memerintahkan KAMI agar
dibubarkan. Lalu pada tanggal 3 Maret 1966, Presiden Sukarno memerintahkan agar
UI (Universitas Indonesia) ditutup, akan tetapi gerakan Tritura dan
aktivitas demonstrasi yang dilakukan berjalan terus.
Sebuah tembakan dilepaskan Pasukan Pengawal Presiden
didepan Istana Merdeka mengenai Arief Rachman Hakim, seorang mahasiswa
Universitas Indonesia, dan menewaskannya. Di ibukota berlangsung pula pawai
motor-notor besar yang menuntut dibubarkannya PKI, mendukung ABRI; lalu
menuntut diturunkannya harga-harga bahan kebutuhan pokok rakyat. Pada tanggal 8
Maret 1966 demonstrasi sejenis berlangsung pula di Surabaya. Demikianlah
hari-hari menegangkan berlalu satu persatu di tanah-air ditengah dualisme
kepemimpinan yang masih bertahta di ibukota negata ketika itu: disatu fihak
Presiden Sukarno yang bersikeras tidak bersedia membubarkan PKI, dan difihak
berseberangan berbagai kesatuan aksi dan ABRI yang tetap setia pada pancasila
menuntut PKI harus dibubarkan.
Karena yang diharapkan rakyat tidak juga kunjung tiba,
perjuangan lalu diarahkan ke pusat tirani kekuasaan, yakni Presiden Sukarno
yang jadi benteng Orde Lama. Perlawanan berbagai kesatuan aksi akhirnya sampai
pada puncaknya, ketka Presiden Sukarno memerintahkan Mayjen Suharto tanggal 11
Maret 1966 untuk menertibkan keadaan. Perintah Kepala Negara untuk menertibkan
keadaan di ibukota tanggal 11 Maret 1966 itu, lalu dikenal dengan: "surat
perintah sebelas Maret", disingkat "supersemar". Dan pada
tanggal 12 Maret 1966, Mayjen Suharto lalu mengumumkan pembubaran Partai
Komunis Indonesia berikut mantel-mantelnya dari seluruh tanah-air.
Pada tanggal 16 Maret 1966 mahasiswa, pemuda, dan pelajar,
lalu menuntut DPRGR membersihkan Kabinet Dwikora dari oknum-oknum yang terlibat
G30S. Maka pada tanggal 29 Maret 1966, KASI di Bandung mengatakan bahwa
perjuangan mahasiswa/pelajar menjadi koreksi “Angkatan 66” terhadap “Angkatan
45” yang sudah menyeleweng dari tujuan revolusi bangsa Indonesia sebenarnya.
Dan pada tanggal 27 April 1966, KASI Jakarta menolak DPA bentukan Presiden
Sukarno tanggal 23 April 1966 sebelumnya. Keesokan harinya, KAMI juga menolak
pelantikan DPA baru itu.
Pada tanggal 6 Mei 1966, di Universitas Indonesia Jakarta
dilangsungkan Simposium Ekonomi bertema: “Menjelajah Trace Baru untuk
Indonesia” dipimpin moderator Prof. Widjojo Nitisastro. Pada bulan Juni 1966
KAMI, KAPPI, KAPI dan lainnya menyelenggarakan pawai besar di seumlak kota:
Jakarta, Bogor, Bandung, untuk menolak SUMPRS. Pada bulan Desember 1966
berlangsung pawai besar di Jakarta yang mendukung pernyataan ABRI untuk
melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen.
Keinginan bangsa Indonesia untuk
memulihkan kembali perekonomian bangsa yang telah hancur dibawah pemerintah
sistim Demokrasi Terpimpin dibawah Presiden Sukarno dengan, berangkat dari:
1. hasil
seminar KAMI bulan Januari 1966 di Jakarta;
2. ketetapan
MPRS No. XXIII/ 1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang Pembaruan Landasan
Kebijakan Ekonomi, Keuangan dan
Pembangunan;
3. seminar Angkatan
Darat tanggal 11 Agustus 1966 di Bandung,
lalu menelurkan Peraturan 3
Oktober 1966 yang terkenal. Ketiganya menjadi landasan kuat bagi Kabinet Ampera
untuk memulihkan dan menstabilkan kembali perekonomian bangsa Indonesia yang
telah porak poranda oleh kebijakan pemerintah sebelumnya. Semboyan “Revolusi
yang belum selesai” dari zaman pemerintah Demokrasi Terpimpin, kemudian diganti
dengan ”Revolusi damai” dalam zaman pemerintah Demokrasi Pancasila yang baru
dibangun.
Pada tanggal 3 Februari 1966, umat manusia kembali dikejutkan keberhasilan Uni-Sovyet mendaratkan Luna-IX, sebuah pesawat angkasa di permukaan bulan, lalu mengirim gambar televsi hitam-putih batuan bulan dari lingkungan sekitarnya ke bumi.
Pada tanggal 3 Februari 1966, umat manusia kembali dikejutkan keberhasilan Uni-Sovyet mendaratkan Luna-IX, sebuah pesawat angkasa di permukaan bulan, lalu mengirim gambar televsi hitam-putih batuan bulan dari lingkungan sekitarnya ke bumi.
Kendati masih menuai banyak: polemik, kritik, emosi
politik, terhadap berbagai langkah dan kebijakan yang akan diambil untuk
menyelamatkan perekonomian bangsa Indonesia saat itu, maka sistim Demokrasi
Terpimpin berikut segala kebijakan yang ada dialamnya, dikenal dengan Orde
Lama, lalu ditinggalkan dan digantikan dengan sistim Demokrasi Pancasila
berikut sejumlah kebijakan baru yang akan dilaksanakan, lalu dikenal dengan
Orde Baru.
Zaman Demokrasi Pancasila
1. Masa Pemulihan Sosial
Ekonomi
Dengan lahirnya Supersemar, maka
dualisme kekuasaan lalu lenyap, dan Mayjen Suharto membubarkan PKI dengan
seluruh mantel organisasinya dari seluruh Indonesia, dan melarang penyebaran
ajaran Komunis di tanah-air, terkecuali di lingkungan Pendidikan Tinggi sebagai
bagian dari pengetahuan sosial, dan menangkap para Menteri yang terlibat dalam
G30S. Tindakan Pangkopkamtib itu disambut masyarakat dengan gembira, mulai:
mahasiswa, pelajar, pemuda hingga dengan ABRI. Para mahasiswa, pemuda, pelajar,
ABRI, RPKAD, dan Kavaleri kemudian melangsungkan pawai kemenangan di ibukota
Jakarta.
Setelah keadaan ibukota kembali tenang, satu-satunya musuh
yang dihadapi bangsa dan negara saat itu memerangi inflasi untuk
memulihkan lagi perekonomian bangsa. Dibawah kepemimpinan Suharto selaku Ketua
Presidium Kabinet Ampera saat itu, Indonesia meminta kembali menjadi anggota
PBB; juga menjadi anggota beragam badan yang bernaung dibawah badan dunia itu,
antara lain: IMF dan Bank Dunia. Missi ekonomi dipimpin Sultan Hamangkubuono ke
IX diutus ke Eropa dan Jepang, untuk menjelaskan kebijakan pemerintah Indonesia
yang baru, sekaligus mohon penundaan pelunasan hutang. Ketika itu, Indonesia
sudah tidak mempunyai uang samasekali untuk membayar hutang kepada IMF yang
besarnya US$ 55.000.000. Ketika itu negara hanya dapat menyerahkan US$ 30,000
sebagai tanda “kemauan baik, atau goodwill”, dengan janji akan mencicil
kekurangannya berangsur-angsur kemudian.
Dalam periode antara tanggal 19 hingga 20 September 1966,
di Tokyo berlangsung pembicaraan “Tokyo Club” bertema “The Indonesia Case”.
Pada ketika itu delegasi Indonesia dapat bertemu langsung dengan wakil-wakil
kreditor IMF dan Bank Dunia. Kemudian ada pula pembicaraan “Paris Club” untuk
membahas sejumlah hutang yang pernah dibuat Indonesia. Dari Moskow datang pula
utusan Uni-Sovyet yang dipimpin Sergiev menagih hutang berjumlah US$ 2,4
Milyard. Tagihan negeri Beruang Merah ini adalah hutang lama Indonesia untuk
membangun berbagai proyek yang tidak banyak manfaatnya kepada pembangunan
bangsa oleh lemahnya managemen ketika itu, sehingga baik lokasi maupun ukuran
pabrik yang tidak mencerminkan kelayakan ekonomi yang diperlukan; semata dibuat
berdasarkan keputusan politik saat itu. Sebagai akibatnya proyek-proyek yang
dibiayai dengan pinjaman itu tidak dapat melunasi cicilan pembayaran (debt
service) yang diperlukan. Akan tetapi, setelah berunding di Jakarta, utusan
Uni-Sovyet itu bersedia menerima cara pelunasan hutang kesepakatan Paris Club.
Negeri Belanda lalu berinisiatif membentuk lembaga IGGI
(Inter-Governments Group on Indonesia) yang lalu bersidang di Amsterdam, Negeri
Belanda, untuk menolong Indonesia keluar dari kemelut ekonomi lewat pinjaman
bersyarat ringan. Pinjaman dari IGGI ternyata lebih ringan persyaratannya
ketimbang yang diterima Indonesia dari Blok-Timur silam. Pinjaman dari
Blok-Barat lalu kembali berdatangan ke Indonesia, dari: Inggris, Jerman Barat,
Kanada, Amerika Serikat, Nederland, Jepang, dan Bank Dunia; seluruhnya
berjumlah US$ 2,265 Milyard. Adapun bantuan yang datang dari Australia
kebanyakan besifat grant. Pinjaman bersyarat lunak yang diterima Indonesia
dalam rangka IGGI menurut Prof. Widjojo Nitisastro merupakan contoh baik yang
patut ditiru negara-negara berkembang lain. Dari model pinjaman luar negeri
IGGI, Indonesia kemudian beralih ke CGI (Consortium of Governments on
Indonesia) yang bermarkas di Paris, Perancis.
Melalui tindakan tiga bidang yang dilakukan Kabinet Ampera:
keuangan, moneter, dan perdagangan, maka pada tahun 1967 defisit anggaran
negara dapat dikendalikani, dan tahun 1968 lenyap samasekali; lalu pada tahun
1969 pemerintah Indonesia dibawah Sistim Demokrasi Pancasila mulai dapat menabung
kembali.
Pada tahun 1967, Proyek Serbaguna Jatiluhur diresmikan,
setelah melalui masa pembangunan 10 tahun. Waduk penampung 9.000.000 meter
kubik air untuk pengairan persawahan luas di Jawa Barat, juga membangkitkan
tenaga listrik 6 x 31 MW, yang disalurkan ke Jakarta dan Bandung lewat saluran
udara tegangann tinggi (SUTT) bertegangan 150 kV. Proyek yang dikerjakan
konsultan dan kontraktor dari Perancis itu berhasil menyelesaikan satu dari
tiga kaskada yang direncanakan terdapat di sepanjang aliran sungai Citarum yang
bermata air di Gunung Wayang.
Untuk menghindarkan kepemimpinan nasional ganda di
tanah-air, karena Sukarno masih menyatakan diri sebagai Presiden R.I.yang sah
meski telah meringkuk dalam penjara, maka Jenderal A.H. Nasution selaku Ketua MPRS
pada sidang umum MPRS tahun 1967, kemudian mengangkat Mayjen Suharto menjadi
pejabat Presiden Republik Indonesia untuk menggantikan Sukarno.
Perjalanan Ibadah Haji
Pada tanggal 3 Juni 1967, ayah bertolak pulang dari menunaikan ibadah Haji di Tanah Suci di Mekah dan Madinah, Saudi Arabia. Kebetulan ayah ditunjuk Majelis Pimpinan Haji (MPH) sebagai pejabat Pemerintah R.I. untuk memimpin perjalanan Kapal Haji Indonesia
terakhir dari Tanjung Periok menuju Jeddah. Kapal haji Sunan Gunung yang digunakan mengangkut 2213 orang jemaah menuju Tanah Suci. Kapal haji ini memperoleh kesempatan singgah di Djibouti tidak jauh dari tanduk Afrika, saat itu masih
berada dibawah pemerintah Perancis, menjelang masuk ke pelabuhan Jeddah.
Rombongan kapal haji Indonesia mendapat sambutan yang baik dari pemerintah Saudi
Arabia selama di Tanah Suci: Mekah dan Madinah dalam menunaikan rukun kelima agama
Islam. Turut dalam perjalanan kapal haji ke Tanah Suci keponakan ayah si
Todas Harahap boru uda Dimpu Harahap dari Hanopan sebagai perawat di kapal haji terakhir itu. Selama di berada di Tnah Suci dari tanggal 5 Februari sampai 2 Juni 1967, ayah tidak putus-putusnya memanjatkan doa kepada kedua orang-tua, kakek, dan Amang Tobangnya. Ia juga sempat menziarahi makam kakeknya Sengel Harahap, gelar Baginda Parbalohan yang dimakamkan di Jeddah pada tahun 1928 dalam perjalanan pulang ke tanah-air setelah menunaikan ibadah haji.
Perjalanan Ibadah Haji
Kapal Haji Sunan Gunung Djati
Revolusi dimanapun dan kapanpun terjadi di dunia, tidak
ubahnya sekeping uang logam berwajah ganda, terdiri dari: revoltare dan
revolvere. Yang pertama bekerja menumbangkan sistim kemasyarakatan lama yang
tidak lagi sesuai dengan zamannya, sedangkan yang kedua bertugas membangun
sistim kemasyarakatan baru yang lebih baik untuk menggantikannya. Revolusi
bangsa Indonesia baru melakukan revoltare dan belum sampai melahirkan
revolvere. Akibatnya, "revolusi yang belum selesai" itu tidak
memangsa anak-anaknya semata tetapi ikut pula meyeret dan memangsa “Pemimpin
Besar Revolusi” yang menggeakannya.
Setelah 20 tahun merdeka, dari tahun 1945 hingga tahun
1965, kaum pergerakan ternyata tidak berhasil menjadikan Revolusi Bangsa
Indonesia jembatan emas yang mengantarkan anak-anak bangsa di tanah-air
hijrah dari kemiskinan menuju masyarakat sejahtera yang dijanjikan. Ini terbukti
dari adanya keluhan sementara anak-anak negeri ketika itu yang bertanya
oleh masih susahnya kehidupan: “kapan merdeka ini selesai?” Juga oleh kerinduan
sementara anak bangsa pada suasana hidup di zaman Hindia Belanda silam,
disebut “zaman normal”, khususnya mereka yang bekerja pada zaman itu.
Maka dalam sidang MPRS tahun 1968, Suharto lalu dengan
resmi dikukuhkan menjadi Presiden Republik Indonesia kedua.
Kabinet Ampera dengan Sistim Demokrasi Pancasila bertujuan
memperbaiki kesalahan pemerintah Sistim Demokrasi Terpimpin, terlebih Kabinet
100 menteri, yang telah menimbulkan kekacauan administrasi aparatur negara,
menciptakan kesimpangsiuran wewenang dan tanggungjawab; membuat perekonomian
negara terpuruk dan menyengsarakan kehidupan rakyat. Dalam Sistim Demokrasi
Terpimpin kekuasaan ada di tangan satu orang: Presiden Sukarno, baik sebagai:
Kepala Negara, Perdana Menteri, dan Pemimpin Besar Revolusi. Karena itu,
pengawasan oleh lembaga perwakilan rakyat sesuai UUD 1945 tidak dapat berjalan;
pemegang tampuk kekuasaan lalu berbuat liar, sewenang-wenang, dan menjelma
menjadi seorang diktator.
Benar kata Lord Acton dari Inggris yang menyatakan: “power
tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely, artinya: kekuasaan
cenderung menyeleweng, dan kekuasaan mutlak akan menyeleweng mutlak pula".
Ternyata, pengemban kekuasaan tidak lagi dapat dikendalikan lalu membawa
malapetaka kepada bangsa Indonesia, baik: pemerintahan, perekonomian,
kemasyarakatan, kebudayaan, dan tatanilai yang berlaku ketika itu.
Pada tanggal 6 Juni 1968, Kabinet Pembangunan dilantik
untuk mengganti Kabinet Ampera yang selama ini mengemban tugas mengawasi:
keuangan, moneter, pedagangan, dan perhubungan. Pada tanggal 30 Desember 1968,
Presiden Suharto mencanangkan "Rencana Pembangunan Lima Tahun
Pertama", disingkat Repelita I, sebagai tanda dimulainya kegiatan
pembangunan di nusantara. Repelita I merupakan bagian dari "Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama", disingkat RPJPTP, periode 25
sampai 30 tahun kedepan untuk Indonesia.
Pada tanggal 23 Februari 1969, jam 16.00, ayah sekeluarga
mengantar abang Arifin Harahap ke lapangan terbang Kemayoran yang akan berangkat
ke Kuala Lumpur, Malaysia. Abang Arifin Harahap adalah salah seorang dari
sekitar 90 orang guru angkatan pertama yang akan diberangkatkan dari tanah-air
menuju negeri jiran dalam rangka kerjasama Indonesia-Malaysia, saat ne-geri akhir
ini dipimpim Perdana Menteri Tun Abdul Razak. Diantara mereka yang turut melepas
abang Arifin Harahap dari Kemayoran ketika itu, ialah: abang Rusli Harahap, namboru-namboru:
Utir Harahap, Sahada Harahap, Lige Harahap, iboto Zubaidah Harahap bersama sua-minya,
abang Lahuddin Harahap, dan si Irsan Harahap
Pada tanggal 5 Maret 1969, ayah sekeluarga berduka setelah
menerima khabar bahwa amangtua: Sutor Harahap, gelar Baginda Pandapotan yang
lama bermukim di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan telah berpulang ke
rakhmatullah.
Pada tahun 1969 ayah dipromosikan menjadi Gubernur Muda dan
bertugas d/p Kantor Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Pada tanggal 20 Juli 1969, umat manusia dikejutkan oleh
keberhasilan misi angkasa luar Amerika Serikat: Appolo XI mendaratkan manusia
di permukaan bulan, benda langit yang mengitari bumi. Misi ini diluncurkan
tanggal 16 Juli 1969 dari Cape Canaveral, Florida, didorong Roket Saturn V.
Setibanya di permukaan bulan, Astronout Neil Armstrong menuruni tangga Modul
Pendarat (Landing Module) lalu menginjakkan kakinya di permukaan bulan sambil
berkata: “one small step of man, but a great leap of mankind, artinya: sebuah
langkah kecil manusia, namun langkah besar kemanusiaan", dan disusul Edwin
Aldrin. Kenyataan ini masih tidak mudah diterima oleh sebahagian besar umat
manusia di bumi saat itu, termasuk juga anak-anak bangsa di tanah-air.
Setelah Penentuan Pendapat Pakyat, disingkat Pepera, yang
berlangsung di Iran Barat tanggal 1 Desember 1969 sebagaimana isi kesepakatan
segitiga: Indonesia, Belanda, dan PBB, dan dimenangkan Indonesia, maka
perjuangan bangsa Indonesia membebaskan Irian Barat pun selesai. Tidak seluruh
warga Papua Barat dapat menerima keputusan pepera, karena ada yang berpendapat
bahwa pemerintah Belanda berjanji akan memberi kemerdekaan kepada wilayah Papua
Barat pada tanggal 1 Desember 1971.
REPELITA PERTAMA
Kabinet Pembangunan I
Pada tanggal 23 hingga 24 Februari 1979, Di Bali,
berlangsung Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Association of South East Asian
Nations, disingkat ASEAN. Konferensi ini bertujuan untuk merajut kembali
kerukunan hidup negara-negara Asia Tenggara yang porak poranda akibat politik
konfrontasi rezim Orde Lama Indonesia, dengan meninggalkan logika Nefos melawan
Oldefos, yang menjadi kebijakan pemerintah sistim Demokrasi Terpimpin dengan
Dwikoranya. Dengan demikian persahabatan bangsa-bangsa yang berdiam dikawasan
Asia Tenggara dapat dibangun kembali untuk kemajuan: sosial, ekonomi, ilmu
pengetahuan, dan budaya.
Pada bulan Desember 1979, Uni-Sovyet menyerbu ke Afganistan
untuk menjadikan negara itu satelit Blok-Timur. Presiden Carter dari Amerika
Serikat membantu para pejuang rakyat Afganistan untuk melakukan perlawanan dari
Pakistan untuk menghalanginya.
Pada tahun 1972 ayah pensiun dan berhenti dari semua
kegiatan pemerintahan yang selama ini menjadi kesibukannya sehari-hari. Ayah
tidak berhenti berkegiatan, namun kini mengalihkan perhatian ke praktek hukum
menjadi advokat dan pengacara setelah menyelesaikan Fakultas Hukum Extension
UI. Pada tahun 1975, setelah menyelesaikan ujian bersangkutan, ayah lalu
mendirikan “Kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah” beralamat kantor jalan Hang Tuah
VIII/8 Kebayoran Baru, Jakarta.
Pada tahun 1973 Amerika Serikat meluncurkan Stasiun Angkasa
Skylab didorong roket Saturn V. Tidak seperti rekannya Stasiun Angkasa Salyut
buatan Uni-Sovyet yang mendapat banyak kesukaran teknis saat diluncurkan dua
tahun sebelumnya, Skylab sukses mengorbit di angkasa menjadi tempat pemondokan
para astronaut pada ketinggian orbit. Akan tetapi, oleh noda matahari yang
tinggi saat itu, orbitnya merosot terlalu cepat. Sebagai akibatnya,
tanggal 11 Juli 1979, Skylab terjerumus kedalam atmosfir bumi yang membuat
bagian-bagian Skylab yang tidak sempat habis terbakar lalu berjatuhan di benua
Australia dan Samudra Hindia.
REPELITA KEDUA
Kabinet Pembangunan II
2. Masa Represi Sistematis
Mahasiswa ibukota pada tanggal 15
Januari 1974 di Jakarta, beramai-ramai turun ke jalan-raya untuk berdemonstrasi
menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang: Kakuei Tanaka. Negara Matahari
Terbit saat itu dituduh menjadi lambang dominasi modal asing di Indonesia yang
harus ditolak. Aksi long marsh mereka lakukan dari Kampus Universitas Indonesia
di Salemba menuju Kampus Universitas Trisakti di Grogol, sambil mengajukan tiga
tuntutan kepada pemerintah, yakni:
1. Memberantas korupsi,
2. Mengubah kebijakan ekonomi
terhadap modal asing,
3. Membarkan lembaga Asisten
Pribadi Presiden.
Usai long marsh mahasiswa berlangsung, sekelompok massa
yang tidak jelas darimana datangnya lalu menyerbu: Pasar: Senen, Blok M, dan
Pusat Perdagangan Gelodok. Mereka lalu menjarah barang, membakar toko dan mobil
bikinan Jepang, memperkosa, dan membunuh, yang menimbulkan "Malapetaka
Limabelas Januari", disingkat "Malari". Lalu muncul theori
“killing ground” dialamatkan kepada para mahasiswa, karena saat itu mereka
dituduh telah merencanakan kerusuhan (vandalisme), dan mereka berada di
lapangan bersamaan dengan kerusuhan yang menimbulkan kekacauan, pembakaran, dan
pembu-nuhan. Pemerintah lalu beralasan untuk memberlakukan UU Antisubversi yang
represif, dan menangkap, mengadili, dan menjebloskan para mahasiswa aktivis
kedalam rumah tahanan dan penjara. Sejarah lalu terulang kembali, Revolusi
Damai pemerintah Orde Baru ternyata memangsa juga anak-anaknya sendiri, yakni
para mahasiswa aktivis yang telah menolong Orde Baru menumbangkan Orde Lama.
Pada tanggal 19 Desember 1974 di Yogyakarta, bertepatan
perayaan Ulang Tahun ke-25 Universitas Gajah Mada, Presiden Suharto menunjukkan
perhatian kepada "ideologi pancasila". Menurut pendapat Kepala
Negara, ideologi negara ini seharusnya dilaksanakan dengan murni dan konsekuen
sejak Dekrit 5 Juli 1959 silam, akan tetapi dalam periode 1959-1965 lalu timbul
penafsiran menyimpang. Hal ini muncul ketika Presiden Sukarno menganjurkan
digabungkannya tiga pandangan hidup yang berkembang dalam masyarakat Indonesia
saat itu: nasional, agama, dan komunis, menjadi:
"nasional-agama-komunis", disingkat "nasakom", yang membuka
peluang kepada PKI mengembangkan ajaran Marxisme menuru keadaan di Indonesia.
Kemudian pada Dies Natalis ke-25 Universitas Indonesia di
Jakarta tanggal 15 Februari 1975, Presiden Suharto memperkenalkan gagasan:
"Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila", disingkat
"P4", untuk mengamalkan ideologi negara itu. Lalu dibentuk Badan
Pekerja MPR untuk menanggapi gagasan Kepala Negara/Mandataris, dan sejumlah
rapat Panitia Ad-Hoc dilangsungkan. Lahir dengan demikian Tap MPR No.II/MPR/98
tentang P-4, yang disampaikan kepada pemerintah untuk dilaksanakan. Dengan
ketetapan baru ini, semua lembaga negara dan swasta termasuk pendidikan yang
ada di tanah-air diharuskan mengikuti penataran P-4. Penataran P-4 menjadi
sarana pendidikan politik bangsa yang digariskan oleh pemerintah Orde Baru
dibawah pimpinan Presiden Suharto.
Pada tanggal 20 Mei 1975, ayah sekeluarga berduka setelah
mendapat khabar dari kampung, bahwa Namboru Siti Angur Harahap yang berdiam di
Hanopan telah berpulang ke rakhmatullah.
Sembilan hari setelah wilayah Timor Timur memisahkan diri
dari Portugal dan pada tanggal 28 Nopember 1975 memproklamirkan kemerdekaan.
Indonesia kemudian menyerbu Timor Timur untuk menjadikannya propinsi yang ke 27
NKRI. dengan menimbulkan banyak korban. Keamanan di propinsi yang baru itu lalu
bergolak sampai dengan didatangkannya International Forces for East Timor (Pasukan
Keamana Internasional untuk Timor Timur) guntuk mengtasi keadaan. Dan pada
Tanggal 20 Mei 2002, Timor Timur diumumkan menjadi sebuah negara merdeka
anggota PBB yang berdaulat.
Untuk menyebarluaskan P-4 ke seluruh tanah-air, lalu
dibentuk "Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila", disingkat "BP-7"; sebuah Lembaga
non-Departemental yang langsung berada dibawah Presiden Suharto. Selain dari
"BP-7 Pusat" beralamat di Pejambon Jakarta, terdapat lagi
cabang-cabang BP-7 Pusat di Daerah Tingkat I, dan Daerah Tingkat II., yang
bertugas menjadi pelaksana lapangan penataran P-4 di seluruh nusantara.
Rencana untuk membangun "Taman Mini Indonesa
Indah", disingkaat "TMII", yang diusulkan ibunegara Tien
Suharto tidak mendapat persetujuan para mahasiswa di tanah-air saat itu, karena
khawatir akan menyebabkan timbulnya korupsi. Pemerintah Orde Baru pimpinan
Presiden Suharto lalu memberlakukan "Normalisasi Kegiatan Kampus/Badan
Kegiatan Kampus", disingkat NKK/BKK, di seluruh perguruan tinggi
yang ada di tanah-air. Lalu muncul larangan pemerintah Orde Baru terhadap para
mahasiswa untuk melakukan kegiatan politik di kampus.
3. Peristiwa Tanjung Periok dan DOM Aceh
Pada tanggal 4 Desember 1976, Tengku Hasan Tiro
mendeklarasikan "Gerakan Aceh Merdeka", disingkat "GAM", di
Aceh. Ini disebabkan penguasaan "Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional", disingkat "Bapenas", terhadap "Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah", disingkat "Bappeda" yang berlebihan. Saat
itu GAM menyerang kompleks Mobil Oil di Lhok Seumawe, dan TNI ketika itu masih
bernama: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, disingkat ABRI, lalu terlibat
saling membunuh dengan GAM. Pemerintah Orde Baru kemudian mengirim pasukan dan
menetapkan Aceh sebagai "Daerah Operasi Militer", disingkat DOM.
Ribuan pasukan "Komando Opersi Khusus", disingkat
"Kopassus", lalu diterjunkan ke bumi Seulawah untuk menumpas gerakan
separatis itu. Pada tahun 1990 jumlah pasukan telah mencapai duabelas ribu
orang, bersandi Operasi Jaring Merah. Ribuan rakyat menjadi korban DOM, kuburan
massal bermunculan dimana-mana di bumi Serambi Mekah itu. Puluhan ribuan wanita
lalu menjadi janda, dan tidak terhitung jumlah anak-anak yang telah kehilangan
orang tua yang amat mereka cintai.
Pada tanggal 21 September 1979 televisi berwarna pertama
muncul di ibukota Jakarta, bertepatan dengan pembukaan SEA (South East Asia)
Games ke VIII yang berlangsung di Jakarta.
Pada tahun 1979, Revolusi Iran pimpinan Ayatollah Rohullah
Khomeini meletus, dan berhasil menggulingkan Syah Iran dari singgsananya di
ibukota Teheran, menimbulkan keberangan Amerika Serikat. Raja yang sedang
bertakhta di tanah Persia itu terpaksa harus meninggalkan tanah-air untuk
selamanya.
Negeri jiran Malaysia yang memperoleh kemerdekaan tanggal
31 Agustus 1957 secara damai dari Inggris dengan gemilang berhasil
menyelesaikan program ekonomi negara yang mensejahterakan rakyatnya. Sejak
tahun 1980 negeri Melayu anggota ASEAN itu, telah berkembang menjadi negara
"tujuan wisata kerja" (labour tourism destination) kawasan Asia.
Ratusan ribuan tenaga kerja dari: Indonesia, Filipina, Vietnam, Srilangka dan
Bengladesh, lalu mengadu nasib mengunjungi negeri itu untuk menjadi:
pembantu rumah tangga, pekerja bangunan, buruh kilang, dan lainnya. Para pengadu
nasib dari beragam bangsa ini telah mengubah wajah negeri: Sultan, Datuk, dan
Encik itu menjadi segelintir negara Asia terkemuka di duia.
Pada tanggal 13 Oktober 1981, ayah sekeluarga kembali
berduka setelah mendapat khabar bahwa paman Dr. Pamusuk Harahap yang bermukim
di Padang telah berpulang ke rakhmatullah di kota Mekah, dalam perjalanan
menunaikan ibadah Haji ONH ke Tanah Suci.
Pada tahun 1981 Ronald Wilson Reagen terpilih menjadi
Presiden Amerika Serikat yang baru. Ia berhasil mengalahkan Jimmy Carter dalam
kampanye menangani persoalan sandra Amerika Serikat di Iran. Meski menjadi
orang tertua yang pernah memerintah di Amerika Serikat ketika pertama terpilih,
namun rakyat negeri Paman Sam itu masih memilihnya kembali tahun 1984. Ia lalu
digantikan Bill Clinton tahun 1989.
REPELITA KETIGA
Kabinet Pembangunan III
Dalam sidang MPR yang dipimpin oleh ketuanya Haji
Amirmachmud, pada tanggal 9 Maret 1983, Presiden Suharto mendapat anugerah
gelar Bapak Pembangunan Indonesia.
Sejak bulan Juli 1983 muncul peristiwa di Indonesia yang
kemudian dikenal dengan "Penembakan Misterius", disingkat
"Petrus". Ribuan orang telah terbunuh sia-sia oleh perbuatan yang
bertentangan dengan sila prikemanusiaan yang terdapat dalam ideologi Pancasila.
Fihak berwenang awalnya mengatakan bahwa hal ini disebabkan perkelahian antar
geng, atau karena melawan petugas. Ada lagi sumber lain yang mengatakan
perbuatan ekstralegal itu sengaja dilakukan pemerintah sebagai terapi kejut
guna menekan melonjaknya kejahatan. Negeri Belanda, lewat Menteri Luar
Negerinya Hans van den Broek, meminta pemerintah Indonesia untuk menghormati
hak azasi manusia, dan menaksir bahwa petrus telah menewaskan sedikitnya 3000
orang.
Pada tanggal 9 Januari 1983, ayah sekeluarga kembali
berduka setelah mendapat khabar bahwa Haji Muhammad Nurdin Harahap, abang
kandung ayah yang selama ini berdiam di Sibolga, telah berpulang ke
rakhmatullah.
Pada tanggal 22 Februari 1983, ayah sekeluarga kembali lagi
berduka setelah menerima khabar bahwa Haji Maujalo Harahap, gelar Baginda
Paruhum, abang kandng ayah yang berdiam di Hanopan telah berpulang ke
rakhmatullah.
REPELITA KEEMPAT
Kabinet Pembangunan IV
Dengan tidak disangka-sangka, pada tanggal 14 September
1984 timbul tragedi kemanusiaan di Tanjung Periok. Awalnya ada spanduk
bertuliskan “Agar Wanita Memakai Pakaian Jilbab” terpampang di Musholah
As-Sa’adah, yang saat itu dianggap tidak sejalan dengan Asas Tunggal Pancasila
yang diberlakukan pemerintah. Lalu muncul penangkapan yang dilakukan Kodim
setempat terhadap warga yang dituduh membakar sepeda motor Babinsa. Masyarakat
yang memprotes kemudian memenuhi jalan Sindang Raya, Tanjung Priok, dan sekitar
jam 23.00 WIB mereka bergerak menuju Kodim setempat dan menuntut pembebasan
rekan mereka yang ditahan. Didepan kantor Polres Jakarta Utara rombongan
tertembak peluru tajam tanpa peringatan. Ratusan orang gugur jadi korban,
huruhara pun meledak, dan toko orang Tionghoa lalu dijarah massa.
Pada tahun 1985 berlangsung pembangunan waduk Kedungombo
untuk pengairan 70 hektar sawah pertanian dan membangkitkan tenaga listrik 22,5
MW dimulai. Waduk yang menyita lahan 6000 hektar itu, akan merendam 37
desa di kabupaten-kabupaten: Boyolali, Grobogan, dan Sragen, dan memindahkan
5000 kepala keluarga dari tempat mereka berdiam selama ini untuk selamanya.
Pada tanggal 26 April 1986, dunia dikejukan malapetaka
nuklir di Pusat Iistrik Tenaga Nuklir (PLTN) Chernobyl, Ukraina, kala itu masih
merupakan di Negara Bagian dari Uni-Sovyet. PLTN yang terdiri dari empat
reaktor di tepi sungai Dnyeper itu gagal mengendalikan reaktor keempat,
menyebabkan suhunya terus meningkat dan menimbulkan kebakaran. Tidak dapat
dihindarkan sinar radioaktif yang meninggalkan reaktor yang terbakar itu,
begitu pula debu radioaktif yang berterbangan ke udara lalu dibawa angin
menyebar ke sebahagian daratan Eropa.
Tidak dapat disangkal kota moderen Pripyat berdekatan PLTN
harus segera dikosongkan, begitu juga penduduk dalam radius 30 km dari pusat
bencana; lalu membunuh semua hewan dijupai untuk menghindarkan penyebaran radioaktif.
Pemerintah negeri Beruang Merah saat itu kelabakan, tidak tahu harus
berbuat apa. Partai komunis yang berkuasa bahkan berbuat kesalahan dengan tetap
melaksanakan perayaan hari buruh 1 Mei 1986 di kota berdekatan dengan sumber
radiasi. Korban pasca “little boy” dijatuhkan di Hiroshima (Jepang) 41 tahun
silam lalu terulang kembali, meski bukan dalam keadaan perang. Tak kurang dari
93.000 orang tewas termasuk 25.000 para pekerja PLTN. Jutaan warga di sekitar
yang mengidap kanker akibat radiasi, termasuk anak-anak yang terpaksa menjalani
hidup di atas perbaringan rumah-rumah sakit di negeri tirai besi itu.
Pemerintah Uni-Sovyet terpaksa memulangkan para penerbang
helikopter terbaik dari Afghanistan untuk menjatuhkan bertonton grafit dan
timah hitam ke atas reaktor yang tengah terbakar ketika itu, guna segera
menghentikan reaksi nuklir yang masih berjalan. Hal ini perlu dilakukan karena
reaktor yang tengah terbakar sewaktu-waktu dapat berubah menjadi bom nuklir
lebih dahsyat dari di Hiroshima. Sangat mengharukan kisah veteran Perang Dunia
ke-II negeri Beruang Merah yang ikut membendung radiasi nuklir di Chernobyl
ketika itu, yang mengatakan: “Dalam perang dunia silam, saya tahu darimana
musuh datang”, ujarnya, “akan tetapi dalam perang melawan radiasi, saya tidak
melihat ada musuh apalagi darimana ia datang. Ditengah amukan sinar radioaktif
seakan terasa bagai berada di sebuah planit yang asing”. Bantuan lalu diminta
dari Blok-Barat, dan pertolongan pun berdatangan ke Uni-Sovyet dari segala
penjuru, seakan para pemimpin Blok-Timur yang Sosialis/Komunis berwajah
totaliter dengan ekonomi komando yang bermarkas di Kremlin, Moskow, dengan para
sekutu Perang Dunia ke-IInya ketika itu sedang lupa, bahwa “Perang Dingin”
antara kedua kubu masih belum berakhir.
Titik balik Perang Dingin antara Blok-Barat dan Blok-Timur
terjadi saat parlemen Jerman Barat tahun 1983 menyetujui ditempatkannya Peluru
Kendali Pershing II buatan Amerika Serikat di negerinya, untuk menandingi
Peluru Kendali SS-20 yang dikenal akurat bikinan Uni-Sovyet ditujukan ke
berbagai kota di Eropa Barat. Keputusan parlemen Jerman Barat ketika itu juga
mendapat dukungan Perdana Menteri Inggris: Margareth Thatchser dan Presiden
Perancis: Francois Mitterrand. Amerika Serikat ketika itu sedang dipimpin Presiden
Ronald Reagen yang anti-komunis.
Setelah mengetahui bahwa Pershing II dapat mencapai Kremlin
dalam waktu 6 menit, kurang dari waktu peringatan dini yang diperlukan untuk
menangkalnya, Sentral Komite Partai Komunis Uni-Sovyet tidak memiliki pilihan
lain kecuali menunjuk Mikhail Gorbachev menjadi Presiden Uni-Sovyet
menggantikan Konstantin Chernenko. Gorbachev adalah seorang tokoh moderat
yang diharapkan mampu membujuk Blok-Barat untuk berunding. Pengangkatannya
dibayangi beredarnya lagu “We are the World” yang tersohor, dan direkam tanggal
28 Januari 1985.
Pada tahun 1986 Mikhail Gorbachev mengumumkan “perstroika”
(reformasi) yang diterima oleh Kongres ke-22 Partai Komunis Uni-Sovyet.
Perestroika adalah kebijakan baru untuk reorganisasi: ekonomi, politik, dan
budaya, akan tetapi tetap dalam rangka komunisme. Selain dari itu, kebijakan
ini bertujuan untuk menanggapi ketidak puasan rakyat Uni-Sovyet terhadap Sistim
Sosialis/Komunis dan totaliter yang bertanggungjawab terhadap kesejahteraan
masyarakat di negeri tirai besi itu. Sistim pemerintahan Sosialis/Komunis dan
diktator proletariat saat itu mengalami krisis kepercayaan, sehingga perlu
diambil langkah reformasi untuk menyelamatkannya. Sistim pemerintahan negeri
Beruang Merah itu tidak lagi berkenan di hati sebahagian besar rakyatnya,
karena selain telah kuno, juga ketinggalan zaman; tampak dari kegagalan para
pemimpin mensejahterakan kehidupan rakyatnya, juga menghalangi individu
mengemukakan pendapat.
Sistim Sosialis/Komunis yang otoriter itu ternyata kalah
bersaing dengan Sistim Kapitalis/Liberal yang demokratis berkembang pesat di
Jepang dan Jerman saat itu. Kendati kedua negara akhir ini hancur di bom Sekutu
dalam Perang Dunia ke-II silam; akan tetapi mereka berhasil bangkit kembali
membangun ekonomi nyaris dalam satu generasi untuk kembali mensejahterakan
kehidupan rakyatnya. Keduanya meninggalkan jauh ekonomi negeri Beruang Merah
berikut negara-negara satelitnya yang tergolong sedikit hancur dalam perang
dunia silam. Jepang berkembang menjadi negara ekonomi terkuat dunia nomor 2,
sedangkan Jerman menjadi negara ekonomi terkuat dunia nomor 3, setelah Amerika
Serikat yang menduduki peringkat pertama.
Pada tanggal 27 Oktober 1988, Indonesia meluncurkan
"Paket Oktober", disingkat "Pakto". Pakto dicetuskan Meteri
Keuangan J.B. Sumarlin bermaksud untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi
Indonesia stabil pada tingkat 7 %. Sejak dikumandangkannya Pakto, jumlah bank
di tanah-air meningkat dari 60 menjadi lebih dari 200. Hampir semua
konglomerat mempunyai bank sendiri, dan melakukan mismatch (pinjaman jangka
pendek digunakan untuk melunasi pinjaman jangka panjang), menyalurkan kredit
kepada grup sendiri melampaui "Batas Maksimum Pemberian Kredit",
disingkat "BMPK", dan meminjam valuta asing dari luar negeri.
Pada bulan Desember 1988, sebuah gempa besar menghantam
Armenia, kala itu masih merupakan sebuah negara bagian Uni-Sovyet di pegunungan
Kaukasia, menewaskan sekitar 80.000 orang dan puluhan ribu warga yang
kehilangan rumah tempat berdiam.
Setelah lebih dari sepuluh tahun berusaha menjadikan
Afghanistan satelit Blok Timur, maka oleh tahun 1989 tentara Uni-Sovyet
terpaksa angkat kaki meninggalkan negeri Muslim kecil itu, karena terlalu
membebani ekonomi negara super power dunia kedua itu. Perpecahan dikalangan
kaum pejuang Afganistan membuat pemerintah boneka bikinan Uni-Sovyet masih
mampu bertahan beberapa lama. Namun akhirnya, pada tanggal 28 April 1992
pasukan Mujahidin berhasil masuk ke ibukota Kabul untuk menggulingkan
pemerintah boneka tidak berdaya ketika itu.
Pada tahun 1989, ayah sekeluarga kembali berduka setelah
mendapat khabar bahwa Amangtua: Hisar Harahap, gelar Baginda Harahap yang
berdiam di Hanopan telah berpulang ke rakhmatullah.
Pada hari Senin tanggal 7 Februari 1989, muncul peristiwa subuh
bersimbah darah di Talangsari, Way Jepara, Lampung Tengah. Korem Garuda Hitam
lalu menembaki bangsal pengikut Warsidi, sebuah kelompok pengajian yang saat
itu dituduh tengah mempersiapkan berdirinya negara Islam. Ratusan orang
dikhabarkan telah terbunuh sia-sia disana.
Pada tanggal 24 Agustus 1989 muncul pertelevisian dilola
swasta yang pertama di Indonesia, diawali Rajawali Citra Televisi Indonesia,
disingkat RCTI. Stasiun televisi swasta ini diprakarsai putra Presiden Suharto
yang menjelang dewasa lalu berusaha terjun ke dunia usaha ketika itu.
Pada tahun 1990 Grup Musik Rock Jerman bernama: “Scorpion”
menegeluarkan lagu berjudul “Wind of Change” dari album Crazy World buatan grup
musik itu.
Menurut theori pertamanya dalam abad ke-19 silam, Karel Marx
meramalkan bahwa Kapitalisme akan dengan sendirinya berubah menjadi Komunisme
oleh pertentangan yang muncul didalamnya, akan tetapi ternyata tidak terbukti
dalam abad ke-20. Sebaliknya, negara-negara dari Blok-Timur lalu
beramai-ramai meninggalkan sistim Sosialis/Komunis dan totaliter, kemudian
beralih menjadi sistim Kapitalis/Lalural dan demokratis. Cara perlombaan,
pemberian hadiah, dan penghargaan sebagai pahlawan pembangunan yang
diberlakukan sistim Sosialis/Komunis dan totalier untuk memajukan perekonomian
negara, ternyata tidak mampu menandingi cara pemilikan pribadi, persaingan
bebas, effisiency, keadilan, dari sistim Kapitalis/Liberal demokratis yang
telah lama berkembang di muka bumi sebelumnya.
Untuk memperoleh dukungan dan bantuan Blok-Barat terhadap
gagasan perstroika, Gorbachev lalu mencabut Doktrin Brezhnev dari Blok Timur,
membubarkan Partai Komunis, dan mengurangi campurtangan Uni-Sovyet terhadap
keamanan negara-negara satelitnya Eropa Timur. Kerusuhan kemudian berkecamuk
dari ibukota Moskow lalu menyebar ke negara-negara satelit Uni-Sovyet. Bagai
runtuhnya kartu domino, diawali Hongaria, yang pernah diserbu Uni-Sovyet saat
melakukan perbuatan yang sama tahun 1956 silam, satu persatu negara-negara
satelit Uni-Sovyet di Blok-Timur memerdekakan diri dengan membuka perbatasan
negara masing-masing dengan Blok-Barat. Sebagai akibatnya popularitas Gorbachev
runtuh di dalam negeri, akan tetapi di luar negeri namanya melambung tinggi
sampai dicalonkan jadi peraih hadiah Nobel Pedamaian tanggal 15 Oktober 1990.
Pada musim dingin tanggal 9 Nopember 1989, rakyat Jerman di
Berlin Barat dan Berlin Timur, beramai-ramai meruntuhkan Tembok Berlin yang
memisahkan kedua bagian kota itu. Kegiatan ini lalu memicu penyatuan Jerman
Barat dengan Jerman Timur, sekaligus melenyapkan ketegangan antara Blok-Barat
dengan Blok-Timur dari seluruh dunia.
Pada tanggal 26 Maret 1989, berlangsung Pemilihan Umum
pertama dalam sejarah di diseantero Uni-Sovyet setelah Kaum Bolshevik berhasil
memenangkan revolusi bulan October tahun 1917. Sebanyak 190 juta orang
memberikan suara dalam pemilihan langsung itu, dan mayoritas warga negara
memihak Boris Nikolayevich Yeltsin dengan langkah perubahan: politik, sosial,
yang demokratis. Tahun berikutnya ia terpilih kembali menjadi Presiden Republik
Federasi Sosialis Rusia, disingkat RFSR, dengan 57 % suara, dan memerintah
hingga tahun 1999.
Pada tanggal 19 Agustus 1991, kelompok Partai Komunis garis
keras yang kehilangan pekerjaan dengan beragam jabatan dengan runtuhnya
Uni-Sovyet, lalu menyandra Michail Gorbachev di Cremia sebuah tempat
peristirahatan ditepian Laut Hitam, dan berusaha menangkap B. N. Yeltsin yang
memenangkan jabatan Presiden RFSR secara demokratis. Yang akhir ini kemudian
bergegas menuju gedung Parlemen Rusia untuk memimpin perlawanan menghadapi
pasukan Uni-Sovyet yang hendak melakukan kudeta. Ribuan rakyat pendukungnya
bertahan dibawah hujan lebat didepan Gedung Putih kota Moskow menghadapi
kendaraan lapis baja militer yang tengah menyerbu Balai Rakyat itu. Dalam
keadaan yang amat tegang, Yeltsin memberanikan diri naik keatas sebuah tank
militer penyerang dan menantang; akan tetapi pimpinan militer yang melaksanakan
penyerbuan urung memberi perintah tembak kepadanya, dan usaha kudeta dari
kelompok garis keras pun gagal. Untuk keberaniannya yang luar biasa itu Yeltsin
memperoleh pujian dunia Internasional.
Pada …..tahun 1992, ayah sekeluarga kembali berduka setelah
mendapat khabar bahwa Namboru Hj. Erjep Masteri Chairani Harahap yang berdiam
di Bogor berpulang ke rakhmatullah.
Jajak pendapat anti-konservatif dilangsungkan di Moskow
tahun 1990 menunjukkan keunggulan B.N. Yeltsin atas Mikhail Gorbachev, kendati
yang akhir ini telah menyatakan diri keluar dari keanggotaan Partai Komunis
Uni-Sovyet. Keberanian B. N. Yeltsin yang mengagumkan itu telah mengantarkannya
menjadi orang terkuat di Kremlin, kantor pusat pemerintah negara Beruang Merah
itu di kota Moskow. Akan tetapi keperkasaan Yeltsin telah mengantarkan sistim
Sosialisme/Komunisme yang totaliter selama ini berkuasa di Kremlin menuju
kehancurannya. Super Power kedua dunia berlambang: CCCP, pemimpin Blok-Timur,
bersama dengan para sekutunya dari Eropa Timur lalu lenyap ditelan sejarah.
Sejak dari saat bersejrah itu, Bendera Merah dengan paluarit dan sebuah
berbintang di sudutnya lalu diturunkan dari Kremlin, dan digantikan sitigawarna
bendera Rusia dari zaman Tsar Nikolas II silam.
Pada tanggal 8 Desember 1990, tiga orang pemimpin bekas
Uni-Sovyet, masing-masing: Boris Yeltsin dari Republik Federasi Sosialis Rusia,
Stanislav Shushkevich dari Belarusia, dan Leonid Kravchuk dari Ukraina
melangsungkan pertemuan di hutan Bialowieza, di perbatasan Belarusia-Polandia.
Yang tidak hadir dalam pertemuan di pondok perburuan Nikita Kruschev itu,
hanyalah wakil republik trans-Kaukasia, pemerakarsa keempat berdirinya
Uni-Sovyet pada tahun 1922. Awalnya, tujuan pertemuan untuk membahas masalah
ekonomi dan berburu, akan tetapi dengan cepat berkembang menjadi pembubaran
Uni-Sovyet. Mereka lalu tampil mejadi para wakil negara pendiri Uni-Sovyet
silam, lalu menandatangani dokumen “Bialowieza Treaty” bersejarah yang terkenal
di bagian bumi itu.
Menurut Stanislav Shushkevich, nostalgia pertemuan para
pemimpin bekas negara-negara bagian Uni-Sovyet ini, amatlah membekas di benak
berjuta orang, mulai Riga di Latvia hingga ke Kivak, sebuah kota kecil di Selat
Bering di perbatasan Uni-Sovyet dengan Amerika Serikat. Di Moskow banyak warga
bekas negara adidaya Uni-Sovyet terserang penyakit kecewa berat, karena CCCP
dilahirkan revolusi Kaum Buruh bulan Oktober tahun 1917 di Petrograd, dan
dipimpin Partai Komunis kaum Bolshevik ajaran Diktator Proletariat, lenyap
begitu saja dari permukaan bumi ditelan sejarah.
Negara Super Power dunia kedua setelah Amerika Serikat,
berdiri lebih dari 70 tahun, awalnya dipimpin:: W. I. Lenin, kemudian J. V.
Stalin, N. Kruschev, L. Brezhnev, Y. Andropov, K. Chernenko dan terakhir M.
Gorbachev, hilang ditelan sejarah akibat bencana geopolitik menimpanya di abad
ke-20. Dampaknya berimbas kepada seluruh negara satelit Beruang Merah, lalu
ramai-ramai meninggalkan sistim ekonomi Sosialis/Komunis yang otoriter lalu
beralih menjadi sistim ekonomi Kapitalis/Liberal yang demokratis. Tiga negara
Baltik, masing-masing: Estonia, Lithuania, dan Latvia, yang di caplok
Uni-Sovyet masuk ke Blok Timur usai Perang Dunia ke-II silam, lalu memisahkan
diri menjadi negara-negara merdeka yang berdaulat anggota PBB; demikian juga
Georgia yang berada di Kaukasia di bagian Selatan.
Negara-negara bekas pecahan Uni-Sovyet yang telah merdeka
dan berdaulat anggota PBB lainnya, ialah: Armenia, Azerbaijan, Kirgistan,
Kazakstan, Moldowa, Turkmenistan, Tajikistan dan Uzbekistan. Pada pertemuan
Alma Ata tanggal pada 21 Desember 1990, kedelapan negara ini membentuk
"Confederation of Independent States" (Persemakmuran Negara-negara
Merdeka), disingkat "CIS", kemudian bergabung dengan Republik
Federasi Sosialis Rusia.
Karena tidak ada lagi pekerjaan yang haarus dilakukan, maka
pada tanggal 25 Desember 1990 Mikhail Gorbechev mengundurkan diri dari jabatan
Presiden Uni-Sovyet. Keesokan harinya lembaga tertinggi negara bernama
“Werhovny Sovyet” (Sovyet Tertinggi) yang tidak lagi berguna juga dibubarkan.
B.N.Yeltsin menghadapi amat banyak persoalan didalam
negeri: politik, ekonomi, dan sosial, yang amat pelik di Rusia saat berhijrah
dari "sistim Sosialis/Komunis yang otoriter" ke "sistim
Kapitalis/Liberal yang demokratis". Ia mengakhiri masa jabatan sebagai
Presiden Rusia pada tanggal 31 Desember 1999 dengan korupsi yang merajalela di
seluruh negeri, menjadi orang yang tidak disukai di negerinya sendiri pada
akhir masa jabatan, lalu menunjuk penggantinya: Vladimir Vladimirovich
Putin.
Pada tanggal 24 Agustus 1990, muncul pula televisi sewasta
Surya Citra Tele Visi, disingkat SCTV, dan Televisi Pendidikan Indonesia, disingkat
TPI. Kedua pertelevisian swasta ini juga berdiri atas prakarsa putra dan putri
Presiden Suharto yang sekaligus juga pelolannya.
Siaran TeleVision Receive Only, disingkat TVRO, muncul di
tanah-air dipancarkan langsung dari sejumlah transponder satelit-satelit
geostasionair, yang dapat diterima di bumi dengan antena parabola. Awalnya
antena parabola digunakan berukuran besar, lalu beralih ke ukuran antena kecil.
Melalui berbagai transponder terpasang pada sebuah satelit beragam acara
televisi dari mancanegara dapat disaksikan di berbagai tempat di nusantara,
termasuk ibukota Jakarta. Stasion-stasion pemancar televisi swasta lainnya
bermunculan pula kemudian, seperti: Metro TV, AN-TV, Lativi, Trans TV, Global
TV, dan lainnya.
REPELITA KELIMA
Kabinet Pembangunan V
REPELITA KEENAM
Kabinet Pembangunan VI
Sebagai akibat menyerahnya Thanong Bidaya sebagai Menteri
Keuangan Thailand kepada para spekulan di negaranya pada tanggal 2 Juli 1997,
kendali mata uang Bhat dilepas dan bendungan penahan devisa negara Gajah Putih
itu dibiarkan bobol, maka krisis ekonomi melanda negeri Siam. Uang Bhat lalu
terjun bebas, dan krisis moneter, disingkat krismon, melanda Thailand. Krismon
negeri Gajah Putih itu ternyata menular (contagion effect) karena
memporak-porandakan tidak hanya bangunan ekonomi Thailand, tetapi turut pula
melanda: Indonesia, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, dan Singapura. Tiga
negara disebut terakhir tidak terlalu parah karena cepat pulih, akan tetapi
tiga negara yang disebut terdahulu parah, dan yang paling parah
Indonesia, karena memerlukan pertolongan dokter ekonomi: International Monetary
Fund, disingkat IMF.
Dengan pertolongan IMF, Thailand yang telah terperosok ke
minus 10,5 % setahun kemudian bangkit ke plus 4,5 %. Begitu pula Korea Selatan
yang jatuh ke minus 5,8 %, dengan suntikan IMF dalam waktu 18 bulan lalu
kembali ke plus 10,3%. Akan halnya Indonesia yang terperosok jauh lebih dalam,
dengan suntikan IMF justru menuai bencana, terlebih resep dokter ekonomi IMF
yang menganjurkan ditutupnya 16 buah bank dan menaikkan harga BBM. Biaya krisis
moneter yang membebani Indonesia menjadi 1,6 ongkos krisis Korea Selatan, 2,1
ongkos krisis Thailand, dan menyita waktu pemulihan krisis lebih dari 10 tahun.
Dalam pidatonya di DPR tanggal 16 Agustus 1997, Presiden
Suharto mengatakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih cukup kuat.
Demikian pula keterangan Menteri Keuangan Indonesia Mar’ie Muhammad yang
meramal krisis moneter di Indonesia masih pada peringkat moderat. Akan tetapi
hari-hari berikutnya memperlihatkan bahwa penilaian mereka meleset. Pada bulan
Januari 1998 kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika terperosok dalam dari Rp
2400,- menjadi Rp.17.000,- lebih dari tujuh kali, atau 708%.
Usaha keras Bank Indonesia menahan gejolak kurs gagal
total, sehingga pada tanggal 14 Agustus 1997 Rupiah terpaksa diambangkan. SBI
lalu diterapkan, suku bunga kredit dan pinjaman dinaikkan untuk meredam gejolak
kurs. Sebgai akibatnya sektor perbankan menghadapi penunggakan hutang
(debitor), nasabah kabur, dan pelarian modal yang menyebabkan kredit macet.
Dunia usaha terpaksa berhenti, tidak mampu lagi berproduksi akibat
menggelembungnya biaya. Sektor-sektor properti dan konstruksi
berpenghasilan Rupiah terpaksa melunasi hutang dengan Dollar Amerika. Puluhan
bank terpaksa ditutup, sejumlah terpaksa harus merger, ribuan perusahaan harus
gulung tikar, jutaan pekerja mendapat PHK, angka pegangguran membengkak
melampaui 20 juta orang; semuanya tidak dapat lagi dihindarkan. Pendapatan
perkapita bangsa Indonesia lalu terperosok dari US$ 1.080 menjadi US$610, angka
kemiskinan di tanah-air meledak melampaui 50% jumlah penduduk ketika itu.
Krismon di Indonesia lalu menjelma menjadi krisis multidimensi: perbankan,
ekonomi, dan kemasyarakatan.
Atas usul sebuah team ekonomi, maka pada tanggal 31 Oktober
1997, Indonesia mengajukan Letter of Intent yang pertama, disingkat LoI
pertama, untuk mndapat suntikan dana dari IMF dan Bank Dunia sebanyak US$ 18
Milyar, berikut sejumlah strategi guna memulihkan kepercayaan, menahan
merosotnya kurs Rupiah, memperkuat ekonomi makro, mengetatkan moneter,
reformasi finansial dan perbaikan struktural. Anjuran IMF menutup 16 buah bank
tanggal 1 Nopember 1997 menimbulkan bank rush. Bank Indonesia terpaksa
mengucurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, disingkat BLBI, lewat Badan
Penyehatan Perbankan Nasional, disingkat BPPN, untuk mengisi kembali
brankas-brankas perbankan Indonesia yang telah dibobol krismon guna memulihkan
kepercayaan masyarakat. Biaya supermahal terpaksa harus dikeluarkan pemerintah
Indonesia untuk melaksanakan program BLBI yang mencapai Rp 650 Trilyun. Karena
rush perbankan tidak kunjung mereda, maka tanpa tim ekonominya Presiden
Suharto berunding langsung dengan Stanley Fisher, Deputi Direktur
Pelaksana IMF tanggal 15 Januari 1998. Foto memilukan lalu menghiasi halaman
depan surat-surat khabar ibukota Jakarta, penandatanganan LoI kedua saat
Presiden Suharto tampak membungkuk menandatangani dokumen didepan Michel
Camdessus, Direktur Pelaksana IMF, yang tengah berdiri bersidekap.
Meski telah terdapat Tim Koordinasi Pengelolaan Pinjaman
Luar Negeri (TKP2LN) yang dibentuk berdasarkan Keppres No.39/1991 untuk
mengawasi implementasi pinaman luar negeri, namun krismon di tanah-air terus
berlangsung. Dari seluruh hutang luar negeri Indonesia sebesar US $ 140 Milyar
saat itu, hanya US$ 58 Milyar hutang pemerintah sedangkan sisanya US $ 82
Milyar adalah hutang swasta. Banyak dari hutang akhir ini luput dari pengawasan
TKP2LN, lalu digunakan debitur bukan untuk penambah modal kerja yang meningkatkan
pendapatan eksport guna melunasi pinjaman (debt service), tetapi dibelanjakan
begitu saja untuk keperluan konsumtif para pemegang saham perusahaan yang
menyebabkan timbulnya kredit macet. Pelunasan hutang jatuh tempo kemudian
memicu permintaan Dollar yang tinggi di pasaran selama bergejolaknya nilai
tukar mata uang.
Ibu Berpulang ke Rahmatullah
Dengan tidak memperlihatkan gangguan kesehatan
berarti, karena masih dapat berkegiatan dan berjalan dalam rumah sebagaimana
biasanya, maka pada pagi tanggal 20 Januari 1998 ibu yang tercinta: Nila Kesuma
Pane, berpulang ke rachmatullah di rumah dengan tenang oleh gangguan gula darah
yang lama telah diidapnya. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun. Kahanggi,
anakboru, mora, kerabat dan handai tolan yang mendapat khabar duka, dari
Jakarta, Medan, pematang Siantar, Padang Sidempuan, hingga Hanopan, lalu
berdukacita dan kehilangan. Di rumah duka berdatangan para pelayat:
kahanggi, kerabat, kenalan, handai tolan; semuanya menyampaikan ucapan
belasungkawa yang dalam kepada: ayah, putra dan putri yang ditinggalkan, seraya
mengharap ketabahan dan bertawakkal kepada Allah Suhanahu Wataala.
Banyak sanak saudara berdatangan ke rumah duka di jalan
Hang Tuah VIII/8 Kebayoran Baru untuk menyampaikan rasa duka yang dalam kepada
ayah dan anak-anak almarhumah yang ditinggalkan. Ayat-ayat suci Al-Quran ul
Karim berkumandang di ruang keluarga rumah duka. Menjelang sholat zuhur,
setelah segala sesuatu yang berhubungan fardhu kifayah agama Islam ditunaikan,
jenazah ibunda lalu diberangkatkan dari Rumah Duka menuju TPU (Tempat Pemakaman
Umum) di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Acara tahlilan tiga malam berturut-turut
dilangsungkan di rumah duka untuk memanjatkan doa kepada Allah Subhanahu
Wataala, agar kepada almarhumah diberi tempat yang lapang di alam barzah,
diampuni dosa yang pernah dilakukan selama hayatnya, begitu juga terhadap kedua
orangtua alarhumah berpulang di kampung halaman silam, dan keluarga yang
ditinggalkan diberi kesabaran dan ketabahan.
Peringatan 40 Hari Wafat Ibu
Pada tanggal 2 Maret 1998, dilangsungkan peringatan 40 hari
wafatnya ibu: Nila Kesuma Pane di rumah duka jalan Hang Tuah VIII/8 Kebayoran
Baru. Banyak saudara dan kaum kerabat datang menghdiri pembacaaan “Surat Yasin”
untuk memanjatkan doa kepada almarhum. Ustadz yang memimpin pembacaan ayat-ayat
suci dikutip dari Al-Quran ul Karim juga menyampaikan ceramah yang berhubungan
dengan perjalanan anak Adam menemui Khaliknya.
Reformasi Kabinet
Kabinet Pembangunan VII
Kabinet Pembangunan VII
4. Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan Mei 1998
Titik nadir perekonomian Orde Baru muncul, ketika
pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM pada bulan April tahun 1998 yang
menimbulkan kerusuhan sosial panjang, berujung pada peristiwa Mei berdarah yang
menimbulkan banyak korban. Krisis multidimensi melahirkan krisis kepemimpinan.
Sebagaimana pada tahun 1966, Presiden Sukarno selaku Kepala Negara harus mepertanggungjawabkan
kehancuran ekonomi bangsa pertama ketika itu, kini 32 tahun kemudian, Presiden
Suharto harus pula mempertanggungjawabkan malapetaka ekonomi kedua yang menimpa
bangsa Indonesia. Dua orang Kepala Negara yang pernah menjanjikan kesejahteraan
hidup kepada rakyatnya, akan tetapi berakhir dengan menyengsarakan kehidupan
rakyat mereka. Mahasiswa kembali turun ke jalan-raya untuk berdemonstrasi
menuntut Presiden Suharto mengundurkan diri.
Pada tanggal 12 Mei 1998 timbul lagi kerusuhan di ibukota
Jakarta menjelang Presiden Suharto kembali dari lawatannya ke Mesir. Lima orang
mahasiswa Universitas Trisakti dikhabarkan tewas diterjang peluru aparat
keamanan yang represif ketika itu: empat orang di Semanggi I dan satu orang
lagi di Semanggi II. Gugurnya mahasiswa-mahasiswa Universitas Trisakti pada
kerusuhan itu lalu menyulut demonstrasi mahasiswa besar-besaran yang menuntut
Presiden Suharto turun dari jabatan Presiden RI dan dilaksanakannya reformasi
pemerintahan di segala bidang.
Kerusuhan berlanjut dari tanggal 13 hingga 15 Mei 1998,
dengan perusakan dan pembakaran terhadap bangunan pertokoan dan penjarahan
barang di berbagai pusat perdagangan Jakarta. Tidak kurang dari 1250 jiwa
melayang sia-sia: mulai dari yang terpanggang api dipusat-pusat perbelanjaan
ibukota sedang terbakar, dianiaya tidak berprikemanusiaan melanggar
pancasila, 31 orang hilang, 91 luka terkena pukulan membabibuta aparat keamanan
Orde Baru yang repressif, hingga pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan etnis
Tionghoa. Banyak dari etnis akhir ini terpaksa hengkang menyelamatkan diri
dengan keluarganya yang pindah ke pulau lain, atau meninggalkan tanah-air
hijrah negeri jiran. Antara tahun 1997 hingga 1998 berlangsung penculikan
para mahasiswa aktivis di ibukota.
Lalu muncul “theori provokasi” mengatakan, bahwa Presiden
Suharto telah menuduh pemuda dan mahasiswa membuat provokasi yang menimbulkan
kerusuhan, karena itu harus diambil langkah repressif guna membungkam
suara-suara vokal mereka. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Tidak ada
orang yang menyangka bahwa Suharto yang telah berkuasa sejak tanggal 22
Februari 1967, dan berhasil memenangkan enam kali pemilu lima tahun,
masing-masing: 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998, dan masih berniat
kembali menjadi calon tunggal dari tiga partai: Golkar, PDIP, PPP, menjadi
Presiden untuk masa jabatan berikutnya, tiba-tiba menyatakan dirinya berhenti
dari Presiden Republik Indonesia kedua disiarkan lewat televisi hari Kemis
tanggal 21 Mei 1998.
Itulah rupanya harga yang harus dibayar seorang Kepala
Negara yang baru saja melakukan reformasi kabinet untuk menjawab tuntutan
masyarakat ketika itu lewat pilihan reshuffle, dan menamakannya Kabinet
Pembangunan VII. Mundurnya Suharto sebagai pemegang tampuk kekuasaan otoriter
di Indonesia ketika itu, berarti tumbangnya rezim Orde Baru, lenyapnya penguasa
militer represif persuasif beragam lembaga, dilaksanakan lewat pendidikan dan
pers terhadap kebebasan berfikir dan berpendapat anak bangsa di tanah-air.
Meski awalnya Orde Baru berhasil memperbaiki ekonomi bangsa yang ditinggalkan
Orde Lama, namun sebagai akibat penularan krisis ekonomi Thailand tanggal 2
Juli 1997, dan kebijakan pengelolaan hutang yang salah, uang Rupiah kembali
terpelanting, menyebabkan banyak perusahaan, bank, industri, lalu gulung tikar.
Pemutusan hubungan kerja tidak lagi dapat dielakkan, jumlah pengangguran dalam
masyarakat miskin membengkak. Bangsa Indonesia kembali jatuh miskin untuk kedua
kalinya: tahun 1998 di zaman Orde Baru sesudah jatuh miskin: tahun 1966 di zaman
Orde Lama.
Uni-Sovyet adalah induknya revolusi, lahir dari revolusi
kaum buruh dan proletar Rusia yang berhasil menumbangkan Tsar Nikolas II dari
singgasananya, dinasti Ramanov yang telah berkuasa lebih dari 300 tahun
lamanya, pada bulan Oktober 1917, lalu berkembang menjadi salah satu super
power dunia. Akan tetapi 72 tahun kemudian negara adidaya itu lenyap begitu
saja ditelan sejarah, karena sistim pemerintahan Sosialis/Komunis dan totaliter
yang diterapkan para pemimpinnya selama ini tidak berhasil mensejahterakan
kehidupan rakyat yang selama ini telah dijanjikan.
Sejarah membuktikan Negara Federasi Malaysia lahir
tanggal 31 Agustus 1957, dan mendapat kemerdekaan cara damai dari Inggris, dan
dipimpin Yang Dipertuan Agung dengan para Sultan berhasil membangun
perekonomian bangsa tahun 2007, setelah merdeka 50 tahun. Indonesia lahir dari
revolusi tahun 1945 dipimpin seorang Presiden dengan para veteran perang
menamakan diri pahlawan pada tahun yang sama, telah 62 tahun merdeka, ternyata
kesejahteraan rakyanya jauh tertinggal dari Malaysia. Singapura yang merdeka
juga tanpa revolusi, lebih berhasil mensejahterakan rakyatnya dengan mengubah
status negeranya dari: “dunia ketiga tahun 1965” menjadi: “dunia pertama tahun
1995”, artinya: setara dengan negara-negara maju di Eropa dan Amerika Utara,
hanya dalam waktu 30 tahun, atau satu generasi.
Zaman Demokrasi Reformasi
Presiden Suharto lalu menyerahkan jabatannya kepada Wakil
Presiden, menyebabkan Prof. Dr. B.J. Habibie lalu menjadi Kepala Negara
Republik Indonesia ketiga. Karena yang akhir ini lama berdiam, belajar, bekerja
di Jerman, Kanzler Helmut Kohl berkomentar, bahwa Indonesia kini dipimpin oleh
orang Jerman. Orde Baru lalu digantikan dengan Orde Reformasi, dan sistim
Demokrasi Pancasila (SDP) berganti menjadi sistim Demokrasi Reformasi (SDR),
tujuannya untuk memperbaiki pelaksanaan negara yang selama ini telah menyalahi
ketentuan Undang-Undang Dasar, menimbulkan krisis moneter, lalu krisis
multidi-mensi, ditandai oleh kehancuran ekonomi, inflasi berat, naiknya harga
bahan kebutuhan pokok rakyat, terperosoknya Rupiah, dan tidak ditegakkannya
hukum yang berkeadilan di tanah-air.
Hubungan Indonesia yang kembali cair dengan IMF menyebabkan
B. J. Habibie melakukan gebrakan besar: bank sentral dibuat independen, sistim
pemerintahan yang selama ini sentralistis lalu didesentralisasi. Ia juga
menyuntikkan dana besar sebanyak Rp 430 Trilyun kepada berbagai bank, dan
menetapkan cara penyelesaian kewajiban terhadap para taipan. Dengan
pemerintahan yang didesentalisasi, uang pembangunan lalu mengalir deras ke
daerah-daerah, sehingga para pemimpin daerah yang pandai melola anggaran
pembangunan dapat dengan cepat mensejahterakan kehidupan rakyatnya
masing-masing.
Karena tidak sesuai lagi dengan alam demokrasi zaman reformasi,
pendidikan politik lewat penataran P-4 menirukan tata-cara pelaksanaan
negara-negara Sosialis/Komunis yang otoriter silam oleh Presiden B. J. Habibie
dihentikan dari seluruh Indonesia. Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7) kemudian dilikwidasi dari
tanah-air, dan mengembalikan pengajaran politik yang menyangkut ideologi negara
kepada perguruan tempat dimana murid/siswa/mahasiaswa menimba pengetahuan yang
bersangkutan.
Tanda Jasa Dari Pemerintah R.I.
Kehidupan dunia karunia Ilahi ini telah mengantarkan ayah
menelusuri berbagai zaman: zaman Belanda, zaman Jepang, zaman perjuangan, dan
zaman kemerdekaan Republik Indonesia. Berbagai peran yang telah dilakukan ayah
telah mengantarkannya mendapat penghargaan dari pemerintah dibawah ini:
1. Bintang Gerilya.
2. Satya Lencana Peristiwa Perang
Kemerdekaan Pertama.
3. Satya Lencana Peristiwa Perang
Kemerdekaan Kedua.
4. Satya Lencana Peringatan
Perjuangan Kemerdekaan.
5. Satya Lencana Karya Satya.
6. Satya Lencana Wira Karya.
7. Satya Lencana Satya Dharma.
8. Satya Lencana 16 tahun
pengabdian pada Pemerintah Daerah Khusus.
Ayah Berpulang ke Rahmatullah
Ayah tidak terlalu memperlihatkan gangguan kesehatan
berarti, kendati usianya telah mencapai 85 tahun ketika itu. Ia masih dapa
berjalan sendiri hilir mudik di rumah dan tongkat diangan lebih banyak dibawa
ketimbang digunakan untuk menopang badan. Beliau juga tergolong orang yang
tidak banyak berkenalan dengan rumah sakit selama hayatnya, meski di akhir
hidupnya beliau beberapa kali menjalani perawatan di Rumah Sakit
Pertamina di Kebayoran Baru dan Rumah Sakit Fatmawati di daerah Cipete.
Di rumah sakit yang disebut akhir ini, pada tanggal 20
Februari 2000 ayah tercinta berpulang ke rakhmatullah akibat gangguan pernafasan
dan tekanan darah tinggi. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun. Sanak saudara lalu
berduyun duyun datang ke rumah duka di jalan Hang Tuah VIII/8 Kebayoran Baru
untuk menyampaikan rasa duka yang dalam kepada keluarga yang ditinggalkan.
Ayat-ayat suci Al-Quran ul Karim pun berkumandang di ruang keluarga rumah duka.
Ketiga anak ditinggalkan lalu berduka, begitu juga kahanggi anakboru dan mora
dari perantauan hingga kampung Hanopan yang menerima khabar.
Sebelum ayah meninggal dunia, ia telah berwasiat untuk
dimakamkan di Hanopan, kampung halamannya bersama orang tua dan sanak keluarga
lainnya. Setelah fardhu kifayah menurut agama Islam dilangsungkan, keesokan
harinya almarhum ayah diberangkatkan rombongan keluarga dengan pesawatterbang
menuju Padang. Dari kota akhir ini, turut serta keluarga paman yang berdiam di
Padang dalam jalan darat yang ditempuh siang dan malam. Menjelang subuh
keesokan harinya, rombongan yang membawa almarum ayah tiba di Hanopan, disambut
kaum kerabat yang telah berkumpul menantikan. Karena banyak di Hanopan
yang ingin melihat almarhum ayah, maka peti jenazah lalu dibuka, dan setelah
kaum kerabat menyaksikannya lalu disolatkan kembali di mesjid Hanopan. Dari
mesjid, almarhum ayah lalu diantarkan ke tempat peristirahatannya yang terakhir
dalam Bale Julu makam Hanopan. Acara tahlilan tiga malam berturut-turut kemudia
berlangsung di rumah duka kampung di Hanopan guna memanjatkan doa bagi
almarhum.
Peringatan 40 Hari Ayah Wafat
Pada tanggal 2 April 2000, berlangsung peringatan 40 hari
wafatnya ayah H.M.Diri Harahap S.H., gelar Baginda Raja Muda Pinayunagan di
jalan Hang Tuah VIII/8 Kebayoran Baru. Banyak saudara dan kaum kerabat yang
datang untuk turut membacakan “Surat Yasin” guna memanjatkan doa kepada
almarhum. Ustadz yang memimpin pembacaan ayat-ayat suci yang diambil dari
Al-Quran ul Karim juga menyampaikan ceramah yang berhubungan dengan perjalanan
seorang anak manusia yang menemui Al-Khalik.
Adat Pasidung Ari
Karena tanda kebesaran adat telah dipancangkan ketika ayah
berpulang ke Rakmatullah tanggal 20 Februari 2000 di Jakarta silam, maka sesuai
adat Batak perlu dilanjutkan dengan menyelenggarakan acara adat na gok kepada untuk
ayah H. M. Diri Harahap, gelar Baginda Raja Muda Pinayunagan, yang dinamakan:
Pasidung Ari. Acara akhir ini lalu diselenggarakan di rumah duka kampong Hanopan,
pada hari …. , tanggal 2000.
Pasidung Ari almarhum ayah H. M. Diri Harahap, gelar
Baginda Raja Muda Pinayunagan
1. Menyampaikan
undangan Pasidung Ari almarhum H. M. Diri Harahap, gelar Baginda Raja Muda
Pinayunagan kepada: Dalihan na Tolu, Hatobangon, dan Harajaon, mulai dari
kampung Hanopan, Arse Julu, Bunga Bondar, Parau Sorat, hingga ke Panggulangan.
2. Personalia dalam Acara
Pasidung Ari.
a. Raja Panusunan Bulung
b. Paralok-alok na Pande
c. Suhut Sihabolonan
d. Kahanggi
e. Hombar Suhut/Pareban
f. Anak Boru
g. Pisang Raut/Sibuat Bere
h. Mora
i. Hatobangon ni Huta Hanopan (Namora Natoras):
j. Raja ni Huta Hanopan
k. Raja-raja ni Huta Torbing Balok
l. Raja-raja Luat ni Desa na Walu
3. Pemasangan bendera-bendera
adat depan rumah duka di Hanopan.
4. Mengeluakan Barang Adat:
a. Bulang
b. Koper dengan pakaian peninggalan almarhum.
c. Abit Godang (Abit Batak, atau Ulos)
d. Tikar Lapis (3, 5, atau 7 lapis)
e. Burangir Nahombang dan Burangir Panyurduan.
f. Payung Rarangan
g. Bendera
h.
Tombak, Podang
i. Tawak-tawak
j. Tanduk Kerbau
5. Acara Adat Pasidung Ari
I. Pemakaman Jenazah Almarhum H. M. Diri Harahap,
gelar Baginda Raja Muda
Pinayungan.
Telah berlangsung tanggal 20
Februari 2000 dengan Acara Adat Mandali (ditangguhkan)
ketika itu.
II. Upacara Adat
Pasidung Ari.
a. Menyembelih hewan kurban Nabontar (Kerbau) di halaman rumah duka.
b. Menyiapkan ruangan.
c. Dalihan Na Tolu, Hatobangon, Harajaon, dan masyarakat mengambil
tempat dalam
ruang tengah rumah duka di
Hanopan.
Bagian Pertama
(Sidang para Raja tidak diikuti kaum ibu)
d. Sidang Adat Haruaya Mardomu Bulung dipimpin Raja Panusunan Bulung (RPB).
e. Orang Kaya pembawa acara minta anakboru manyurduhon burangir (panyurduan dan
nahombang) dan meletakkan
keduanya dihadapan Raja Panusunan Bulung.
f. Orang Kaya minta kepada Suhut Sihabolonan mengutarakan isi hatinya. Adapun
isi
pokok pembicaraan ialah:
- melaporkan kepada Raja bahwa: H. M. Diri Harahap, gelar Baginda Raja Muda
Pinayungan telah berpulang ke
Rachmatullah.
- memohon kepada para Raja untuk menyampaikan khabar duka pada khalayak ramai.
- bahwa
keluarga almarhum telah menyelesaikan segala hutang adat (mandali), dan
diperkenankan menyelenggarakan
horja siriaon.
- memohon kepada para Raja untuk
menyaksikan Suhut Sihabolonan menghadap
Moranya untuk secara resmi
menyampaikan berita duka ini.
g. Setelah Suhut Sihabolonan berbicara, kemudia disusul Pareban, Anakbpru,
Pisang, Raut,
Mora, Hatobangon, Harajaon, hingga
dengan Raja-raja torbing balok.
h. Setelah
seluruhnya selesai berbicara, Raja Panusunan Bulung lalu memutuskan untuk
mengabulkan
semua permohonan Suhut Sihabolonan.
Pembacaan doa, dan sidang adat bagian pertama
selesai.
i. Pembagian daging Nabontar terjinjing
baiyon loging dibagikan kepada semua yang hadir peserta
sidang adat.
Inilah cara adat di Bona Bulu
menyebarluaskan khabar duka kepada masyarakat, bahwa
ayahanda: H. M. Diri Harahap, gelar Baginda Raja Muda Pinayungan, telah berpulang
ke Rachmatullah dari tengah yang hadir
semuanya.
Adapun cara pembagian nabontar di Bona Bulu yang masih berlaku hingga kini
adalah
sebagai
berikut:
1. Suhut dan Kahanggi : ate-ate dan pusu-pusu.
(maknanya agar sapangkilalaan, atau sependeritaan)
2. Anakboru : juhut jantung, udut rungkung
(artinya: yang memiliki kekuatan tenaga untuk manjuljulkon)
3. Pisang Raut : juhut holi-holi dan kaki depan.
(maknanya: agar cekatan dan rajin bekerja)
4. Raja-raja dan Hatobangon : juhut na marbobak, sude gorar-goraran.
(maknanya: agar memberi pangidoan ni bisuk dohot uhum)
5. Raja Panusunan Bulung : lancinok sude gorar-goraran
(maknanya: tempat mendapatkan parsilaungan, paronding-ondingan)
6. Mora tulan rincan, gorar-goraran
(maknanya: tempat permomohon sahala dohot bisuk).
Ketika menyerahkan Bagian Mora, daging diletakkan diatas anduri
beralaskan
daun pisang, lalu ditutup lagi dengan daun yang sama dengan
abit Batak
diatasnya.
Bagian Kedua
(Sidang Dalihan
Natolu yang disersertai kaum ibu)
Raja Panusunan Bulung, Raja Pamusuk, Harajaon Torbing
Balok, dan Hatobangon bertindak sebagai saksi pada jalannya persidangan.
a. Menyerahkan
Hasaya ni Karejo dilakukan Suhut Sihabolonan:
1.
Kepada Mora: tulan rincan, ate-ate, mata, dan pinggol diletakkan diatas anduri
beralaskan
daun pisang.
Mora menebus dengan kembalian diatas Pinggan Raja (porselen) yang bertabur
beras.
2. Kepada Anakboru: udut rungkung, juhut jantung diletakkan diatas anduri
beralaskan daun
pisang. Anakboru menebus dengan
kembalian diatas Pinggan Raja (porselen) yang
bertabur beras.
3. Suhut Sihabolonan dan kahanggi menyerahkan pemberian mereka kepada Mora.
b. Persiapan
ruangan. Mora duduk di juluan berseberangan dengan Suhut, Kahanggi, Anak-
boru, Pisang Raut, mengambil tempat
saling berhadapan. Hatobangon dan para Raja duduk
di sebelah kanan dan kiri Mora
untuk menyaksikan.
c. Anakboru
manyurduhon Burangir.
d. Suhutsihabolonan
mengutarakan isi hatinya kepada Mora, tentang:
- bahwa ayah dari di rumah ini telah berpulang ke Rakhmatullah
- agar mora tidak lagi mengharapkan kedatangannya di masa depan menunjukkan
hormat kepada mora sebagaimana yang dilakukannya selama ini.
e. Setelah
Suhutsihabolonan berbicara, disusul Pareban, Anakboru, Pisang Raut.
f. Pakaian
peninggalan ayah H. M. Diri Harahap, gelar Baginda Raja Muda Pinayungan dalam
kopor lalu diperlihatkan kepada mora
sebagai “pangitean ni namangolu”, dengan harapan
agar mora tidak lagi menantikan
kedatangan anakboru sebagaimana yang diperbuatnya
selama ini.
g. Mora kemudian menjawab Suhut Sihabolonan dan
menerima resmi menerima kopor
peninggalan
almarhum ayah .M. Diri Harahap, gelar Baginda Raja Muda Pinayungan
berikut isinya.
Mora meminta agar isi kopor peninggalan almarhum dibagikan kepada
kahanggi
semuanya.
Acara Adat Pasidung Ari ayahanda
H.M. Diri Harahap, gelar Baginda Raja Muda Pinayungan selesai.
Pendidikan Putera dan Puteri
Anak-anak ayah, putera dan puteri ayah menyelesaikan
pendidikan mereka setelah keluarga berdiam di jalan Hang Tu-ah VIII/8 Kebayoran
Baru, Jakarta. Anak sulung, Dirwan Yuliansyah Harahap, usai SMA lalu
melanjutkan pelajaran ke Universitas Trisakti di Jakarta. Dari Trisakti ia
melanjutkan pendidikan ke University of Wollonggong, di negara Bagian New South
Wales, Australia. Setelah kembali ke tanah-air ia berwirausaha. Anak ayah
kedua, putri Dirwani Evy Yuswita, usai SMA juga meneruskan ke Universitas
Trisakti dan memilih Fakultas Hukum. Usai Trisakti, ia lalu mengikuti sekolah
Fashion Design di Lodon, Inggris, selama 3 tahun. Anak ayah ketiga, Machnora
Chairina Harahap, usai SMA lalu mengikuti Sekolah Tarakanita selama 3 tahun,
kemudian meneruskan ke Universitas Trisakti dan memilih Fakultas Hukum, akhirnya
mengambil pendidikan Marketing Management selama dua tahun dari United States
International University Sandiego, USA.
Ayah dan Ibu menikahkan Putera dan Puteri
Ayah dan ibu menikahkan putra-putrinya setelah keluarga
tinggal di Jalan Hang Tuah VIII/8 Kebayoran Baru, Jakarta. Puteri kedua Dirwani
Evy Yuswita menikah dengan Alvin Zahiruddin Tanjung dari Sorkam, tidak jauh
dari Sibolga, dan berdiam di Villa Pejaten Mas, Jalan Pejaten Mas I no. 7,
Jakarta. 12520. Putri ayah ketiga, Machnora Chairina Yulianti Harahap, menikah
dengan: Ir. Gunawan Wibisono (Sony), putra Bapak Suradi Wongsohartono dari
Solo, Jawa Tengah. Mereka berdiam di jalan Kuricang 3, Blok GC4 no.5, Bintaro
Jaya Sektor 3A, Jakarta. 12330. Anak ayah sulung, Dirwan Yuliansyah Hamonangan
Harahap, menikah dengan: Raden Irna Selma Purnamasari, putri Bapak Permana
Harjakusuma dari Jawa Barat, dan berdiam di Kompleks Jati Indah, Jalan Jati
Indah V no. 20, Pangkalan Jati, Podok Labu, Jakarta Selatan.
Ayah dan Ibu bersama Cucu
Dari ketiga anak-anaknya, putra dan putri, ayah dan ibu
mendapat 6 (enam) orang cucu. Dari putri kedua menikah dengan Alvin Tanjung,
ayah dan ibu mendapat dua orang cucu semuanya laki-laki, masing-masing:
Arianjie Alvin Zahiruddin dan Hatasie Alvin Zahiruddin. Dari putri ketiga yang
menikah dengan Ir. Sony, ayah dan ibu mendapat dua orang cucu: Rendy Gunawan
dan Karina Gunawan. Akhirnya putra yang sulung yang menikah dengan Irna Selma
Purnamasari, ayah dan ibu mendapat dua orang cucu: yang sulung laki-laki
bernama: Adrian Harahap, dan kedua perempuan bernama: Elky Harahap.
---------- Selesai ----------
Sumber Tulisan:
1. Catatan peninggalan
papa, termasuk kelahian anak, dan surat keluarga lainnya.
2. Penuturan, dan himpunan
tanya jawab disampaikan kepada papa dan mama oleh putera dan
puterinya dalam banyak kesempatan
3. Himpunan kenangan dengan
papa dan mama oleh putera dan puteri dalam kehidupan
keluarga dari kecil hingga dewasa dan
berumah tangga.
4. Daftar Riwayat Hidup
yang ditulis papa.
5. Mr.Palti-Radja Siregar.
Hukum Warisan Adat Batak. Disusun Januari 1958.
6. H. Porkas Daulae.
Sedikit Tentang Marga Batak. Sebuah Studi. Cetakan Pertama. Lembaga
Kebudayaan
Rakyat. Sumatera Utara, Medan. 1960.
7. Yayasan Kesejahteraan Keluarga Pemuda 66. Pantja Windu Kebangkitan
Perjuangan
Pemuda Indonesia. Maret 1970.
Departemen Penerangan R.I.
8. H.M.D Harahap S.H.
Perang Gerilya Tapanuli Selatan. Front Sipirok. Cetakan Pertama.
Penerbit P.T Azan Mahani, Jakarta 1986.
9. Baginda Hanopan Harahap.
Pengalaman Masa Perang Jepang “Dai Toa Senso” 1942-1945
Dalam Gotong Royong ‘Kingrohoshitai’. Penerbit Sendiri. Desember 1992.
10. Time-Life Books. Live at War.
Special Edition. First Printing. Dai Nippon Printing Co. Ltd
Hong Kong 1985.
11. Drs. E.K.Siahaan. Monografi
Kebudayaan Angkola-Mandailing. Proyek Pengembangan
Permuseuman Sumatera Utara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Medan. 1982.
12. Jenderal Dr.Abdul Haris
Nasution. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Jilid 1 s/d 11.
Cetakan Kedua. Disjarah-AD, Penerbit Angkasa, Bandung. 1977.
13. Encyclopaedia Britannica,
London, Great Britain. 1957.
14. Encyclopaedia International,
Grolier, USA. 1963.
15. Ensiklopedi Indonesia,
Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta. 1982.
16. Ensiklopedi Nasional
Indonesia, P.T.Cipta Adi Pustaka, Jakarta. 1990.
17. Nazwir Abu Nain. Siapa Dalang
G30S 1965 PKI atau Tentara. Antara Fakta dan Pemutar-
balikan Sejarah. Cetakan Pertama. Penerbit Studio Press, Jakarta. 2001.
18. Hadi Soebadio. Keterlibatan
Australia dalam Pemberontakan PRRI/PERMESTA. Terbitan
Pertama. Penerbit P.T.Gramedia Pustaka Utama. 2002.
19. Lee Kuan Yew. Memoirs From
Third World To First. The Singapore Story: 1965-2000
Time Media Private Limited of the Times Publishing GroupTimes Centre,
1
New Industrial Road Singapore 536196.
20. PDAT Tempo. Jenderal Tanpa
Pasukan, Politisi Tanpa Partai. Perjalanan Hidup A.H. Na-
sution. Percetakan Temprint Jakarta. 1998.
21. Antonie C.A.Dake. Sukarno
File. Cetakan Keempat. Berkas-berkas Soekarno 1965-1967.
Kronologi Suatu Keruntuhan. Penerbit Aksara Kaunia 2006.
22. Badan Penerbit Y.D.B.K. M.I.
Jakarta. Cetakan Pertama. Presiden Suharto Bapak Pemba-
gunan Indonesia, Evaluasi Pembangunan Pemerintahan Orde Baru., P.T. Harapan
Bandung 1983.
23. Rosanna Kelly. Russia. A
Motovun Group Book, Second Printing, Flint River Press Ltd.,
143-149 Great River Portland Street, London WIN 5FB, U.K. 1996.
24. Majalah Tempo, Edisi 23-29 Juli
2007 dan Edisi 13-18 Agustus 2007.
Penulis:
Drs. Dirwan Yuliansyah Harahap
Komplex Jati Indah, Jalan Jati
Indah V no. 20
Pangkalan Jati, Pondok Labu,
Jakarta Selatan.
Tel: 765-6695.