Thursday 18 August 2011















MENGENANG PERJALANAN HIDUP

H. M. DIRI HARAHAP S.H.

ANAK TAPANULI

DARI

HANOPAN SIPIROK

TAPANULI SELATAN



Pendahuluan

?

Zaman Penjajahan Belanda

Desa Asal
Hanopan adalah sebuah kampung yang terdapat di jalan-raya yang menghubungkan Sipirok dengan Siborong-borong melalui Sipagimbar di Tapanuli Selatan, Pangaribuan dan Sipahutar di Tapanuli Utara. Jalan ini dibangun pada zaman Hindia Belanda silam mengikuti lintasan yang biasa dilalui warga ketika bepergian antar kampung, menjadi urat nadi ekonomi yang menghubungkan Onderafdeeling (sub-bagian) Tapanuli Selatan dengan Onderafdeeling Tapanuli Utara, juga dikenal dengan: “jalan pahulu”. Adapun urat nadi ekonomi lain ialah yang menghubungkan Sipirok dengan Tarutung lewat Sarulla dan Onan Hasang dikenal dengan “jalan pahae”. Kini kedua jalan-raya itu telah menjadi penghubung ekonomi daerah Tapanuli Selatan dengan daerah Tapanuli Utara di Tanah Batak.


Peta Tapanuli Selatan
Baginda Raja Muda Pinayungan
Hanopan kini sebuah desa yang terdapat di kecamatan Sipirok, darimana ayahanda: Diri Harahap, gelar Baginda Raja Muda Pinayungan berasal. Ayah merupakan putra kedelapan dari dua-belas orang bersaudara seayah dan seibu, lahir tanggal 2 Agustus 1915 di Hanopan. Ayahnya: Abdul Hamid Harahap, gelar Sutan Hanopan (1876-1939) dan ibunya: Dorima Siregar, putri Sutan Bunga Bondar; ia juga dikenal dengan nama Tuan Datu Singar. Kakeknya: Sengel Harahap, gelar Baginda Parbalohan (1846-1928), adalah pamungka (pendiri) kampung Hanopan masih tinggal di Bunga Bondar dan menjadi Raja Pamusuk pertama di Hanopan saat diresmikan.
Ayah lahir dari keluarga berpengaruh dalam masyarakat ketika itu, tidak semat di kampung kelahirannya, tetapi juga kampung-kampung yang terdapat dalam DAS (Daerah Aliran Sungai) Aek-Silo: Arse Jae, Huta Padang, Napompar, Roncitan, Huta Tonga, Simatorkis, Bahap, Purba Tua (Pagaran Tulason), Muara Tolang dan Tapus; bahkan hingga ke bagian-bagian lain luhat Sipirok. Ayah banyak menhabiskan masa kecil bersama kedua orang tuanya dan saudara sekandung yang banyak umlahnya; juga dengan saudara-saudara sepupu yang tidak sedikit bilanagnnya datang dari dua orang paman ayag yang juga tinggal di Hanopan. Kakeknya memiliki tiga orang anak, laki-laki semuanya, yakni: Abdul Hamid Harahap, gelar Sutan Hanopan, Kasim Harahap, gelar Mangaraja Elias Hamonangan, dan Rachmat Harahap, gelar Sutan Nabonggal.
Keluarga-keluarga marga Harahap dimanapun berada, baik yang berdiam di Tapanuli maupun yang telah bermukim di perantauan awalnya memang seasal; artinya mereka datang dari nenek moyang pemersatu yang sama oleh kesamaan marga. Akan tetapi, karena berbilang abad waktu berlalu sang pemersatu yang menjadi asal marga dan keterangan yang ditinggalkan tidak dapat ditemukan kembali, maka tinggallah nama marga semata. Lalu muncul marga-marga Harahap yang datang dari berbagai huta (kampung) dan luhat (daerah) serta lainnya. Sementara itu ada pula berbagai keluarga marga Harahap yang menyatakan diri sebagai sipungka huta di sejumlah tempat mereka berdiam di Tapanuli, dan terdapat juga keluarga-keluarga marga Harahap yang tidak menyatakan diri sebagai pendiri kampung di tempat-tempat mereka berdiam.
Sekarang masih banyak keluarga marga Harahap yang mengetahui kampung-kampung yang didirikan leluhur mereka di waktu yang silam di Tapanuli Selatan dari peninggalan yang mereka warisi, antara lain: Bagas Godang (Rumah Adat), sawah, ladang, kahanggi, silsilah keluarga, dan para saksi. Di fihak lain banyak pula keluarga marga Harahap yang tidak lagi mengetahui kampung asal mereka di Bona Bulu, lalu mencari asal-usul mereka lewat hubungan kekerabatan dengan keluarga-keluarga marga Harahap sipungka huta di bona bulu sejauh masih dapat ditelusuri dari hubungan kekerabatan yang tersimpan dalam ingatan kahanggi dan tarombo.
Begitu juga dengan keluarga-keluarga marga Harahap yang telah bermukim di perantauan; mereka juga berusaha mencari asal usul keluarga mereka di bona bulu silam lewat hubungan kekerabatan dengan mereka para sipungka huta menurut garis laki-laki: ayah, kakek, amang tobang, dan selanjutnya keatas sejauh yang masih dapat ditelusuri. 
Guna memelihara hubungan kekerabatan, berbagai keluarga marga Harahap yang datang dari satu asal atau kampung, dibuatlah catatan keluarga dalam mana nama-nama mereka disusun menurut garis laki-laki sejalan adat Batak. Awalnya catatan disuratkan di kulit kayu, bilah bambu, atau lainnya, dalam aksara Batak, yang melahirkan bangun piramida yang dinamakan: “Tarombo”. Tarombo dalam bahasa Indonesia disebut: “Pohon Keluarga”, berasal dari bahasa Belanda: “Stamboom”, juga bahasa Inggris: “Family Tree”. Tarombo, atau silsilah keluarga, dalam masyarakat Batak juga berarti kumpulan nama-nama orang yang memiliki hubungan kekerabatan yang datang dari satu marga, dalam hal ini marga Harahap menurut garis patrilenial atau kebapaan. Dan, kumpulan orang bermarga Harahap dinamakan kahanggi ini juga bertanggungjawab menurut adat Batak melindungi keselamatan para anggotanya. 
Dengan masuknya agama Islam ke nusantara sekitar abad ke-13 Masehi, dan ke Tanah Batak dalam Perang Paderi, yang memperkenalkan aksara Arab, tarombo pun beralih disuratkan dengan aksara baru. Dan dengan diperkenalkannya huruf Latin oleh pemerintah Hindia Belanda memasuki abad ke-20 Masehi, tarombo yang dipelihara dan disimpan keluarga-keluarga marga Harahap datang dari berbagai huta dan luhat lalu dialihkan penulisannya kedalam aksara Latin.
Dari silsilah keluarga demikian diketahui hubungan kekerabatan keluarga-keluarga marga Harahap datang dari berbagai kampung di Bona Bulu hingga dengan mereka yang telah berdiam di perantauan. Lewat tarombo demikian diketahui juga pertalian darah antara berbagai marga di Tanah Batak yang membentuk kekerabatan: “Dalihan Na Tolu (Tungku Yang Tiga)”, atau disebut keluarga besar dalam masyarakat Batak di Tapanuli pada awalnya, maupun yang diperoleh lewat penelusuran kembali, untuk disampaikan kepada generasi penerus di bona bulu maupun tanah perantauan.
Padang Sidempuan dan seputarnya adalah tempat asal marga Harahap di Bona Bulu yang kini dikenal dengan Tapanuli Selatan. Dari Utara, seperti: Siharangkarang hingga Selatan: Pijor Koling, begitu juga dari Barat, antara lain: Sidangkal hingga Timur: Pargarutan; kawasan ini dikenal dengan kampung-kampung tempat asal marga Harahap di Tanah Batak. Marga Harahap Hanopan yang kini berada di luhat Sipirok juga berasal dari kawasan ini, tepatnya dari Hanopan dekat Sidangkal yang berada di kecamatan Padang Sidempuan Barat. Adapun kepindahan keluarga marga Harahap ini ke luhat Sipirok disebabkan Perang Paderi yang berkecamuk merambah ke Angkola ketika itu.
Memasuki zaman penjajahan Hindia Belanda, Padang Sidempuan dijadikan ibukota Afdeeling Tapanuli Selatan. Kota besar Tanah Angkola itu menjadi pusat pemerintahan yang mengatur kawasan Tapanuli Selatan yang luas. Memasuki alam kemerdekaan, Padang Sidempuan lalu ditetapkan menjadi ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan dan kemudian beralih menjadi sebuah Kota Madya di Tanah Angkola.
Memasuki zaman Hindia Belanda, banyak putera/putri dari Tapanuli Selatan yang memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan Barat, lalu menjadi: pamong, guru, ambtenar (pegawai) dan lainnya. Tidak sedikit pula dari mereka yang ditugaskan pemerintah Hindia Belanda ke luar daerahnya, antara lain: Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jambi, Sumatera Selatan. Bahkan ada juga yang merantau keluar pulau, seperti: Jawa, Kalimantan, dan lainnya ketika itu.

Bangsa Belanda pertama datang ke Tanah Batak dari Sumatera Barat tahun 1833 lewat Tapanuli Selatan  masih dalam suasana berkecamuknya Perang Paderi (1825-1838). Serdadu-serdadu Belanda masuk ke Mandailing lewat Rao nyaris tanpa perlawanan dari para Raja setempat dan rakyat mereka saat itu, lalu mendirikan benteng Fort Elout di Panyabungan, Mandailing, untuk menyatakanr kehadiran Bangsa Belanda di Tanah Batak. Setahun kemudian, Belanda lalu mendirikan pemerintahan sipil di Tapanuli yang dipimpin seorang Controleur bernama: Doues Dekker, juga dikenal dengan nama Multatuli berkedudukan di Natal. Dengan demikian pemerintahan Hindia Belanda atas Tanah Batak resmi dimulai, sekaligus zaman penjajahan Belanda berjalan. Pemerintahannya berakhir tahun 1942, ketika serdadu-serdadu Fascis Jepang di awal Perang Dunia ke-II berhasil menghalau pemerintah Hindia Belanda keluar meninggalkan Tanah Batak, menyebabkan penjajahan Belanda atas Tanah Batak terpaksa berakhir setelah berlangsung 109 tahun lamanya.
Sipirok Pertama
Setelah memasuki usia sekolah, ayah dari Hanopan lalu pindah ke Sipirok untuk mengikuti sekolah Holland Inlandshe School (HIS) di kota itu dan selesai pada tahun 1930. Dari HIS ayah melanjutkan pelajaran ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) , atau Sekolah Menengah Pertam (SMP) di kota yang sama hingga selesai tahun 1934.
Sejak pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan pendidikan Barat tahun 1880 di Nusantara, dalam perjalanan waktu sedikit lebih dari satu abad di Tanah Batak, tidak sedikit putera dan puteri dari berbagai huta dan luhat di Bona Bulu yang berhasil mendapatkan pendidikan Barat, mulai rendah di daerahnya, menjadi: murid Sekolah Gouvernement (Sekolah Pemerintah) bernama Volksschool (Sekolah Rakyat) diperuntukkan bagi anak-anak pribumi dengan lama belajar 3 tahun, kelas I, II, dan III, berbahasa Melajoe, tulis Latin ketika itu. Adapun lanjutannya Vervogschool atau Sekolah Sambungan dengan lama belajar 2 tahun, mengikuti kelas IV, dan kelas V. 
Untuk melanjutkan pelajaran ke Vervogschool, seorang murid perlu terlebih dahulu diseleksi dengan ujian saringan. Pada saat itu kedua jenjang pendidikan dinamakan orang: Sekolah Melajoe. Ada juga yang dinamakan Schakelschool atau Sekolah Peralihan diperlukan untuk beralih dari Sekolah Rakyat ke sekolah dasar berbahasa Belanda. Lama belajarnya 5 tahun dan diperuntukkan bagi golongan pribumi. Lulusan sekolah Schakelschool ini dapat melanjutkan ke MULO. Adapun sekolah yang berbahasa Belanda ketika itu ialah Hollandsch-Inlandsche School (HIS) ialah Sekolah Bumiputra-Belanda yang diperuntukan bagi keturunan Indonesia asli  umumnya anak-anak keturunan bangsawan setingkat SD (Sekolah Dasar), dengan lama pendidikan 7 tahun, ketika itu dinamakan: Sekolah Belanda. Lainnya adalah Europeesche Lagere School (ELS) juga setingkat SD  ketika itu.
Lalu melanjutkan pelajaran ke pendidikan menengah pertama masih di daerahnya, menjadi: pelajar: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), yakni Sekolah Gouvernement berbahasa Belanda, setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) sekarang. Terdapat juga Kursus Guru Sekolah Rakyat yang dinamakan Kewekeling berdiri di Kota Radja (Banda Aceh) ketika itu. Lainnya HIK (Hollands Inlandsche Kweek-school) bagian Onderbouw untuk menjadi Guru Sekolah Rakyat, didirikan di Bukit Tinggi, lalu setelah kemerdekaan berubah menjadi Sekolah Guru Bantu (SGB). Untuk pendidikan teknik terdapat Ambachts Leergang, yakni sekolah pertukangan dengan bahasa daerah. Ada pula Ambatchtsschool sekolah pertu-kangan berbahasa Belanda yang menerima lulusan HIS dan Schakelschool. Sekolah ini mencetak mandor berbagai keahlian antara lain : montir mobil, mesin, listrik, kayu dan penata batu dengan lama belajar 3 tahun. Yang akhir ini lalu berubah menjadi STP (Sekolah Teknik Pertama) yang hanya terdapat di pulau Jawa. 
Kemudian untuk tingkat menengah atas di luar daerahnya menjadi: siswa: HIK (Hollands Inlandsche Kweekschool) bagian Bovenbouw terdapat di Bandung untuk menjadi Guru Sekolah Menengah, lalu  berubah menjadi Sekolah Guru Atas (SGA). Lainnya Algemeene Middelbare School (AMS) atau Sekolah Menengah Umum setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Ada pula Hoogere Burger School (HBS) yang menjadi kelanjutan ELS disediakan untuk golongan Eropa, bangsawan pribumi, atau tokoh masyarakat terkemuka lainnya.  Ada KWS (Koninklijke Wilhelmina School) di Batavia yang lulusannya mendapat gelar Opzichter (Opseter) artinya Pengawas, lalu berubah menjadi Sekolah Teknik Menengah (STM). Terdapat juga Landboure Onderwijs atau Pendidikan Pertanian yang bertujuan memenuhi kebutuhan penduduk agraris dan perusahaan perkebunan bangsa Eropa. Sekolah yang berdiri di Bogor ini mempunyai lama pendidikan 3-4 tahun, kemudian setelah kemerdekaan beralih menjadi Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA).
Untuk mencetak pegawai pribumi pemerintah Hindia Belanda mendirikan Opleiding School Voor Indische Ambtenaren (OSVIA) di batavia dengan lama belajar 5 tahun setelah ELS; sekolah berkembang menjadi. Middelbaar Opleiding School Voor Indische Ambtenaren (MOSVIA) dengan lama pendidikan 3 tahun setelah MULO. Terdapat juga School to Opleiding Van Inlandse Artsen (STOVIA) atau Sekolah untuk mendidik tenaga kesehatan di Batavia, dan Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), di Surabaya.  Kedua sekolah ini dikenal dengan nama Sekolah Dokter Jawa. Di bidang perdagangan terdapat Handels Onderwijs atau Pendidikan Dagang yang mendidik tenaga kerja keperluan para pengusaha Hindia Belanda, yang kemudian menjadi Sekolah Menengah Dagang. Seluruhnya masih menggunakan bahasa Belanda dan  terdapa di pulau Jawa ketika itu. 
Pada tingkat pendidiksn tinggi masih semuanya terdapat diluar daerahnya, menjadi: mahsiswa: Rechtskundige Hooge School (RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum, yang para lulusannya bergelar "Meester in de Rechten", yang disingkat: Mr. Lainnya Geneeskundige Hooge School (GHS) atau Sekolah Tinggi Kedokteran, yang lulusannya bergelar "docter", dan disingkat: dr. Selanjutnya THS (Technische Hoge School), atau Sekolah Tinggi Teknik, yang para lulusannya bergelar "Ingenieur", disingkat: Ir. Seluruh pendidikan tinggi ketika itu masih menggunakan bahasa Belanda dan hanya terdapat di pulau Jawa dan negeri Belanda. 
Dengan diperkenalkannya pendidikan oleh pemerintah Hindia Belanda di tanah-air, lahir pula pergerakan nasional bentuk "perkoempoelan" di nusantara, seperti: Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Celebes, dan Jong Bataks Bond. Ada pula perkumpulan lain yang dinamakan: Nederlandsch Indische Padvinderij Vereniging (NIPV), atau Persatuan Kepanduan Hindia Belanda. Lalu  Jong Islamieten Bond, dan Jong Islamietiesche Meisjes Bond, serta lainnya di Jakarta.
Muncul pula di tanah-air berbagai macam partai politik, antara lain: SDI (Sarikat Dagang Islam), PSI (Parteij Sarikat Islam); lalu Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) tanggal 24 Oktober 1943 yang berubah menjadi Majelis Soro Muslimin Indonesia, disingkat Masyumi dan partai politiknya pada tanggal 7 Nopember 1945. Selain dari itu  di Negeri Belanda lahir Indische Vereniging (IV) atau Perhimpoenan Hindia pada tahun 1909 yang lalu berubah menjadi Indonesische Vereniging (IV) dan akhirnya Perhimpoenan Indonesia (PI). Semuanya digerakkan oleh para intelektual muda anak-anak negeri yang sadar akan penderitaan bangsanya, dan menuntut perbaikan nasib rakyat yang telah terlalu lama diabaikan pemerintah kolonial.
Sekilas Sejarah
Sebelum kedatangan bangsa Belanda ke Tapanuli lewat Rao dari Sumatera Barat tahun 1833, kawasan ini kenyataannya telah terbagi kedalam beragam luhat, setiap daripadanya mempunyai pemerintahan sendiri bersifat otonom, dan tidak mengenal adanya pemerintah pusat yang mengatur kesejahteraan mereka dari luar. Diantara berbagai luhat yang ada di Tapanuli Selatan ketika itu dapat dikemukakan: Luhat Sipirok, Luhat Angkola, Luhat Marancar, Luhat Padang Bolak, Luhat Barumun, Luhat Mandailing, Luhat Batang Natal, Luhat Natal, Luhat Sipiongot, dan Luhat Pakantan. Semua luhat yang terdapat di Tanah Batak menempati kawasan bagian utara pulau Sumatera: di Utara berbatasan dengan Aceh, di Timur berbatasan dengan tanah Melayu, di Selatan berbatasan dengan Minangkabau, dan di Barat berbatasan dengan Samudera Hindia.
Luhat, dinamakan juga banua, ketika itu masih merupakan sebuah kesatuan genealogi sebuah wilayah, atau teritorial, berada dibawah pemerintahan dilakukan berdasarkan adat Batak ke-kerabatan Dalihan Na Tolu (Tungku Yang Tiga) sebagaimana yang terbaca dalam surat Tum-baga Holing yang diajarkan leluhur dahulu. Setiap luhat atau banua, selain berdiri sendiri juga setara derajatnya satu sama lain. Pucuk pimpinan sebuah luhat ialah Raja Panusunan Bulung (RPB), awalnya datang dari keluarga-keluarga sisuan haruaya (si penanam pohon beringin atau para pendiri luhat) di daerah itu. Dalam sebuah luhat bernaung berbagai huta atau kampung, yang juga dinamakan bona bulu (pohon bambu), karena huta pada ketika itu memang diberi berpagar rumpun bambu untuk melindunginya dari musuh yang menyerang. Ada pula bona bulu ketika itu yang membawahi sejumlah pagaran (anak kampung).
Huta selain sebagai tempat berdiam, juga tempat mencari nafkah karena meliputi: sawah, ladang; perairan (telaga, sungai, danau, laut), padang, semak/belukar, hutan, lembah, dan pegunungan  mengitari, darimana berbagai maca keperluan hidup didapat. Pucuk pimpinan huta ialah Raja Pa-musuk, awalnya datang dari keluarga-keluarga sisuan bulu (si penanam bambu atau pendiri huta atau kampung) di tempat kediaman tersebut. Huta yang banyak penduduknya oleh subur tanahnya dan kaya lingkungan alamnya, juga dipimpin Raja Pamusuk, akan tetapi ia dibantu pula oleh Kepala Ripe atau Kepala Keluarga.
Raja dalam pemahaman masyarakat Batak saat itu bukanlah orang yang berkuasa sebagaimana yang dijumpai dalam buku sejarah Eropa di zaman feodal yang dipelajari di sekolah menengah, akan tetapi adalah orang yang dihormati di kalangan masyarakat yang dinamakan: Hatobangon ni luhat atau huta (Tetua luhat dan huta), karena selain ia memang pandai juga memiliki pengetahuan dan pengalaman hidup yang banyak; tepatnya seorang terbijak dikalangan mereka para warga (primus interpares) datang dari keluarga para pendiri luhat dan huta. Ia juga dalam adat Batak dinamakan: haruaya parsilaungan (pohon beringin tempat bernaung), di Angkola dan Sipirok dinamakan: Banir Parkolipkolipan, sedangkan di Mandailing disebut Banir Paronding-ondingan.
Cara pemerintahan sentralistik, pertama kali diperkenalkan pemerintah Hindia Belanda yang kolonial di Tanah Batak dengan menempatkan seorang Asistent Resident Nederlads Indie (Asisten Residen Hindia Belanda) di Natal, kemudian seorang Resident Nederlands Indie (Residen Hindia Belanda) di Sibolga. Pemerintah Belanda di Tapanuli ketika itu adalah bagian dari pemerintah Hindia Belanda yang menjajah nusantara berkedudukan di Batavia, pulau Jawa, dipimpin seorang Gouverneur-Generaal Nederlads Indie (Gubernur-Jenderal Hindia Belanda). Gubernur-Jenderal Hindia Belanda berkedudukan di Batavia saat itu adalah wakil Raja Belanda di Eropa yang berdiam di Den Haag, bertugas untuk mengurus tanah jajahan Belanda seberang lautan bernama Oost Nederlands Indie (ONI), atau Hindia Belanda Timur (HBT). Raja Belanda masih memiliki tanah jajahan seberang lautan lain ketika itu bernama West Nederlands Indie (WNI) atau Hindia Belanda Barat (HBB), yang lebih dikenal dengan Suriname berada di Amerika Selatan.
Awalnya, pemerintah Hindia Belanda menamakan Afdeeling Batak Landen (sub-bagian Tanah Batak) kepada wilayah yang berada disekitar danau Toba dan menjadikan Tarutung sebagai ibukotanya. Sub-bagian Tanah Batak lain dinamakan: Afdeeling Padang Sidempuan untuk wilayah Tapanuli Selatan, dan Afdeeling Sibolga untuk wilayah Tapanuli Tengah. Pengga-bungan ketiga Afdeeling menadi sebuah keresidenan Tapanuli di lingkungan pemerintah  Hindia Belanda muncul dari hasil penelitian Etnoloog (Belanda), atau Etnologist (Inggris), yakni ahli bangsa dan suku-sukunya berkebangsaan Belanda yang menemukan adanya kesatuan logat (bahasa) dan adat-istiadat yang tampak jelas, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun acara perhelatan Adat dalam masyarakat di ketiga afdeeling itu. Lingkungan alam yang memudahkan perhubungan, kekerabatan, perkawinan, dan Agama, turut mempengaruhi hasil penelitian Belanda ketika itu. Pemerintahan Hindia Belanda lalu mengelompokkan suku-bangsa Batak yang mendiami daratan pulau Sumatera menurut logat dan kehidupannya kedalam berbagai puak: Karo, Simalungun, Pakpak dan Dairi, Toba, Angkola, dan Mandailing yang dikenal suku-bangsa Batak hingga saat ini.
Sampai tahun 1867 Tanah Batak masih menjadi bagian dari Gubernemen Sumatera Barat yang berkedudukan di Padang, Sumatera Barat, dengan ibukotanya Padang Sidempuan. Kemudian pada tahun 1906. Tanah Batak lalu memisahkan diri dan membentuk keresidenan Tapanuli dengan ibukotanya Sibolga. Keresidenan Tapanuli selanjutnya oleh pemerintah Hindia Belanda dibagi kedalam dua Afdeeling, masing-masing: Afdeeling Tapanuli Utara dipimpin seorang A-sisten Residen berkedudukan di Tarutung, dan Afdeeling Tapanuli Selatan dipimpin seorang A-sisten Residen yang berkedudukan di Padang Sidempuan. Afdeeling yang akhir ini selanjutnya oleh pemerintah Hindia Belanda dibagi kedalam 8 (delapan) Onderafdeeling, yang setiap daripadanya dipimpin seorang Controleur yang masing-masing berkedudukan di: Batang Toru, Angkola, Sipirok, Padang Bolak, Barumun, Mandailing, Ulu dan Pakantan, dan Natal.
Dibawah Onderafdeeling pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan sebuah daerah bernama Distrik dipimpin oleh seorang Demang. Dibawahnya diperkenalkannya Onderdistrik dipimpin  Asisten Demang. Dibawah asisten Demang pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan Hakuriaan (Kekuriaan) yang dipimpin seorang kepala Kuria untuk membawahi sejumlah huta beserta sawah ladang dan lingkungan lainnya. Kata Kuria berasal dari “Curia”, sebuah istilah pemerintahan yang digunakan Gereja Katholik di Vatikan, Roma, Italia dan oleh pemerintah  Hindia Belanda diperkenalkan di Tanah Batak. Dari Curia menjadi Kuria, lalu melahirkan istilah Hakuriaan dalam bahasa Batak. Dengan Hakuriaan pemerintah Hindia Belanda yang kolonial mencoba menghilangkan pemerintahan luhat atau banua yang dipimpin seorang Raja Panusunan Bulung (RPB) dari peredaran, kala itu bersemayam dalam ingatan orang-orang Batak yang menadi kebanggaan daerah. Meski pemerintah Hindia Belanda tampaknya tidak berminat mencampuri pemerintahan huta yang dijalankan menurut adat Batak setempat, akan tetapi dalam pelaksanaannya orang-orang Belanda ketika itu banyak mempengaruhi siapa yang sebaiknya dijadikan Raja Pamusuk memimpin sesuatu huta.
Dengan semakin merosotnya anggaran pemerintah Hindia Belanda di Tapanuli Selatan, maka onderafdeeling yang delapan bilangannya di Tapanuli Selatan ketika itu, lalu disusutkan menjadi 4 (empat), masing-masing: Angkola dan Sipirok, Mandailing Besar dan Kecil Ulu serta Pakantan, Natal dan Batang Natal, dan Padang Lawas. Dan menjelang bertekuk lututnya Belanda kepada Fascist Jepang, pemerintah Hindia Belanda lalu menyusutkan kembali keempat Onder-afdeeling menjadi 3 (tiga), yakni: Angkola dan Sipirok, Padang Lawas, Mandailing dan Natal.
Setelah menyelesaikan MULO, ayah lalu merantau ke Pematang Siantar dan bekerja menjadi pegawai pemerintah Hindia Belanda di kota itu. Kota besar tanah Simalungun ini mengantarkan ayah berkenalan dengan pergolakan di tanah-air dan dunia menjelang pecahnya Perang Asia Timur Raya yang dipicu Jepang yang melahirkan Perang Dunia ke-II di kawasan Asia yang luas  itu. Ayah kemudian bergabung dengan organisasi pemuda “Jong Islamieten Bond” (Persatuan Pemuda Islam) di Pematang Siantar hingga tahun 1935, lalu dengan Al Djamiatul Washliyah daerah Simalungun. Tidak ada yang menyangka keberangkatan ayah merantau ke Pematang Siantar dari Sipirok ketika itu telah diwarnai perubahan besar perjalanan sejarah dunia: mulai dari Eropa di belahan Dunia Barat hingga dengan Asia di belahan Dunia Timur.
Perkembangan di Eropa  
Di daratan Eropa, perjanjian Versailles yang mengatur perdamaian antar negara belahan bumi Barat dibidani: Perancis, Inggris dan Amerika Serikat di penghujung Perang Dunia ke-I silam, tidak lagi memenuhi aspirasi banyak fihak di kawasan yang luas itu. Perlucutan senjata guna menghindarkan meletusnya perang antar negara besar Eropa yang disepakati demi memelihara perdamaian dunia tidak lagi dihormati. Konferensi ekonomi dunia Locarno tahun 1925, demikian pula London tahun 1933, menemui kegagalan. Gagasan pembentukan Liga Bangsa-bangsa (League of Nations) untuk menjaga perdamaian dunia, tidak akan kuat manakala Amerika Serikat tidak disertakan, dan tinggal hanya gagasan yang tak akan terlaksana, konon lagi mempunyai kekuatan pemaksa.
Setelah berhasil menjabat ketua NSDAP (Nationalsozialistische Deutsche Arbeiter Partei, atau Partai Pekerja Nasionalsosialis Jerman), disingkat NAZI, maka pada tahun 1921, Adolf Hitler berkampanye untuk membangun kembali Jerman yang takluk dalam Perang Dunia ke-I silam, dengan bukunya berjudul: “Mein Kamph”, atau Perjuanganku. Kini dibawah kepemimpinannya Jerman berupaya bangkit kembali. Pada tahun 1933 Adolf Hitler menyatakan dirinya sebagai Pemimpin Tertinggi (Reich Chancellor) di tanah-airnya.
Fascistme adalah sistim politik totaliter sayap-kanan, ditandai penguasaan atas seluruh aktivitas bangsa dalam sebuah negara: politik, ekonomi, industri, dan lain sebagainya; diselenggarakan Negara atas nama bangsa; sebentuk ajaran Nasionalisme Extreem. Negara menjadi dewa negara fascist, lahir dari mithologi Imperium Romanum (Kemaharajaan Roma), yang terpaksa harus bertindak imperialist agar siap berperang untuk kelangsungan hidupnya. Hegel (1770-1831) adalah seorang guru spiritual fascisme karena mengajarkan sudut pandang politik: negara adalah penjelmaan Tuhan di dunia, pencipta hak, dan bangsa adalah objeknya, sedangkan perorangan (individu) sebagai warga Negara tidak memiliki arti, akan tetapi harus siap berkorban untuk negara. Adolf Hitler lalu menjalankan Nazisme, sebuah pilihan fascistme yang dilakukan Herrenvolk (bangsa tuan), yakni ras tertinggi manusia Jerman yang pimpinan Führer. Tidak boleh ada oposisi dalam negara begitu pula kaum pengeritik (kritikus). Nazi lalu bersumpah untuk merebut kembali seluruh tanah Jerman yang hilang dalam Perang Dunia ke-I silam.
Tidak ada kekuatan besar yang dapat membendung agresi militer yang berlangsung di dunia saat itu. Jepang, sekutu Jerman di belahan bumi Timur, tahun 1931 lalu menyerbu Manchuria di negeri Cina dan mendudukinya sekali. Italia dibawah pimpinan Benito Mussolini, sekutu Jerman di Eropa Selatan, tahun 1935 mencaplok Ethiopia yang menyebabkan kegusaran Inggris. Pierre Laval dari Perancis gagal menolong Inggeris mempertahankan negara Afrika Utara itu dari perlakuan agresi yang menimpanya. Tidak lama kemudian, Jerman pimpinan Adolf Hitler juga menerobos Rhineland yang berada dibawah penguasaan Perancis lalu mendudukiya, dan Stanley Baldwin dari Inggris pun tidak dapat memberi bantuan yang diperlukan.
Pada tahun 1936 organisasi paramiliter Jerman: SA (Sturm Abteilung), SS (Schutz Staffel) dan RAD (Reichs Arbeits Dienst) telah berjumlah 1,5 juta orang. Dengan terlebih dahulu membunuh Kanselir Austria Engelbert Dollfuss, dan menempatkan Kurt von Schusschnigg sebagai boneka disana, maka pada tahun 1936 Jerman menyerbu negeri di selatan itu dengan mengerahkan paramiliternya. Pada tanggal 14 Maret 1939 Adolf Hitler memanggil Presiden Czekoslovakia untuk menemuinya di Berlin. Hitler lalu menuduh dan memarahinya habis habisan dan me-ngancam akan menghancurkan Praha lewat serangan udara. Dengan demikian, hanya dalam semalam Czekoslovakia (kini negara-negara Czeko dan Slovakia) langsung dibuatnya bertekuk lutut, dan berubah menjadi negara budak Jerman.
Pada tanggal 1 September 1939, Jerman selanjutnya menyerbu Polandia dengan theori perang modern gagasan Jenderal muda Heinz Guderian. Diawali serbuan udara jam 06.00 waktu setempat, Divisi-3 Jerman pimpinan Jenderal Fedor von Bock lalu menerobos dari Prusia Timur arah tenggara. Ia dibantu Divisi-4 Jerman pimpinan Jenderal Günter von Kluge yang membobol perbatasan Polandia di Timur.  Pukulan dua kali lebih besar selanjutnya dilancarkan Divisi-8 Jerman dibawah Jenderal Johannes von Blaskowitz, dan Divisi-10 pimpinan Jenderal Siegmund List yang menerjang dari Utara Czekoslowakia, menyebabkan perlawanan Polandia menjadi porakporanda. Sebagai akibatnya, pasukan Polandia pimpinan Marsekal Edward Smygly Ryds  tidak terkoordinasi lagi di lapangan dan pemerintahnya terpaksa melarikan diri. Jerman berhasil menggunting habis seluruh perlawanan Polandia dalam satu blitzkrieg (perang kilat) menggunakan kendaraan motor lapis baja kecepatan tinggi, nyaris tidak mendapat perlawanan berarti dari kekuatan lawan yang mempersiapkan diri masih cara konvensional.
Angkatan perang Polandia terdiri dari 30 Divisi dan 12 Brigade Kavaleri ketika itu, sesungguhnya tidak tergolong kecil dibandingkan dengan satuan-satuan Jerman yang digunakan menyerang ditilik dari banyaknya sumber daya manusia yang dikerahkan. Perbedaan tampak jelas pada kemutahiran mesin-mesin perang yang digunakan Jerman, mutu latihan para prajurit, dan doktrin yang digunakan. Inilah yang menyebabkan Pemerintah Polandia bersama Panglima Tertinggi Angkatan Perangnya, terpaksa meninggalkan tanah-air mereka pada tanggal 18 September 1939, dan lari menyelamatkan diri menuju Rumania.
Inggris dan Perancis, dua negara adidaya Eropa ketika itu segera mengetahui perbuatan Jerman di Polandia, lalu marah besar. Keduanya langsung memberi ultimatum kepada Jerman untuk segera meninggalkan Polandia. Akan tetapi ultimatum Inggris dan Perancis, dua superpower Eropa ketika itu, tidak diindahkan Jerman. Maka pada tanggal 3 September 1939, dua hari setelah penyerbuan Jerman ke Polandia, dikumandangkanlah Perang Dunia kedua di daratan Eropa.
Serdadu-serdadu Jerman lalu dengan cepat menduduki negeri-negeri kecil di pesisir Barat Laut benua Eropa yang menyatakan mereka diri netral. Jerman masuk ke negeri Belanda bulan Mei tahun 1940 membuat Ratu Wilhelmina terpaksa melarikan diri ke Inggris. Belgia dan Luxemburg pun lalu mendapat giliran diduduki Jerman. Perancis kemudian memperkuat  perbatasannya dengan Jerman di garis Maginot, yang menurut pandangannya tidak akan dapat diterobos musuh. Jerman lalu melancarkan pemboman atas kota London di Inggris, dari negara-negara kecil yang netral di daratan Eropa, tidak terkecuali juga kota Paris di Perancis.
Mengetahui pertahanan Perancis di bagian utara yang berbatasan dengan negara-negara kecil lagi netral tidak sekuat yang dibangunnya di garis Maginot, Jerman dengan cerdik memainkan muslihat jitu dengan menyeludupkan pasukannya ke berbagai negara netral tadi, lalu menyerbu pertahanan terkuat Perancis itu dari belakang. Dan tak ayal lagi, dengan sangat memalukan Pe-rancis terpaksa bertekuk lutut kepada Jerman dalam perang yang berlangsung cuma 40 hari lamanya.
Perkembangan di Asia
Pada tanggal 7 Desember 1941, Kaigun (Angkatan Laut) Jepang pimpinan Vice-Admiral Chuichi Nagumo melaksanakan serangan mendadak ke pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, dan melumpuhkan Armada Laut Amerika Serikat yang terbesar di kawasan Pasifik, dalam gugusan kepulauan Hawai, di pulau Oahu; akan tetapi tidak mendu-dukinya. Ada analist Jepang yang mengibaratkan serbuan pasukan Negara matahari terbit ini bagai membangunkan seekor harimau yang sedang tidur, begitu terjaga langsung menerkam. Pada serangan itu Kaigun mengerahkan 6 kapal induk mengangkut 360 pesawatterbang yang dikawal: 2 kapal perang, 2 penjelajah berat, 11 perusak (destroyer), berikut lainnya. Di Pearl Harbor, di hari yang naas itu sedang bersandar 70 kapal perang Paman Sam beserta 24 kapal pendukung; kebanyakan masih tertambat karena ketika itu sedang hari libur. Keesokan harinya Amerika Serikat mengumumkan perang kepada Jepang, dan Perang Dunia kedua pun merambah  kawasan Asia.
Jepang tampaknya telah tidak sabar ingin segera mewujudkan impian pemerintahnya untuk secepatnya mewujudkan: Greater East Asia Co-Prosperity (Per-Semakmuran Asia Timur Raya) meliputi: Korea, Cina, Indocina (Vietnam, Laos, Kamboja), Malaya, Birma (Myanmar), Filipina, dan tanah Hindia Belanda, dibawah naungan Kekaisaran Hiro Hito dari Negara Matahari Terbit yang perkasa itu.
Pasukan Jepang pimpinan Jenderal Yamashita dengan cepat menyerang ke Selatan lewat pulau Hainan di Cina, kemudian menerobos tanah jajahan Perancis di Indocina dan Thailand. Sebagian dari mereka bergerak ke Barat menuju Birma (Myanmar), sebuah tanah jajahan kerajaan Inggris. Yang lain langsung bergerak menuju Selatan bersepeda menelusuri semenanjung Malaya dan tiba di Kuala Lumpur dan Penang masih pada tahun yang sama, sebuah tanah jajahan kerajaan Inggris yang lain. Kapal perang Inggris Prince of Wales dan Repulse yang menghadang armada Jepang untuk melindungi pulau Singapura dihancurkan Jepang dalam sekejap, menyebabkan pemerintah Inggris yang berkedudukan di kota Singa itu terpaksa lari tunggang-langgang me-ninggalkannya.
Serbuan airbah Dai Toa Senso (Perang Asia Timur Raya) pimpinan Jendral Imamura di Pasifik Barat Daya, atau Asia Tenggara, saat itu membuat pasukan gabungan ABDACOM (Australian, British, Dutch dan American Components) dari SEAC (South East Asia Command) pimpinan Jenderal Sir Archibald P. Wavell ditugaskan melindungi tanah Hindia Belanda hanya mampu bertahan 10 hari, lalu dihancurkan Jepang tanggal 26 Februari 1942, membuat para Jenderal yang memimpin masing-masing kesatuan harus melarikan diri ke India dan Australia. Tujuan Jenderal Imamura memang jelas, yakni: segera menguasai nusantara, lalu memaksa pemerintah  Hindia Belanda yang tak berdaya di Batavia, di pulau Jawa, menyerah tidak bersyarat, dan menjalankan lagi ladang-ladang minyak dengan kilang-kilangnya segera, guna menyediakan kebutuhan mesin perang yang dahaga bahan bakar dan minyak pelumas.
Jepang masuk ke Hindia Belanda diawali serangan udara atas Tarakan di Kalimantan Utara  pada tanggal 11 Januari 1942, Menado di Sulawesi Utara tanggal 17 Januari 1942, Balikpapan di Kalimantan Timur tanggal 22 Januari 1942, Pontianak di Kalimantan Barat tanggal 1 Februari 1942, Palembang di Sumatera Selatan tanggal 14 Januari 1942, dan Bali  tanggal 26 Januari 1942. Serdadu-serdadu Jepang kemudian menyerbu ke pulau Jawa tanggal 28 Februari 1942, dan melakukan pendaratan di tiga tempat, masing-masing: Banten, Indramayu dan Rembang. Dari Banten mereka lalu bergegas menuju Batavia dan mematahkan perlawanan tentara-tentara Belanda yang mempertahankan kota itu hanya dalam 4 hari. Yang dari Indramayu serdadu-serdadu Jepang dengan cepat menuju lapangan terbang Kalijati, dekat Subang, untuk mencegat Gouverneur-Generaal (Gubernur-Jenderal) Hindia Belanda Tjarda van Starkenberg Stachhouer dan pimpinan tertinggi KNIL (Koninklijke Nederlads Indie Leger, atau Angkatan Darat Kerajaan Hindia Belanda), Luitenant-Generaal (Letnan-Jenderal) ter Poorten melarikan diri lewat udara.
Pada tanggal 8 Maret 1942 kedua pimpinan tertinggi pemerintah Hindia Belanda itu terpaksa menyerah tak bersyarat setelah memberi perlawanan kurang dari 9 hari, lalu menandatangani perjanjian bertekuk lutut yang mempermalukan bangsa Belanda dihadapan anak-anak pribumi dan bangsa-bangsa Asia lainnya. Dengan demikian penjajahan Belanda atas nusantara, diawali kedatangan: pertama Cornellis de Houtman di Banten tahun 1596, dilanjutkan Jan Pieterszoon Coon yang mendirikan benteng VOC di Batavia tahun 1619, terpaksa harus berakhir dan masuk kedalam buku sejarah. Keesokan harinya, Jenderal ter Poorten harus memerintahkan seluruh tentaraya di tanah Hindia Belanda menghentikan perlawanan dan menyerah kepada Jepang, dan membubarkan KNIL. Di pulaau Sumatera Generaal-Majoor (Mayor-Jenderal) Overtrakker dan rekannya Gozenson juga trpaksa menyerah kepada Jepang tanggal 28 Maret 1942, di perbatasan Aceh dengan Sumatera Utara tidak jauh dari Kotacane.
Zaman Penjajahan Jepang
Rakyat dimana-mana di seluruh nusantara dengan mata kepala sendiri menyaksikan bagaimana bangsa Belanda (orang Eropa dari Barat), penjajah nusantara berbilang abad, akhirnya terpaksa bertekuk lutut didepan bala tentara Dai Nippon dari Jepang (orang Asia dari Timur), nyaris tidak menunjukkan perlawanan berarti. Orang-orang Belanda yang kalah perang lalu diinternir (tawan perang) oleh Jepang, dijadikan tenaga kasar (koeli) dan pekerja paksa (rodi) yang diperintah tentara Jepang, lalu: dihardik, dipukuli, dicemeti, dan ditendang saat tidak segera menunjukkan kepatuhan. Kepada mereka yang dituduh bersalah lalu: digantung, dipancung, dan ditembak para regu pelaksana hukuman mati Jepang dihadapan orang banyak. Kota-kota di pulau Sumatera pun lalu berjatuhan ke tangan Jepang tahun 1942, antara lain: Palembang 14 Februari, Jambi 26 Februari, Medan 12 Maret, dan Banda Aceh 13 Maret. Masyarakat pribumi lalu merasakan hidup dibawah pemerintahan Fascist Jepang; dan zaman Hindia Belanda lalu berganti menjadi zaman Jepang.
Pemerintah Jepang yang kemudian menggantikan Belanda di Tapanuli, lalu memindahkan kantor Residen Tapanuli dari Sibolga ke Tarutung. Saudara tua dari Negeri Matahari Terbit itu tak ayal lagi memperkenalkan pula sejumlah istilah pemerintahan yang tergolong sentralistik di Tapanuli ketika itu. Kata Residen diubahnya menjadi: Cokan, Bupati digantinya menjadi: Kenco, Wedana ditukar menjadi: Gunco, Kepala Kampung dinamakannya: Kuco. Dalam jajaran angkatan perangnya, Jepang memperkenalkan: Rikugun untuk Angkatan Darat, ketika itu menjalankan pemerintahan di pulau-pulau Jawa dan Madura; lalu Kaigun untuk Angkatan Laut, ketika itu menjalankan pemerintahan di pulau-pulau lain termasuk Sumatera. Polisi Militer dinamakannya: Kem Pei Tai. Selain dari itu ada pula: Sendenbu untuk menamakan Badan Penerangan Jepang. Ada lagi: Seinendan untuk menamakan organisasi pemuda peserta latihan militer Kyoren. Ada juga: Fuzinkai istilah bagi aktifis wanita anak-anak negeri yang pembantu Bala Tentara Jepang. Keibodan adalah nama badan yang membantu kepolisian mematamatai penduduk pribumi. Heiho ialah para pemuda yang direkrut guna membantu tentara Jepang di medan perang Asia Timur Raya. Di pulau Jawa badan ini dinamakan: Kaigun-Heho sedangkan di pulau Sumatera badan ini bernama: Rikugun-Heho. Ada lagi yang dinamakan: Romusya, yakni tenaga-tenaga kerja anak negeri yang dihimpun oleh Romukyoku (Jawatan Tenaga Kerja Jepang) untuk berbagai keperluan, termasuk untuk ikut berperang yang tidak sedikit bilangannya.
Hengkangnya pemerintah Hindia Belanda dari bumi pertiwi, telah lama menjadi idaman anak-anak negeri. Dalam pandangan masyarakat pribumi ketika itu, sikap dan prilaku bangsa Belanda sebagai orang Eropa tergolong sangat angkuh; kehidupan mereka jauh dari rakyat dibandingkan  orang-orang asing lainnya, antara lain: Arab, Cina, Keling (India), yang juga tergolong pendatang ke nusantara ketika itu. Keserakahan atas hasil kekayaan alam: perkebunan, perda-gangan, pertambangan hingga industri yang terdapat dibawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda yang kolonial dalam rentang waktu berkuasa yang begitu panjang, mereka perlihatkan dihadapan anak-anak negeri, nyaris tidak ambil bagian untuk memperbaiki kesejahteraan  rakyat  yang berarti di tanah jajahan. Orang-orang Belanda sangat mendewakan Jenderal van Heutz sebagai orang yang paling berjasa kepada Kerajaan Belanda di Eropa, karena dengan kecerdasan dan kerja kerasnya berhasil menaklukkan begitu banyak kerajaan di nusantara, besar dan kecil, menundukkan begitu banyak Raja-raja  di tanah-air untuk mendirikan Oost Nederlands Indie  (Hindia Belanda Timur) yang amat luas dari Sabang hingga Merauke. Akan tetapi tanah jajahan yang luas itu tidak mensejahterakan kehidupan anak-anak negeri di tanah kelahirannya.
Dalam kurun waktu ratusan tahun lamanya anak-anak negeri telah dipaksa melakukan rodi (kerja paksa) yang menguras tenaga nyaris tidak berimbalan, mengabdi kepada pemerintah Hindia Belanda yang kolonial membangun jalan-raya dan jembatan yang diperintahkan oleh Dandels. Mereka juga menjadi koeli di berbagai perkebunan dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda di tanah-air dengan bayaran segobang (dua setengah sen uang Belanda saat itu) sehari, lalu ditransmigrasikan ke sejumlah tempat di luar pulau Jawa. Tidak sedikit dari mereka yang lalu dieksport ke luar negeri untuk dijadikan pekerja rodi di berbagai perkebunan seperti: Suriname di Amerika Selatan, dan New Caledonia di Timur Australia, untuk menjadi koeli di berbagai perkebunan milik kerajaan Belanda dan asing lainnya. Dapat dimengerti apabila selama masa penjajahan Belanda yang panjang itu lalu muncul protes dimanamana, pembangkangan, penolakan, hingga dengan pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda ketika itu.
Sampai dengan kedatangan Jepang di nusantara, seluruh kebijakan yang diambil Kerajaan Be-landa dari Eropa atas tanah jajahan Hindia Belanda Timur, menyebabkan yang disebut akhir menjadi: pemerintahan kolonial terlemah didunia, rakyat buta-huruf yang terbanyak sejagat, orang-orang miskin paling terhina di muka bumi, dan militer terlemah di Asia. Meski telah berlaku sedemikian buruk terhadap anak-anak negeri di Hindia Belanda, orang-orang Belanda masih menimpali lagi anak-anak bangsa ini dengan ucapan Helfferich:“Een Natie van Koelies, en een Koelie onder de Naties” (Sebuah bangsa Kuli, dan Kuli dibawah Bangsa-bangsa). Luka lahir bathin yang terpendam ditinggalkan pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada anak-anak negeri sangatlah dalam dan menyakitkan, sehingga tidak cukup kata terdapat dalam perbenda-haraan sebuah bahasa untuk mengungkapkan semuanya. Demikian pahit kegetiran hidup yang dirasakan anak-anak bangsa di tanah kelahirannya sendiri ketika itu.
Jepang rupanya faham sekali akan duka lahir-bathin yang dirasakan anak-anak negeri di tanah  Hindia Belanda, dan dengan cerdik memanfaatkannya. Karena itu Jepang dengan cepat mena-warkan janji “kemerdekaan” kepada rakyat di nusantara dalam satu paket dengan kemakmuran untuk seluruh Asia, sebagaimana yang dikampanyekan dalam “Greater East Asia Co-Prosperity”, dikumandangkan dalam gerakan 3A: “Nippon tjahaja Asia, Nippon pelindung Asia, Nippon pemimpin Asia”.
Tidak dapat disangkal lagi anak-anak negeri dimana-mana di nusantara bersuka cita lalu me-nyambut kedatangan serdadu-serdadu Jepang dari negeri matahari terbit, apalagi diiringi sikap ramah tamah dan penuh hormat yang dipertontonkan saudara tua pendatang baru itu. Pada tahap ini, keinginan rakyat di nusantara yang diwakili para pemimpinnya sejalan dengan keinginan tentara Jepang, yakni secepatnya mengenyahkan pemerintah Hindia Belanda yang colonial dari bumi pertiwi.
Akan tetapi setelah pemerintah Hindia Belanda yang kolonial itu tumbang, rakyat segera menuntut janji kemerdekaan pada Jepang. Sekelompok anak bangsa lalu menyodorkan calon presiden pribumi berikut para menteri kabinetnya, akan tetapi sang saudara tua itu terpaksa mengulur waktu. Baru setelah anak-anak negeri menyaksikan dengan mata kepala sendiri orang-orang Jepang  menduduki berbagai jabatan yang ditinggalkan pemerintah Hindia Belanda, barulah mereka sadar akan tujuan kedatangan orang-orang yang mengaku diri sebagai saudara tua itu. Kini, keinginan rakyat dan kepentingan Jepang telah berseberangan, bahkan menuju benturan kepentingan. Anak-anak bangsa kemudian membayangkan kedatangan penjajah baru ke nusantara, tetapi kini oleh yang bernama saudara tua dari Asia di Timur.
Apa yang segera diperlukan Jepang ketika itu adalah tenaga kerja, ratusan hingga ribuan ribu anak bangsa untuk berkingrohoshi (berkerja bhakti) menjadi heiho membantu prajurit Jepang dalam perang Dai Toa Senso menghadapi pasukan sekutu. Demikian pula juga romusya untuk membangun benteng-benteng pertahanan, menyiapkan lapangan terbang, membongkar/pasang rel-rel kereta api seperti di Tratak dan Petain 170 km barat daya Pekanbaru, membangun kubu-kubu pertahanan, melaksanakan penggalian tanggul, membuat tempat-tempat perlindungan untuk serdadu Jepang, membuat terowongan lengkap dengan lorong dan gua persembunyian serdau-serdadu Jepang, dan masih banyak lagi. Tenaga yang dibutuhkan  tidak semata yang bertugas di tanah-air, juga yang untuk dieksport ke luar negeri sebagaimana yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda silam, hanya kini oleh pemerintah Fascist Jepang untuk memenangkan perang Dai Toa Senso.
Jepang tidak disangkal lagi memerlukan bahan pangan: beras, sayur, daging, buah yang dikumpulkan dari  petani, peternak, yang dibayar uang kertas Jepang. Pemerintah Fascist ini juga memerlukan anak-anak negeri yabg dapat dijadikan polisi untuk megamankan masyarakat di garis belakang. Kini serdadu-serdadu Jepang telah menanggalkan seluruh keramah-tamahan sebelumnya, dan menukarnya dengan sikap kasar, keras dan kejam kepada anak bangsa.. Kini serdadu-serdadu Jepang memperlakukan anak-anak pribumi dengan kasar, bengis, dan kejam dalam tuntutan mematuhi perintah. Jepang juga membutuhkan bantuan aktif penduduk mempertahankan nusantara dari serangan pasukan sekutu pimpinan Amerika Serikat.
Karena serdadu-serdadu Dai-Nippon telah memperlihatkan keperkasaannya mengusir pemerintah Hindia Belanda dari bumi nusantara dengan mudah; mengamati kecepatan perubahan prilaku orang-orang Jepang mengambil alih berbagai jabatan yang ditinggalkan pemerintah Hindia Belanda yang kolonial, anak-anak negeri dan para pemimpinnya di tanah-air ketika itu terpaksa mengalah. Mereka sadar, bahwa kedatangan Jepang tidak lain untuk merampas tanah jajahan  Hindia Belanda, setelah pemerintah yang disebut akhir ini ditaklukkan. Maka untuk menghindarkan pertumpahan darah sia-sia melawan pasukan pendudukan Jepang yang perkasa, kasar, bengis, kejam, dan  tidak beradab saat itu, maka anak-anak bangsa terpaksa memilih langkah koopertif dengan mengikuti keinginan saudara tua.
Serangan tentara Jepang yang meluluhlantakkan pasukan SEAC dan pertahanan tanah Hindia Belanda, lalu diarahkannya menuju Australia. Dengan terlebih dahulu menduduki Rabaul di gugusan kepulauan Bismarck, Jepang lalu melangkah ke semenanjung di Utara benua kanguru, dan berusaha menggunting jalur pengiriman senjata datang dari Amerika Serikat ke Australia. Akan tetapi malang, dalam pertempuran Laut Coral (Laut Karang) tanggal 4 Mei tahun 1942, angkatan laut Jepang pimpinan Jenderal Hyakutake menderita kekalahan telak, lalu mundur disusul jatuhnya Guadalkanal tanggal 6 Nopember 1942. Sebelumnya pada bulan Juni tahun yang sama, empat kapal induk Jepang sarat pesawat tempur ditenggelamkan Amerika Serikat tidak jauh dari Midway. Pukulan terbesar Jepang pada ketika itu ialah tewasnya laksamana Yamamoto tanggal 1 Maret 1943.
Kendati Jepang berusaha memacu terus serangannya, akan tetapi setelah Jenderal Hyakutake digantikan Jenderal Imamura, maka sampai penghujung tahun 1942 pasukan Jepang yang menyerbu bagian Utara benua Australia itu terus terpukul mundur. Duet Jenderal Nimitz di Pearl Harbor dengan Jenderal McArthur yang ditarik ke Australia dari Filipina, dan melakukan gerakan leap frog (lompat katak) dari kepulauan-kepulauan: Marshall, Gilbert, Mariana, dan Carolina, memaksa serdadu-serdadu Jepang melaksanakan strategi mundur sambil bertahan secara bergantian. Dalam periode tahun 1942 hingga 1943, Jenderal McArthur terus memburu pasukan Jepang yang terdesak mundur ke Papua, dari sana ke Morotai, lalu kepulauan Filipina, pulau Taiwan, kepulauan Okinawa, hingga menghampiri Jepang di tanah-airnya.
Dalam gerakan mundur, diawali dari Filipina Jepang memperlihatkan perlawanan sengit, dan mengerahkan  squadron pesawat tempur Kamikaze (angin utusan Tuhan) dikemudikan peberbang-penerbang berani mati. Mereka menyerang setiap armada perang sekutu bergerak dalam formasi menuju perairan Jepang, menyebabkan banyak yang disebut akhir ini terbakar dan tenggelam. Gerakan gunting yang dilakukan Jenderal McArthur sejak dari Australia menyebabkan pasukan Jepang yang terdapat di pulau-pulau: Sumatera, Jawa, dan Kalimantan terpencil dari induk pasukannya di wilayah pasifik Barat.
Banyak adegan perang mempertontonkan kemutakhiran teknologi peralatan perang yang dimiliki Amerika Serikat dan sekutunya disatu fihak, Jerman dan Jepang di fihak lainnya, telah diangkat ke layar perak untuk meramaikan bioskop-bioskop di seluruh dunia, untuk memuaskan rasa ingin tahu orang banyak akan malapetaka dunia buatan manusia terbesar abad ke-20 silam, dan gemanya masih terus bergaung memasuki abad-abad selanjutnya di bidang: politik, ekonomi, sosial, budaya, strategi perang dan lainnya. Dan yang tak kalah mendapat perhatian dunia juga kepahlawanan yang diperlihatkan para perajurit dari kedua kubu yang berseteru di berbagai medan laga Eropa dan Asia.
Kemajuan pasukan Amerika Serikat di front Pasifik, disusul keberhasilan tentara Inggris mengusir serdadu-serdadu Jepang meninggalkan Birma (kini Myanmar) di front Asia Tenggara, dan memburu semuanya kembali ke semenanjung Malaya. Pasukan Australia kemudian mulai menduduki nusantara bagian Timur, menyebabkan serdadu-serdadu Jepang yang terperangkap di tiga pulau dikemukakan sebelumnya semakin   terjepit. Hal ini menyebabkan nasib anak-anak negeri yang berada dibawah kekuasaan Jepang di ketiga pulau itu semakin menderita, karena serdadu- serdadu ini semakin tergantung kehidupannya dari pemerasan  milik masyarakat mulai hasil pertanian hingga harta benda lainnya. Untuk memenuhi beragam keperluan di pulau-pulau: Sumatera, Jawa dan Kalimantan, seperti: pangan, tenaga kerja, dan lain sebagainya, serdadu-serdadu Jepang mengandalkan senjata ditangan, prilaku kasar, dan kekejaman, agar anak-anak negeri mengikuti perintah, dan menyerahkan apa saja yang diinginkan dengan cepat.  
Dengan demikian Jepang berhasil merekrut ratusan ribu pemuda dari kota hingga desa yang didudukinya, untuk dijadikan heiho dan romusha yang dikirim ke Singapura, Malaya, Siam (Thailand), Birma (Myanmar), Nikobar, dan Andaman, untuk menahan serangan sekutu. Banyak dari mereka lalu terbunuh diperlakukan sebagai umpan peluru, kurus kering kurang pangan, terlantar menjadi gelandangan di negeri orang,  tenggelam dilaut, dan hilang tak tentu rimbanya,. Banyak romusya yang tidak diketahui lagi dimana keberadaannya, karena samasekali tidak terdaftar. Ada para romusya penggali persembunyian tentara Jepang yang dibunuh setelah menyelesaikan pekerjaan guna merahasiakan lokasi. Tidak sedikit jumlah keluarga  anak negeri yang menanyakan nasib sanak saudara mereka  yang direkrut Jepang, akan tetapi yang akhir ini tidak mengindahkannya. Banyak kampung dan desa lalu kekurangan tenaga kerja untuk melola lahan pertanian penghasil pangan yang menghidupi rakyat di berbagai daerah tahah-air.
Memasuki tahap akhir penjajahan Jepang yang setahun jagung lamanya, serdadu-serdadu Jepang kehabisan bekal, karena tidak lagi mendapat bantuan logistik dari induk pasukannya. Untuk bertahan hidup, mereka memburu pangan rakyat: beras, jagung, ketela, dan lain sebagainya. Dengan peluru ditangan dan prilaku kasar, serdadu-serdadu Jepang mengumpulkan semua hasil pertanian rakyat untuk menimbunnya. Kepada  penghasil pangan yang setia, Jepang memerintahkan semuanya berbaris untuk mendapat jatah bahan pangan. Rakyat di berbagai tempat di pulau-pulau: Sumatera, Jawa dan Kalimantan, lalu menderita kekurangan  pangan. Mereka yang kelaparan berusaha mencari makanan ke hutan mencari tanaman liar yang mereka ketahui dapat dimakan dari generasi sebelumnya. Keracunan makanan pun terdengar dimana-mana ketika itu, karena banyak dari mereka yang tidak tahu lagi menyiapkan untuk dimakan.
Serdadu-serdadu Jepang yang terkepung memperlakukan anak-anak negeri tidak alang kepalang kasar dan menyakitkan. Kepada mereka yang tidak cepat menghormat ketika bertemu langsung ditempeleng. Mereka yang tidak sudi, atau ragu, menurut perintah ditendang dan dipukul gagang senapan. Mereka yang diketahui bersalah dicemeti dihadapan orang banyak di lapangan terbuka. Musuh dan penghianat yang tertangkap serdadu Jepang dipancung, atau ditembak mati. Dalam pemerintahan Jepang yang Fascist ketika itu, tidak ada pengadilan tempat membuktikan kesalahan atas perkara yang dituduhkan terhadap anak-anak negeri, konon lagi menegakkan kebenaran dan menghormatinya.
Dengan menunjukkan kekasaran dan kekejaman, Jepang berharap anak-anak negeri akan patuh pada  perintah tanpa berfikir. Tujuan Jepang jelas, menciptakan rasa takut dalam masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan  ketenteraman dalam masyarakat di garis belakang dalam masa pendudukannya. Berbeda sekali dari cara yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda silam untuk memperoleh yang sama diketahui anak-anak negeri selama ini. Di lain fihak, bahasa kasar dan perbuatan kejaman yang dilakukan Fascist Jepang berdampak buruk terhadap anak-anak bangsai karena menimbulkan trauma kejiwaan yang berat. Anak-anak negeri ini tidak mampu menemukan dalam akal-budi penalaran mereka, apa gerangan nasib seburuk itu menghampiri kehidupan mereka di dunia ini, apa gerangan kesalahan atau dosa yang pernah mereka lakukan sebelumnya?
Meski serdadu-serdadu pendudukan Jepang telah memperlihatkan kekasaran dan kekejaman kepada masyarakat berulang kali, tidak berarti anak-anak pribumi urung samasekali memberikan perlawanan. Rakyat Singaparna di Jawa Barat, pimpinan K.H. Zaenal Mustafa menolak seikeirei (menyembah) Tenno Heika yang berada di Tokyo, karena menyalahi ajaran Darul Islam yang diyakini rakyat. Sang Kiayi mengatakan sembahyang hanya menghadap Ka’bah di Mekah, Saudi Arabia, bukan menuju Tokyo di mana Tenno Heika berada, sebagaimana diperintahkan para perajurit Jepang. Pemberontakan Indramayu yang meletus dan menimbulkan korban ketika itu telah sebelumnya dipicu kebencian rakyat pada serdadu-serdadu Jepang melakukan pemerasan hasil bumi dan kekayaan melampaui batas.
Kehidupan di tanah-air dari hari ke hari dirasakan rakyat semakin menghimpit di penghujung pendudukan Jepang, terlebih lagi dengan adanya blokade pasukan sekutu. Beragam bahan makanan dan pakaian yang di zaman Hindia Belanda didapat melalui import dari luar negeri, di zaman pendudukan Jepang hilang dari pasaran. Kalau pun ada, tidak mudah mendapatkannya, tidak terkecuali obat-obatan. Yang pertama menderita anak-anak dalam pengungsian yang membutuhkan pangan berbahan dasar susu. Kaum ibu terpaksa mengusahakan makanan tambahan untuk anak mereka di pengungsian guna memenuhi gizi.
Begitu juga dengan pakaian yang tidak dapat lagi dibeli dipasar, sehingga banyak warga yang masih mengenakan pakaian yang dibeli di zaman Hindia Belanda silam, dikenakan hingga buruk di badan. Apabila cabik dimakan usia, tambal sulam bukan halangan. Banyak pakaian yang dikenakan orang-orang yang berkeliaran di jalan-raya telah bertambal sulam dimana-mana. Beragam warna potongan kain dijahitkan orang dengan tangan menghiasi baju atau celana dari luar. Orang-orang berpakaian compang-camping tampak berkeliaran menjadi pemandangan sehari-hari di zaman pendudukan Jepang. Ada sementara anak negeri yang telah mengenakan pakaian dari goni (karung), atau dari terpal dikupas dari saluran air di kota-kota; sedangkan di kampung-kampung rakyat dikhabarkan telah mengenakan pakaian kulit kayu dan bagor (karet giling tipis) untuk ganti kain pembalut badan.
Juga lenyap dari pasaran selama pendudukan Jepang mainan anak-anak yang di zaman Belanda banyak ditemukan di pasar. Para pengungsi perlu membantu anak-anak mereka menciptakan peralatan bermain guna merangsang berfikir dan berkreasi dari imajinasi masing-masing. Banyak anak-anak para pengungsi yang tidak segera dapat berbaur dengan anak-anak di berbagai kampung tempat bermukim. Alat-alat bemain dibuat dari bahan apa saja yang ditemukan di tempat pengungsian. Dengan alat bermain seadanya di zaman Jepang, para pengungsi berusaha mencerdaskan buah hati mereka: putera dan puteri, sekaligus mengantarkan anak-anak ini bermasyarakat dengan anak-anak lain di lingkungan hidup yang baru. Kaum ibu pun tidak ingin ketinggalan menyediakan beragam permainan anak perempuan agar mereka juga mampu  bermain dan bergaul dengan sebayanya.
Dengan kian terpukulnya tentara Dai Nippon dalam perang Dai Toa Senso, pada tanggal 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang: Koisho menyampaikan dihadapan Parlemendi negerinya, bahwa pemerintah Jepang akan dngan resmi memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Kemudian janji itu diulangi lagi oleh pemerintah Jepang dengan pengumuman pemerintah yang dikeluarkan tanggal 29 April 1945.
Dengan hengkangnya pemerintah Hindia Belanda dari tanah-air, maka ayah lalu bekerja menjadi pegawai pemerintah Jepang di Pematang Siantar. Di ibukota tanah Simalungun itu, ayah juga menjabat sebagai Ketua Daerah Al Djamiatul Washliah setempat.
Zaman Perang Kemerdekaan
Dengan keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Dunia ke-II membantu: Inggris, Perancis, dan lainnya dari front Barat Eropa, demikian juga Uni-Sovyet (kini Rusia) menyerang dari front Timur, Nazi Jerman pimpinan Adolf Hitler menjadi terjepit ditengah medan laga, membuat negeri Fascist itu segara ditaklukkan; dan Perang Dunia ke-II di Eropa pun berakhir.
Kemenangan sekutu dalam Perang Dunia ke-II di daratan Eropa  lalu dirayakan tanggal 8 Mei 1945. Perang dahsyat yang telah meluluhlantakkan negeri Jerman beserta aliansi perangnya yang jaya saat itu oleh serbuan Sekutu yang lebih perkasa, membuat pemerintah Fascist Jerman pimpinan Partai Nazi terpaksa bertekuk lutut tak bersyarat, dan menandatangani perjanjian Potsdam (kota kecil dekat Berlin) yang menyakitkan. Dalam perjanjian itu dikatakan, bahwa negeri Jerman harus dibagi kedalam empat sektor, sesuai jumlah pasukan Sekutu yang berhasil menaklukkannya, masing-masing: Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Uni-Sovyet.
Penggabungan ketiga sektor negeri Jerman yang diduduki: Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis, terdapat  di bagian Barat negeri itu, melahirkan Jerman Barat dengan ibukotanya Bonn; sedangkan sektor keempat yang berada di bagian Timur Jerman dan dikuasai Uni-Sovyet, oleh perbedaan ideologi negara-negara penakluk, terpaksa memisahkan diri dan membentuk Jerman Timur dengan ibukotanya Berlin. Akan halnya kota Berlin, bekas ibukota Nazi Jerman yang tersohor itu, dalam kesepakatan Potsdam juga harus dibagi kedalam empat sektor. Penggabungan sektor-sektor kota Berlin yang diduduki: Amerika Serikat, Inggris dan Perancis di bagian Barat kota itu melahirkan Berlin Barat; sedangkan sektor Timur yang berada dibawah kekuasaan Uni-Sovyet, memisahkan diri oleh perbedaan ideologi membentuk Berlin Timur, lalu menjadi ibu-kota Jerman Timur.
Pada awalnya kedua komunitas warga Jerman yang berdiam di kota Berlin, yakni warga Berlin dibawah pemerintah gabungan Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis, begitu juga warga Berlin yang berada dibawah pemerintah Uni-Sovyet; dengan kata lain mereka yang berada di blok Barat (Amerika Serikat, Inggris dan Perancis) dan yang berada di blok Timur (Uni-Sovyet) sesuai perjanjian Potsdam, hanya dipisahkan oleh garis yang erdapat di peta. Akan tetapi dengan kian banyaka penduduk Berlin Timur yang melarikan diri meninggalkan bagian kota itu bergabung dengan penduduk Berlin Barat, maka pemerintah Jerman Timur dengan persetujuan Uni-Sovyet terpaksa mendirikan "dinding beton" pada garis peta yang memisahkan kedua bagian kota. Dinding beton ini lalu dikenal dengan nama: “Tembok Berlin” atau "Berlin Wall". Tembok Berlin ini didirikan pada zaman pemerintahan Perdana Menteri Uni Sovyet Nikita Khrushchev yang berhaluan Sosialis-Komunis berkuasa di Kremlin, di kantor pemerintah Uni-Sovyet, di pusat kota Moskow.
Kendati Perang Dunia ke-II telah berakhir di Eropa, akan tetapi hal itu samasekali belum terjadi di Asia, meski Jepang telah kehilangan para aliansi perangnya dari belahan bumi Barat. Kini Jepang harus berperang sendirian dengan segala kemampuan militer yang ada padanya berhadapan langsung dengan Amerika Serikat yang dibantu para sekutu perangnya dari Eropa, khususnya Inggris, dan Belanda, yang mempunyai kepentingan di kawasan Asia Tenggara, karena memiliki tanah jajahan amat luas lagi kaya akan berbagai sumber daya alam, yang belum lama direbut Fascist Jepang. Seteru Jepang lain di Asia Pasifik ketika itu ialah Cina Nasionalis pimpinan Jenderal Chiang Kai Shek yang bukan komunis, dan Australia. 
Dengan semakin dekat keberadaan Jenderal McArthur dengan armada perangnya ke perairan negeri Sakura, Jepang memperlihatkan perlawanan beragam di laut dan udara. Di laut, selain kapal-kapal perang angkatan lautnya, Jepang mengembangkan ribuan kapal motor bunuh diri pembawa bom: mulai kapal selam mini bertorpedo dikemudikan perajurit jibaku (berani mati), perahu cepat pemburu kapal perang, dan lainnya; semunya ditebar ke lautan disekeliling negeri Sakura. Tujuannya mengkaramkan kapal-kapal armada sekutu yang berani mendekat. Pasukan sekutu pimpinan Amerika Serikat benar-benar mendapat rintangan besar menghadapi perajurit-peraju jibaku yang banyak bilangannya dan beragam bentuk, karena berhasil mengkaramkan banyak kapal, sehingga terpaksa berpaling pada keunggulan teknologi senjata, untuk membuat Jepang segera bertekuk lutut. Pilihan kemudian jatuh pada penggunaan senjata nuklir atau bom atom bernama: “Little Boy”.
Dua kota industri Jepang dipilih untuk menjadi sasaran Little Boy, yakni: Hiroshima di pulau Honshu, dan Nagasaki di pulau Kyushu. Bom pertama dijatuhkan di Hiroshima tanggal 6 Agustus 1945 dilepas dari lambung pembom B-29 “Enola Gay” dikemudikan Kapten Penerbang Warfield Paul Tibbets Jr, merenggut  120.000 jiwa dalam sekejap, disusul 80.000 orang yang mati perlahan oleh penyinaran radio-aktif. Melihat kengerian yang ditimbulkan bom pertama menghantam Jepang di tanah-airnya, kabinet Jepang langsung bersidang hari itu juga. Tiga hari kemudian, bom kedua dijatuhkan di Nagasaki tanggal 9 Agustus 1945 merenggut 80.000 orang seketika. Tak pelak lagi, negara Matahari Terbit itu mengibarkan bendera putih tanda menyerah, sekaligus menyatakan bersedia mengikuti Jerman menerima perjajian Potsdam tak syarat yang memilukan kaum samurai, dan mempermalukan mereka semuanya.
Lalu pada tanggal 8 Agustus 1945 Uni-Sovyet memaklumkan perang pada Jepang dan angkatan perangnya langsung menerobos memasuki Manchuria, tanah jajahan Jepang di Tiongkok. Negara Beruang Merah  melibatkan diri dalam Perang Pasifik setelah Kerajaan Jepang menyatakan bertekuk lutut kepada sekutu yang dipimpin Amerika Serikat.
Pada tangal 14 Agustus 1945 Presiden Amerika Serikat Truman dan Perdana menteri Inggris Lord Attlee mengumumkan ke seluruh penjuru dunia, bahwa Jepang telah bertekuk lutut tak bersyarat. Kemudian Kaisar Hirohito memerintahkan seluruh pasukan Jepang yang ada di kawasan pasifik “menghentikan perlawanan”, bukan “menyerah”, pilihan kata bijak untuk tidak terlalu menyakitkan hati bangsanya. Lalu, pada tanggal 18 Agustus 1945 Menlu Jepang Shigemitsu mengumumkan kekalahan Jepang terhadap Sekutu keseluruh  dunia, dan Perang Dunia ke II, atau Perang Dai Toa Senso, yang dimulai Jepang di kawasan Asia pun berakhir.
Pada tanggal 30 Agustus 1945 Marsekal Terauchi, Panglima Tertinggi Bala Tentara Jepang daerah Selatan,  menyerahkan pedang samuraiya kepada Laksamana Lord Louis Mountbatten dari SEAC yang berada di Saigon (Vietnam). Sementara di atas Kapal Perang Glory, Jenderal Imamura, Panglima Besar Jepang Kawasan Pasifik Barat Daya, menyerah kepada Jenderal Sturdes dari Australia. Baru pada tanggal 2 September 1945 utusan Pemerintah Jepang dipimpin Shigemitsu, atas nama Kaisar Hirohito dan Markas Tertinggi Angkatan Perang Jepang, dikawal Jenderal Yoshijiro Umetsu, berangkat menemui Jenderal McArthur dari Amerika Serikat yang sedang menunggu bersama 50 orang Jenderal sekutu lainnya di atas geladak kapal perang “Misouri” berlabuh di teluk Tokyo. Dalam laporannya, utusan Jepang itu mengatakan atas nama Kaisar Jepang bahwa tentara Dai-Nippon telah kalah berperang melawan sekutu, ungkapan yang menyakitkan hati para perajurit Jepang di tanah-air mereka ketika itu.
Setelah Fascist Jerman pimpinan Adolf Hitler ditumbangkan di Eropa, Belanda lalu membangun kembali pemerintah Belanda di negerinya, yang selama Perang Dunia ke II terpaksa hengkang ke Inggris karena diduduki Jerman; lalu mengangkat Dr. L. J. M. Beel menjad perdana menteri. Pemerintah Beel di Den Haag lalu menunjuk Dr. Hubertus J. van Mook menjadi Leutenant Gouverneur-Generaal Hindia Belanda yang baru berkedudukan di Batavia, tetapi untuk sementara berada di Brisbane, Australia.
Pada tanggal 15 Agustus 1945, ayah sekeluarga berduka di Pematang Siantar setelah mendapat khabar  bahwa Namboru Duma Harahap yang berdiam di Matapao, Perkebunan Kelapa Sawit terletak antara Medan dan Tebing Tinggi (Deli), berpulang ke rakhma-tullah. Ayah sekeluarga lalu mengunjungi perkebunan tersebut untuk melayat dan bertemu dengan keluarga namboru yang tengah berduka saat itu.
Sejak tanggal 15 Agustus 1945, pemerintah Hindia Belanda pasca Perang Dunia ke-II dalam pengasingan tu telah melangsungkan berbagai pertemuan untuk mengatur kepindahannya ke Batavia setelah Bala Tentara Dai Nippon ditaklukkan, untuk kembali menerima tanah Hindia Belanda dari tangan Jepang disaksikan Sekutu. Pemerintah Hindia Belanda yang baru mereka namakan: NICA (Nederlands Indies Civil Administration, atau Pemerintah Sipil Hindia Belanda) yang akan dipimpin Ch.O. van der Plas, sebagai wakil van Mook.
Sejalan dengan usaha membangun kembali pemerintahan sipil seberang lautan di Asia Tenggara, Belanda juga melaksanakan mobilisasi umum di tanah-airnya guna merekrut para pemuda yang bersedia untuk dijadikan serdadu KNIL yang dikirim ke tanah Hindia Belanda Timur. Dalam pidato melepas rombongan serdadu KNIL sejumlah 3000 orang, angkatan pertama dinamakan: “7 Desember Divisie” pada tanggal 20 Desember 1946 di geladak kapal Boissevain dari Amsterdam, Jenderal Kruls selaku Kepala Staf Umum Tentara Belanda di Nederland mengatakan: mereka dikirim bukan untuk melaksaanakan perang kolonial yang baru, tetapi guna mendatangkan perdamaian dan ketenteraman di tanah seberang. Kapal-kapal pengangkut serdadu KNIL lainnya lalu menyusul, seperti: Klipfontein dengan 1386 serdadu, Kotaagung memuat 1500 serdadu, Ruys, Tegelberg, dan lainnya. Selain para serdadu yang didatangkan langsung dari negerinya di Eropa, Belanda juga merekrut anggota-anggota KNIL bekas internir Jepang yang bertebaran dimana-mana di Asia Tenggara usai perang Asia Timur Raya.
Dalam amar perjanjian kalah perangnya, Jepang mengatakan menyerah kepada Sekutu: Amerika Serikat, Inggris, Rusia dan China yang diwakili Jenderal McArthur. Jepang juga membuat rincian kepada siapa saja wilayah-wilayah taklukannya akan dikembalikan. Hindia Belanda Timur akan dikembalikan Jepang kepada SEAC diwakili Laksamana Mountbatten dari Inggris dan Jenderal Blamey dari Australia. Tidak tercantum ketika itu nama-nama: negeri Belanda dan Negara Republik Indonesia dalam dokumen perjanjian, meski dua nama yang disebut akhir ini amat berkepentingan terhadap wilayah yang akan ditinggalkan Kerajaan Dai-Nippon itu.
Sekutu lalu memerintahkan Detasemen Marinir dan Batalyon Seaforth Highlanders dari Inggris masuk ke bekas tanah Hindia Belanda, dan tanggal 15 September 1945 kapal perang Camberlain pimpinan Laksamana kelas III Patterson lalu berlabuh di Tanjung Priok, pelabuhan Batavia ketika itu. Patterson bertindak sebagai penerima bekas tanah Hindia Belanda yang dikembalikan Jenderal Nagano, Panglima Tertinggi Jepang di pulau Jawa ketika itu. Sepanjang bulan September tahun yang sama, berdatangan lagi pasukan-pasukan Sekutu lainnya ke bekas tanah Hindia Belanda yang disusul tibanya beberapa divisi yang berasal dari India.
Pada tanggal 27 September 1945 Jenderal Sir Philip Christison dari Amerika Serikat ditunjuk sekutu untuk menjadi Pimpinan Tertinggi bekas tanah Hindia Belanda berkedudukan di Batavia. Van Mook yang mengamati rencana Sekutu, tak pelak lagi berupaya mengikutsertakan NICA-Australianya dengan melobi Jenderal McArthur, kala itu masih menjadi Panglima Tertinggi Sekutu kawasan Pasifik, namun tidak memperoleh tanggapan. Adapun tujuan sekutu masuk ke tanah Hindia Belanda saat itu untuk melaksanakan amar perjanjian dengan Jepang yang ditandatangani di Tokyo, melucuti seluruh pasukan Jepang yang terdapat di kawasa itu lalu mengembalikan seluruhnya ke Jepang, dan membebaskan para APWI (Allied Prisoners of War and Internees) dari berbagai penjara dan tempat-tempat tawanan perang Jepang lainnya.
Di pesisir Timur pulau Sumatera, dalam keadaan kosong (vakum) kekuasaan antara anggal 14 Agustus 1945 hingga 2 September 1945, yakni ketika Kaisar Hiro Hito menyampaikan menghentikan perlawanan Jepang kepada Sekutu hingga ditandatanganinya perjanjian kalah perang Jepang di geladak kapal Misouri milik Amerika Serikat, Belanda telah mengutus Pasukan Komando ke Sumatera Timur bersandi “Force 136” dari pangkalannya di Sri Langka. Pasukan ini diterjunkannya dari udara di: Bagan Siapiapi, Rantau Prapat, Banda Aceh, dan Medan. Di lapangan terbang Polonia, Medan, diterjunkan Letnan Turco Westerling tanggal 16 September 1945, disusul Letnan Laut I Brondgeest yang membawa serta 165 orang pasukan lengkap dengan persenjataan mereka. Pasukan komando ditugaskan untuk menghubungi keluarga-keluarga: Sultan Deli, Sultan Langkat, yang mempunyai banyak pengaruh dalam masyarakat di Sumatera Utara; juga  simpatisan pemerintah Hindia Belanda silam, dalam usaha menegakkan kembali pemerintah Hindia Belanda pasca Perang Dunia ke-II.
Pada tanggal 10 Oktober 1945, sebagian divisi ke-26 Sekutu asal India kemudian mendarat di Belawan dan langsung menuju Medan. Mendengar rencana sekutu masuk ke Sumatera Timur, van Mook juga tidak segan memohon pada sekutu untuk menyertakan NICA berikut sedadu-serdadu KNIL, akan tetapi Jenderal Christison di Batavia menolak, karena khawatir akan terulang kembali kerusuhan yang timbul di pulau Jawa. Brigade Inggris ini konsekwen melaksanakan butir-butir pertama perjanjian Sekutu dengan Kaisar Jepang, dan menolak tegas keikutsertaan pasukan Belanda yang ingin mendarat di Sumatera Timur. Akan tetapi dalam kenyataan oleh kurangnya personalia yang diperlukan untuk mengatur wilayah yang luas itu di lapangan, sedikit demi sedikit bantuan NICA dan kehadiran serdadu-serdadu Belanda diterima juga oleh sekutu, menyebabkan pemerintah NICA lalu hadir Sumatera Timur dan serdadu-serdadu KNIL semakin banyak jumlahnya khususnya di kota Medan dalam perjalanan waktu.
Zaman Kemerdekaan
Alam Demokrasi Parlementer 
Kabinet Sukarno-Hatta
Dalam suasana kosong kekuasaan di tanah-air antara: tanggal 18 Agustus 1945, saat bala tentara Dai Nippon menyerah kepada Sekutu tak bersyarat di negerinya, hingga tibanya pasukan Sekutu ke nusantara  tanggal 15 September 1945, menimbulkan keinginan anak negeri menolak kembalinya pemerintah Hindia Belanda yang baru bernama NICA. Orang-orang muda pribumi merasa dapat bertanggung-jawab atas tanah-airnya sendiri, kemudian mengorganisasi diri untuk membangun kekuatan guna menolak kembalinya pemerintah Hinia Belanda usai perang Dunia ke-II yang membonceng pasukan sekutu. 
Anak-anak bangsa kemudian memproklamirkan Negara Republik Indonesia  di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945 yang tidak diakui kerajaan Belanda di Eropa, begiitu pula Sekutu. Propinsi Sumatera ketika itu masih merupakan sebuah pulau dengan gugusan kepulauan berdampingan yang mengitari, lalu dinyatakan sebagai kawasan terbarat NRI dengan ibukotanya Medan. Untuk mewakili propinsi terbarat ini, lalu diangkat Mr. Teukoe Moehammad Hasan sebagai Gubernur dengan wakilnya Dr. Amir. Dengan demikian kedaulatan NRI atas pulau Sumatera dengan gugusan kepulauan berdampinga ditegakkan sudah. Pada awal zaman kemerdekaan, propinsi Sumatera Utara yang dikenal sat ini masih berupa dua keresidenan, yakni: Keresidenan Sumatera Timur dengan ibukotanya Medan, dan Keresidenan Tapanuli dengan ibukotanya Sibolga. Pembagian ini masih berasal dari peninggalan pemerintah Hindia Belanda silam.
Meski Gubernur NRI dan Wakilnya telah berada di Medan, tetapi pengambilalihan kekuasaan dari Jepang masih berjalan lambat. Banyak warga masyarakat saat itu yang belum mengetahui apa yang sesungguhnya berlangsung di muka bumi oleh terbatasnya komunikasi, transportasi, surat khabar, dan sumber informasi lainnya. Masih terlihat banyak keraguan dikalangan berbagai golongan masyarakat tentang kemerdekaan, karena pasukan Jepang ketika itu masih berkuasa secara defakto. Banyak khabar yang simpang siur beredar: di satu fihak khabar dari para penyusup menginginkan kembalinya pemerintah Hindia Belanda usai Perang Dunia ke-II, sedangkan difihak berseberangan kaum pergerakan menginginkan kemerdekaan segera dikumandangkan, dan menentang Belanda yang ingin kembali menjajah di tanah-air. Inisiatif merdeka lalu terpulang pada keinginan rakyat banyak di wilayah-wilayah Sumatera Timur dan Tapanuli yang digerakkan i para pemuda berbagai aliran termasuk unsur-unsur masyarakat berpandangan kanan dan kiri.
Baru tanggal 17 September 1945, sebulan kemudian, kemerdekaan NRI diproklamirkan kembali di Medan, dilaksanakan Panitia Kebangsaan. Lalu pada tanggal 30 September 1945 dibentuk Barisan Pemuda Indonesia (BPI), dan tanggal 2 Oktober 1945 dilaksanakan pawai besar di kota Medan dengan mengibarkan beragam spanduk besar bertuliskan ”We are a Free Nation”, “Down with Imperialism” dan lain sebagainya. Latihan-latihan militer lalu dilaksanakan diprakarsai para pemuda, muncul beragam organisasi pasukan, begitu pula lasykar partikelir, dan lainnya. Aktivitas ini lalu menyebar ke segala penjuru Sumatera Timur dan melimpah ke Tapanuli yang terdapat di sebelah Barat.
Setelah kemerdekaan, ayah bekerja menjadi pegawai menengah tingkat II di Pematang Siantar, di ibukota tanah Simalungun, di Kantor Pemerintah Republik Indonesia Propinsi Sumatera.  Karena ayah ketika itu juga menjabat salah seorang Ketua Daerah Al Djamiatul Washliah Pematang Siantar, beliau juga ikut aktif terlibat medirikan “Lasykar Sabilillah” untuk menetang agresi militer Belanda yang akan masuk ke tanah  Simalungun.
Pengambilalihan kekuasaan dari Jepang oleh anak-anak bangsa di Sumatera Utara setelah NRI diproklamirkan di Jakarta, dimulai tanggal 2 September 1945, berjalan lancar di berbagai tempat, dengan menurunkan Hino-Maru (bendera Jepang) dan menaikkan Merah-Putih; akan tetapi di tempat lainnya, seperti Tebing Tinggi (Deli), menuntut pengorbanan jiwa. Masih terdapat persekongkolan antara pasukan Jepang yang ditaklukkan Sekutu dengan para penyusup Belanda kala itu didalangi pasukan komando yang diterjunkan Belanda. Juga antara orang-orang Belanda bekas internir yang sudah dibebaskan dengan serdadu-serdadu Jepang, yang membantu berkampanye untuk menegakkan kembali pemerintah Hindia Belanda baru di Sumatera Timur.
Mereka melakukan provokasi dimanamana dengan tembakan keudara menggunakan senjata peninggalan Jepang, dan mengharapkan kedatangan pasukan Sekutu yang akan menyertakan serdadu-serdadu Belanda. Para penyusup Belanda ini merekrut anak-anak pribumi bekas ambtenar (pegawai), karyawan, simpatisan, dari pemerintah Hindia Belanda silam, menjadikan orang-orang ini berpihak kepada mereka, yang oleh kaum pergerakan dinamakan “kakitangan NICA”, atau collaborator. Dan yang akhir ini menyebabkan pengambilalihan kekuasaan dari Jepang di berbagai tempat berjalan tersendat, bahkan gagal samasekali. Pada tanggal 3 September 1945 Komite Nasional Indonesia (KNI) terbentuk di Medan. Sadar akan tidak jelasnya sikap sekutu pada NRI di Sumatera Timur ketika itu, perlawanan anak-anak bangsa muncul di berbagai tempat terhadap pelaksanaan serahterima kekuasaan dari Jepang. Banyak usaha partikelir dilakukan anak-anak negeri untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan kembali di Medan untuk mengatasi hambatan terhadap serahterima kekuasaan.
Orang-orang Belanda yang membonceng Sekutu berupaya menegakkan kembali kedaulatan pemerintah Hindia Belanda yang baru, mendapat perlawanan dari masyarakat di Sumatera Timur. Peristiwa jalan Bali  tanggal 13 Oktober 1945 di Medan menjadi pemicu benturan antara orang-orang Belanda pendatang dengan anak-anak negeri ketika itu. Begitu para penyusup asing dari Belanda yang melakukan provokasi lalu menembaki bendera Merah-Putih yang berkibar di halaman asrama BPKI (Badan Pelaksana Kemerdekaan Indonesia) di Pematang Siantar. Rakyat yang marah ketika itu lalu memburu para provokator ke tempat persembunyian di Hotel Siantar dan membakarnya hingga terpaksa  menyerah. 
Pada tanggal 23 September 1945 berdiri Barisan Indonesia Muda di Medan yang bersemboyan “merdeka atau mati”. Untuk mempertahankan NRI lahir organisasi TRI (Tentara Republik Indonesia); lalu organisasi lasykar, seperti: Naga Terbang pimpinan Timur Pane, Harimau Liar dibawah Saragih Ras, Halilintar  pimpinan Slamet Ginting, Napindo PNI, Brigade Tapanuli, Pesindo PSI (Pemuda Sosialis Indonesia), Mujahidin dari Masyumi, dan masih banyak lainnya. Dengan diperkenankannya partai politik baru berdiri oleh Wakil Presiden, maka selain PSI, PSII, Masyumi, PNI, timbul lagi partai-partai politikbaru, baik dari sayap kanan maupun kiri di nusantara; semuanya berjuang bahu membahu untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan kembali di Medan.
Dengan kian besarnya jumlah serdadu-serdadu KNIL dan personalia NICA di Sumatera Timur, Belanda semakin giat membuat prakarsa memperluas wilayah kekuasaannya lewat serangan bersenjata terhadap lasykar-lasykar perlawanan yang befihak kepada republik. Sejak bulan Mei 1946, Belanda terus menggiatkan serangan terhadap pertahanan-pertahanan NRI, khususnya yang terdapat di sekitar kota Medan. Selain oleh alasan di atas, serangan Belanda ada kaitannya dengan tibanya serdadu-serdadu Belanda yang didatangkan langsung dari negerinya di Eropa. Peningkatan jumlah serdadu Belanda di Sumatera Timur ketika itu juga berhubungan dengan keinginan Negeri Kincir Angin itu untuk menggantikan pasukan sekutu (Inggris-India) yang masa tugasnya akan berakhir tanggal 22 Oktober 1946 di Sumatera Timur, untuk kembali ke negerinya.
Adapun berbagai bagian kota Medan yang telah diserang Belanda sejak tanggal 21 September hingga Oktober 1946, ialah: Medan Barat, Medan Timur, dan Medan Selatan. Serdadu-serdadu Belanda juga berhasil merebut bagian kota lainnya berikut sejumlah bangunannya. Tekanan pasukan Belanda mencapai puncaknya pada bulan yang sama, ketika serdadu-serdadu Belanda berusaha merebut seluruh bangunan penting yang terdapat di kota besar tanah Deli itu. Oleh banyaknya insiden bersenjata yang muncul antara Belanda dan NRI di lapangan, dan saling tuduh diantara mereka tentang siapa yang terbanyak menggunakan  serdadu-serdadu Jepang yang ditawanan setiap fihak, maka Perdana Menteri Syahrir yang ketika itu memimpin Kabinet di Jakarta, mengusulkan dilaksanakannya gencatan senjata (truce). Usul lalu diterima  kedua fihak, dan gencatan senjata yang ditengahi Lord Killearn dari Inggris kemudian diberlakukan pada tanggal 14 Oktober 1946.
Pada tanggal 29 Oktober 1946, Belanda melakukan pembersihan di kota Medan dan menangkap yang dicurigai, membakar rumah-rumah penduduk yang dituduh menjadi sarang gerilyawan. Pos-pos penjagaan polisi digeledah, para pegawai yang dicurigai ditahan, orang-orang yang mengenakan lencana "merah-putih" dipaksa menelannya. Antara tanggal 1 hingga 5 Nopember 1946, berlangsung perundingan antara: Gubernur Sumatera Mr. Teukoe Moehammad Hasan dengan Jenderal Hadly dengan wakil pasukan Sekutu yang berkedudukan di Medan. Mereka membahas pelaksanaan gencatan senjata di Sumatera Timur yang telah disepakati kedua belah fihak di Jakarta sebelumnya. Turut hadir dalam perundingan: Dr.A.K.Gani, yang bertindak sebagai wakil Menteri Pertahanan NRI dan para pembesar Belanda lainnya.
Memasuki pertengahan bulan Nopember, bertepatan dengan akan berakhirnya masa tugas pasukan sekutu asal India meninggalkan wilayah Sumatera Timur kembali ke negaranya, juga bertepatan dengan akan dilaksanakannya serahterima pemerintahan oleh sekutu di Sumatra Timur, direncanakan berlangsung di Medan tanggal 18 Nopember 1946, van Mook di Batavia rupanya telah menyiapkan dua orang personalia yang akan berangkat ke Medan, masing-masing: Indenberg dan Verbeck untuk mewakili Pemerintah Sipil  NICA, sedangkan untuk militer di Sumatera Timur dipercayakannya pada Jenderal Mayor Scholten. Yang disebut akhir ini telah pula  menyiapkan Brigade Z dengan 6000 orang serdadu-serdadu untuk menduduki wilayah yang ditinggalkan sekutu. 
Meski tidak jelas sikap yang ditunjukkan pemerintah NRI di Jakarta terhadap serah terima kekuasaan yang akan dilakukan sekutu di Medan ketika itu, akan tetapi Gubernur Mr. Teuku Muhammad Hasan dengan tegas menolak rencana Belanda. Ia berusaha agar pemerintah NRI propinsi Sumatera ikut serta begitu pula TRI yang berada di Sumatera Timur; akan tetapi Belanda menolaknya, dan balik mengatakan agar TRI menghentikan semua perlawanan dan mengakui pendudukan dilakukan serdadu-serdadu Belanda. Merasa diabaikan sekutu dan Belanda, pemerintah NRI propinsi Sumatera di Medan lalu mengerahkan TRI dan para lasykar melakukan serangan umum ke berbagai kedudukan serdadu Belanda di Medan, dan berhasil merebut berbagai posisi strategis dalam berbagai kampung ibukota tanah Deli itu dan bertahan habishabisan.
Akan tetapi malang bagi anak-anak negeri saat itu, karena sejak dari Kabinet Sukarno pertama NRI  Jakarta menerapkan taktik “bertempur sambil berdiplomasi”. Bertitik tolak dipliomasi, NRI di Jakarta rupanya telah menerima sebuah syarat Belanda untuk berunding, lalu mengutus Mr. Amir Sjarifudin Harahap dan KSU (Kepala Staf Umum) Jenderal Urip Sumoharjo berangkat ke Medan. Belanda rupanya telah bersepakat dengan NRI di Jakarta, membuat pemerintah NRI propinsi Sumatera di Medan pimpinan Mr. Teukoe Moehammad Hasan terpaksa mengosongkan TRI dan para lasykar dari kantong-kantong pertahanan strategis yang baru saja mereka menangkan di Medan berikut sekitarnya tanpa  perlu meletuskan sebutir peluru.
TRI dan para lasykar Sumatera Timur amat kecewa pada keputusan yang diambil pemerintah NRI di Jakarta, namun harus dipatuhi meski kesal. Wilayah kota Medan yang diperoleh Belanda dari kesepakatan dengan NRI di Jakarta ketika itu lalu dikenal dengan istilah: “Medan Area”, dan perbatasan yang mengitarinya dinamakan: “garis van Mook”. Pengosongan kantong-kantong strategis kota Medan dari TRI dan para lasykar, mengharuskan Gubernur Mr. Teuku Muhammad Hasan selaku gubernur pemerintah NRI propinsi Sumatera melaksanakan keputusan DPRD Propinsi Sumatera di Bukit Tinggi tanggal 17 hingga 19 April 1946, memindahkan ibukota propinsi itu dari Medan ke Pematang Siantar, menjadikan kota besar  Tanah Simalungun itu menjadi ibukota Propinsi Sumatera yang baru, dan memindahkan pula ibukota Keresidenan Sumatera Timur ke Tebing Tinggi (Deli). 
Tidak lama setelah kepindahan ibukota Propinsi Sumatera ke Pematang Siantar, Menteri Pertahanan NRI yang saat itu dijabat  Mr. Amir Sjarifuddin Harahap, berkujung ke ibukota tanah Simalungun dari ibukota NRI di Bukit Tinggi untuk mengobati kekecewaan masyarakat Sumatera Timur karena kehilangan kota Medan. Di depan kantor walikota Pematang Siantar, ia menyampaikan pidato berapiapi dihadapan rapat raksasa yang dibanjiri ratusan ribu warga kota dan rakyat Simalungun yang datang berduyunduyun menyaksikan. Di kota perbatasan itu ia membakar semangat patriotik bangsanya menentang segala upaya Belanda untuk kembali menegakkan pemerintah Hindia Belanda yang baru di wlayah itu.
Khabar kekalahan Jepang pada sekutu diterima masyarakat dengan tenang di Tapanuli. Banyak yang menyangka terlebih lagi kaum terpelajar dan pegawai ketika itu, Belanda akan menguasai kembali bekas tanah Hindia Belanda; karena untuk “merdeka” dari penjajahan Belanda tampaknya belum masuk akal untuk kebanyakan rakyat ketika itu. Sebahagian besar orang di Tapanuli masih belum peduli dengan apa yang terjadi, karena kebanyakan masih menaruh perhatian pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang masih sulit didapat, apatah lagi melibatkan diri pada kegiatan politik. Dengan ditaklukannya Jepang, kehidupan  masyarakat terasa lapang dan bebas. Ini terbukti dengan turunnya harga beras, bahan sandang mulai tampak diperdagangkan orang di pasar yang dapat dibeli dengan ORI (Oeang Republik Indonesia).
Bertekuk lututnya Jepang kepada sekutu diketahui orang secara resmi di Tapanuli pada tanggal 22 September 1945. Padahal kemerdekaan NRI telah diproklamasikan di Jakarta lebih dari satu bulan lalu. Serdadu-serdadu Jepang masih ingin menyembunyikan kekalahannya agar masyarakat di Tapanuli tidak  tahu perkembangan dunia dengan masih menyimpan radio milik rakyat yang disita silam, dan tidak pula segera mengembalikannya kepada para pemiliknya setelah kalah perang. Dengan tibanya khabar kemerdekaan yang menerobos ke Tapnuli dibawa orang berjalan kaki dari Medan, para pemmuda dan kaum intelektual di Tapanuli lalu bergerak. Di Tarutung, ibukota pemerintah Jepang saat itu, Dr. Ferdinand Lumban Tobing dan rekannya membentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat). Tugas pokok badan ini untuk menjaga keamanan masyarakat, melindungi rakyat dari perbuatan sewenang-wenang serdadu-serdadu Jepang yang masih bersenjata.
Pemikiran politik kemudian bersemi dan tampil ke permukaan dari kalangan intelektual sejak lahirnya gerakan pemuda di Tapanuli. Beragam fikiran kemudian mengemuka, dari yang hanya menuntut janji kemerdekaan kepada Jepang hingga yang radikal dan menuntut dilaksanakan revolusi. Para Raja di tanah Batak juga tidak lupa mengharapkan kembalinya peran mereka dalam masyarakat sebagai penguasa luhat dan huta yang diatur adat Batak berjalan turun temuruam hingga timbulnya perang dunia ke-II. Apapun corak pemikiran yang tampil dan berkembang dalam kehidupan masyarakat di Tapanuli saat itu, kerukunan hidup  dalam masyarakat masih banyak dikendalikan oleh kekerabatan Dalihan Na Tolu (Tungku Yang Tiga) yang masih terpelihara dalam masyarakat Batak.
Meski sudah ditaklukkan di negerinya oleh sekutu, akan tetapi di Tarutung serdadu-serdadu Jepang  masih berkuasa secara defakto, kendati tinggal empat ratus orang jumlahnya lengkap dengan persenjataan berdiam di Rumah Sakit ibukota Tapanuli itu. Masyarakat di Tarutung telah berani secara sendiri mengibarkan bendera Merah-Putih di depan rumah, begitu pula di gedung pertemuan dan sejumlah tempat lainnya. Penguasa sementara Jepang masih melarang rakyat melakukan kegiatan politik ketika itu, meski pasukan gabungan sekutu (Inggris-India) berbasis di Medan telah dengan teratur melakukan patroli melalui jalan-raya antara Medan dan Padang melewati Tarutung. Pasukan sekutu yang belum lama tiba ini tidak pula ingin terlibat dan mencampuri urusan anak-anak negeri dan pemerintah peralihan sipil Jepang yang masih berkuasa ketika itu.
Setelah kejadian di Hotel Siantar, pada suatu ketika ada lagi seorang kulit putih yang berdiam di Tarutung yang dicurigai sebagai anggota NICA. Setelah tempat tinggalnya digeledah, ditemukan bendera Belanda akan tetapi identitasnya menunjukkan warganegara Switzerland. Tak lama kemudian, pada saat yang lain, ada serombongan serdadu NICA berseragam sekutu yang melintas di tengah kota Tarutung. Awalnya tidak terdapat kecurigaan yang tampak pada mereka, akan tetapi setelah tiba di jalan utama kota, lalu mengibarkan bendera Belanda. Tak ayal lagi rakyat yang menyaksikan marah, dan menyerbu rombongan serdadu Belanda merampas sang MerahPutihBiru, dan merobek-robek lalu menginjak-injak sitigawarna. Tidak seorang pun dari anggota NICA itu yang berani menunjukkan keberanian membela lambang negaranya di ibukota tanah Batak itu.
Arus informasi mengalir menuju Tapanuli dari segala penjuru tanah-air membuat kaum pergerakan: pemuda, pemuka masyarakat, dan kaum terpelajar di Tarutung menuntut janji kemerdekaan pada Jepang, menyebabkan ibukota Tapanuli versi Jepang itu segera bergolak. Masyarakat di ibukota Tapanuli itu ingin lebih tegas lagi menuntut kemerdekaan pada Jepang. Saat yang baik awalnya direncanakan berlangsung tanggal 8 September 1945, menjelang “Hari Raya Idulfitri 1365 H”, setelah pemimpin pergerakan pada hari-hari sebelumnya meminta rakyat mengibarkan bendera Merah-Putih disetiap rumah. Akan tetapi karena seruan masih ditanggapi tidak merata ketika itu, maka baru pada tanggal 14 September 1945 ratusan pemuda dari segenap pelosok Tapanuli dapat digerakkan untuk berdemonstrasi di Tarutung.
Dalam luapan emosi massa ketika itu, para demonstran yang menuntut “merdeka” lalu bergerak menuju kantor Cokan (Residen Tapanuli versi Jepang), dan memnta Jepang segera menyerahkan kekuasaan. Sanyo, seorang putra pribumi yang ditunjuk Jepang menjadi pejabat di kantor itu, langsung aktif ambil bagian dan melaksanakan serah terima kekuasaan dari Jepang ke pemerintah NRI dengan damai. Maka pada tanggal 3 Oktober 1945, turun surat keputusan pemerintah NRI di Jakarta mengangkat Dr. Ferdinand Lumban Tobing menjadi Residen NRI pertama di Tapanuli dengan wakilnya Abdul Hakim Harahap. Dengan demikian Keresidenan Tapanuli secara resmi menjadi bagian dari NRI, dengan  ibukotanya Tarutung.
Pada tanggal 4 Oktober 1945 dibentuk KNI (Komite Nasional Indonesia) di Tarutung setelah terlebih dahulu BKR setempat dibubarkan. Adapun susunan anggota KNI Tarutung mulai ketua hingga anggota, ialah sebagai berikut: Ketua M. Jakub Siregar, gelar Sutan Naga; dan anggotanya: Sutan Kumala Pontas, G. Silitonga, Rufinus L. Tobing, M. Simatupang, A. Lubis, M. Siregar, Sutan Sumurung, Raja Junjungan, R. M. Sojuangon, Hasan Basyarudin Nasution, dan F. Nasution. Kemudian rapat pleno KNI Tapanuli dilangsungkan pada penghujung tahun 1945. 
Pada tanggal 17 Oktober 1945, kemerdekaan NRI diproklamirkan kembali di Tapanuli, berlangsung di tanah lapang kota Tarutung, dibanjiri tidak kurang dari 15.000 orang dari segala penjuru Tapanuli saat itu. Pada ketika itu dibacakan juga ikrar Rakyat Tapanuli yang mengatakan setia kepada Presiden dan Negara Republik Indonesia. Pemerintah NRI lalu dibentuk di Tapanuli, dan para anggotanya dipilih dari kalangan muda pergerakan, baik Badan Eksekutif maupun Badan Legislatif dengan otonomi penuh yang diterima semua fihak ketika itu. 
Pada tanggal 7 Januari 1946 berlangsung rapat Badan Eksekutif pemerintah NRI Tapanuli yang pertama di  Tarutung, sekaligus memperkenalkan para pemimpin wilayah itu. Dalam rapat kedua berlangsung di Sipoholon tanggal 16 Januari 1946, diatur kembali hubungan kerja badan Eksekutif dengan badan Legislatif  pemerintah NRI di Tapanuli. Lalu pada tanggal 28 Januari 1946 oleh Badan Legislatif ditata kembali aturan baru yang berhubungan dengan Dewan Negeri, sehingga semua ketentuan yang diberlakukan sebelumnya menjadi diperbaharui. Lalu pada tanggal 15 Mei 1946 ibukota Keresidenan Tapanuli NRI dengan resmi dipindahkan dari Tarutung kembali ke Sibolga, bekas ibukota Keresidenan Tapanuli di zaman Hindia Belanda silam.
Tidak ada yang mengira bahwa perjalanan sejarah dunia akan kembali bergani haluan, mulai Eropa di belahan bumi Barat hingga Asia di belahan bumi Timur, tetapi kini dalam arah yang sebaliknya. Belum banyak warga masyarakat di Tapanuli yang mengetahui apa yang sesungguknya yang terjadi di muka bumi ketika itu, oleh miskinnya berita dan terbatasnya sarana perhubungan. Kebanyakan berita yang masuk ke Tapanuli saat itu dibawa orang yang bepergian, baik yang disampaikan lisan begitu juga lewat surat. Keadaan diperburuk oleh pengetahuan masyarakat tentang dunia yang masih rendah belum memadainya pendidikan masyarakat ketika itu secara pukul rata.
Belum banyak dalam persen jumlah penduduk di Tapanuli yang berhasil mendapat pelajaran di bangaku sekolah; lalu yang bersekolah kebanyakan masih keluaran Sekolah Gouvernement, seperti: Volks School 3 tahun, yang dilanjutkan Vervog School 2 tahun bahasa Melajoe tulis Latin. Meski telah terdapat sekolah lainnya seperti madrasah, akan tetapi yang akhir ini lebih memusatkan perhatian kepada pengajaran Agama Islam ketimbang mengajarkan pengetahuan umum kepada anak-anak didiknya. Dengan latar belakang pengetahuan demikian dapat dimengerti sebahagian besar warga masyarakat di Tapanuli ketika itu belum mampu mengikuti perkembangan dunia melalui berita.
Lebih sedikit lagi jumlah mereka yang belajar disekolah-sekolah: HIS, MULO, AMS, dan lain diatasnya di Tapanuli yang berbahasa Belanda, dan yang menyelesaikannya. Kebanyakan dari mereka memilih berdiam di perkotaan ketika itu. Itulah sebabnya mengapa perkembangan dunia luput dari pemantauan orang banyak di Tapanuli Selatan termasuk Padang Sidempuan. Selain dari itu, pesawat radio milik masyarakat pun masih ditangan Jepang, sehingga perkembangan keadaan tidak langsung tampak dikethui orang banyak saat itu.
Meski tidak banyak diketahui orang di Tapanuli saat itu, Perang Dunia ke-II telah berganti haluan. Nazi Jerman pimpinan Adolf Hitler yang perkasa di Eropa silam telah ditaklukkan sekutu pimpinan Amerika Serikat, kemudian Fascist Jepang pimpinan Jenderal Tojo di Asia telah pula bertekuk lutut kepada sekutu dengan dijatuhkannya dua bom atom, masing-masing di Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat.
Lalu tersiar khabar di Tapanuli, Belanda akan kembali ke Sumatera Timur untuk memulai pemerintahan  Hindia Belanda yang baru, dan serdadu-serdadunya pun telah tiba di Medan, dan akan menuju tanah Simalungun untuk masuk ke Tapanuli. Masih banyak orang di Tapanuli yang mengira pemerintah pendudukan Jepang yang menjalankan mandat Sekutu masih berkuasa di Tarutung. Dikhabarkan lagi pemerintah peralihan Jepang tengah menanti timbang terima pada sekutu yang akan segera dilaksanakan meski tanggalnya belum lagi ditentukan. 
Khabar serdadu-serdadu Belanda yang tiba di Sumatera Timur, akhirnya diketahui orang juga di Padang Sidempuan di Angkola. Kaum pergerakan dimotori para pemuda Sumatera Timur dan Tapanuli yang tidak suka melihat kembalinya pemerintah Hindia Belanda yang membonceng sekutu, lalu membangun kekuatan untuk melakukan perlawanan. Muncul barisan pemuda pembela NRI berbagai bentuk dimana-mana di Sumatera Timur lalu menerobos masuk ke Tapanuli. Suhu politik di kedua wilayah itu pun kemudian menngkat mencapai puncak yang menimbulkan pecahnya perang. 
Belanda melakukan agresi militer pertama tanggal 21 Juli 1947, yang dinamakannya “politionele actie”,  yang artinya pemulihan keamanan. Diawali melanggar kesepakatan gencatan senjata “Medan Area” tanggal 14 Oktober 1946, dan Perjanjian Linggarjati tanggal 25 Maret 1947, Belanda melakukan agresi militer di propinsi Sumatera, tepatnya di Keresidenan Sumatera Timur, diperintahkan van Mook dari tempatnya di Batavia. Tujuannya, untuk merebut kembali berbagai wilayah di Sumatera Timur dan Tapanuli yang dinilai secara ekonomi dan politik penting ketika itu, antara lain: beragam perkebunan yang terpaksa ditinggalkan Belanda saat serdadu-serdadu Jepang menyerbu di awal Perang Dunia ke-II.
Belanda memulai serangan dengan menerobos garis van Mook yang mengitari Medan Area, dilaksanakan Brigade Z pimpinan Jenderal Mayor Scholten. Belanda rupanya ingin menerapkan theori perang kilat Heinz Guderian dari Jerman yang berhasil meluluhlantakkan Polandia di daratan Eropa. Belanda mengerahkan empat batalyon infantri kendaraan lapisbaja dibantu pesawat terbang dari udara. Agresi militer Belanda ini akan dirhadapi Divisi X NRI pimpinan Kolonel Husin Yusuf yang bermarkas di Bahjambi, tidak jauh dari  Pematang Siantar. 
Pasukan-pasukan republik berada di empat sektor kuat ketika itu, masing-masing: Medan Utara berpusat di Binjai, Medan Timur berpusat di Batang Kuwis, Medan Selatan berpusat di Tanjung Morawa, dan Medan Barat berpusat di Deli Tua. Pada setiap sektor pasukan-pasukan NRI merupakan gabungan dari beragam organisasi perjuangan dan partai politik, antara lain: Napindo dari PNI, Pesiperindo dari Pemuda Sosialis Indonesia, Mujahidin Masyumi dari Aceh. Selain dari itu ada lagi organisasi-organisasi: Marechaussee dari kepolisian, Tentara Republik Indonesia (TRI) asal pelajar disingkat TRIP (TRI Pelajar), Brigade Tapanuli, dan aneka lasykar rakyat lain; semuanya ditaksir berkekuatan tidak kurang dari 20.000 orang  bersenjata ketika itu.
Tepat jam 05.30 pagi, Belanda memulai agresi melakukan serangan udara tiba-tiba ke garis pertahanan sektor Medan Utara, menembaki kota Binjai dan markas Resimen I dengan senapan mesin serta menjatuhkan bom. Serangan datang bertubi-tubi sehingga berhasil mematahkan perlawanan sektor terkuat dari seluruh yang dipersenjatai ketika itu. Setelah melumpuhkan Medan Utara, Scholten memutar haluan ke Selatan, lalu Timur, dan berbalik lagi ke sektor Utara dan menghantam pertahanan Republik sektor Medan Barat dari belakang, setelah sebelumnya menghujani sektor-sektor itu dari udara dan menjatuhkan bom berikut sektor Medan Timur. Melihat kedatangan serdadu-serdadu Belanda dari belakang yang tidak disangka-sangka, pertahanan sektor ini pun porak-poranda, dan pasukan NRI yang mempertahankan terdiri dari berbagai organisasi kebanyakan partikelir, belum terlatih, dan tidak mempunyai strategi perang dan  doktrin, menjadi kucar-kacir lari tunggang langgang lari menyelamatkan diri masing-masing.
Hubungan dengan markas tentara Republik di Bahjambi rupanya telah lebih diputus Belanda, sehingga anggota pasukan yang berada di lapangan tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat. Ketika itu komandan Divisi X sedang bepergian ke Aceh, dan disana pun ia tidak tahu apa yang terjadi di daerah tanggung-jawabnya. Serdadu-serdadu lalu dengan cepat menduduki Binjai, Deli Tua, Pancur Batu, Tembung, dan Tanjung Morawa termasuk berbagai tempat yang mengitari. Serangan infantri Belanda dengan tembakan dari udara ke berbagai markas TRI di seputar Medan, dan pemboman ke berbagai tempat yang dianggap penting oleh Belanda, menimbulkan korban dan penderitaan masyarakat di Sumatera Timur ketika itu.
Pada bulan Agustus 1947, serdadu-serdadu Belanda yang bergerak cepat lalu tiba di Berastagi dan Kabanjahe, lalu memperagakan keganasan dengan membakar rumah-rumah penduduk dan membunuh orang dengan semena-mena. Lasykar republik yang dikirim kesana untuk melindungi rakyat tanggal 19 Agustus 1947 hanya mampu bertahan beberapa jam, kemudian terpukul mundur oleh persenjataan yang tidak seimbang. Kekejaman lalu dipertontonkan serdadu-serdadu Belanda dihadapan umum untuk menakuti rakyat menagih patuh, antara lain: menggilas orang dengan tank, mencungkil mata orang dicurigai, memenggal kapala dan paha yang melawan, dan membakar orang dengan siraman bensin. Pada tanggal 21 Agustus dengan dua pesawat Mustang Belanda sekonyong-konyong menyerang Prapat dan Lumbanjulu dari udara yang menimbulkan korban jiwa. Keesokan harinya Belanda melanjutkan serbuan udara ke Aek Nauli untuk membantu pasukan yang tengah menghadang lasykar republik.
Meski perlawanan terhadap Belanda oleh NRI hari-hari berikutnya dikhabarkan menunjukkan kemajuan dengan keberhasilan membuat kantong-kantong pertahanan di berbagai kampung kota Medan sebagaimana laporan yang masuk, akan tetapi Wakil Presiden memutuskan untuk meninjau kembali pertahanan Divisi X  yang telah terpukul berat, dan melakukan langkah reorganisasi; terlebih dengan timbulnya pertikaian diantara  para pemanggul senjata yang menimbulkan peristiwa berdarah. Penyusunan kembali lasykar-lasykar NRI di garis belakang amat diperlukan untuk bertahan, khususnya menghadapi serangan serdadu-serdadu Belanda yang segera akan datang.
Agresi militer Belanda yang pertama di Sumatera Timur menimbulkan gelombang arus pengungsian penduduk dari daerah-daerah konflik yang menuju Tapanuli, karena ingin mencari perlindungan republik. Selain para pengungsi yang bergerak kacaubalau umumnya berasal dari masyarakat sipil yang ingin menyelamatkan diri, terdapat juga sejumlah lasykar yang terpukul mundur, antara lain yang dipimpin Mayor Bejo dan Mayor Malao. Hingga tanggal 20 September 1947, jumlah pengungsi dari Sumatera Timur telah melampaui angka 150.000 orang. Mereka adalah para warga simpatisan republik yang tidak sudi lagi berdiam di daerah-daerah pendudukan Belanda, berbondong-bondong meninggalkan: Binjei, Tanjung Pura, Pancur Batu, Tanjung Morawa, Lubuk Pakam, Rampah, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Kabanjahe, mengungsi menyelamatkan diri ke wilayah republik mencari perlindungan.
Belanda lalu mengembangkan pula “perang urat syaraf” dengan menyebarkan pamflet dalam agresi militernya termasuk tembakan-tembakan provokasi di berbagai tempat. Keesokan harinya pesawat tempur Belanda menyerang Tebing Tinggi (Deli), dan daerah sekitar Pematang Siantar, Tanjung Berangin, dan sejumlah sasaran strategis lain disekitar. Awalnya orang-orang diwilayah republik mengira bahwa Belanda akan segera masuk ke Pematang Siantar, menyebabkan pemerintah NRI di ibukota Simalungun, masyarakat sipil, tentara, lasykar, dan rakyat yang baru tiba mengungsi dari Sumatera Timur, kembali bersiap untuk mengungsi lagi. Begitu juga pemerintah propinsi Sumatera dan pemerintah keresidenan Sumatera Timur di Pematang Siantar dan masyarakat sipil, semuanya bersiap kembali meninggalkan kota itu. Ayah ketika itu bekerja sebagai pegawai pemerintah propinsi Sumatera Pematang Siantar lalu ikut meninggalkan kota besar itu. Mereka semuanya berbondong-bondong meninggalkan ibukota Simalungun mengungsi ke Tapanuli, padahal  Wakil Presiden Dr. Mohammad Hatta baru saja tiba dari ibukota NRI Bukit Tinggi pada tanggal 22 Juli 1947 untuk menyaksikan medan perang dari garis depan.
Perjalanan menuju wilayah republik untuk mereka yang berasal dari dari: Binjei, Stabat, Tanjung Pura, dan Pangkalan Berandan harus ditepuh lewat semak belukar dan hutan lebat untuk tiba di Aceh, sdangkan mereka yang berasal dari: Tanjung Morawa, Lubuk Pakam, Rampah, Tebing Tinggi dan Pematang Siantar harus bersusah payah mendaki pegunungan tanah Karo untuk sampai di Tapanuli. Perjalanan yang dilakukan para pengungsi amat berat dan menyakitkan, karena penuh penderitaan dan duka, khususnya anak-anak dan orang-orang tua. Rintangan dihadapi selain perjalanan jauh yang melelahkan, juga terik matahari disiang hari dan dingin malam setelah kelam; lebih dari itu tidak tahu dimana akan menginap, tidak ada makanan dan minuman berhari-hari berjalan kaki. Yang juga muncul dan tidak diharapkan para pengungsi ketika itu munculnya kejahatan dalam perjalanan. Ada para pengungsi ditahan dan hartanya dirampas, ada perempuan dalam pengungsian yang diperkosa dan yang melawan dibunuh.
Kejadian dikhabarkan berlangsung di Langkat Hulu, di pegunungan tanah Karo, di perbatasan Simalungun dan Toba, tepatnya di perbatasan Sumatera Timur dengan Tapanuli; muncl masih saat awal agresi militer Belanda. Masih belum jelas diketahui siapa yang sampai hati melakukan perbuatan tidak berprikemanusiaan kepada para pengungsi yang telah letih dan lemah itu. Pemuda-pemuda pengawal kampung di tanah Karo dan tanah Simalungun tidak kuasa menahan gelombang arus pengungsian yang banyak jumlahnya melintasi tempat mereka di pegunungan, lalu terheran-heran menyaksikan begitu banyak tentara dan lasykar yang ikut mundur, padahal Pematang Siantar masih belum lagi jatuh ke tangan Belanda. Para perwira yang mundur terlihat melepaskan tanda pangkat dari bahu masing-masing agar tidak dikenali.
Kecurigaan timbul, ketika pemuda-pemuda pengawal kampung yang kecewa menyaksikan kelakuan tentara dan lasykar ketika itu, lalu berhasil menggeledah sejumlah yang dicurigai. Para pegawal menemukan barang-barang emas dan permata berada ditangan sekelompok perwira. Kejadian itu menggemparkan orang-orang di tanah Karo dan Simalungun. Khabar perbuatan tercela itu pun lalu tersebar kemana-mana, dan para pemuda setempat kemudian mengambil langkah tegas tanggal 5 Agustus 1947 untuk membasmi segala bentuk kejahatan kemanusiaan mendera para pengungsi yang telah menderita dalam perjalanan panjang, dan memberi penerangan agar selalu waspada di perjalanan.
Di perbatasan Sumatera Timur dan Tapanuli lasykar-lasykar NRI, tidak terkecuali tentara dan marechaussee semakin terdesak mundur oleh kemajuan serdadu-serdadu Belanda di berbagai front, lalu berikai diantara sesama pemanggul senjata memperebutkan daerah operasi yang terus menyusut. Mereka juga saling salah menyalahkan dalam berbagai hal, lalu mengancam siapa yang berani mundur; bahkan tidak jarang berperang diantara sesama mempertontonkan kehebatan pasukan masing-masing. Perbuatan itu jelas merugikan perjuangan anak-anak bangsa melawan Belanda ketika itu, dan menambah penderitaan rakyat di daerah- daerah pengungsian.
Untuk mengatasi persoalan ini, dengan keputusan yang dibuat tanggal 23 September 1947, Wakil Presiden RI mengangkat Jenderal Mayor Tituler Dr. Ginda Siregar menjadi Gubernur Militer Tapanuli dan Sumatera Timur, meliputi: kabupaten-kabupaten: Deli Serdang, Simalungun, Asahan dan Labuhan Batu Bagian Selatan, dan Tapanuli. Ia harus menanggalkan jabatan sebelumnya yakni Wakil Ketua KNI Sumatera. Dengan bantuan 7 orang staf, ia kemudian ditugaskan menekuni pembelaan dan pertahanan negara dengan membe-reskan segala macam pertikaian yang terdapat dikalangan para lasykar dan tentara, untuk mendirikan TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang professional.
Setelah sejumlah persoalan lapangan dapat diselesaikan, pertahanan NRI menghadapi serangan agresi militer Belanda di Tapanuli selanjutnya dibebankan pada 4 (empat) kesatuan, masing-masing:
1. TNI Brigade XI (bekas TRI Tapanuli), pimpinan Kolonel P. Sitompul.
2. TNI Brigade XII (bekas TRI Sumatera Timur, termasuk Brigade B dibawah Mayor Bejo),   
    pimpinan Letnan Kolonel Ricardo Siahaan.
3. TNI Brigade A (bekas lasykar Harimau Liar), pimpinan Kolonel Saragih Ras.
4. TNI Legium Penggempur (bekas lasykar Marechaussee Lama dan Baru), pimpinan Kolonel  
    Timur Pane.
Sejalan dengan keputusan Gubernur Militer, satuan-satuan 3 dan 4 harus dimasukkan kedalam satuan 2 pimpinan Letnan Kolonel Richardo Siahaan, agar terkoordinasi di lapangan, akan tetapi hal itu masih tinggal di atas kertas, menyebabkan Brigade A (Saragih Ras), Brigade B (Mayor Bejo), dan Legium Penggempur (Timur Pane), masih bertindak sendiri-sendiri dan mengambil keputusan berdasar keinginan komandan masing-masing. Selain dari itu, daeah operasi tiap satuan masih belum ditentukan meski pusat komando yang berhubungan langsung dengan Jenderal Suharjo (Komandemen Sumatera di Bukit Tinggi) telah dipindahkan ke Gubernur Militer Tapanuli/Sumatera Timur Bagian Selatan berkedudukan di beberapa kota di Tapanuli. Akan tetapi ketika itu masih ada sebagian kecil anggota pasukan: Brigade B pimpinan Mayor Bejo, Legium Penggempur dibawah Rajin dan Malao, dan Brigade A, yang terus berkegiatan di Sumatera Timur yang senantiasa bertikai diantara mereka.
Tanggal 26 Juli 1947 Barisan Harimau Liar lalu dibubarkan, dan dijadikan Brigade A Divisi X TNI pimpinan Mayor Selamat Ginting. Sedangkan Legium Pengempur dan lainnya menjadi bagian dari Brigade B Divisi X TNI pimpinan Mayor Bejo. Daerah operasi kedua pasukan ini lalu ditetapkan sebagai berikut: Brigade A di sebelah kiri rel jalan kereta api yang menghubungkan Pematang Siantar dengan Pangkalan Berandan, sementara Brigade B di sebelah kanan rel jalan kereta api tersebut.
Setelah mengevaluasi keadaan di lapangan, tanggal 28 Juli 1946 Belanda mendaratkan serdadu-serdadu baru dari tujuh kapal perangnya di pantai cermin. Pasukan yang baru diturunkan ini langsung menyerang ke Parbaungan. Dengan didukung dua pesawat tempur dari udara, mereka melanjutkan serangan Tebing Tinggi (Deli) dan mendudukinya sekali. Pasukan ini kemudia menuju ke Pematang Siantar dan menduduki ibukota tanah Simalungun itu tanggal 29 Juli 1947. Serdadu-serdadu Belanda yang terlatih, bersenjata moderen,  berdoktrin perang, dan didukung pesawat tempur dari udara, memang bukan tandingan para pemuda yang membentuk TNI dan lasykar dipersenjatai sekadarnya ketika itu. Serdadu-serdadu Belanda dengan mudah mematahkan perlawanan yang diberikan pasukan NRI di beragam front pertahanan republik di Sumatera Timur ketika itu.
Sehari sebelum jatuhnya kota Pematang Siantar, ketikat tank-tank sedadu Belanda bergerak menuju kesana, Wakil Presiden  Dr. Mohammad Hatta dan Gubernur Propinsi Sumatera Mr. Teuku Muhammad Hasan dan keluarga serta para stafnya telah lebih dahulu meninggalkan ibukota Simalungun itu. Mereka berangkat dengan mobil Chrysler putih menuju ibukota R.I. Bukit Tinggi melalui Tapanuli.
Dengan keputusan yang dibuat Wakil Presiden R.I., pertahanan NRI di Sumatera Timur dan Tapanuli kemudian dibagi kedalam dua sektor, atau sub-territorial, masing-masing:
Sektor I, atau Sub-Territorial VII, dipimpin Mayor Bejo, mencakup Tapanuli Selatan dan Sumatera Timur bagian Selatan.
Sektor II, atau Sub-Territorial VII, dipimpinan Mayor Malau, meliputi Tapanuli Utara dan Sumatera Timur bagian Tengah.
Adapun Brigade A yang menduduki kota Padang Sidempuan ketika itu, dalam organisasi yang baru, berada  dibawah Mayor Bejo dari Sektor I. Kemudian Brigade A oleh Mayor Bejo dipecah menjadi dua batalion, yakni: Batalyon V pimpinan Kapten Mena Pinem, dan Batalyon VI pimpinan Kapten Basingan Bangun.
Agresi militer pertama sesugguhnya telah dimulai Belanda tanggal 12 Mei 1947, karena di pantai barat pulau Sumatera kapal perang JT-1 dari Angkatan Laut Belanda telah masuk ke teluk Sibolga dan menghujani ibukota Keresidenan Tapanuli ini dengan tembakan meriam dari laut selama 45 menit yang menimbulkan kebakaran besar. Penduduk kota itu lalu berbondong-bondong meninggalkan kota itu ke pedalaman  untuk mengungsi menyelamatkan diri, menyebabkan ibukota Tapanuli ini berubah menjadi kota mati.
Agresi militer Belanda juga menyebabkan wilayah Tapanuli menghadapi masalah besar dengan gelombang arus pengungsi ratusan ribu jumlahnya meninggalkan Sumatera Timur, termasuk tentara NRI dan para lasykar yang terus terpukul mundur oleh tekanan Brigade Z pimpinan Mayor Scholten. Panitia penampung pengungsi lalu dibentuk di berbagai kota di wilayah Tapanuli, antara lain: Sipangan Bolon, Sidikalang, Tarutung, Balige, Padang Sidempuan dan lainnya; begitu pula kantor-kantor Palang Merah, tempat-tempat pendaftaran orang sakit, dan gawat darurat.
Sipirok Kedua
Dari tempat pengungsiannya di daerah Tapanuli Selatan, ayah yang sebelumya bekerja di Kantor Provinsi NRI Sumatera di Pematang Siantar, pada tahun 1947 lalu diangkat menjadi Wedana Kepala Daerah Sipirok. Guna memberi kebebasan bergerak pada pemerintah NRI di Tapanuli, terlebih lagi dalam keadaan darurat, maka oleh Dewan Pertahanan Daerah (DPD) bilangan kabupaten yang terdapat dalam Keresidenan Tapanuli ditingkatkan jumlahnya dari 4 (empat) menjadi menjadi 9 (sembilan), dan ibukota Keresidenan Tapanuli lalu dipindahkan dari Sibolga (disebut Sibolga I) ke Aek Sitahuis (Naga Timbul), dinamakan juga Sibolga II, sebelas kilometer dari kota Sibolga. Langkah pemecahan wilayah ini perlu ditempuh untuk menghindarkan lumpuhnya pemerintah NRI di Tapanuli, manakala serdadu-serdadu Belanda dalam operasi militernya berhasil menduduki salah satu kabupaten yang ada di Tapanuli.
Pada tanggal 15 Agustus 1947, pemerintah Keresidenan Tapanuli mencetak ORITA (Oeang Repoeblik Indonesia Tapanuli) pecahan Rp.5,- dan Rp.10,-. Pecahan mata uang baru ini diperlukan untuk penukar URIPS (Oeang Repoeblik Indonesia Sementara) pecahan Rp.100,- dikeluarkan di Pematang Siantar, yang terlalu besar digunakan berbelanja yang banyak dibawa para pengungsi dari Sumatera Timur ke Tapanuli saat itu. Sejalan munculnya ORITA, beredar pula uang palsu yang dibuat orang-orang yang mencoba mencari keuntungan dan turut mengacaukan perekonomian rakyat di Tapanuli ketika itu.
Dahaga berita amat dirasakan kaum intelektual anak negeri yang kembali ke kampung halaman dari tanah perantauan, baik yang masih tinggal di perkotaan maupun telah sampai di desa di Tapanuli Selatan ketika itu; dan kian menjadi siksaan dalam perjalanan waktu. Pesawat radio milik rakyat masih ada ditangan Jepang, sehingga perkembangan dunia dan tanah-air luput dari pengamatan warga dimana-mana di wilayah Tapanuli Selatan ketika itu. Tidak ada jalan masuk berita dari Sumatera Timur ke Tapanuli, karena Belanda telah menutup seluruhnya. Tidak ada orang yang tahu di Tapanuli bahwa Negara Sumatera Timur telah berdiri pada tanggal 25 Desember 1947. Orang-orang Republik yang berdiam di berbagai kota pendudukan turut berjasa membantu warga masyarakat di pedalaman mendapat khabar terbaru.  
Kurir Kantor Residen Sibolga II kerap menyampaikan perkembangan terakhir kepada pemerintah dan pasukan republik di pedalaman, seperti: pertemuan Hoge Veluwe di Nederland, persetujuan Linggarjati, perjanjian di geladak Kapal Perang Amerika Serikat Renville, dibentuknya Komisi Tiga Negara (KTN) guna menengahi pertikaian Indonesia-Belanda di lapangan. Inggris dikhabarkan menyampaikan rasa kekecewaannya kepada Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 dan mengatakan tidak lagi terikat kepada perjanjian Linggarjati; yang menyebabkan Belanda lalu menyerang republik dari Laut dan Udara. Kaum buruh dan mahasiswa Australia melancarkan pula demonstrasi ke kedutaan Belanda di Australia untuk menyampaikan protes mereka. Di New York, Dewan Keamanan PBB kemudian membicarakan persoalan Indonesia pada akhir bulan Juli tahun yang sama.
Surat kabar Waspada pimpinan Mohammad Said terbit di Medan dijual orang sampai ke Rantau Prapat. Semakin jauh selembar surat kabar dari tempat penerbitannya berada, akan semakin mahal pula harganya. Di Simangambat kecamatan Sipirok, koran Waspada yang telah berusia tujuh hari saat itu dihargai orang sekaleng beras. Banyak orang yang tidak lagi mempedulikan isi berita yang dimuat dalam sebuah surat khabar, seperti keberhasilan Belanda menduduki daerah-daerah Republik di Tapanuli Selatan atau tempat lainnya; adanya khabar saja untuk sebagian orang di Tapanuli Selatan ketika itu, seakan telah mengetahui perkembangan dunia.
Ada lagi berita yang dibawa rombongan orang-orang muda yang melakukan “Long March” dari Tanjung Karang (Bandar Lampung) menuju Kota Raja (Banda Aceh) dengan berjalan kaki. Ketika itu rombongan yang dipimpin Letnan I Kohar Chourmain tiba di Simangambat kecamatan Sipirok tanggal 24 April 1946. Mereka mengabarkan kepada masyarakat besarnya simpati dunia kepada perjuangan bangsa Indonesia. Juga dikhabarkan perkembangan tanah-air lainnya ketika itu, disampaikan langsung dalam kerumunan orang banyak di tengah lapangan kota dan halaman desa disinggahi dalam perjalanan Long March yang amat melelahkan itu.
Khabar pemerintah Hindia Belanda baru bernama NICA telah tiba di Sumatera Timur diketahui orang di Tapanuli dibawa orang berjalan kaki. Begitu pula tentang para pemuda beragam organisasi yang menolak keberadaan mereka disana. Di fihak berseberangan, terdapat orang-orang pribumi yang masih meragukan kemampuan bangsanya untuk merdeka, apalagi untuk menghadapi pemerintah Hindia Belanda yang telah menjajah nusantara berbilang abad lamanya. Terlebih bagi mereka yang masih setia dan pernah bekerja di zaman Hindia Belanda silam, yang mereka namakan: “zaman normal”, antara lain: bekas para pamong (Demang, Kuria, dan lainnya), maupun bekas ambtenar (pegawai) Belanda berbagai bidang layanan masyarakat zaman normal silam, di pulau-pulau: Jawa dan Sumatera, serta lainnya. 
Begitu juga mereka yang mngenyam pendidikan zaman Belanda dari rendah hingga tinggi saat itu. Banyak yang tahu benar betapa besarnya dukungan Belanda pada Sekutu di Eropa dalam Perang Dunia ke-II silam, sebelum tanah Hindia Belanda di Asia Tenggara jatuh ketangan Jepang. Mereka masih tidak habis pikir bagaimana anak-anak negeri yang tak berpendidikan kebanyakan masih buta huruf ini nanti akan mengatur negara baru, dan mempertahankannya terhadap serangan serdadu-serdadu Belanda yang dibantu sekutu lengkap dengan persenjataan moderen lagi berpengalaman perang. Kedua kubu anak negeri berseberang pandang di Tapanuli Selatan ketika itu kemudian terpolarisasi, meski batas-batasnya tidak tampak jelas. Masing-masing kubu berusaha membangun kekuatan dan mencoba merebut hati rakyat dari kota hingga ke desa, menyebabkan ketegangan sosial muncul dalam kehidupan bermasyarakat. Ketegangan ini lalu mengganggu kekerabatan Dlihan na Tolu (Tungu yang Tiga) yang diatur adat Batak. Ketegangan yang sama juga berpengaruh pada pemenuhan keperluan hidup sehar-hari, seperti: pangan, sandang, papan, pekerjaan, keamanan, keadilan, dan lainnya. 
Desas-desus siapa yang mendukung perjuangan NRI di Tapanuli Selatan, begitu pula bisik-bisik siapa yang berfihak pada pemerintah Hindia Belanda yang baru dan menjadi kakitangan NICA, lalu tersebar dalam masyarakat dan telah menjadi rahasia umum yang mengusik ketenteraman hidup dalam masyarakat ketika itu. Tekanan agresi militer Belanda dibantu sekutu datang dari luar di satu pihak, perjuangan anak-anak negeri yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa timbul dari dalam di pihak lain, membuat kehidupan warga masyarakat di Tapanuli Selatan ditimpa beban politik ketika itu. Tidak mudah bagi warga melakukan pilihan tepat ketika itu, termasuk di kota Padang Sidempuan. Apakah memilih ikut pemerintah Hindia Belanda yang baru dengan janji: pekerjaan, gaji menarik, pangan, sandang, papan, dan lain sebagainya; atau  berfihak pada kaum pergerakan dengan hidup baik setelah kemerdekaan, kendati terpaksa hidup serba kekurangan sampai waktu yang belum dapat ditentukan; menyebabkan banyak orang melakukan pilihan berangkat dari keyakinan masing-masing dan latar belakang hidup sebelumnya.
Dua kubu bertentangan yang membangun kekuatan saling berseberangan ini tidak semata di tingkat daerah, tetapi juga di tingkat nasional, dan kian menaikkan suhu politik saat itu. Pada tahun 1947 Belanda  melaksanakan Politionele Actie (aksi polisionil) yang pertama, karena menurut pendapatnya, perlu diambil langkah untuk menertibkan kehidupan masyarakat di bekas tanah Hindia Belanda, agar pemerintah NICA bentukannya dapat berjalan. Akan tetapi oleh anak-anak bangsa di fihak Republik yang berseberangan melihatnya dari kacamata yang berbeda, mengatakan bahwa Belanda telah melakukan agresi militer terhadap NRI yang te-lah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945; semakin menegaskan sikap kedua kubu yang berseteru termasuk juga para simpatisan masing-masing.
Mundurnya tentara dan para lasykar NRI dari Sumatera Timur saat itu, selain karena terpukul serangan Belanda setelah pendaratan serdadu-serdadu barunya di pantai cermin lalu menduduki Deli Serdang dan Simalungun, juga dalam rangka mematuhi perintah gencatan senjata yang dikeluarkan PBB untuk menetapkan garis demarkasi di lapangan. Oleh lemahnya koordinasi pasukan di lapangan dan minimnya sarana komunikasi ketika itu, laskar-lasykar yang dipersenjatai menjadi terlalu berdekatan satu  sama lain. Sebagai akibatnya tidak dapat dihindarkan pertikaian diantara para pemanggul senjata yang tertantang memperebutkan: supremasi (keunggulan), antara lain: daerah operasi, harta, dan lainnya. Dan yang akhir ini turut jadi penyebab mengapa perang antar lasykar di Tapanuli Selatan tidak dapat dihindarkan ketika itu.
Selain karena kurang terkoordinasi, tentara dan para lasykar yang bergerak mundur kebanyakan dipimpin oleh komandan yang kurang terpuji prilakunya, sehingga pertikaian dalam ruang operasi militer yang seakin menciut menjadi tidak berkesudahan. Akibatnya, senjata di garis belakang banyak yang digunakan untuk menghadapi kawan seperjuangan, terhadap kaum kerabat, bahkan untuk keperluan pribadi dan kelompok. Keadaan diperuncing lagi dengan keterlibatan kerabat dekat pimpinan pasukan. Sikap kurang disiplin para pemimpin pasukan di garis belakang menyebabkan perlawanan terhadap Belanda tidak mudah disatukan, dan menjadi salah satu sebab mengapa perang saudara tidak dapat dielakkan. Perang saudara di Tapanuli belum dapat dihindarkan dengan langkah reorganisasi pasukan yang dilakukan oleh Wakil Presiden R.I. Dr. Mohammad Hatta di Pematang Siantar.
Perang saudara sekitar bulan Oktober 1947, berawal dari agresi militer Belanda pertama di Sumatera Timur sebelumnya. Sebagai akibatnya sebagian dari Brigade A (bekas lasykar Brigade Naga Terbang pimpinan Mayor Timur Pane), terpaksa mundur dan masuk ke Tapanuli Selatan lewat Asahan dan Labuhan Batu lalu masuk ke Gunung Tua. Brigade ini tidak memberitahu kedatangannya kepada Brigade B (Brigade Tapanuli) yang bermarkas di Padang Sidempuan, dan menguasai daerah itu. Hal ini membuat kompi Brigade B pimpinan Letnan I Sutan Muda Harahap yang bermarkas di Gunung Tua terpaksa meninggalkan pos tempat tugasnya, lalu melapor kepada Kapten Koima Hasibuan, pimpinan Batalyon di Padang Sidempuan. Di ibukota Angkola itu bermarkas Brigade B dipimpin Mayor Bejo, dan salah satu Resimennya berada dibawah Mayor Maraden Panggabean, adalah komandan Kapten Koima Hasibuan. Perbuatan Brigade A  menyulut ketegangan militer di Angkola, dan perang saudara kemudian berkecamuk di Sipirok, tujuh hari lamanya, menyebabkan banyak pasukan dari kedua belah fihak yang gugur, tertembaknya orang-orang yang tidak bersalah, terbuangnya amunisi sia-sia, dan kerugian harta benda yang disesalkan.
Agresi militer Belanda yang sama juga membuat pasukan Brigade A (bekas Harimau Liar pimpinan Jakub Siregar, Saragih Ras, dan Payung Bangun), mundur ke perbatasan Simalungun-Karo. Karena mereka tidak disukai oleh masyarakat setempat oleh politik divide et impera peninggalan zaman penjajahan Belanda silam, maka oleh Mayjen Dr. Gindo Siregar selaku Gubernur Militer Daerah Tapanuli/Sumatera Timur, pasukan ini diizinkan berdiam di daerah Sipirok. Di kota ini Kapten Koima Hasibuan telah menempatkan kompinya dibawah Letnan I August Marpaung. Kompi akhir ini ternyata lebih diterima masyarakat setempat dalam pergaulan sehari-hari ketimbang yang hijrah dari perbatasan Simalungun-Karo, lalu menimbulkan perselisihan diantara para pemanggul senjata. Pendatang perbatasan Simalungun-Karo rupanya kurang menghargai keluarga “si Pungka Huta” (Pendiri Kampung) di tempat mereka berdiam yang amat dihormati kalangan masyarakat Batak di Angkola. Begitu juga adat-istiadat setempat, dimana orang muda menghormati yang lebih tua, kurang mendapat perhatian pendatang bersenjata yang telah terpukul mundur ini.
Kemudian mundur lagi pasukan Naga Terbang pimpinan Habiaran Pane yang bergerak lewat Tarutung dan Pahae untuk bergabung dengan induk pasukannya yang telah berdiam di Sipirok dan Padang Lawas. Berkat campur tangan Residen Tapanuli: Dr. Lumban Tobing saat itu, perseteruan antar pasukan di Angkola dapat dihindarkan. Dan dengan dinonaktifkannya Mayor Timur Pane, dibubarkannya Brigade Naga Terbang, dan dilucutinya persenjataan mereka oleh pasukan Kapten Koima Hasibuan, keamanan dan ketertiban di Tapanuli Selatan menjadi tanggungjawab Resimen Mayor Maraden Panggabean.
Pada suatu hari dipertengahan tahun 1948, malam hari pasukan Mayor Malau bekas Brigade A yang pernah berada dibawah pimpinan Mayor Bejo, melakukan serangan terhadap Batalyon VI dan menghalaunya meninggalkan Sipirok. Batalyon ini lalu mundur, dan melapor kepada induk pasukannya di Padang Sidempuan. Setelah beberapa hari Mayor Malau dan pasukannya menduduki Sipirok, Mayor Bejo bersama pasukannya datang dari Padang Sidempuan untuk membebaskan kota itu. Setelah keduanya bertempur hampir seharian ditengah kota Sipirok, pasukan Mayor Malau kemudian melarikan diri, dan meninggalkan kota itu dalam keadaan kacau balau.
Setelah berdiam di Sipirok empat bulan lamanya, pemimpin Brigade A pada suatu malam melangsungkan rapat rahasia untuk melakukan makar di Padang Sidempuan. Rapat yang dihadiri pemimpin dan para staf Brigade bermaksud untuk menghancurkan Resimen Mayor Maraden Panggabean dan Batalyon Kapten Koima Hasibuan. Keputusan rapat lalu dibocorkan seorang ibu kepada Wedana Sipirok, yang saat itu dijabat M. D. Harahap, gelar Baginda Raja Muda Pinayungan. Menyadari akan malapetaka yang bakal ditimbulkan, Wedana lalu mengutus seorang kurir dalam jalur pemerintah untuk langsung bertemu dengan Mayjen Dr. Gindo Siregar (Gubernur Militer) dan Soetan Doli Siregar (Bupati Padang Sidempuan), agar berita secepatnya disampaikan kepada komandan-komandan Resimen dan Batalyon. Berita penting itu rupanya tidak mendapat tanggapan yang semestinya oleh kedua komandan, karena dianggap tidak akan sampai hati melakukan makar.
Maka dua hari setelah rapat rahasia di Sipirok berlangsung, tanggal 10 Februari 1948, pasukan Brigade A berangkat menerobos kelamnya malam menuju ibukota tanah Angkola, dan menjelang subuh mereka sudah sampai di pinggir kota. Lalu pada jam 05.00, dengan diam-diam serangan dilancarkan pada Batalyon Koima Hasibuan, dan berhasil, karena pasukan akhir ini sedang tidur nyenyak di tangsi militer, sehingga tidak dapat memberikan perlawanan. Kapten Koima Hasibuan sendiri tewas, dan seluruh anggota pasukan yang masih hidup dilucuti. Begitu pula komandan Resimen Mayor Maraden Panggabean tidak dapat berbuat apa-apa, lalu ditawan Brigade A di Sipogu, kecamatan Sipirok. Kompi yang dipimpin Letnan I August Marpaung, anak buah Kapten Koima Hasibuan yang bertugas di Sipirok, samasekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi. Ia pun ditawan anggota pasukan Brigade A yang kembali dari Padang Sidempuan ke induk pasukannya di Sipirok. 
Dalam keadaan genting menjelang agresi militer Belanda kedua, Gubernur Militer Mayjen Dr.Gindo Siregar yang ditunjuk mewakili pemerintah NRI pusat, lalu menegluarkan pengumuman yang menyatakan bahwa Tapanuli Selatan berada dibawah tanggungjawab Brigade A, dan para anggota Resimen Mayor Maraden Panggabean termasuk Batalyon Kapten Koima Hasibuan dinonaktifkan. Dan atas keputusan wakil Presiden Drs. Muhammad Hatta, lewat Panglima Sumatera Jenderal Soeharjo Hardjowardjojo, semua tawanan perang Brigade A di Sipogu lalu dipindahkan ke Bukit Tinggi. Dengan demikian telah terjadi pengambilalihan kekuasaan (coup d’etat) militer oleh Brigade A terhadap Brigade B di Tapanuli Selatan tanpa dapat dipersoalkan lebih lanjut keabsahannya saat itu. 
Kabinet Darurat
Agresi militer kedua, yang dinamakan Belanda Politionele Actie, muncul oleh perubahan sikap Amerika Serikat di PBB terhadap perjuangan bangsa Indonesia yang sangat mengecewakan kerajaan Belanda. Awalnya negeri Paman Sam itu berpihak kepada Belanda karena masih belum bersedia menyetujui berdirinya NRI yang dipimpin Presiden Sjafrudin Prawiranegara. Akan tetapi setelah melihat sikap yang diperlihatkan Wakil Presiden Dr. Monammad Hatta, ketika itu juga merangkap Perdana Menteri dalam Kabinet Darurat  tanggal 7 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949, dengan tegas menolak pemberontakan  Madiun yang dilakukan PKI, lalu mengutus pasukan Siliwangi dari Jawa Barat pimpinan Kolonel Abdul Haris Nasution dari tanggal 18 September hingga 7 Desember 1948 untuk menumpasnya, Amerika Serikat menjadi yakin dan dengan cepat bertukar fikiran.
Di PBB, negara Paman Sam lalu meninggalkan Belanda dan kemudian berfihak pada NRI. Pemerintah Belanda yang kecewa dan kesal ketika itu, memerintahkan Jenderal Spoor mengeluarkan perintah harian di Batavia tanggal 18 Desember 1948. Dan, serdadu-serdadu Belanda kembali menerobos garis perbatasan kedua pihak yang sebelumnya disepakati di Sumatera Timur keesokan harinya. Menjelang agresi militer Belanda kedua berlangsung, pemerintah NRI di Jakarta memutuskan untuk membebastugaskan Mayjen Dr. Gindo Siregar dari jabatan Gubernur Militer Sumatera Timur/Tapanuli, lalu digantikan Dr. F. Lumban Tobing  merangkap Residen Tapanuli, untuk mengkonsolidasikan perlawanan terhadap Belanda. Dalam menghadapi  serangan serdadu-serdadu Belanda dalam agresi militer yang dapat menimbulkan banyak korban di daerah Republik baik kota maupun desa di Tapanuli Selatan, maka untuk senantiasa menghadirkan pemerintah NRI dalam pengungsian, Kabupaten Padang Sidempuan perlu dipecah menjadi tiga kabupaten, masing-masing:
1. Kabupaten Padang Sidempuan
   Terdiri dari kewedanaan Padang Sidempuan dan kewedanaan Sipirok, dengan ibukotanya  
   Padang Sidempuan.
2. Kabupaten Batang Gadis.
   Terdiri dari Mandailing, Ulu, Pakantan dan Batang Natal, dengan ibukotanya Panyabungan.
3. Kabupaten Padang Lawas dan Barumun.
    Terdiri dari Padang Lawas dan Barumun, dengan ibukotanya Gunung Tua.
Dengan demikian, apabila sebuah kabupaten jatuh ke tangan Belanda dalam agresi militer kedua,  salah satu kabupaten yang belum jatuh akan menjadi pusat pemerintahan republik di Tapanuli Selatan. Pada tanggal 20 Desember 1948 kota Sibolga jatuh ke tangan Belanda. Dan, dengan kejatuhan ibukota tanah Batak itu, pemerintah NRI Tapanuli menetapkan untuk melebur seluruh lasykar perjuangan yang ada, dan menugaskan pasukan republik pimpinan Mayor Bejo menghadang serangan serdadu-serdadu Belanda yang masuk ke Tapanuli dari arah Barat. Pada tanggal 28 Desember 1948, serdadu-serdadu Belanda telah tiba di jembatan Batang Toru. Jembatan sepanjang 100 meter itu, telah lebih duhu diruntuhkan pasukan republik pimpinan Kadiran agar tidak dapat dimanfaatkan serdadu-serdadu Belanda.
Dalam perang menghadapi Belanda yang masuk dari Barat, tentara NRI dan para lasykar diperintahkan untuk melakukan taktik "bumi hangus". Dengan taktik ini, seluruh jembatan yang ada diruntuhkan, pohon-pohon yang ada sepanjang jalan-raya ditumbangkan dirobohkan ke tengah jalan, jalan yang rata dilubangi agar tidak dapat dilalui kendaraan militer, bangunan dan gedung yang mungkin dapat digunakan Belanda menjadi markasnya dibakar atau diruntuhkan. Semua langkah bumi hangus yang dilakukan pasukan republik hanya melambatkan gerakan serdadu-serdadu Belanda terlatih, berpengalaman perang, dan bersenjata lengkap ketika. Mereka selalu mengungguli pasukan republik di berbagai medan laga Tapanuli Selatan. Maka pada tanggal 1 Januari 1949, pasukan Belanda berhasil masuk ke Padang Sidempuan dari Barat, dan mendapati ibukota Angkola itu sudah di bumi hangus pasukan republik.
Pemerintah NRI Tapanuli Selatan pimpinan Bupati Sutan Doli Siregar, Patih Ayub Sulaiman Lubis, dan Wedana Maraganti Siregar gelar Ompu Sahang, serta kepala persediaan makanan rakyat Kalisati Siregar, telah lebih dahulu meninggalkan Padang Sidempuan mengungsi ke Sipirok untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Panyabungan, ibukota Kabupaten Batang Gadis. Di kecamatan Sipirok, perlawanan terhadap serangan serdadu Belanda dihadaapi tidak saja oleh pasukan republik pimpinan Mayor Bejo, juga oleh AGS (Angkatan Gerilya Sipirok) pimpinan Sahala Muda Pakpahan sebagai komandan dengan wakilnya Maskud Siregar. Angkatan akhir ini dibentuk dan dilantik Wedana Sipirok: Muhammad Diri Harahap  tanggal 3 Januari 1949, selaku PPK (Pimpinan Pertahanan Kewedanaan) berkedudukan di Sipirok. Sebagai anggota AGS dihimpun bekas para lasykar yang terpukul mundur dari Sumatera Timur silam, antara lain: pasukan Naga Terbang, anak buah Kapten Koima Hasibuan, anggota kepolisian Sipirok; semuanya dipersenjatai dengan senapan locok.
Pada tanggal 5 Januari 1949, pasukan republik dari Sipirok melancarkan serangan menuju Padang Sidempuan yang diduduki Belanda, dan berhsil masuki kota. Akan tetapi balasan mortir yang dihamburkan serdadu-serdadu Belanda bertubi-tubi bukan imbangan pasukan yang menyerang. Yang disebut akhir ini terpaksa kembali mundur ke Sipirok membawa serta yang gugur dan luka berat maupun ringan. Pada tanggal 21 Januari 1949, Sipirok lalu diserang serdadu-serdadu Belanda dan pemerintah NRI di kota itu terpaksa mengungsi ke Arse, dan AGS harus dipindahkan markasnya ke Bukit Maondang 3 km dari Sipirok. Pada tanggal 30 Januari 1949, Binanga Siregar, selaku Wakil Residen Tapanuli, berkunjung ke Bukit Maondang dan Arse untuk melihat pertahanan NRI Tapanuli Selatan dari garis depan. Keesokan harinya Wakil Residen bersama Wedana Sipirok menyampaikan pidato tentang isi surat Residen Tapanuli dihadapan rakyat pedalaman yang mengutip: “All Indian Radio” dan “Radio Australia”, bahwa Indonesia telah berhasil menang melawan Belanda di  PBB di bidang diplomatik. Selanjutnya dikhabarkan kerajaan Belanda di Eropa, di ibukota Den Haag, akan menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
Pada tanggal 1 Februari 1949, Ayub Sulaiman Lubis dan Kalisati Siregar berangkat menuju Angkola Jae untuk merintis jalan menuju ke Mandailing. Keesokan harinya jalan itu lalu ditempuh: Binanga Siregar, Sutan Doli Siregar, Sutan Hakim Harahap, dan Maraganti Siregar untuk mengabarkan keberhasilan bangsa Indonesia di PBB kepada masyarakat pedalaman.
Mengetahui pemerintah NRI Tapanuli Selatan telah meninggalkan Sipirok, maka pada tanggal 17 Februari 1949 serdadu-serdadu Belanda melanjutkan serangan ke Bunga Bondar. Kampung yang dikenal salah satu lumbung intelektual di tanah Batak. Seratus tahun silam, tepatnya pada tahun 1847, serdadu-serdadu Belanda datang ke kampung ini untuk pertama kalinya. Belanda mendapat perlawanan sengit dari Sutan Ulubalang yang menjadi Raja ketika itu, setelah wafat digantikan adiknya Sutan Doli. Belanda membutuhkan waktu empat tahun lamanya mematahkan perlawanan Raja akhir ini di sarang marga Siregar itu, dan membuang para penantangnya meninggalkan Sumatera. Pada kedatangan Belanda kedua, kampung itu telah dikosongkan warganya untuk melakukan perang gerilya, karena Belanda mengancam akan menembak setiap laki-laki yang ditemui di kampung itu.
Pada tanggal 8 Mei 1949, serdadu-serdadu Belanda beserta kendaraan lapis bajanya melanjutkan  serangan ke Arse. Meski dalam setiap langkah agresi militer diambil serdadu-serdadu Belanda pasukan republik selalu menunjukkan perlawanan sengit, akan oleh tidak memadainya: latihan, pengalaman, dan persenjataan, dari pasukan republik membuat gerakan mundur sambil bertahan tidak dapat dihindarkan. Pemerintah NRI di Tapanuli Selatan terpaksa kembali mengungsi meninggalkan Arse. Perjuangan bangsa Indonesia untuk membebaskan diri dari penjajahan silam memang bertumpu di dua front, masing-masing: front diplomatik di dunia internasional berpusat di PBB, dan front medan laga di tanah-air, dan yang disebut paling akhir adalah yang terlemah dari keduanya.
Dengan tewasnya pimpinan tertinggi KNIL: Jenderal Spoor di Situmba, sebuah desa tidah jauh dari Sipirok di Tapanuli Selatan, bangsa Belanda di negerinya tidak lagi menaruh harapan pada "Politionele Actie" untuk menegakkan lagi pemerintah Hindia Belanda usai Perang Dunia ke-II bernama NICA. Serangan serdadu-serdadu Belanda di Tapanuli Selatan berakhir di Arse, karena dari Panyabungan telah tiba khabar disampaikan oleh utusan Bupati Batang Gadis: Raja Junjungan Lubis, Gubernur Militer Tapanuli: Kolonel Kawilarang, dan Komandan Territorial VII: Ibrahim Adji, yang mengatakan bahwa perang kemerdekaan melawan Belanda telah dimenangkan republik di PBB pada front diplomatik. Sebagai konsekuensinya agresi militer Belanda, atau yang dinkenal dengan politionele actie di seluruh wilayah republik termasuk Tapanuli Selatan harus dihentikan. Belanda diperintahkan untuk mengembalikan seluruh wilayah republik yang  berhasil direbut dan didudukinya dalam agresi militer pertama dan kedua. Dan untuk wilayah Sumatera Timur dan Tapanuli, akan diawali dari Kewedanaan Sipirok.
Pada tanggal 17 Desember 1948, Indonesia dan Belanda menyepakati perjanjian Renville, dan tanggal 23 Januari 1949 berlangsung konferensi 19 Negara Asia.di New Delhi, India, untuk mendukung Indonesia. Lalu tanggal 14 April 1949, UNCI (United Nation Commission on Indonesia) yang menggantikan KTN (Komisi Tiga Negara) melangsungkan perundingan di Jakarta/Batavia. Ketika itu Indonesia dipimpin Mr. Muhammad Rum, sedangkan Belanda dipimpin Dr. van Royen, Persetujuan Rum-Royen lalu disepakati Indonesia dan Belanda tanggal 7 Mei 1949, mengantarkan keduanya menuju ke Ronde Tofel Conferentie (RTC), atau Konferensi Meja Bundar (KMB). Menjelang berlangsung KMB, di Yogyakarta diselenggarakan KAI (Konferensi Antar Indonesia) antara tanggal 19 hingga 22 Juli 1949, yang kemudian disusul di Jakarta antara tanggal 31 Juli hingga 2 Agustus 1949. KAI selain dihadiri NRI, juga oleh berbagai Negara bentukan van Mook dikenal dengan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), yakni: 1.Negara Indonesia Timur (NIT 1946), 2. Negara Sumatera Timur (NST 1947), 3. Negara Madura (NM 1948), 4. Negara Pasundan (NP 1948), 5. Negara Sumatera Selatan (NSS 1948), 6. Negara Jawa Timur (NJT 1948). Konferensi Meja Bundar (KMB) berlangsung antara tanggal 23 Agustus hingga 2 September 1949 di Den Haag, ibukota Kerajaan Belanda. Adapun wakil delegasi NRI ke KMB ialah: Drs. Mohammad Hatta, wakil delegasi BFO: Sultan Hamid, dan wakil kerajaan Belanda: Maarseveen; sedangkan wakil-wakil PBB: Merle Cochran, Critchley, dan Romanos.
Setelah penyerahan kedaulatan dilaksanakan Ratu Belanda, sejak bulan Agustus hingga Nopember 1949 berlangsung serah terima tanah Hindia Belanda dilapangan, kecuali Irian Barat. Sejak saat bersejarah itu Republik Indonesia Serikat (RIS) berdiri dengan resmi berdiri dipimpin Kepala Negara: Ir. Sukarno dan Perdana Menteri: Drs Mohammad Hatta. RIS yang berdiri saat itu adalah sebuah Negara Federal beranggotakan NRI dan BFO, diresmikan tanggal 2 Desember 1949, hasil kesepakatan tiga fihak dalam KMB di Den Haag, masing-masing: Negara Republik Indonesia (NRI), Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), Kerajaan Belanda, disaksikan United Nation Commission for Indonesia.
Pada tanggal 30 Nopember 1949, berlangsung serah terima Pemerintah Sipil kecamatan Sipirok dari Belanda kepada NRI dilaksanakan Kortoir selaku PBA (Plaatselijk Bestuurs Adviseur, atau Penguasa Pemerintah Setempat) Belanda berkedudukan di Padang Sidempuan kepada M. Diri Harahap selaku Wedana Sipirok yang sangat menggembirakan warganya. Di bidang keamanan serah terima diberikan Kortoir kepada Mayor Bedjo. Hadir dalam upacara serah terima jabatan itu perwakilan dari KTN (Komisi Tiga Negara). Puluhan ribu rakyat lalu membanjiri kota Sipirok menjadi saksi dan bersorak gembira. Kortoir tidak lupa dalam acara serah terima juga mengatakan:“Hidup Republik Indonesia”, usai penandatanganan dokumen bersejarah selesai dilakukan.
Kabinet Hatta
Meski anak-anak negeri tidak berhasil memenangkan perang di medan laga, akan tetapi oleh besarnya keberfihakan dunia pada perjuangan bangsa Indonesia, khususnya: Amerika Serikat, Inggris, India, dan lainnya, menyebabkan NRI berhasil dibidang diplomatik, dan Indonesia memperoleh kemerdekaannya. Tanah jajahan Hindia Belanda Timur hasil kerja keras Jenderal van Heutz dengan segala kecerdikannya, setelah proklamasi 17 Agustus 1945, berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diakui dunia di PBB. Kendati Uni-Sovyet (Rusia) bersuara abstain dalam pemungutan suara di PBB tanggal 28 Januari 1949, karena kegagalan pemberontakan PKI tanggal 18 September 1948 di kota Madiun sebelumnya, akan tetapi sebagian besar suara dalam sidang Dewan Keamanan PBB ketika itu memutuskan Belanda harus menyerahkan kekuasaan tanah  Hindia Belanda kepada RIS, kecuali Irian Barat.
Keberhasilan diplomatik bangsa Indonesia ketika itu, tidak tidak disangsikan lagi berkat perlawanan bersenjata yang ditunjukkan: tentara NRI, para lasykar, organisasi perjuangan, dan lain sebagainya yang dengan gigih dengan senjata seadanya mengorbankan jiwa dan harta yang tidak sedikit jumlahnya, yang akhirnya membuahkan Konferensi Meja Bundar (KMB) di ibukota Negeri Belanda Den Haag. Dalam RTC diputuskan pula bahwa RIS harus turut memikul beban hutang pemerintah Hindia Belanda yang kolonial berjumlah 6,1 Milyar Gulden, terdiri 3 Milyar hutang dalam negeri dan 3,1 Milyar hutang luar negeri. Pemerintah Belanda menyatakan hanya bersedia menanggung 500 juta Gulden, sehingga sisanya harus dilunasi oleh pemerintah RIS.
Pada tanggal 30 Desember 1949 Ratu Yuliana, selaku wakil pemerintah Belanda, menyerahkan kedaulatan tanah Hindia Belanda kepada RIS (Republik Indonesia Serikat), yang ketika itu diterima Drs.Mohammad Hatta, terkecuali Irian Barat (Papua). Langkah selanjutnya melaksanakan timbang terima lapangan oleh wakil-wakil pemerintah kerajaan Belanda kepada wakil-wakil pemerintah RIS berbagai jabatan di bekas tanah Hindia Belanda silam. Menurut Anak Agung Gede Agung, dipilihnya RIS sebagai bentuk negara saat itu, tidak lain untuk mengganti sifat pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sangat sentralistis saat itu, sehingga menimbulkan banyak ketegangan dalam pelaksanaan kekuasaan, agar berbagai kesalahan yang timbul dimasa silam tidak terulang kembali setelah Indonesia merdeka.
Negara Republik Indonesia Serikat lahir dari kesepakatan Indonesia-Belanda di Den Haag lalu dipimpin Perdana Menteri: Drs Mohammad Hatta. Ir. Sukarno kemudian kembali dari pengasingannya di Yogyakarta dan menjadi Presiden RIS di Jakarta. Adapun program kerja Kabinet RIS yang pertama ketika itu adalah:
1. Melakukan peralihan kekuasaan dari pejabat Belanda ke pejabat RIS di lapangan.
2. Melaksanakan ketenteraman umum, hak azazi manusia, demokrasi, dan kemerdekaan.
3. Pemilihan umum untuk anggota konstituante.
4. Perbaikan ekonomi, keuangan, perhubungan, perumahan, kesehatan, dan kemakmuran.
5. Meningkatkan pendidikan tinggi dan pemberantasan buta huruf.
6. Menyelesaikan persengketaan Irian Barat.
7. Melaksanakan politik luar negeri perdamaian dunia dan kawasan Asia Tenggara.
Australia kemudian mengakui berdirinya RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Bersamaan dengan kelahiran RIS di Den Haag, Pejabat Presiden Mr. Assaat Datuk Mudo bersama Perdana Menteri Dr. Halim masih memimpin NRI, menjadikan tanah Hindia Belanda yang baru diserahkan Belanda dipimpin oleh dua orang Presiden dengan dua orang Perdana Menteri dari dua Kabinet berlainan. Tidak lama setelah serahterima kedaulatan dilangsungkan di Den Haag, muncul berbagai macam pemberontakan yang menolak berdirinya NRI dan lahirnya RIS di tanah-air. Pada awal bulan Agustus 1949 muncul pemberontakan DI (Darul Islam) di Jawa Barat pimpinan Sekar Maji Kartosuwiryo, yang berkembang menjadi DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia), lalu menyebar ke Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Pemberontakan yang berlangsung 3 tahun lamanya itu, berasal dari sebuah tempat kecil yang tidak jauh dari Tasikmalaya, bertujuan mendirikan Negara Islam di nusantara.
Sibolga Pertama
Selama agresi militer Belanda pertama dan kedua hingga kemerdekaan ayah menjabat Wedana di Sipirok Tapanuli Selatan bekerja sampai tahun 1951. Lalu ayah dipidahkan ke ibukota Tapanuli Sibolga  menjadi Wedana d/p Kantor Gubernur Propinsi Tapanuli dan Sumatera Timur. Di Jawa Barat ketika itu timbul pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) pimpinan Kapten Raymond Pierre Westerling yang juga menolak berdirinya RIS lewat KMB di Den Haag. Westerling gagal mencapai ibukota Jakarta pada tanggal 22 Januari 1950, akan tetapi berhasil menyerbu masuk ke kota Bandung keesokan harinya. Pada tanggal 5 April 1950 muncul pemberontakan Andi Azis di Makassar. Pada tanggal 25 April 1950 di Ambon timbul pula pemberntakan RMS (Republik Maluku Selatan) pimpinan Dr. Soumokil yang juga menolak berdirinya RIS lewat KMB di Den Haag. Di Kudus muncul pemberontakan Batalyon 426 meski cepat ditumpas. Akan tetapi sisa-sisanya melarikan diri ke Jawa Barat dan bergabung dengan DI/TII. Gangguan keamanan yang ditimbulkannya kemudian meluas ke Jawa Barat dan Jawa Tengah bagian Barat.
Medan
Hanya satu tahun ayah bertugas di Kantor Gubernur Propinsi Tapanuli dan Sumatera Timur di Sibolga, lalu dipindahkan ke Medan tahun 1951 menjadi Referendaris Kantor Gubernur Propinsi Sumatera di kota besar tanah Deli itu. Pada bulan Agustus 1951 Letkol Abdulkahar Muzakar memimpin pemberontakan pasukan yang tidak puas dengan imbalan yang diterima di Sulawesi Selatan. Tahun berikutnya ia bergabung dengan Darul Islam di Jawa Barat pimpinan S.M. Kartosuwiryo. Di Kalimantan timbul lagi pemberontakan gerombolan yang dipimpin Ibnu Hajar.
Pada tanggal 27 Oktober 1951, ayah melangsungkan pernikahan yang kedua di Pematang Siantar setelah dari perkawinan pertama tidak mendapatkan keturunan. Kali ini ayah menikahi Nilakesuma, boru Pane dari Arse yang tidak jauh letaknya dari kampung ayah berasal yakni Hanopan Sipirok. Pada tanggal 30 Juli 1952, lahir anak ayah yang pertama di Medan, laki-laki, dan diberi nama: Dirwan Yuliansyah Harahap. Kegembiraan meliputi marga Harahap dari Hanopan idak terkecuali Dalihan na Tolu (keluarga besar)-nya  mulai dari rantau hingga kampung halaman. Acara adat anaktubu menurut adat Batak lalu diselenggarakan  di Hanopan ketika itu yang dihadiri kahanggi dan anakboru serta mora. 
Ketika pesta olah raga PON ke II tengah berlangsung di kota Medan tanggal 20 September 1953, timbul pemberontakan di Aceh. Awalnya Persatuan Ulama Seluruh Aceh, disingkat PUSA, pimpinan Daud Beureueh langsung berfihak kepada Republik Indonesia usai proklamasi 17 Agustus 1945 karena terlibat dalam usaha besar bangs yang gemilang, dan banyak menyumbang kepada negara yang baru berdiri, antara lain: mendirikan “Indonesian Airways” dengan pesawat Dakota buatan Amerika Serikat, daan lainnya. Maskapai penerbangan Indonesian pertama ini lalu beroperasi di Birma (Myanmar) untuk mendatangkan valuta asing yang dibutuhkan perjuangan bangsa menghadapi agresi Belanda. Akan tetapi Presiden Sukarno ingkar janji yang mengecewakan PUSA, karena Aceh tidak memperoleh status propinsi berikut keistimewaannya, namun dilebur pemerintah begitu saja kedalam Propinsi Sumatera Utara saat itu. Pemberontakan ini menyebabkan hubungan militer antara Aceh dan Sumatera Utara lalu memburuk dan mengganggu rehabilitasi ladang-ladang minyak daerah-daerah Langkat dan Pangkalan Brandan ketika itu. Pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo dari Jawa Barat lalu meluaskan kegiatannya merambah masuk ke tanah rencong. Baru pada tahun 1962 pemberontakan akhir ini dapat diberantas dengan operasi militer dan pagar betis untuk menangkap pemimpinnya, mengadili dan menghukum mereka. Ternyata tidak semua dapat diselesaikan dengan cara operasi militer, karena pemberon-takan Daud Beureueh berhasil diselesaikan lewat perundingan.
RIS yang belum lama didirikan tanpa Irian Barat terbukti tidak bertahan lama. Dalam waktu empat bulan, satu persatu negara-negara bagian BFO, ketika NRI masih dikepung Belanda, lalu berguguran menyisakan: Negara Sumatera Timur (NST) dan Negara Indonesia Timur (NIT). Setelah perundingan berlarut-larut antara negara-negara bagian yang tergabung dengan RIS dan NRI, akhirnya Mosi Integral Mohammad Natsir diterima. Maka pada tanggal 16 Agustus 1950, RIS yang berusia sejak tanggal 20 Desember 1949 hingga tanggal 15 Agustus 1950 yang terbatas dan masih penuh ketergantungan pada Belanda saat itu, lalu  dibubarkan Presiden, lalu menyatakan Indonesia menjadi Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sentralistis sebagaimana di zaman pemerintahan Hindia Belanda yang kolonial silam, menggunakan UUDS (Undang Undang Dasar Sementara) tahun 1950, dibawah pemerintah Demokrasi Parlementer. Usaha Belanda untuk kembali menjajah nusantara usai Perang Dunia ke-II dengan membentuk NICA  menemui kegagalan, karena Dewan Keamanan PBB di New York, Amerika Serikat, pada tahun 1949 memutuskan negara Kincir Angin itu harus menyerahkan kedaulatan tanah jajahannya kepada RIS; dan anak-anak pribumi berhasil memerdekakan tanah-airnya dari penjajahan ratusan tahun lamanya.
Dengan tidak disangka-sangka, pada tanggal 19 Maret 1950 muncul sanering (penyehatan) mata uang Rupiah yang pertama setelah Indonesia merdeka. Pemerintah RIS ketika itu menggunting uang Rupiah yang sedang beredar. Setiap lembar uang kertas pecahan Rp.5,- keatas, dipotong dengan gunting menjadi dua bagian. Bagian kiri lembar kertas dapat dibelanjakan 50% dari angka tertera, sedangkan lembar kanan kertas tidak berlaku, tetapi harus dikembalikan kepada pemerintah lewat Bank, dan dinyatakan sebagai pinjaman obligasi (wajib) negara kepada rakyatnya, dengan janji akan dikembalikan kelak. Langkah moneter drastis yang diambil pemerintah dinamakan “gunting Sjafruddin”, karena diperintahkan oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang ketika itu menjabat Menteri Keuangan dalam Kabinet RIS dipimpin Perdana Menteri Drs. Mohammad Hatta. Devaluasi Rupiah pertama ini menggelisahkan rakyat, karena menurunkan kualitas hidup anak-anak bangsa di tanah-air terutama yang berpenghasilan tetap, karena pendapatan para pekerja yang menghidupi keluarga menjadi terpangkas setengahnya.
Pada tahun timbuk peristiwa 17 Oktober 1952 di ibukota, dan para demonstran menuntut dibubarkannya Parlemen oleh Kepala Negara. Berawal rencana mengutus Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel A.H. Nasution belajar ke luar negeri, seorang perwira PETA (Pembela Tanah Air) yang dekat dengan Istana berkirim surat pada Perdana Menteri Wilopo dan Menteri Pertahanan, tentang ketidak percayaannya pada Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP), terutama Kepala Staf Angkatan Darat. (KSAD) ketika itu. Perwira tersebut lalu diberhentikan karena telah melangkahi hierarki dalam militer. Merasa tidak puas, ia melapor ke Parlemen, atau Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) saat itu, dan pertikaian politik antara Angkatan Perang dan Parlemen lalu dimulai.
Zaenal Baharuddin, seorang anggota Parlemen yang telah berminggu-minggu terlibat dalam perdebatan korupsi dalam tubuh militer, mengajukan mosi tidak percaya pada Menteri Pertahanan, karena tidak mampu menangani konflik yang terdapat dalam tubuh Angkatan Perang. I. J. Kasimo, anggota Parlemen dari fraksi Katolik ketika itu mengusulkan pembentukan Panitia Negera untuk menyelesaikan pertikaian. Manai Sophiaan dari PNI menimpali, agar Panitia Negera diberi wewenang memecat pimpinan Angkatan Perang. Maka pada tanggal 16 Oktober 1952, usul anggota Perlemen akhir ini diterima, menyebabkan para perwira berang, karena wilayah teknis militer telah dicampuri Parlemen.
Pada tanggal 17 Oktober 1952 Letkol Kemal Idris mengarahkan empat meriam Howitzer kedepan Istana di jalan Merdeka Utara, begitu pula sejumlah tank ke gedung Parlemen di Pejambon di Jakarta Pusat. Ribuan preman dan jagoan beragam kawasan seputar ibukota: Pulogadung, Pasar Minggu, Kebayoran-Ciputat, Cileduk-Tangerang, dan Tanjung Priok lalu diangkut kendaraan militer lalu diterjunkan di Stadion Ikada dan Lapangan Banteng. Mereka kemudian menyerbu gedung Parlemen di seberang Lapangan Banteng, lalu menjungkirbalikkan kursi-kursi di dalam gedung itu, memecahkan kaca, dan menuntut agar Parlemen dibubarkan. Kobra (Komando Organisasi Barisan Rakyat) pimpinan Kol. Dr. Mustopo yang tersohor ketika itu juga turut ambil bagian mengepung Jakarta.
Peristiwa ini tampaknya juga dilatarbelakangi oleh upaya Kabinet didukung Parlemen untuk melaksnakan demobilisasi militer memasuki alam kemerdekaan. Para pejuang yang merasa ikut mempertahankan negara dengan jiwa dan raganya dalam agresi militer Belanda silam terancam disingkirkan. Dilibatkannya penasehat militer dari negeri Belanda untuk membangun pasukan kecil tapi profesional tidak disetuji para lasykar yang menyebabkan keretakan dalam tubuh militer. Masuknya anasir kiri kedalam angkatan bersenjata ketika itu turut memicu kecemasan kalangan militer yang tidak menyukainya.
Sepekan setelah perdebatan di Parlemen berlangsung, di Teritorium V/Brawijaya terjadi pengambilalihan pimpinan oleh kelompok anti-peristiwa 17 Oktober terhadap kelompok pro-peristiwa 17 Oktober 1952. Begitu juga di Teritorium VII Sulawesi Selatan, dan di Teritorium II Sumatera Selatan. Perpecahan antara kubu yang kontra dengan kubu yang pro dalam tubuh Angkatan Perang berlanjut. Bahkan di Teritorium VII, Herman Nicholas Ventje Sumual tanggal 2 Maret 1957 mengumumkan wilayahnya berada dalam keadaan perang. Kudeta yang gagal tanggal 3 Desember 1952 menyebabkan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memberhentikan KSAD Kolonel A.H. Nasution untuk kedua kalinya, dan menggantikannya dengan Bambang Sugeng. Lalu, tanggal 13 Maret 1957 malam, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan wakilnya Idham Chalid mengundurkan diri, dan mengembalikan mandat kepada Presiden Sukarno.
Keamanan negara memburuk dengan munculnya pemberontakan di daerah-daerah, memaksa Presiden Sukarno dan Perdana Mentari demisioner Ali Sastroamidjojo mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) untuk yang kedua tanggal 14 Maret 1957, dan mengumumkan SOB (Staat van Oorlog en Beleg), atau Keadaan Darurat Perang, di seluruh Indonesia. Dengan diberlaku-kannya SOB, maka Sistim Demokrasi Parlementer yang liberal di tanah-air disingkirkan, dan digantikan dengan Sistim Demokrasi Terpimpin sebagaimana yang diinginkan pemerintah. Sejak dari saat itu Angkatan Perang, khususnya Angkatan Darat menjadi amat berkuasa di seluruh nusantara.
Sejak pertengahan dasawarsa 1950, hubungan Indonesia-Amerika Serikat dan sekutunya merenggang. Ada dua hal menyebabkan hal ini: pertama, sikap Amerika Serikat yang semakin agresif membendung penyebaran Komunisme di Asia Tenggara: pertama tanggal 8 September 1954 Amerika mendirikan SEATO (South East Asia Treaty Organization) yang berpusat di Manila, Filipina, beranggotakan: Thailand, Pakistan, Inggris, Perancis, Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru; kedua, sikap Indonesia yang tidak mau berpihak kepada salah satu kubu, dan ingin berada dalam kubu Non-Blok, meski Perang Dingin sudah merambah ke kawasan Asia Tenggara.
Sibolga Kedua
Pada tahun 1954 ayah kembali bertugas di Sibolga, dan dilantik menjadi Patih menjabat d/p pada Kantor Residen Tapanuli. Sejak ayah kembali berdiam di Sibolga, pemerintahan Sistim Demokrasi Parlementer yang liberal dan demokratis yang mengatur negara ketika itu memperlihatkan ketidak stabilannya, ditandai dengan sering jatuh bangunnya kabinet yang memerintah. Setelah Indonesia meninggalkan RIS berubah menjadi NKRI dengan Sistim Demokrasi Parlementer, jabatan Perdana Menteri ketika itu dipercayakan pada Mohammad Natsir dari Masyumi. Pada bulan pertama pemerintahannya, Indonesia diterima menjadi anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang ke 60. Kemudian muncul Perang Korea yang membawa rezeki tak terduga (windfall profit) kepada Indonesia yang membuat pendapatan eksport Indonesia terus meningkat hingga tahun 1951. Natsir berpegang teguh pada konstitusi, dan menganggap Kepala Negara hanyalah lambang, dan yang akhir ini tidak menyenangkan Presiden Sukarno. Kepala Negara balik menilai Natsir lebih mementingkan ekonomi ketimbang mengutamakan kedaulatan NKRI atas Papua. Kabinet Natsir lalu terjungkal bulan September 1950 karena tidak mempunyai basis kelompok ekonomi yang kuat di Parlemen, konon lagi menghadapi politik retorika di luar Parlemen ketika itu.
Natsir kemudian digantikan Sukirman Wirosandjojo (April 1951 hingga Feb.1952), lalu Wilopo (April 1952 hingga Juni 1953). Kabinet Sistim Demokrasi Parlementer yang liberal lalu silih berganti. Pada bulan Juli 1953 Ali Sastroamidjojo dari PNI menjadi Perdana Menteri memimpin kabinetnya yang pertama. Karena Partai Masyumi, Partai Sosialis, dan partai-partai lainnya memilih menjadi oposisi saat itu, PNI yang berkuasa terpaksa minta bantuan PKI. Dalam pidatonya yang mempesona publik tanggal 9 Nopember 1954 di Palembang, Kepala Negara tidak menunjukkan sikap netral terhadap semua partai. Ia menunjukkan keberpihakan pada Kabinet Ali Sastroamidjojo dari PNI dengan jelas, membuat Kepala Negara terjun kedalam kampanye salah satu partai menjelang pemilu.
Pada tanggal 28 April 1954, lima orang Perdana Menteri: Indonesia, India, Pakistan, Birma (Myanmar), dan Srilangka, melaksanakan Konferensi Colombo di ibukota Srilangka (Ceylon) untuk membahas perdamaian dunia. Lalu pada tanggal 29 Desember 1954, kelima Perdana Menteri juga melangsungkan Konferensi Bogor di Indonesia. Dalam Konferensi akhir ini juga dibahas persiapan untuk menyelenggarakan Afro-Asian Conference (Konferensi Asia-Afrika) gagasan Sir John Kotelawala dari Srilangka.
Lalu pada tanggal 18 hingga 24 April 1954 berlangsung Konferensi Asia-Afrika di Bandung, Indonesia. Konferensi yang dihadiri 25 negara dari Asia dan Afrika kekuatan Non-Blok itu, namun terdapat pula utusan-utusan berbagai negara dari Blok Timur, antara lain: Vietnam Utara dan RRT.
Pada tanggal 16 April 1955 di Sibolga lahir anak ayah yang kedua, perempuan, dan diberi nama: Dirwani Evy Yuswita Harahap. Kegembiraan kembali meliputi keluarga dari kahanggi, anakboru dan mora dari perantauan hingga ke kampung halaman.
Jakarta
Ayah bekerja di Sibolga sebagai Patih setahun lamanya, lalu tahun 1955 dipindahkan lagi, kali ini ke Jakarta, menjadi Patih d/p Biro Pemerintahan Umum Pusat (Kantor Keresidenan) di Jakarta. Karena di tempat tugas yang baru belum terdapat rumah, maka ayah sekeluarga untuk sementara berdiam di “paviliun” Hotel Dharmanirmala di jalan Segara, yang berubah menjadi jalan Veteran. Kini Hotel Dharmanirmala yang  berdampingan dengan Istana Negara di jalan Merdeka Utara itu telah tiada, karena di atasnya oleh Orde Baru telah dibangun Kantor Presiden Suharto bernama: Bina Graha. Baru setahun kemudian ayah sekeluarga mendapat rumah tempat berdiam di jalan Hang Tuah VIII/8 kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Pada bulan Juli 1955, Kabinet Ali Sastroamidjojo dari PNI yang pertama mundur, dan digantikan Kabinet Burhanuddin Harahap dari Masyumi. Kabinet ini dilantik tanggal 12 Agustus 1955 lalu menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) pertama setelah Indonesia merdeka. Pemilu yang bertujuan menyusun anggota Konstituante (Dewan Pembentuk Undang-Undang Dasar) berlangsung tanggal 29 September 1955, sesungguhnya telah dipersiapkan Kabinet Ali Sastroamidjojo sebelumnya. PKI, meski telah melaksanakan pemberontakan Madiun tujuh tahun silam, berhasil memperoleh tempat keempat dalam pengumpulan suara, setelah: Masyumi, NU, dan PNI.  
Keberhasilan PNI dan PKI mengumpulkan suara dalam pemilu ketika itu, tidak diragukan lagi karena keberpihakan diunjukkan Kepala Negara pada keduanya. Untuk menanggulangi permasalahan internal Angkatan Darat, tanggal 7 Nopember 1955 Presiden Sukarno kembali melantik Kolonel A. H. Nasution menjadi KSAD lalu menaikkan pangkatnya menjadi Mayor Jenderal. Dalam suasana hubungan Indonesia dengan Blok-Barat yang semakin renggang, Perdana Menteri Burhanuddin Harahap lalu membatalkan isi perjanjian KMB yang membidani berdirinya RIS, untuk membersihkan semua unsur yang berbau hubungan Indonesia-Belanda, dalam melanjutkan perjuangan pembebasan Irian Barat yang independen.
Pada tanggal 20 Agustus 1955 Kabinet Burhanuddin Harahap mengusulkan Rancangan Undang-Undang Darurat Anti-Korupsi, disingkat RUUDAK. “Orang-orang kaya mendadak harus membuktikan bahwa dirinya tidak korupsi”, demikian ucapan Burhanuddin yang dikutip Harian Indonesia Raya saat itu. Menteri kehakiman Lukman Wiriadinata ketika itu menambahkan pula, bahwa undang-undang itu akan menganut pembuktian terbalik yang berlaku surut. Dikatakannya lagi, bahwa Pengadilan Khusus Anti-Korupsi akan dibentuk disejumlah kota: Jakarta, Surabaya, Medan dan Makassar. Akan tetapi RUUDAK usulan Kabinet Parlementer ini ditolak Presiden Sukarno, dan Kabinet Burhanuddin Harahap lalu tumbang, dan terpaksa mengembalikan mandatnya kepada Kepala Negara tanggal 24 Maret 1956.
Kemudian Ali Sastroamidjojo diangkat kembali menjadi Perdana Menteri untuk yang kedua kalinya pada bulan Maret 1956. Akan tetapi Kabinet inipun tidak mampu bertahan lama, dan pada bulan Maret 1957 harus mengembalikan mandatnya pada Kepela Negara. Keenam Kabinet RIS sistim Demokrasi Parlementer yang liberal kala itu hanya dapat bertahan tidak lebih dari 6 (enam) tahun.
Untuk mengatasi kekosongan kekuasaan, maka pada tanggal 9 April 1957 Presiden Sukarno menunjuk seorang politikus non-partai: Ir. Djuanda Kartawidjaja menjadi Perdana Menteri, yang menuai protes dari kalangan masyarakat. Menurut budaya trias politika yang berlaku saat itu, seorang Presiden menunjuk seorang formatur untuk menyusun Kabinet, dan bukan menunjuk dirinya sendiri. Karena yang akhir ini merupakan pebuatan inkonstitusional yang dilakukan oleh seorang Kepala Negara dalam Sistim Demokrasi Parlementer, dan akan menjadi preseden buruk di tanah-air. Akan tetapi Kepala Negara melanjutkan perbuatannya lalu menamakan pemerintah bentukannya: "Kabinet Karya". Kabinet akhir ini memuat selain para menteri yang berasal dari wakil-wakil golongan karya yang ada, juga memuat tiga orang perwira militer aktif yang memimpin beberapa departemen.
Pada tanggal 10 Nopember 1956, berlangsung Sidang Dewan Konstituante untuk menyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUDRI) yang baru di kota Bandung. UUDRI ini untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 yang selama ini digunakan. Dengan diterapkannya Sistim Pers Terpimpin oleh Kabinet Karya pimpinan Perdana Menteri Djuanda, maka sampai akhir tahun 1957 saja telah diambil 125 tindakan pada pers di Indonesia, tahun berikutnya 95, dan selanjutnya 73, sejalan dengan larangan berpolitik yang diberlakukan pemerintah dalam mengebiri segala macam aktifitas partai politik di tanah-air, dan Konstituante pun menemui lonceng kematiannya.
Pada tanggal 18 Juli 1958 di Kebayoran Baru, Jakarta, lahir pula anak ayah ketiga, perempuan, dan diberi nama: Machnora Chairina Harahap. Kegembiraan kembali menggema membahagiakan seluruh keluarga besar: kahanggi, anakboru, dan mora, dari perantauan hingg ke kampung halaman.
Dalam perdebatan sidang Dewan Konstituante tanggal 2 Juni 1959 tentang UUDRI, ternyata tidak berhasil dicapai kata sepakat atas Piagam Jakarta. Kubu Islam terdiri dari: Masyumi, NU, PSII, dan partai berazaskan Islam lainnya menghendaki dicantumkannya kalimat,”.…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Akan tetapi kubu Pancasila terdiri dari: PNI, PKI, Murba, Partindo, dan Partai Katolik, menolaknya. Usul yang kemudian disampaikan Kabinet Karya pimpinan Djuanda Kartawidjaja dalam sidang: “agar kembali ke UUD 1945” juga ditolak dalam sidang. Walaupun demikian, Sidang Dewan Konstituante berhasil menyusun: bentuk negara, sistim pemerintahan, sistim perwakilan, hak azasi manusia, dan dasar Negara Republik Indonesia. 
Pada tanggal 19 Februari 1959, Presiden Sukarno mengusulkan dibentuknya: “Kabinet kaki empat” guna menciptakan pemerintahan yang stabil berangkat dari perolehan suara dalam pemilu; akan tetapi usul Kepala Negara ini ditolak pimpinan partai-partai: Masyumi, NU, PNI, dan PKI. Pada bulan Oktober 1959, Brigjen A. H. Nasution meresmikan pergantian istilah teritorial di lingkungan Angkatan Darat. Istilah “Teritorium” lalu diganti dengan “Komando Daerah Militer”, disingkat “Kodam” dan dipimping seorang Panglima Kodam, disingkat "Pangdam". Ke 7 (tujuh) Teritorium dalam lingkungan Angkatan Darat diresmikan tanggal 20 Juli 1950 silam, kemudian diubah menjadi 16 (enam belas) Kodam yang terdapat di setiap Propinsi. Selain dari itu dalam setiap Propinsi terdapat lagi “Komando Resort Militer”, disingkat “Korem”; untuk setiap Keresidenan; “Komando Daerah Militer ”, disingkat “Kodim”, untuk setiap Kabupaten; “Komando Rayon Militer”, disingkat “Koramil”, untuk setiap Kecamatan; Bintara Pembina Desa”, disingkat “Babinsa” untuk setiap Desa atau Kampung di nusantara. Semuanya menjadi bagian dari Doktrin Perang Wilayah Republik Indonesia. Setiap jenjang lingkungan Angkatan Darat yang berada dalam kooednasi Pangdam ini bergabung  kedalam “Musyawarah Pimpinan Daerah”, disingkat “Muspida”, bersama: Pemerintah, Kejaksaan, Kepolisian, yang terdapat di daerah.
Memerahnya warna perolitikan tanah-air mulai terlihat sejak PKI menduduki posisi keempat dalam perolehan pemilu pertama, yang membuka jalan kepada aliran kiri untuk mengembangkan pengaruh. Simpati kepada aliran kiri juga datang dari Presiden Sukarno yang mengaku sebagai seorang “revolusioner”, dan mengemukakan dalam bukunya: “Dibawah Bendera Revolusi”, disusun penulis Cindy Adams tentang hukum revolusi: ”pukul musuh kamu, bunuh atau dibunuh; penjarakan atau dipenjarakan, dan lain sebagainya”. Dan hukum revolusi juga mewarnai corak kepemimpinannya. Ajaran Sosialisme dan Komunisme datang ke nusantara dibawa orang Eropa dari negeri Belanda dan anak-anak bangsa yang bersekolah disana, dan Eropa lainnya, tiba di tanah-air masih dalam zaman Hindia Belanda. Henk Sneevliet, seorang Marxist Belanda, datang ke tanah Hindia Belanda saat itu untuk mencari pekerjaan, awalnya tinggal di Semarang. Orang kelahiran Rotterdam ini ikut mendirikan ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereinigung, atau Perhimpunan Sosial Demokratis Hindia) tahun 1914, yang beranggotakan orang-orang Belanda dan putra-putra pribumi yang antikapitalis dan menentang pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa ketika itu.
Adapun yang disebut kaum buruh di tanah Hindia Belanda ketika itu, ialah mereka yang tergabung dalam serikat-serikat Sekerja: Staat Spoor Bond (Serikat Sekerja Kereta Api); Post Bond (Serikat Sekerja Pos); Cultuur Bond (Serikat Sekerja Budaya), Suiker Bond (Serikat Sekerja Gula); Vereniging van Spoor en Tram Personeel (Persatuan Personalia Kereta Api dan Trem), dan lain sejenisnya; terbentuk masih dalam dasawarsa pertama abad ke-20. ISDV kemudian berubah menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia). Pada tahun 1920 Sneevliet lalu diutus ke kongres kedua Komunis Internasional (Komintern) di Moskow. Adapun Semaun dan Darsono serta kawan-kawannya, semula adalah anggota Serikat Dagang Islam (SDI) didirikan di Semarang tahun 1911, lalu oleh pengaruh Sneevliet keduanya meninggalkan SDI dan bergabung dengan PKI tahun 1920.
Partai berhaluan Marxis Leninis di tanah Hindia Belanda saat itu tampaknya tergoda keberhasilan rekan mereka di ibukota Kekaisaran Rusia di Petrograd tahun 1917, lalu berupaya menirukan tatacara kaum Bolshevik merebut kekuasaan. Pada tanggal 13 Nopember 1926, PKI melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda di Batavia, namun gagal. Pada tanggal 18 September 1948, dibawah pimpinan Muso, PKI mencoba lagi mendirikan Negara Sovyet Sosialis Indonesia (NSSI) yang menimbulkan banyak korban jiwa di Madiun, juga gagal. Setelah kemudian diberlakukan larangan terhadap kegiatan partai ini, Tan Malaka kemudian mendirikan Partai Murba untuk mengisi kekosongan partai politik aliran kiri pasca pemberontakan Madiun di tanah-air.
Marxisme adalah pandangan hidup materialisme dialektik historis diperkenalkan Karl Marx (1818-1883), seorang Jerman, pengikut G.W.F. Hegel. Menurut pandangan Marx, Kapitalisme itu akan runtuh dengan sendirinya lalu berubah menjadi Sosialisme oleh berbagai kontradiksi yang ada didalamnya. Di pertengahan abad ke-19 silam, ketika industri mulai bersemi di Eropa, hanya segelintir orang yang memiliki kapital atau modal yang mendapat gelar ”Kaum Kapitalis”. Sebagian besar rakyat ketika itu adalah pekerja yang mencari nafkah diberagam industri yang tengah berkembang disebut “Kaum Buruh” yang tidak memiliki apa-apa, kecuali dirinya sendiri. Pertentangan kepentingan lalu muncul antara Kaum Borjuis, nama lain Kaum Kapitalis yang hidup berkelebihan, dengan Kaum Proletar, gelar lain Kaum Buruh yang serba kekurangan dalam masyarakat yang tidak dapat dihindarkan. Kenyataan hidup dalam masyarakat ketika itu melahirkan ajaran (teori) pertentangan kelas dalam benak Karl Marx yang tersohor. Masih banyak teori lain yang kemudian dikembangkan dari model pertentangan kelas ini, atara lain: teori nilai lebih, dan lainnya, hingga dengan ajaran moral sosialis dan komunis.
Setelah Karl Marx meninggal di Inggris, para pengikutnya lalu terpecah dua, yakni: kaum Revisionisme Sosialis E. Bernstein, dan kaum Marxisme Ortodox K. Kautsky. Kelompok pertama berkembang di Jerman dan meninggalkan ajaran revolusi sosial, lalu mencari jalan damai untuk memperbaiki nasib kaum buruh lewa reformasi. Akan tetapi kelompok kedua yang hijrah ke Rusia dipimpin Vladimir Ilich Uliyanov Lenin, lalu menumbangkan Kekaisaran Ramanov negeri itu dari bulan Februari 1905 hingga Oktober 1917, dengan jalan revolusi menggerakkan kaum buruh, membentuk Kaum Bolshevik berpandangan Marxisme Leninisme.
Kaum Bolshevik lalu mendirikan Uni-Sovyet lewat persekutuan paksa (enforced union) dari sejumlah negara yang ketika itu berada dibawah kekaisaran Rusia: Rusia, Belarusia, Ukraina, dan Republik trans-Kaukasia. Kaum Bolshevik selnjutnya menurunkan Tsar Nikolas II (1868-1918) dari singgasananya di ibukota kekaisaran Petrograd, menyebabkan seluruh wilayah kekuasaan Dinasti Romanov yang telah berkuasa selama 300 tahun, dari Timur Polandia di Eropa hingga ujung utara semenanjung Korea di Asia, jatuh ke tangan mereka. Tsar Nikolas II dan istrinya berikut kelima anaknya lalu diasingkan ke Ekaterinburg di pedalaman Siberia. Disana mereka dibantai para prajurit Bolshevik tanggal 17 Juli 1918 dengan senapan mesin di kolong bangunan. Jenazah Tsar dan keluarganya dikubur pada tempat tersembunyi untuk menghilangkan jejak. W.I. Lenin sendiri tampaknya yang memerintahkan pembunuhan Tsar Nikolas II dan keluarganya, karena takut akan pengaruh Tsar yang besar di Eropa Barat yang dapat membuat revolusi kaum buruh gagal samasekali.   
Setelah Perang Dunia ke-II, Kung Chang Tang (Cina Marxis) di Asia Timur dipimpin Mao Tze Tung berhasil mengusir Kuo Min Tang (Cina Nasionalis) pimpinan Chang Kai Sek tahun 1949 dari daratan Cina yang luas itu, lalu mendirikan RRT (Republik Rakyat Tiongkok). Awalnya partai Komunis Cina dipimpin oleh Li Li San, juga beraliran Marxisme Leninisme sebagaimana rekannya kaum Bolshevik di Rusia. Namun Mao Tse Tung yang ketika itu terasing di pedalaman, berhasil menggerakkan kaum tani dan melakukan “long marsh” menuju Beijing, dan menyingkirkan Li Li San dengan para pengikut kaum Bolshevik dari negeri itu.
Berlainan dari W.I. Lenin yang melaksanakan revolusi menggerakkan kaum buruh sejalan ajaran Marx lalu mendirikan Negara Sosialis Uni-Sovyet (NSU) beraliran Marxisme Leninisme, maka Mao Tze Tung memodifikasi ajaran Marx dengan revolusi yang menggerakkan kaum tani dan mendirikan Negara Sosialis Cina (NSC) beraliran Marxisme-Maoisme. Lahir dengan demikian dua raksasa Marxis berlatar belakang revolusi yang berbeda di dunia ketika itu: Uni Sovyet dengan tirai besinya, RRC dengan tirai bambunya; keduanya lalu memisahkan diri dari masyarakat dunia lainnya di muka bumi. Perbedaan kedua negara Marxis lahir dari revolusi tampak juga pada lambang palu-arit digunakan: palu-arit NSU bertangkai batang, sedangkan palu-arit NSC bertangkai bola. Dengan penduduk diatas satu milyar, mendiami lahan di planet biru dunia yang begitu luas, tidak diragukan lagi keduanya menimbulkan ketakutan besar kepada umat manusia berpandangan: liberal, demokratis, religius, dan lainnya; termasuk beragam bangsa yang mendiami kawasan Asia Tenggara, mulai daratan hingga dengan kepulauannya.
Pada tahun 1950 Amerika Serikat melontarkan theori domino di kawasan itu. Menurut ajaran ini, satu persatu negara-negara di Asia Tenggara yang bertetangga dengan dua raksasa komunis itu akan jatuh ke pangkuan mereka bagai robohnya barisan kartu domino. Lalu dilontarkan juga theori leap frog (katak lompat) yang mengatakan, bahwa ajaran Marxis tidak hanya mencaplok negara-negara tetangga berdekatan, tetapi juga melompat langsung ke Indonesia. Umat beragama di tanah-air kebanyakan umat Islam, sudah tentu tidak bergembira menemukan kenyataan di abad ke-20 di belahan bumi ini. Begitu juga Amerika Serikat dibawah Presiden Eisenhower dengan Menteri Luar Negerinya John Foster Dulles termasuk sekutu Perang Dunia ke-II silam.
Mereka lalu menyiapkan “the policy of containment” (kebijakan membendung) kedua raksasa komunis dunia itu; karena khawatir “program ekonomi komunis” akan mengancam “program ekonomi kapitalis” dan sistim pasar bebas yang masih mengatur perekonomian sebahagian besar umat manusia di bumi. Khusus untuk Australia yang dalam Perang Dunia ke-II silam telah dihampiri Angkatan Laut Jepang sekitar laut Coral yang bermakna bahaya kuning (Jepang), dan kini akan digantikan bahaya merah (Cina).
Dunia lalu terpolarisasi kedalam dua ajaran besar kemasyarakatan yang tidak mudah didamaikan, dan semakin meruncing dalam perjalanan waktu, yakni: Liberal/Kapitalis yang demokratis dan Sosialis/Komunis yang totaliter. Dunia selanjutnya terjerumus kedalam Perang Dingin (Cold War) usai Perang Dunia ke-II; artinya meski perseteruan antara kubu Blok Barat dan kubu Blok Timur terus meningkat dan kian memanas dalam perjalanan waktu, akan tetapi masing-masing fihak masih dapat menahan diri untuk tidak menggunakan senjata yang dapat menyulut pecahnya Perang Dunia ke-III.
Kedua kubu politik-ekonomi yang mengatur kesejahteraan umat manusia di bumi ketika itu saling bertatapan dan memperlihatkan kegeram, dan menunjukkan taring masing-masing terha-dap lawan. Di satu fihak kaum liberal/kapitalis berwajah demokratis pimpinan Amerika Serikat dan sekutu Perang Dunia ke-II silam dengan ekonomi pasar berpangkalan di Washington, terhimpun dalam Dunia Pertama (First World), dikenal dengan Blok-Barat; adapun lawannya kaum sosialis/komunis bertampang totaliter pimpinan Uni-Sovyet dan sekutu Perang Dunia ke-II silam, dengan ekonomi komando bermarkas di Moskow terkumpul dalam Dunia Kedua (Second World), dikenal dengan Blok-Timur.
Adapun negara-negara di planet biru ini yang tidak ingin bergabung dengan kubu pertama, maupun kubu kedua, menjadi kelompok negara netral yang bergabung kedalam Kubu Tidak-berfihak yang dikenal dengan Non-Blok. Istilah lain yang juga kerap digunakan untuk kubu akhir ini ialah Dunia Ketiga (Third World), dan Indonesia adalah salah satu negara yang menjadi anggota kubu ini. Dalam suasana Perang Dingin, tidak dapat dihindarkan munculnya percikan api yang menyulut Perang Panas. Perang akhir ini lalu timbul ketika Korea Utara pimpinan Kim Il Sung menyerang Korea Selatan Selatan yang dipimpin Syngman Rhee tahun 1950 yang membakar semenanjung Korea. Uni-Sovyet dan China dari Blok-Timur langsung membantu Korea Utara, sedangkan Amerika Serikat dengan sekutunya dari Blok-Barat membantu Korea Selatan. Kedua blok mengerahkan persenjataan masing-masing, sekaligus menguji teknologi persenjataan mutakhir yang mereka hasilkan untuk menaklukkan lawan. Perang Korea yang berlangsung 3 tahun, merenggut tidak kurang dari 2 juta orang, dengan kerugian harta benda yang tidak terhitung banyaknya hingga tercapainya gencatan senjata, menyebabkan tanah semenanjung itu terbagi dua pada lintang 38° Utara hingga saat ini.
Perang Korea menyebabkan Amerika Serikat dan sekutunya membangun Lingkaran Pertahanan Timur,  mulai dari kepulauan Aleutina di sebelah Utara Jepang (Perjanjian AS-Jepang 8 September 1951), lalu  kedua sekutu Amerika Serikat: Korea Selatan dan Taiwan di sebelah Timur, dilanjutkan dengan Filipina (Perjanjian AS-Filipina 30 Agustus 1951) di sebelah Selatan; untuk membendung penyebaran ajaran sosialis dan komunis. Di belahan bumi Selatan ada pula perjanjian: Australia, New Zealand dengan United States, disingkat ANZUS tanggal 1 September1951; begitu juga antara Amerika Serikat dengan dua sekutunya di kawasan Asia Tenggara, yakni: Thailand dan Persekutuan Tanah Melayu tahun 1948.
Pada tanggal 6 September 1963, muncul negara federasi Persekutuan Tanah Melayu di bekas tanah jajahan Inggris yang sebelumnya berstatus protektorat, terdiri dari: semenanjung Malaya, Sarawak, Sabah, Brunei, dan pulau Singapura. Setelah usulan berdirinya negara federasi disetujui di Inggris tanggal 9 Juli 1963, maka pada tanggal 31 an 1957 lahir Kerajaan Malaysia di bekas protektorat Inggris terdiri dari: semenanjung Malaya, Sarawak, Sabah, dan Singapura. Negara Federasi yang memperoleh kemerdekaan secara damai dari Inggris dipimpin Raja dengan gelar: Yang Dipertuan Agung: Sultan…….. dengan Perdana Menteri: Tunku Abdul Rachman Putra Al-Haj.
Pada tahun 1958 ayah diagkat menjadi Bupati, Kepala Bagian Pemerintahan Umum di Kantor Walikota, bagian dari Kantor Gubernur Jakarta Raya.
Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Sukarno menganggap Malaysia yang berdiri tidak melalui sebuah revolusi rakyat adalah boneka Inggris dan Amerika di Asia Tenggara, lalu pada tanggal 17 September 1963 memerintahkan pemutusan hubungan diplomatik. Dalam konferensi Tingkat Tinggi (KTT) berlangsung di Manila dari tanggal 31 Juli hingga Agustus 1963, Kepala Negara menuntut dilaksanakannya plebisit untuk mengetahui keinginan rakyat yang sebenarnya di Kalimantan Utara. Akan tetapi tim yang dipimpin Michelmore dari Amerika Serikat yang diutus Sekretaris Jenderal PBB U Thant, rupanya tidak memuaskan Indonesia ketika itu. Maka pada tahun berikutnya Presiden Sukarno mencanangkan perintah Dwikora dengan sasaran ganda: memperhebat ketahanan revolusi bangsa Indonesia, dan membantu revolusi rakyat-rakyat di: Malaya, Singapura, Sabah, Sarawak, dan Brunei, dan konfrontasi dengan Malaysia pun dimulai. Kerajaan Malaysia terdiri dari 13 negara bagian saat itu, sembilan diantaranya dipimpin para Sultan, lalu dengan cepat membangun perekonomian untuk mensejahterakan kehidupan rakyatnya.
Pada tanggal 9 Agustus 1965, dengan tidak disangka-sangka pulau Singapura dengan rakyatnya dikeluarkan dari Kerajaan Malaysia, dan sejak dari saat itu pulau kecil ini berubah menjadi sebuah Republik Singapura yang berdaulat dipimpin Presiden ………dengan Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Negara pulau yang kecil ini juga dengan sangat cepat membangun perekonomian negaranya yang mensejahterakan kehidupan rakyatnya.
Dalam periode 1950-an, sebetulnya telah tampak jelas dua corak kepemimpinan di Indonesia ketika itu. Pertama, kepemimpinan administratif (pragmatic minded), dilaksanakan orang-orang yang memiliki keahlian di berbagai bidang: hukum, pemerintahan, ekonomi, managemen, pembangunan, dan lain sebagainya, termasuk kecakapan berbahasa asing. Golongan ini sangat menitikberatkan pembangunan sosial dan ekonomi menyimak keadaan bangsa Indonesia ketika itu, dan dapat menerima kedatangan tenaga dan modal asing yang akan membantu mewujudkannya. Kedua, kepemimpinan massa (solidarity maker) yakni orang-orang yang pandai menghimpun massa lalu membakar semangatnya. Selain pandai membakar semangat, mereka juga terampil mengumbar janji dan harapan muluk akan hari depan bangsa, meski samasekali tidak tahu bagaimana mewujudkannya. Yang disebut akhir ini juga pandai menemukan kambing hitam, seandainya beragam janji dan harapan yang telah disampaikan, lalu dibawah kepemimpinan mereka nantinya tidak menjadi kenyataan. Kepemimpinan pertama melahirkan kaum teknokrat yang berfikir cerdas dan pragmatis, sedangkan kepemimpinan kedua melahirkan kaum demagog, para orator pengumbar emosi  para pendukung yang hanya membodohi rakyat.
Oleh luapan emosi kemerdekaan dalam era 1950-an, corak kepemimpinan pertama dikalahkan corak kepemimpinan kedua, menyebabkan semua kebijakan politik industri yang berpihak kepada peanaman modal asing menurut syarat ditetapkan, tidak memperoleh dukungan Presiden Sukarno, menyebabkan timbulnya sentimen anti-modal asing yang berlebihan di Indonesia ketika itu. Lebih dari 160 perusahaan milik Belanda yang terdapat di Indonesia berikut: rumah, tanah, bisnis, dan lain sebagainya, klalu dinasionalisasi pemerintah dan pengamanannya diserahkan begitu saja kepada militer. Sebagai akibatnya di sejumlah lapangan minyak, muncul pengelolaan usaha yang diorganisir dan dioperasikan oleh kelompok-kelompok pekerja bersenjata, menamakan diri “lasykar minyak” .Mereka adalah bekas para pekerja lapangan dan pengilangan minyak di zaman Hindia Belanda silam.
Pada tahun 1956 ladang-ladang minyak Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) Langkat dan Pangkalan Brandan di Sumatera Utara berganti nama menjadi: Tambang Minyak Sumatera Utara (TMSU), lalu: P.T. Eksploitasi Tambang Minyak Sumatera Utara (ETMSU), kemudian: P.T. Permina (Perusahaan Minyak Nasional), dan tanggal 20 Agustus 1968 menjadi: P.T. Pertamina (Pertambangan Minyak Nasional). Di Sumatera Selatan, ladang-ladang BPM juga berganti nama jadi: Perusahaan Minyak Republik Indonesia (PERMIRI), di Jawa Tengah ladang minyak Nederlandsche Indische Aardolie (NIAM) berganti menjadi: Tambang Minyak Nasional (PTMN). Akan tetapi gemuruh nasionalisasi ternyata berakhir buntung, karena orang-orang pribumi yang menguasainya tidak mempunyai keahlian yang diperlukan untuk melola tambang minyak bermodal besar. Prokontra lalu mencuat kepermukaan antara: kubu yang ingin mengembalikan perusahaan minyak kepada Belanda menurut perjanjian KMB, dengan kubu yang menentangnya dan ingin meneruskan nasionalisasi.
Perkembangan selanjunya Belanda setuju untuk membagi kepemilikan perusahaan minyak kepada  Indonesia lalu mengutamakan tenaga lokal di lapangan. Akan tetapi di Sumatera Selatan tahun 1955, Belanda mengganti nama ladang minyak dari: Nederlansche Koloniale Petroleum Mij (NKPM) berkilang di Sungai Gerong menjadi: “Stanvac Petroleum” milik Amerika Serikat. Begitu juga ladang minyak: Nederlansche Pacific Petroleum Mij (NPPM) di Riau menjadi “Caltex Pacific”, dan ladang minyak BPM di Sumatera Selatan dan sekitarnya yang berkilang di Pelaju menjadi: “Shell Petroleum”. Dengan demikian ketiga perusahaan minyak milik Belanda ini lalu mendapat perlindungan hukum Amerika Serikat, salah sebuah negara yang membidani berdirinya RIS di KMB, menjelang penyerahan kedaulatan dari Belanda silam. Ketiga perusahaan minyak Belanda itu menjadi milik Amerika Serikat lalu berkembang menjadi raksa-sa-raksasa minyak dunia, meninggalkan P.T. Pertamina yang tetap raksasa kerdil.
Koninkleijke Paketvaart Maatschapeij (KPM), perusahaan pelayaran Belanda direbut oleh kaum buruh Marhaen lalu dinasionalisasi menjadi PELNI (Pelayaran Nasional Indonesia). Keadaan perusahaan ini pun  juga tidak banyak berbeda dari Pertamina setelah dinasionalisasi.
Ketika Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memimpin kabinet yang pertama tahun 1954, Indonesia lalu membuka hubungan diplomatik dengan Uni-Sovyet. Negara yang bersuara abstain dalam resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949 menjelang dilangsungkannya RTC (KMB) di Den Haag, ibukota negeri Belanda, memiliki nama dalam bahasa Rusia bersingkatan: CCCP atau SSSR, dan kepanjangan: Soyuz Sovietskih Sotsialisticheskih Respublik. Langkah Indonesia ini menyebabkan Amerika Serikat dan  sekutunya berpaling dari pemerintah Indonesia lalu mendukung gerakan separatis di sejumlah daerah di tanah-air untuk memperjuangkan otonomi daerah.
Pada tanggal 19 Maret 1956 Mr. Assaat Datuk Mudo menyampaikan sebuah pidato dalam Kongres Importir Nasional di Surabaya, dan mengemukakan “Orang-orang Cina sebagai suatu golongan eksklusif menolak masuknya orang-orang lain….terutama di bidang ekonomi. Mereka begitu eksklusif sehingga dalam prakteknya bersikap monopolistis…”. Pidato yang menimbulkan sentimen anti-perusahaan asing lainnya, berujung dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) 10 tahun 1959, oleh Departemen Perdagangan. Langkah yang ketika itu dinamakan “Gerakan Asaat”, atau Pribumisasi, mendapat sambutan baik dari seluruh penjuru tanah-air, terutama di pulau-pulau: Jawa, Sumatera, Lombok, dan Sulawesi. Peraturan ini mengakibatkan dilarangnya orang asing melakukan perdagangan eceran dari kabupaten kebawah. Orang-orang asing lalu diharuskan melakukan alih usaha kepad orang-orang Indonesia asli. Yang dimaksud orang asing dalam PP 10 ini ialah orang-orang Tionghoa, karena lebih dari 90% pedagang kecil  terdaftar di kantor Departemen Perdagangan ketika itu ialah para pedagang Cina. Terhitung tanggal 1 Januari 1960, para pedagang Tionghoa harus sudah menutup usaha perdagangan mereka.
Peraturan yang dipaksakan dengan kekuatan militer membuat orang-orang Cina dan keturunannya terpaksa hengkang dari Indonesia untuk kembali ke tanah leluhurnya. Pemerintah RRT (Republik Rakyar Tiongkok) terpaksa mengirim kapal-kapal laut untuk menjemput ratusan ribu Hoakiau yang akan meninggalkan tanah-air untuk kembali ke tanah asalnya. Banyak dari mereka lahir dan dibesarkan di sejumlah tempat di nusantara terlanjur ikut dibawa pulang ke Cina kemudian kecewa karena setibanya disana tidak mendapatkan apa yang sebelumnya mereka harapkan, lalu ingin kembali lagi ke Indonesia.
Pada tanggal 20 Juli 1956 Dr. Mohammad Hatta mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden RI. Surat Khabar PKI: Harian Rakyat, menurunkan komentar di bagian pojok surat khabarnya, lalu menulis: “Dwi Tunggal, tanggal tunggal tinggal tunggal”.
Dalam reuni perwira TNI AD berlangsung tanggal 19 Nopember 1956 di Bandung, para delegasi dari tujuh teritorium korps Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD) menyaksikan keadaan Angkatan Darat yang terbelah kedalam beragam kubu. Banyak perwira dalam reuni yang mengemukakan ketidak senangan melihat kenyataan saat itu, seperti: ketimpangan ekonomi antara pusat dan daerah, defisit anggaran belanja negara berjalan, inflasi melambung menerobos angka 33%, dan daya beli Rupiah yang semakin melemah saat itu. Keretakan dalam tubuh AD periode 1956-1957 mengakibatkan munculnya polarisasi kekuasaan antara pusat dan daerah. Dilantiknya kembali Mayor Jenderal A. H. Nasution memimpin Angkatan Darat oleh Presiden Sukarna setelah sebelumnya diberhentikan, tidak mendapat sambutan para perwira sebagaimana saat peristiwa 17 Oktober 1952 silam, karena ia dianggap tidak akan dapat memperbaiki kesejahteraan para perajurit yang mendiami tangsi-tangsi militer kumuh. Bahkan ia dirtuduh terlibat mengutus pasukan untuk menangkap para panglima yang melakukan barter dan smokel (penyeludupan) untuk memperbaiki kesejahteraan prajurit di daerah ketika itu.
Lima hari usai reuni, sejumlah opsir telah berada di Padang. Letnan Kolonel Ventje Sumual harus terbang ke Singapura dan dengan speedboat menuju Pakanbaru untuk bergabung pada tanggal 10 Desember 1957. Ia disambut Kolonel Maludin Simbolon, Letnan Kolonel Ahmad Husein, Muhammad Natsir, Sumitro Djojohadikusumo di Sungai Dareh, di perbatasan Sumatera Barat dengan Jambi. Lalu bergabung juga Syafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap. Dewan Perjuangan lalu dibentuk pada tanggal 10 Januari 1958. CIA dari Amerika Serikat dan Singapura lalu mengirim paket persenjataan lewati perairan menuju ke Padang.
Dewan Perjuangan kemudian menyusun Piagam Perjuangan, dan menuntut dibubarkannya Kabinet Ir. Haji Djuanda di Ibukaota Jakarta dalam waktu 5 x 24 jam. Dewan menuduh Presiden Sukarno telah bertindak inkonstitutional dengan mengangkat dirinya sebagai formatur Kabinet, dan memecat Kol. Maludin Simbolon dan Let. Kol. Ahmad Husein. Dewan Perjuangan lalu membentuk Pemerintah Tandingan, dinamakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, disingkat PRRI yang dipimpin Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara dan Herman Nicholas Ventje Sumual sebagai panglima.
Lahir dengan demikian Dewan Banteng pimpinan Letnan Kolonel Ahmad Husein, Komandan Resimen Sumatera Tengah yang termasuk kedalam Teritorium I / Bukit Barisan. Dewan-dewan lain lalu bermunculan mewakili Teritorium masing-masing, seperti: Dewan Garuda di Sumatera Selatan pimpinan Kol. Barlian, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Hasanuddin di Sulawesi Selatan, Dewan Manguni di Sulawesi Utara, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan; untuk menyatukan semua daerah yang bergolak dari Sumatera hingga Sulawesi. Mereka kemudian mengambil alih birokasi pemerintah pusat di daerah masing-masing yang tidak lagi mampu mengatasi keadaan.
Maka pada tanggal 2 Maret 1957, di Kantor Gubernur Makassar, Sulawesi Selatan, H.N. Ventje Sumual selaku Panglima PRRI memproklamirkan berdirinya Permesta (Perjuangan Semesta) yang anti-komunis dengan otonomi yang luas bertujuan untuk membangun daerah guna kesejahteraan rakyat. Ia lalu mengumumkan keadaan darurat perang, dan memerintahkan otonomi kepada seluruh daerah untuk mempercepat pembangunan bangsa. Piagam proklamasi ditandatangani 52 orang terdiri dari para tokoh -tokoh sipil dan militer saat itu.
Pada tanggal 15 Februari 1958, di Bukit Tinggi dikumandangkan pemerintah PRRI berhaluan anti-komunis yang menuntut desentralisasi dengan otonomi daerah yang dipimpin Kolonel Maludin Simbolon. Pemerintah PRRI bermaksud untuk mensejahterakan kehidupan rakyat yang telah demikian lama terlantar sejak dilancarkannya revolusi tahun 1945 silam. Pemberontakan daerah terhadap pemerintah pusat di Jakarta, selain dipicu oleh ketidak puasan daerah terhadap kabinet Ali Sastroamidjojo yang amat sentralistis dan mementingkan pulau Jawa saat itu, juga sikap pemerintah pusat yang membiarkan rakyat di daerah-daerah yang berpotensi ekonomi baik untuk dikembangkan tetap dibiarkan dalam kemiskinan. Minimnya anggaran pembangunan yang dialokasikan pemerintah pusat pada daerah-daerah membuat yang akhir ini melegalkan berbagai peraktek penyeludupan. Selain dari itu, juga ketidak senangan daerah-daerah terhadap PKI yang semakian berhasil mendekati pusat kekuasaan di ibukota Jakarta.
Ketegangan antara pusat dan daerah selanjutnya diwarnai semakin mengerasnya tuntutan kaum regionalis (orang-orang di daerah) terhadap kaum sentralis (orang-orang di pusat), lalu mengajukan tuntutan sebagaimana yang tertera dalam Piagam Palembang tanggal 7 - 8 September 1957. Dalam pertemuan yang dihadiri: Maludin Simbolon, Ahmad Husein, Zulkifli Lubis, Barlian, dan Ventje Sumual, diajukan tuntutan: 1. Dikembalikannya dwitunggal Sukarno-Hatta, dan mengangkat kembali Dr Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri. 2. Menurunkan KSAD A.H. Nasution lalu para stafnya diganti. 3 Perkembangan kaum komunis harus dibatasi dengan undang-undang. 4. Pembentukan Komando daerah Sumatera berpusat di Padang. 5. Menjalin hubungan politik dan ekonomi yang lebih erat dengan Permesta.
Pada tanggal 30 Nopember 1957 malam, di Jakarta muncul usaha pembunuhan terhadap Presiden Sukarno saat menghadiri pertemuan orangtua Sekolah Dasar di Perguruan Cikini jalan Cikini Raya 74/76 Jakarta, namun gagal, namun banyak menimbulkan korban anak sekolah. Ketegangan antara pusat dan daerah yang semakin meningkat saat itu, menyebabkan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda terpaksa turun tangan untuk menengahi, akan tetapi tidak berhasil, dan perang saudara antara pusat dan daerah tidak dapat lagi dihindarkan.
Pada tanggal 17 April 1958 pemerintah pusat mengirim angkatan perang ke daerah bergolak di pantai Barat pulau Sumatera, lalu menyerang kota Padang dari laut dan udara, dan berhasil menduduki kota itu. Pada tanggal 4 Mei, masih dalam tahun yang sama, pasukan pusat memasuki kota Bukit Tinggi, ibukota PRRI, menyebabkan para pemimpinnya melarikan diri ke hutan untuk bergerilya. Tak kurang dari 30.000 orang anggota pasukan gugur hingga PRRI berhasil ditaklukkan. Para pemimpin PRRI tertangkap, tidak sedikit yang menyerahkan diri, dan akhirnya mendapat perlakuan amnesti dan abolisi dari Kepala Negara.
Pada tahun 1958, atas perintah yang dikeluarkan Jaksa Agung, lima orang anggota Dewan Konstituante dari partai Masyumi ditahan, karena mengecam konsep Demokrasi Terpimpin yang diperkenalkan Presiden Sukarno, karena mereka khawatir akan menjadi jalan menuju pemerintahan diktator. Peristiwa itu mengawali senjakala penegakan hukum di Indonesia, karena Jaksa Agung telah menjadi alat kekuasaan pemerintah. Dewan Nasional, disingkat Denas, kemudian dibentuk dipimpin bersama oleh Presiden Sukarno dengan Ruslan Abdulgani sebagai menteri penerangan saat itu. Denas dibentuk untuk mengimbangi Dewan Kontituante, dan para anggotanya diambil dari keempat kepala staf angkatan bersenjata dan wakil-wakil golongan fungsionaris serta utusan daerah. Denas lalu berkembang menjadi Golongan Karya yang berfungsi menandingi Dewan Konstituante. Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit yang membubarkan Dewan Konstituante, dan Indonesia lalu kembali ke UUD 1945. Dengan demikian zaman Demokrasi Parlementer kemudian berakhir di nusantara.
Pada tanggal 4 Oktober 1957, umat manusia dikejutkan oleh keberhasilan Uni-Sovyet meluncurkan sebuah satelit ke angkasa yang diberi nama “Sputnik I”. Benda angkasa pertama buatan manusia itu berhasil keluar dari gaya tarik medan gravitasi bumi, dan mengorbit pada ketinggian 480 km diatas permukaan laut. Satelit buatan manusia yang mengitari bola bumi itu melaju dengan kecepatan 7,5 km per detik dan menyiarkan isyarat-isyarat radio bernada pendek.
Perang Dingin antara Blok-Barat dan Blok-Timur memasuki usaha Amerika Serikat dan sekutunya membendung meluasnya ajaran komunisme ke seluruh penjuru dunia. Di Eropa: Jerman Timur, Polandia, Cekoslovakia (kini Ceko dan Slovakia), Rumania, dan negara-negara Baltik (Estonia, Latvia, Lituania), yang dibebaskan dari cengkraman Nazi Jerman dalam Perang Dunia ke-II silam, dengan sendirinya masuk kedalam Blok-Timur yang dipimpin Uni-Sovyet. Adapun negara-negara Eropa diluar yang disebutkan diatas, lalu menjadi sekutu Amerika Serikat di daratan Eropa, karena telah bekerjasama dengan negara Paman Sam dalam Perang Dunia ke-II silam, menjadi benteng anti-komunisme di belahan bumi Barat  tergabung kedalam NATO (North Atlantic Treaty Organization), sekaligus menjadi perisai untuk menahan penyebaran ajaran komunisme di bagian bumi itu. Di laut tengah yang menjadi sekutu negara Paman Sam ialah: Turki dan Yunani.
Parameter pertahanan Asia Tenggara tidak lupa juga dibentuk oleh Amerika Serikat saat itu. Pada tahun 1956 Vietnam Utara (Tonkin) yang beribukota Hanoi pimpinan Ho Chi-Minh giat mendukung gerilyawan Vietcong sekitar Annam (Cochin Cina) yang menyusup ke Vietnam Selatan dengan ibukotanya Saigon. Hal ini menyebabkan Vietnam Utara berseteru dengan Vietnam Selatan yang dipimpin Ngo Dinh Diem. Awalnya kedua negeri itu tidak ubahnya semenanjung Korea, yang menurut kesepakatan Geneva terbelah dua pada lintang 17° Utara. Akan tetapi setelah berperang 19 tahun lamanya, pasukan Vietnam Utara berhasil masuk ke ibukota Vietnam Selatan Saigon, lalu mengusir pasukan Amerika Serikat angkat kaki meninggalkan bagian negeri Vietnam itu dengan memalukan saat negeri Paman Sam dipimpin oleh Presiden Nixon.
Republik Sosislis Vietnam (RSV) lalu diproklamirkan tahun 1976, terdiri Vietnam Utara dan Vietnam Selatan, dengan ibukotanya Hanoi. Seiring kejatuhan Vietnam Selatan, maka menurut teori domino, Laos pun akan jatuh ke pangkuan aliran Marxis. Keberhasilan Vietnam Utara memembebaskan Vietnam Selatan, membuat negeri Paman Ho itu menjadi latah perang, lalu menyerang kerajaan Kamboja membuat tanah Khmer bertekuk lutut kepada Vietnam, dan menjadikannya negara boneka pad tahun 1979.
Pada tahun 1972 terjadi kudeta (coup d’état) di Birma yang saat itu dipimpin Perdana Menteri U Nu. Jenderal Ne Win yang kemudian berkuasa, lalu memproklamirkan negaranya menjadi: Republik Sosialis Uni Birma (RSUB), lalu mengganti nama negerinya menjadi: Myanmar. Negara Pagoda yang awalnya sebuah negara demokrasi lalu berubah menjadi negara otoriter dipimpin junta militer berkepanjangan hingga kini. Adapun negara-negara kawasan Asia Tenggara yang belum jatuh ke pangkuan aliran Marxis ketika itu, baik Marxis-Leninis model Uni-Sovyet maupun Marxis-Maois model RRT di kawasan itu menurut theori domino, hanyalah tinggal: Thailand dan Malaysia. Adapun Singapura masih menjadi bagian dari Malaysia ketika itu.
Zaman Demokrasi Terpimpin
Sejak dikumandangkannya dekrit 5 Juli 1959 oleh Presiden Sukarno di Jakarta dan kembali ke UUD 45,  Negara Kesatuan Republik Indonesia beralih dari Sistim Demokrasi Parlementer (SDP) menjadi Sistim Demokrasi Terpimpin (SDT). Istilah lain yang juga kerap diguna-kan ketika itu ialah: Sistim Guided Democracy (SGD). Adapun tujuan kembali ke UUD 45 ialah untuk melenyapkan sifat liberal dari Sistim Demokrasi Barat yang mendominasi pemerintahan ketika itu, yang oleh Kepala Negara dianggap bertentangan dengan azas permusyawaratan untuk mufakat terkandung dalam ideologi negara Pancasila, dan kepribadian bangsa Indonesia. Dalam Sistim Demokrasi Terpimpin, Presiden adalah seorang "Perdana Menteri", sekaligus "Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia", dan "Pemimpin Besar Revolusi Bangsa Indonesia", sehingga seluruh kekuasaan yang ada dalam negara berada disatu ditangan, yakni di tangan: Kepala Negara.
Kabinet Kerja I
Kabinet sistim Demokrasi Terpimpin mengawali pemerintahannya dari tanggal 10 Juli 1959 hingga 18 Februari 1960, juga besifat Presidensial. Kekuasaan negara berada ditangan Kepala Negara: Presiden Sukarno. Adapun program kerja kabinet baru ini ialah:
1. Menyediakan sandang dan pangan untuk rakyat dalam waktu sesingkat-singkatnya,
2. Menyelenggarakan keamanan rakyat dan desa, dan
3. Melanjutkan perjuangan menentang imperialisme ekonomi dan imperialisme politik.
Dalam kongres pemuda berlangsung di Bandung pada bulan Februari tahun 1960, Kepala Negara menyampaikan dalam sebuah orasinya tentang Manifesto Politik, disingkat Manipol, perjuangan bangsa Indonesia menentang kapitalisme dan imperialisme ekonomi bersarikan USDEK, sebagaimana yang terjabar dibawah ini:
U - Kembali ke Undang Undang Dasar 1945,
S - Sosislisme Indonesia,
D - Demokrasi Terpimpin,
E - Ekonomi Terpimpin,
K- Kepribadian Nasional, atau Kebudayaan Terpimpin.
Pada kesempatan yang sama ditegaskan pula oleh Kepala Negera, bahwa UUD 1945 adalah juga Konstitusi 1945, dan Konstitusi Proklamasi. Presiden selanjutnya mengatakan bahwa NRI (Negara Republik Indonesia) telah berubah menjadi NSI (Negara Sosialis Indonesia). Sejumlah surat khabar ibukota lalu berkomentar agar teriakan: “Merdeka!” diganti saja dengan “Usdek!” Pidato Kepala Negara tanggal 17 Agustus 1960 berjudul “Djalannya Revolusi Kita” lalu ditetapkan menjadi pedoman pertama pelaksanaan Manipol.
Dalam pemerintahan Demokrasi Terpimpin, pada bulan Agustus 1959, muncul sanering kedua mata uang Rupiah yang beredar, sembilan tahun setelah yang pertama. Setiap uang kertas Rp.1000,- lama, dipangkas nilainya menjadi Rp.1,- baru. Sisanya menjadi pinjaman konsolidasi negara kepada rakyatnya yang akan dikembalikan kelak. Devaluasi Rupiah kedua yang membuat pendapatan orang berpenghasilan tetap tinggal seperseribunya, membuat hidup rakyat di nusantara menadi sengsara. Meski awalnya harga-harga barang dan jasa di pasaran turun, akan tetapi karena langkah moneter akhir ini juga tidak diiringi jaminan mata uang memadai, maka harga bahan kebutuhan pokok dan jasa lalu meningkat. 
Pada bulan Oktober 1958 bantuan Covert Operation (Operasi Terselubung) kepada PRRI/ Permesta berdatangan dari: Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan sekutu lainnya. Negara-negara ini membantu PRRI/Permesta untuk membendung meluasnya pengaruh komunis yang mengajarkan Sistim Ekonomi Komando (SEK) corak Sosialis/Komunis yang otoriter di Asia Tenggara, dan bertolak belakang dengan Sistim Ekonomi Pasar (SEP) corak Liberal/Kapialis lagi demokratis yang telah lama berkembang di kawasan ini.
Selain dari itu, ajaran komunis juga menuntut dibentuknya pemerintah totaliter atas nama negara dalam satu negara yang dilaksanakan satu partai, bahkan oleh satu orang, yang menjalankan kekuasaan tanpa adanya kritik, bahkan tanpa adanya partai opisisi. Pandangan politik demikian jelas bertolak belakang dengan prinsip liberal demokratis yang telah lama berkembang di banyak negara maju termasuk juga di negara-negara berkembang lain, dimana kekuasaan berada di tangan partai terpilih secara demokratis oleh rakyat, dan dibenarkan adanya kritik terhadap partai berkuasa, begitu juga hadirnya partai-partai oposisi dalam negara yang merdeka.
Tak pelak lagi para sekutu Amerika Serikat dan Inggris di Asia Timur, mulai dari Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura, dikerahkan membantu pemberontakan PRRI / Permesta dengan: uang, senjata, personalia, dan latihan militer. Pelabuhan-pelabuhan: Dumai, Painan, lalu dimanfaatkan; termasuk danau Singkarak untuk disinggahi kapalterbang air Catalina. Covert Operation Sekutu langsung dikendalikan dari Teluk Subic di Filipina, dan pulau Singapura. Dengan timbulnya pemberontakan PRRI, maka angkutan jalan-raya dari Medan ke Padang, begitu juga sebaliknya, harus masuk kedalam konvoi (pengawalan) angkatan perang untuk keselmatan di jalan. Pengawalan militer lalu menjadi pemandangan umum sehari-hari jalan darat di pulau Sumatera.
Memburuknya hubungan Indonesia dengan Amerika dan sekutunya membuka peluang politik luar negeri Uni-Sovyet berkembang ke negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia ketika itu. Hal ini semakin  tampak jelas setelah meninggalnya Josif Vissarinovich Stalin tahun 1953, yang digantikan Perdana Menteri Malenkov, kemudian Khruschev. Uni-Sovyet tidak lagi memandang Indonesia sebagai pengikut setia Amerika Serikat dan sekutunya. Masa itu digunakan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dari Indonesia membuka hubungan bilateral lewat misi diplomatik. Sejalan kebijakan baru yang diambil pemerintah, PKI yang beraliran Marxisme-Leninisme ketika itu mendapat peluang untuk mengembangkan pengaruhnya di tanah-air, yang pada masa sebelumnya hampir tidak mungkin dapat diraihnya.
Perjuangan untuk pembebasan Irian Barat dilancarkan pemerintah Indonesia lewat Majelis Umum PBB dari tahun 1954 hingga tahun 1958, akan tetapi tidak mendatangkan hasil. Indonesia kemudian menghentikan langkah diplomatik di badan dunia itu, lalu menggantikannya degan konfrontasi militer lewat Trikora (Tiga Komando Rakyat) guna mengenyahkan Belanda dari bumi Irian Barat (Papua). Pada tanggal 6 April 1956, Indonesia melaksanakan pembelian senjata dari sejumlah negara Eropa Timur: Polandia, Cekoslovakia, Yugoslavia, dan berusaha mengubah peta kekuatan militer di ujung Timur kepulauan Nusantara. Indonesia yang semula pembeli senjata setia dari Blok-Barat, lalu mengalihkan pembelian snjata ke Blok-Timur, termasuk Uni-Sovyet. Front Nasional untuk Pembebasan Irian Barat kemudian dibentuk tahun 1958, dan dilanjutkan dengan mobilisasi kekuatan masyarakat (sosial) di tanah-air untuk membebaskan Irian Barat dari penjajahan Belanda.
Dalam perjuangan pembebasan Irian Barat, pemerintah menuntut rakyat Indonesia untuk mengencangkan ikat pinggang dan menjalani hidup sederhana. Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Sukarno memperlihatkan dengan jelas sikap bermusuhan terhadap negara-negara, yang menurut penilaian Kepala Negara berhaluan kapitalis dan liberal demokratis. Pemerintah Indonesia kemudian menamakan negara-negara tersebut: “The Old Established Forces”, disingkat “Oldefos”. Sebagai akibatnya perdagangan export ke negara-negara tersebut, begitu juga import kebutuhan pokok dari negara-negara tadi, mengalami gangguan yang menimbulkan kelangkaan sandang pangan dalam negeri. Sebaliknya hubungan dagang dengan negara-negara berhaluan sosialis dan komunis, yang menurut penilaian Kepala Negara saat itu sebagai negara-negara: “The New Emer-ging Forces”, disingkat “Nefos”, tidak mendatangan manfaat ekonomi berarti kepada rakyat di tanah-air, karena orang-orang sosialis dan komunis di negara mereka hidup sederhana. Kebijakan yang diambil pemerintah mengalihkan hubungan diplomatik dari Blok-Barat ke Blok-Timur, tidak mendatangkan perbaikan ekonomi kepada bangsa, hanya memperbaiki hubungan persahabatan antar bangsa dan budaya semata.
Dalam zaman pemerintahan Demokrasi Terpimpin, kaum intelektual, pemimpin masyarakat, cendekiawan, mahasiswa, dan lainnya diharuskan mengikuti indoktrinasi yang diselenggarakan Departemen Penerangan RI, ketika itu dipimpin Haji Dr.Ruslan Abdulgani. Mereka diminta untuk menelaah dan mendalami kandungan buku TUBAPI (Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi) yang dikeluarkan pemerintah lewat Departemen Penerangan, sebagai pengamalan Ideologi Pancasila yang telah digariskan pemerintah. Tubapi selanjutnya ditetapkan menjadi satu-satunya rujukan bagi anak bangsa menulis karya ilmiah, seperti: skripsi, makalah, menyusun ceramah dan pidato, dengan mengutip butir-butir ajaran politik yang telah ditentukan pemerintah berlaku untuk seluruh Indonesia; dan melarang intelektual bangsa mempelajari buku-buku keluaran Amerika Serikat dan sekutu-sekutu baratnya beraliran liberal demokratis dan kapitalis, karena oleh pemerintah Indonesia saat itu dianggap tidak sesuai dengan ajaran Pancasila yang telah menjadi ideologi Bangsa Indonesia, juga kepribadian Bangsa Indonesia. Menteri Penerangan R. I. yang telah haji ketika itu lalu mendapat gelar: Haji Jubir Usman, singkatan: Haji Juru Bicara Usdek Manipol.
Buku-buku terbitan Uni-Sovyet dan negara-negara sosialis lain yang berbahasa Inggris kemudian membanjiri toko-totko buku tanah-air menggantikan literatur negara-negara liberal kapitalis dan demokratis Barat yang sebelumnya beredar dan banyak digunakan sebagai rujukan berbagai tulisan. Datang pula membanjiri pasar buku-buku murah kertas dari koran dari anak benua India.
Kabinet Kerja II
Kabinet Kerja pemerintah zaman Demokrasi Terpimpin ini berlangsung dari 18 Februari 1960 hingga 6 Maret 1962, juga bercorak Presidentil. Adapun program kerjanya, ialah sebagai berikut:
1. Menyediakan sandang pangan untuk rakyat dalam waktu sesingkat-singkatnya,
2. Melaksanakan pengamanan rakyat dan negara,
3. Meneruskan perjuangan menentang imperialisme ekonomi dan imperialisme politik untuk  
    merebut Irian Barat.

Berbagai kejadian penting yang muncul dalam masa kerja kabinet ini. Pada tanggal 24 Juni 1960 berhasil dibentuk DPR-GR (DPR-Gotong Royong). Antara tanggal 10 Nopember hingga Desember 1960 Sidang Umum MPRS (MPR Sementara) telah berlangsung, melahirkan Manifesto Politik Republik Indonesia yang menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara, sekaligus Garis-garis Besar Politik Pembangunan Nasional Semesta Tahap Pertama 1961-1969. Sidang Umum MPRS juga mengangkat Presiden Sukarno menjadi Pemimpin Besar Revolusi Bangsa Indonesia; sekaligus Mandataris MPRS.

Perjuangan pembebasan Irian Barat dilanjutkan kembali setelah berbagai usaha yang dilakukan lewat PBB tidak membawa hasil. Pada tahun 1960 Presiden Soekarno menyampaikan pidato di PBB berjudul “To Build The World Anew” (Membangun Dunia Kembali) untuk merombak organisasi Badan Dunia itu. Pada tanggal 17 Agustus 1960 Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan negeri Belanda, dan negeri Kincir Angin itu lalu mengirim kapal induk: Karel Doorman ke perairan Papua. Pada tanggal 4 Maret 1961 Republik Indonesia, dengan cara berhutang, menandatangani perjanjian pembelian senjata terbesar dengan Uni-Sovyet untuk memperkuat jajaran angkatan perangnya.
Di Jakarta dibentuk KOTI (Komando Operasi Tertinggi) berpusat di Istana untuk merebut Irian Barat (Papua), langsung dibawah komando Presiden Sukarno. Dan, sejak tanggal 14 Agustus 1961 seluruh kepanduan yang terdapat di tanah-air, mulai Padvinderij lahir di zaman Hindia Belanda silam hingga dengan gerakan kepanduan muncul setelah Indonesia merdeka dilebur menjadi satu, dan oleh Presiden Sukarno dinamakan: “Pramuka”.
Di Beograd, ibukota negara Yugoslavia silam, sejak tanggal 1 hingga 6 September 1961 berlangsung Konferensi Tingkat Tinggi Negara-negara Non-Blok yang diprakarsai sejumlah negara, yakni: Indonesia, Yugoslavia, India, Mesir dan Afganistan.
Pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta, Presiden Sukarno mengumandangkan perintah Tri Komando Rakyat, disingkat Trikora, berisikan:
1. Gagalkan pembentukan negara-boneka Papua buatan Belanda,
2. Kibarkan sang merah-putih di Irian Barat
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum untuk mempertahankan kemerdekaan dan tanah-air.
Dan pada tanggal 2 Januari 1962, Komando Mandala untuk Pembebasan Irian Barat dibentuk dan dipimpin Jenderal Soeharto berkedudukan di Makassar. Pada tanggal 15 Januari 1962 pecah perpertempuran laut antara Angkatan Laut Republik Indonesia dengan Angkatan Laut Kerajaan Belanda di Laut Arafuru. PKI yang mendapat banyak kesempatan berperan dalam perjuangan pembebasan Irian Barat, tidak lupa pula mengorganisir tokoh-tokoh negara Blok-Timur untuk bertandang ke Indonesia, seperti dari Hongaria dan Polandia. Mereka datang untuk untuk menyaksikan dari dekat konfrontasi Indonesia melawan Belanda di ujung Timur nusantara.
Selain menyiagakan ketiga angkatan perang di dalam negeri, pemerintah juga melaksanakan mobilisasi umum dan menyelenggarakan latihan militer terhadap terhadap masyarakat sipil, khususnya mahasiswa dan pemuda. Resimen mahasiswa dibentuk di kota-kota besar diseluruh nusantara, dan latihan militer diberikan kepada mereka, sehingga banyak waktu perkuliahan tersita untuk melaksukan latihan baris-berbaris kala itu. Latihan militer lalu berkembang dari menjadi latihan tempur ke medan perang diluar kota. Selain dari itu terdapat  sejumlah anggota resimen mahasiswa ibukota yang dikerahkan untuk melakukan kegiatan kemasyarakatan lain antara lain: mencacar warga untuk menghindarkan wabah berkembang, dan lainnya. Mobilisasi umum kemudian merambah jajaran pegawai negeri sipil Republik Indonesia tersebar kedalam departemen dari pusat hingga daerah. Tidak hanya laki-laki yang memperoleh latihan militer, tidak terkecuali kaum wanita dari pusat hingga daerah tidak lupa dikerahkan, menirukan tatacara negara-negara sosialis dan komunis dari Blok-Timur yang amat populer di Indonesia ketika itu.
Pada tahun 1961 Amerika Serikat melantik Presiden baru, dan Dwight D. Eisenhour lalu digantikan John F. Kennedy. Presiden negeri Paman Sam yang baru mengembangkan politik luar negeri baru pula, berpaling dari yang dilaksanakan oleh pendahulunya. Pada bulan Februari tahun berikutnya, ia mengutus adiknya Jaksa Agung Robert Kennedy berkunjung ke Indonesia, lalu ke Negeri Belanda, untuk meminta kedua negara yang berseteru berunding kembali. Pada bulan September 1961, persoalan Irian Barat menjadi agenda pokok perbincangan dalam Sidang Umum PBB.
Pada tanggal 12 April 1961, umat manusia dikejutkan oleh keberhasilan Uni-Sovyet mengirim warga negaranya Yuri Alekseyevich Gagarin meninggalkan bumi menuju orbit satelit mengitari bumi dengan kendaraan Vostok I. Ia merupakan orang pertama di bumi yang menjadi antariksawan penjelajah angkasa. Gagarin memerlukan waktu 1 jam 29 menit untuk mengitari bumi sekali, dan merupakan orang pertama yang berhasil melawat ke luar angkasa.
Kabinet Kerja III
Sebagaimana halnya dengan dua sebelumnya, kabinet ini memerintah antara tanggal 6 Maret 1962 hingga tanggal 13 Nopember 1963, juga bersifat Presidentil; adalah hasil pengelompokan anggota-angota kabinet yang pendahului. Adapun program kerjanya juga tidak berbeda, yakni:
1. Menyediakan sandang pangan untuk rakyat dalam waktu sesingkat-singkatnya,
2. Melaksanakan pengamanan rakyat dan negara,
3. Meneruskan perjuangan menentang imperialisme ekonomi dan imperialisme politik guna
    membebaskan Irian Barat.
Dalam UUD 1945 tercantum, bahwa: DPA, DPR dan MPR adalah badan-badan negara yang berada diluar pemerintah, dan anggotanya tidak diperkenankan untuk duduk dalam kabinet. Akan tetapi dalam sistim Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) dengan semua kekuasaan berada di tangan Kepala Negara, Presiden Sukarno dengan mudah menempatkan: Ketua MPRS, Ketua DPRGR dan Wakil Ketua DPA menjadi Wakil Perdana Menteri. Kemudian mengangkat: Ketua Mahkamah Agung, Wakil Ketua MPRS dan Wakil ketua DPRGR menjadi setingkat Menteri, lalu didudukan dalam Kabinet. Keputusan kontrversial yang diambil Kepala Negara ini membuka peluang PKI masuk kedalam jajaran pemerintah sekaligus berwenang mengambil keputusan politik.
Pada tahun 1962, pengaruh Uni-Sovyet di Indonesia telah sangat besar ketimbang di saat awal dibukanya hubungan diplomatik oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo tahun 1957 silam. Dan bantuan yang didatangkan negara Beruang Merah itu ke Indonesia telah pula melampaui seluruh yang pernah diterima Indonesia dari negeri Paman Sam, baik ekonomi maupun peralatan perang, guna mengimbangi kekuatan militer Belanda di Irian Barat yang didukung Amerika Serikat dan sekutunya, antara lain: “Jeep Rusia” buatan pabrik “GAZ” dari Uni-Sovyet saingan “Jeep Willis” bikinan Amerika Serikat; yang semakin banyak berkeliaran di jalan-raya ibukota. 
Presiden Amerika Serikat John Fitzgerald Kennedy mengungkapkan foto udara yang diambil pesawat penginta U2 pada tanggal 22 Oktober 1962. Foto udara itu memperlihatkan pembangunan instalasi peluru kendali milik Uni-Sovyet yang sedang dibangun di Kuba. Negeri Paman Sam itu lalu memblokir wilayah laut dan udara di gugusan kepulauan Antilla Besar yang terdapat di laut Karibia, dan memberi ultimatum 6 hari kepada Perdana Menteri Uni-Sovyet Nikita Khruschev yang berkusa di Kremlin, Uni-Sovyet, atau akan dihancurkan, lalu melahirkan krisis pulau Kuba. Perang Dunia ke-III sudah berada diambang pintu. Meski Uni-Sovyet membantah instalasi peluru kendali itu diarahkan ke jantung Blok-Barat, akan tetapi setelah blokade berlangsung dua pekan lamanya, Uni-Sovyet kemudian mengalah dan menyatakan bersedia menarik instalasi peluru kendali yang terpasang di Kuba. Meskipun Presiden Fidel Castro menolak  keterlibatan Amerika Serikat dalam pengawasan darat pembongkaran instalasi peluru kendali di pulau itu, akan tetapi negeri Paman Sam itu terus melakukan pengawasan dari udara dan laut berbulan lamanya terhadap gugusan pulau yang ada di laut Karibia itu.
Keamanan dalam negeri Negara Republik Indonesia menunjukkan kemajuan dengan tertangkapnya tokoh DITII Karto Suwiryo di Jawa Barat pada tanggal 4 Juni 1962.
Perseteruan Indonesia dengan Belanda atas Irian Barat terus meruncing, memaksa PBB menurunkan Ellsworth Bunker, seorang diplomat Amerika Serikat, mendesak kedua fihak yang berseteru berunding kembali. Kali ini, perundingan antara Menteri Luar negeri Indonesia: Dr. Subandrio dengan Duta Besar Belanda Dr. H.J. van Royen berlangsung di New York ditengahi Pejabat Sekretaris PBB U Thant, dan berhasil mencapai kesepakatan segi-tiga: Belanda, PBB, dan Indonesia, tanggal 16 Agustus 1962. Di tanah-air, Presiden Sukarno pada tanggal 19 Nopember 1962 mengumumkan pencabutan dekrit “Negara dalam keadaan bahaya” sehubungan dengan perjuangan pembebasan Iran Barat.
Perundingan New York berhasil menelurkan resolusi Majelis Umum PBB tanggal 21 September 1962 yang memuat kesepakatan tiga fihak, yakni:
1. Pada tanggal 1 Oktober 1962, bendera PBB dikibarkan berdampingan dengan bendera Belanda. Sejak    saat itu pemerintahan di Irian Barat dilakukan UNTEA (United Nation Temporary Executive Authority,  atau Badan Pelaksana Pemerintahan PBB) berkedudukan di Hollandia (Jayapura) Papua Barat.
2. Pada tanggal 31 Desember 1962, Dwi Warna dikibarkan mendampingi bendera PBB, sedangkan Sitiga Warna, atau Bendera Belanda, diturunkan.
3. Pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintah UNTEA menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada pemerintah Indonesia, dan Bendera PBB di Hollandia diturunkan.
Sejumlah negara anggota PBB mengutus waki-wakill negara mereka berangkat ke Irian Barat untuk bertugas di UNTEA menjadi pejabat sementara dari PBB. Dari Indonesia, Departemen Dalam Negeri R.I. mengutus M. Diri Harahap. Pada tahun 1962 ayah sebagai pejabat UNTEA menjadi kepala Daerah Keresidenan Hollandia di Papua. Setelah penyerahan kedaulatan istilah Hollandia lalu digantikan dengan  Jayapura.

Ayah kembali dari Irian Barat tahun 1963, dan bertugas lagi di Kantor Residen d/p Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota, melanjutkan tugas sebelumnya.
Pada tanggal 24 Agustus 1962, muncul siaran televisi hitam-putih yang pertama di Indonesia, di ibukota Jakarta jam 14.30 WIB, bertepatan pembukaan pesta olehraga Asian Games IV, dipancarkan langsung dari gelanggang olahraga Senayan. Pesawat penerima televisi digunakan masyarakat menangkap siaran ketika itu berasal kebanyakan dari dalam negeri hasil rakitan Leppin, sebuah badan kerjasama antara Departemen Penerangan dan Departemen Perindustrian Indonesia saat itu. 
Berbagai peristiwa yang telah mewarnai keadaan dalam negeri ketika itu, antara lain: pemasyarakatan Manipol Usdek. Manipol Usdek lalu dijadikan acuan untuk semua kegiatan kenegaraan. Ada lagi gerakan Nasakomisasi (Nasionalisme-Agama-Komunisme) yang terus digalakkan. Lalu terjadi pula penyelewengan terhadap UUD 1945 yang sangat kentara, salah satu dari padanya keputusan Sidang Umum MPRS tanggal 15 hingga 22 Mei 1963 yang menetapkan Presiden Sukarno/Mandataris MPRS menjadi Presiden seumur hidup. Padahal, dalam UUD 1945 jelas tersurat: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahya dapat dipilih kembali. Tidak ada samasekali pasal yang memberi kewenangan ada seseorang untuk menjadi Presiden seumur hidup.
Gerakan anti Blok-Barat berikut antek-anteknya yang oleh pemerintah Republik Indonesia dinilai imperialis keika itu makin keras disuarakan. Sebagai akibatnya Kedutaan Besar R.I. di Kuala Lumpur didemonstrasi massa. Massa di Indonesia lalu membalas, dan Kedutaan Besar Persekutuan Tanah Melayu (Malaysia dan Singapura) dan Kedutaan Besar Inggris Raya di Jakarta saat itu didemonstrasi massa pula. Bahkan Kedutaan Besar Inggris Raya yang terdapat di Bundaran Hotel Indonesia kemudian dibakar oleh para demonstran sampai habis.
Perdana Menteri Uni-Sovyet Nikita Khruschev menunjuk Valentina Vladimirovna Tereshkova seorang wanita dari negeri Beruang Merah untuk dijadikan astronaut. Dan pada tanggal 16 Februari 1963 ia mengejutkan dunia dengan mengendarai Vostok 6 terbang ke angkasa luar. Ia menjadi wanita pertama dunia yang mengorbit pada ketinggian satelit mengitari planit biru. 
Berbagai langkah yang diambil pemerintah corak politik mercusuar menyebabkan Rupiah semakin merosot nilainya terhadap Dollar Amerika. Daya beli masyarakat berpendapatan tetap: pegawai negeri begitu juga swasta termasuk rakyat akan kebutuhan bahan pokok, seperti: sandang, pangan, dan lain sebagainya yang didatangkan dari luar negeri kian melemah. Untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang terus memburuk di tanah-air, pemerintah Indonesia lalu memperkenalkan Deklarasi Ekonomi, disingkat Dekon, yang disusul Peraturan Pemerintah (PP) 26 Mei 1963. Akan tetapi kedua langkah yang diambil Presiden Sukarno ketika itu tidak memperlihatkan perbaikan diharapkan, dan ekonomi Indonesia semakin terpuruk, inflasi membengkak, dan kehidupan rakyat memburuk dalam perjalanan waktu.
Games of the New Emerging Forces pertama, disingkat Ganefo I, berlangsung di Jakarta tanggal 22 Nopember 1963, diikuti 48 negara dari: Asia, Afrika, dan Amerika Latin, untuk menandingi Olimpiade Internasional. Dalam rencananya, Ganefo I akan disusul dengan Ganefo II dan seterusnya, karena pemerintah Indonesia saat itu menganggap Olimpiade Internasional hanya mementingkan negara-negara kaya yang oleh pemerintah Indonesia ketika itu dicap sebagai negara-negara imperialis dan neokolonialis.
Seruan “Go to Hell with your Aid” krmudian dilontarkan pemerintah Indonesia terhadap negara-negara berhaluan ekonomi liberal kapitalis. Begitu juga seruan “Berdiri diatas kaki sendiri, disingkat berdikari” kepada anak-anak bangsa. Kedua langkah ini merugikan bangsa Indonesia, karena Sumber Daya Manusia (SDM) di dalam negeri lalu terisolasi dari kemajuan ilmu dan teknologi negara-negara maju, termasuk perkembangan masyarakatnya. Juga terhalang sejumlah kerjasama antar negara/bangsa lebih maju, baik: sosial, ekonomi, dan budaya, dari Indonesia di: Eropa dan Amerika Utara, sebagaimana yang dinikmati negara-negara sekawasan: Malaysia, Thailand, Singapura, Taiwan dan Korea Selatan. Kelima negara ini dengan cepat memberantas buta huruf, lalu lewat pendidikan dan pelatihan SDM mengembangkan perekonomian negara dan memajukan kesejahteraan rakyatnya. Beberapa darinya bahkan berhasil memperlihatkan kepada dunia, bahwa SDM bermutu tinggi dapat mengalahkan keterbatasan Sumber Daya Alam (SDA) untuk mendatangkan devisa.
Untuk mengalihkan perhatian rakyat dari kegagalan pemerintah Demokrasi Terpimpin membangun ekonomi untuk mensejahterakan rakyat yang dijanjikan dalam revolusi fisik tahun 1945 silam, dikumandangkanlah seruan: “revolusi Indonesia belum selesai”; juga dalam berbagai pidato kenegaraan presiden Sukarno tidak lupa mengingatkan rakyat akan adanya pertentangan kubu: “New Emerging Forces”, disingkat “Nefos”, dimana: Indonesia bersama negara sosialis, komunis, dan Non-Blok lainnya ketika itu berada, melawan kubu” “Old Esta-blished Forces”, disingkat “Oldefos”, ialah negara-negara yang menurut penilaian pemerintah Indonesia saat itu liberal dan kapitalis serta neokolonialis.“Mana dadamu Oldefos ini dadaku Nefos”, adalah materi bahasan konfrontatif yang selalu dikumandangkan Kepala Negara dalam pidato  berapi-api untuk menagih simpati rakyat Indonesia oleh pemimpinnya, sekaligus menuntut kesediaan anak-anak bangsa tetap mengencangkan ikat pinggang dan mendukung kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia ketika itu.
Apabila dalam zaman perjuangan kemerdekaan periode 1945 hingga 1950 silam, kelangkaan: pangan, sandang, dan lainnya, disebabkan blokade Belanda pada teerhadap kapal dagang yang bergerak keluar masuk perairan nusantara, maka kelangkaan yang sama muncul satu dekade sesudahnya lebih disebabkan kebijakan pemerintah Indonesia dengan sistim Demokrasi Terpimpin yang terpenjara dalam logika politik “Nefos melawan Oldefos” tidak berkesudahan. Indonesia hanya bersedia melakukan hubungan dagang dengan negara-negara berlabel Nefos, istilah lain dari negara-negara Blok-Timur berhaluan sosialis dan komunis, tetapi menolak melakukan kegiatan ekonomi dengan negara-negara Oldefos, alias negara-negara Blok-Barat berhaluan liberal kapitalis yang dituduh imperialis ekonomi ketika itu.
Inilah logika politik pemerintah Indonesia di zaman Demokrasi Terpimpin dengan Deklarasi Ekonomi  bersemboyan “berdikari”, yang berdampak buruk pada kehidupan rakyat, membuat bangsa Indonesia setidaknya tertinggal satu generasi mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi dunia, antara lain: managemen, ekonomi, pemerintahan, kemasyarakatan, demokrasi, dan lainnya yang berkembang di dunia ketika itu. Langkah percepatan perlu diambil untuk mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia di beerbagai bidang agar dapat setara dengan negara sekawasan.
 Pada tangal … …, di Jakarta, berlangsung “ First Conference of the New Emerging Forces”, disingkat “Conefo I”, dihadiri 36 negara Asia-Afrika termasuk RRT (Republik Rakyat Tiongkok) dan RPA (Republik Persatuan Arab), untuk menandingi PBB di New York, Amerika Serikat. PBB kecil gagasan pemerintah Indonesia itu dirancang bermarkas di Senayan, Jakarta. Conefo I akan disusul dengan Conefo II dan seterusnya, sebagaimana sidang-sidang umum PBB yang bermarkas di kota dagang terbesar Amerika Serikat yang tersohor itu.
Hubungan Indonesia dengan negara-negara sosialis dan komunis selanjutnya kian mesra dalam perjalanan waktu, ini ditandai kunjungan sejumlah tokoh negara-negara Blok-Timur saat itu, antara lain: Presiden Antonin Novotny dari Chekoslowakia, Presiden Liu Shao Chi dari RRC, Presiden Dr. Heinrich Lübke dari Jerman Timur. Juga bertandang ke Indonesia Pangeran Noodom Sihanouk dari Kamboja, dan tidak terkecuali Presiden Woroshilov dari Uni-Sovyet. Kunjungan tokoh-tokoh Blok-Timur yang oleh Indonesia dinilai tergolong Nefos saat itu, melahirkan aliansi politik bernama: “poros Jakarta - Pnom Penh - Beijing - Pyong Yang”, yang ketika itu amat tersohor di belantika pepolitikan tanah-air.
Pada tanggal 22 Nopember 1963 Presiden J. F. Kennedy dari Amerika Serikat tertembak di Dallas, negara bagian Texas, ketika berkendaraan atap terbuka mengelilingi pusat kota. Jiwanya tidak dapat diselamatkan, menyebabkan Wakil Presiden Lyndon Baines Johnson naik ke tampuk kekuasaan negeri Paman Sam itu.
Pada tahun 1964, Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser dan Perdana Menteri Nikita Khruschev dari Uni-Sovyet meresmikan pembangunan bendungan Aswan di Sungai Nil, Afrika. Selain untuk irigasi, bendungan dibangun juga untuk membangkitkan tenaga listrik. Pembuatan bendungan mendapat protes dari dalam dan luar negeri, karena membuat banyak peninggalan arkeologi zaman urba di Mesir terendam air. Para pencinta arkheologi purba dari dalam dam luar Mesir harus bekerja keras mencari dana guna menyelamatkan situs-situs berharga peninggalan kemanusiaan dari tergenang air.
Pada tahun 1964 Perdana Menteri Nikita Khruschev terguling dari pemerintahan Uni-Sovyet. Ia lalu digantikan Leonid Ilyich Brezhnev bersama Alexey Kosygin. Dalam masa kepemimpinan L.I. Brezhnev dari tahun 1964 hingga hingga 1982, rakyat negara Beruang Merah itu memasuki zaman keemasan, karena jutaan blok apartemen bermunculan diseantero negeri. Mobil mewah merek “Lada” buatan dalam negeri juga mulai berkeliaran di jalan-jalan raya negeri Tirai Besi itu. Begitu juga: leari pendingin, televisi, dan mesin cuci, serta lainnya menjadi perlengkapan rumah tangga rakyat banyak yang dapat dibeli di pasar.
Radio transistor juga dapat dibeli di negeri itu, sehingga siaran radio "Liberty" dan "Voice of Amerika" yang populer di dunia ketika itu yang menerobos angkasa negeri itu dapat didengarkan rakyat dimana-mana kalau frekuensinya sedang tidak diacak. Dalam pemerintahan Leonid Brezhnev tidak diperkenankan lagi polisi rahasia membuka paksa pintu-pintu rumah rakyat negeri itu sebagaimana di zaman Josef Stalin masih berkuasa. Akan tetapi ia mengeluarkan “doktrin Brezhnev” terkenal yang mengatakan, akan mengintervesi  setiap negara satelit Uni-Sovyet di Eropa Timur yang berkuasa mendapat ancaman dari luar negeri.
Kabinet Kerja IV
Sebagaimana dua kabinet pendahulunya, Kabinet ini berlangsung antara 13 Nopember 1963 hingga 27 Agustus 1964 juga bercorak Presidentil, adalah hasil pengelompokan kembali anggota-anggota Kabinet sebelumnya. Adapun program kerja Kabinet ini, ialah:
1. Sandang pangan,
2. Pengganyangan Malaysia,
3. Melanjutkan pembangunan.


Pada tanggal 12 Desember 1964, ayah, ibu, uak Baginda Soripada, dan Uda Zainuddin, pada tengah malam jam 03.00, mengantarkan abang Rusli Harahap ke lapangan terbang Kemayoran untuk berangkat ke Rusia melanjutkan sekolah. Penerbangan dengan pesawat IL-18 turboprop melalui rute Jakarta-Ranggon-Karachi-Tashkent-Moskow ketika itu memerlukan waktu penerbangan 24 jam. Awalnya abang Rusli Harahap perlu belajar bahasa Rusia di Baku, Azerbaijan, dan baru setahun kemudian melanjutkan ke Московский Энергетический Институт (МЭИ), atau Moscow Power Electric Institute (MPEI), di jalan Krasnokazarmennaya no. 14 Moskow. E-250, Rusia 111250. Pada bulan Juni tahun 1968 abang Rusli Harahap kembali dari Rusia dan tinggal di Jakarta lagi.


Zaman Kabinet Dwikora
Setelah Irian Barat kembali ke pangkuan NKRI, perseteruan Indonesia dengan negara-negara Oldefos, atau negara-negara yang berfaham liberal dan kapitalis serta imperialis, belum berakhir. Keakraban Indonesia dengan negara-negara Blok-Timur, yang menurut pendapat pemerintah Indonesia ketika itu tergolong Nefos, berfaham sosialis dan komunis dan totaliter justru semakin akrab dan mesra.
Pada tanggal 16 September 1963 diproklamirkan berdirinya Negara Federasi baru bernama Malaysia. Berdirinya negara ini disambut demonstrasi di Indonesia dan Philipina. Hubungan Indonesia dengan Malaysia dan Inggris menjadi genting, melahirkan konfrontasi antara Indonesia dengan bekas negara Persekutuan Tanah Melayu (Malaysia dan Singapura). Kerajaan yang baru berdiri dipimpin duet: Raja ........bergelar: Yang Dipertuan Agung dengan Perdana Menteri: Tengku Abdul Rachman Al Haj. Negara baru  berpandangan politik: Liberal/Demokratis, berada dalam hubungan tidak harmonis dengan Indonesia, ketika itu dipimpin duet: Presiden Sukarno dengan Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio berpandangan politik: Sosialis Indonesia dengan pemerintah Demokrasi Terpimpin.
Pada tanggal 3 Mei 1964 Presiden Sukarno mengumandangkan Dwi Komando Rakyat, disingkat Dwikora, yang bermuatan berikut ini:
1. Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia,
2. Bantu perjuangan revolusioner rakyat-rakyat Malaya, Sabah, dan Serawak serta Brunai, untuk
    memerdekakan diri, dan
3. Bubarkan negara Malaysia.
Pemerintah Indonesia saat itu menganggap Persekutuan Tanah Melayu yang berubah menjadi Malaysia adalah sebuah boneka Inggris dan Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara. 
 Dimana-mana dari seluruh nusantara kemudan dihimpun para sukarelawan yang bersedia dikirim ke semenanjung Malaya dan Sarawak di Kalimantan Utara, untuk mengganyang negara yang dituduh sebagai boneka imperialis itu. Para sukarelawan terdiri pula dari pasukan pilihan yang ditempatkan di daerah-daerah  perbatasan sekitar Selat Malaka dan Kalimantan Utara. Aktivitas kebanyakan diprakarsai oleh PKI ketika itu bertujuan memanfaatkan momentum untuk merebut kekuasaan manakala saatnya tiba. Perlu dicatat, PKI ketika itu tengah bergant ideologi dari Marxisme-Leninisme (model Uni-Sovyet) menjadi Marxisme-Maoisme (model Cina), karena para pemimpin yang mengendalikan partai saat itu sedang bergeser dari angkatan tua ke angkatan muda. Juga menyimak keadaan masyarakat Indonesia pada umumnya yang lebih didominasi kaum petani daripada kaum buruh; sehingga model perjuangan kaum tani dari RRT lebih cocok diterapkan ketimbang model perjuangan kaum buruh dari Uni-Sovyet silam.
Konfrontasi Indonesia melawan Malaysia berlangsung 3 tahun lamanya dan sangat melemahkan Indonesia di segala bidang. Karena menghadapi pasukan yang didatangkan dari: Inggris, Kanada, Selandia Baru, dan Australia yang memenangkan perang Dunia ke-II silam, banyak sukarelawan yang dikirim ke perbatasan gugur siasia melaksanakan perinah, karena menjumpai keadaan yang tidak seimbang di medan perbatasan. Lainnya tertangkap di Malaysia dan Singapura, dipenjarakan, diadili, dan dihukum mati. Konfrontasi Indonesia dengan Malaysia berakhir tahun 1966, setelah Presiden Sukarno terguling dari kekuasaan oleh munculnya Gerakan 30 September di Jakarta tahun 1965.
Pada tahun 1964 Presiden Diosdaldo Makapagal dari Filipina berkunjung ke Indonesia dalam rangka menggalang persatuan diantara negara-negara sesama Nefos: Asia, Afrika dan Amerika Latin untuk melawan negara-negara Odefos.
Dalam acara Lembaga Pertahanan Nasional berlangsung di Bandung tanggal 11 Mei 1965, Presiden Sukarno dengan tegas mengatakan, bahwa musuh Indonesia bukan datang dari Utara (Cina), akan tetapi dari Barat (Ingris dan Amerika). Pada bulan April tahun yang sama Perdana Menteri Cina Cho En Lay  berkunjung ke Indonesia untuk bertemu Presiden Sukarno. Tamu negara dari Utara ini mengusulkan agar di Indonesia dibentuk Angkatan ke-5, terdiri kaum buruh dan kaum tani yang dipersenjatai. Dinamakan angkatan kelima, karena menempati urutan terakhir setelah: 1.Angkatan Darat, 2.Angkatan Laut, 3.Angkatan Udara, dan 4.Angkatan Kepolisian.
Pada tanggal 30 Agustus 1965 massa berdemonstrasi didepan kedutaan besar Amerika Serikat dan menuntut agar duta besar negeri Paman Sam Marshall Green “go home” (pulang). Demonstrasi ini disusul dengan pembakaran piringan hitam lagu-lagu the Beatles, dan buku-buku ilmu pengetahuan terbitan Barat. Sastra Manifesto Kebudayaan, disingkat Manikebu, dan kebudayaan dari Amerika Serikat dan sekutunya ditolak dan peredarannya lalu dilarang di tanah-air.
Berawal surat Duta Besar Inggris Gilchrist ditujukan kepada Menteri Luar Inggris di negeri kemudian jatuh ke tangan Dr. Subandrio Menteri Luar Negeri Republik Indonesia. Surat tentang keadaan di Indonesia ketika itu menceritrakan kerjasama Inggris dan Amerika Serikat di Indonesia, memuat untaian kata: “our local army friend”. Mempercayai keaslian surat tersebut, Menteri Luar Negeri lalu menyampaikannya kepada Kepala Negara. Pada tanggal 26 Mei 1965 Presiden Sukarno memanggil Pimpinan TNI dan membacakan isi surat itu. A. Yani selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat ketika itu menjawab, tidak ada hubungan Perwira TNI dengan Inggris dan Amerika Serikat. Ia juga membantah adanya Dewan Jenderal dalam tubuh Angkatan Darat yang berada dibawah kepemimpinnya.
Maka pada malam tanggal 30 September 1965, muncul Gerakan 30 September, disingkat G30S, yang disusul penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh orang pimpinan Angkatan Darat Republik Indonesia: Menko HANKAM/KASAB, Menteri Panglima Angkatan Darat berikut para asistennya, oleh sekelompok perwira Angkatan Bersenjata simpatisan PKI aliran Marxisme/Maoisme di Jakarta. Para korban dituduh menjadi anggota Dewan Jenderal yang berusaha menggulingkan Presiden Sukarno dari kekuasaan, kemudian disiksa, dibunuh, dan dimasukkan kedalan sumur tua di Lubang Buaya untuk menghilangkan jejak. Akan tetapi Jenderal Abdul Haris Nasution yang termasuk dalam daftar penculikan, luput dari perbuatan makar yang keji itu.
Dalam siaran RRI, Letkol Untung, Komandan Balatyon Cakrabirawa Pengawal Presiden, mengumumkan Kabinet Dwikora demisioner, dan negara berada dibawah Dewan Revolusi Indonesia (DRI) yang ia pimpin  bersama empat orang wakil. Keesokan harinya Presiden Sukarno mengatakan bahwa dirinya berada dalam keadaan sehat walafiat dan mengumumkan masih memegang tampuk pemerintahan; ia juga mengatakan apa yang telah terjadi adalah hal biasa dalam sebuah revolusi. Pernyataan Presiden Sukarno, sekaligus Perdana Menteri Demokrasi Terpimpin dan Pemimpin Besar Revolusi Bangsa Indonesia, berarti Revolusi yang tlah menyengsarakan Bangsa Indonesia sejak saat itu telah memangsa anak-anaknya sendiri, sebagaimana revolusi-revolusi yang berlangsung di negeri Tirai Besi aliran Marxisme/Leninisme diktatur proletar, dan negeri Tirai Bambu aliran Marxisme/Maoisme yang  diktatur kaum tani itu.
Standing order (perintah menanti) Angkatan Darat mengatakan, bila Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani berhalangan, Panglima Kostrad dijabat Mayjen Suharto mengambil alih pimpinan, menyebabkan yang disebut akhir ini bertindak melaksanakan penumpasan. Lolosnya Jenderal Abdul Haris Nasution meruntuhkan moral Gerakan 30 September, menyebabkan yang terlibat pada makar lalu mencari perlindungan Kepala Negara. Pada tanggal 1 Oktober 1965, Presiden Sukarno memerintahkan Mayjen Pranoto Reksosamudro menjadi pelaksana harian menggantikan Letjen Ahmad Yani. Sebagai akibatnya muncul dualisme kepemimpinan dalam tubuh Angkatan Darat ketka itu. Panglima Angkatan Laut lalu mengatakan tidak mendukung G30S, begitu juga Panglima Angkatan Udara setelah meralat keterangan sebelumnya. Penyelesaian dualisme kepemimpinan Angkatan Darat lalu terpulang kepada Kepala Negara.
Merasa tidak aman di Istana Negara Jakarta, Presiden Sukarno yang memimpin sidang Kabi-net tanggal 11 Maret 1966 terburu-buru mengungsi ke Istana Bogor dengan helikopter, dan me-nyerahkan pimpinan sidang pada Waperdam II yang dijabat Dr. Leimena ketika itu. Tarik ulur antara “standing order” dengan “perintah Presiden” menggantikan Letjen Ahmad Yani menjadi agenda utama sidang saat itu. Presiden Sukarno kemudian mengeluarkan surat perintah 11 Maret 1966, disingkat Supersemar, untuk menertibkan kerusuhan Ibukota. Supersemar melahirkan lem-baga bernama:“Panglima Komando Opersi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban”, disingkat “Pangkopkamtib”. Mayjen Suharto yang menerima supersemar dari Kepala Negara menjadi Pangkopkamtib yang melaksanakan tugas menertibkan Ibukota.
Tanggapan Presiden Sukarno terhadap keadaan ibukota menimbulkan ketidak puasan masyarakat ketika itu, terutama sikap Kepala Negara terhadap para pemimpin PKI yang terlibat: G30S, penganiayaan Mesjid Jami Kanigoro di Kediri, pembunuhan di Perkebunan Negara Bandar Betsi, pembantaian di Lubang Buaya, dan lainnya. Presiden Sukarno yang meninggalkan istana dan berada di Halim Perdanakusuma ketika itu hanya memerintahkan agar fihak-fihak berseteru menghentikan gerakan, akan tetapi tidak bersedia membubarkan PKI yang telah melakukan makar. Padahal rakyat yang anti-komunis dimana-mana tengah menantikan keberpihakan Kepala Negara kepada penegakan hukum adil beradab.
G30S telah menimbulkan gempa politik dahsyat di tanah-air, menyebabkan jutaan orang terbunuh semena-mena oleh tindakan pemerintah yang membenarkan aniaya pada anak-anak bangsa di tuduh komunis golongan A ketika itu. Mengirim belasan ribu lainya ke Pulau Buru terisolasi dari masyaakat Indonesia lainnya di Maluku kepada yang disangka komunis golongan B, dan jutaan orang lainnya yang memperoleh perlakuan diskriminatif  sebagai warga negara Indonesia dalam masyarakat yang dituduh orang  komunis golongan C.
Menteri PTIP (Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan), saat itu dijabat Dr.Syarif Tayeb, tanggal 25 Oktober 1965, lalu mengundang sejumlah tokoh dan para mahasiswa anti-komunis datang kerumahnya  bertukar fikiran untuk mencari jalan keluar. Lahirlah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, disingkat KAMI, untuk menyingkirkan Perhimpunan Pergerakan Mahasiswa Indonesia, disingkat PPMI, Majelis Mahasiswa Indonesia, disingkat MMI, yang para pemimpinnya berafiliasi dengan PNI Ali-Surachman, disingkat PNI-ASU. KAMI kemudian bergerak mendukung ABRI untuk mendirikan kekuatan Orde Baru. Langkah para mahasiswa lalu disusul Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia, disingkat KAPPI; Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia, disingkat KAPI; Kesatuan Aksi Guru Indonesia, disingkat KAGI; Kesatuan Aksi Buruh Indonesia, disingkat KABI; Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia, disingkat KASI; Kesatuan Wanita Indonesia, disingkat KAWI; dan lainnya. Seluruh kesatuan aksi lalu berkembang menjadi Front Pancasila berke-dudukan di Jakarta.
Pada tanggal 28 Juli 1965 Ferry Awom dari kelompok Organisasi Papua Merdeka, disingkat OPM,  memproklamirkan di Monokwari berdirinya negara Papua Barat yang bebas dari NKRI  dan merekrut para pemuda untuk melaksanakan perang gerilya. Mandacan adalah salah satu kelompok OPM yang sangat gigih memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat.
Pada tanggal 13 Desember 1965, Kabinet Dwikora pimpinan Presiden Sukarno kembali melakukan sanering mata uang Rupiah yang beredar, enam tahun setelah penyehatan kedua. Langkah moneter drastis ini membuat uang Rp1000,- lama setara dengan uang Rp.1,- baru. Karena jaminan uang Rupiah baru tidak dibuat lebih baik dari sebelumnya, pendapatan karyawan berpenghasilan tetap kembali terpangkas, menyebabkan kehidupan rakyat Indnesia makin sengsara. Selain dari itu, ada lagi ketentuan tambahan diberlakukan, setiap penukaran uang lama dengan uang baru, dikenakan pungutan 10% untuk “Dana Revolusi”. Kini, tidak ada lagi janji pemerintah mengembalikan uang rakyat yang hangus karena sanering Rupiah yang terus menyengsarakan hidup orang banyak. Harga-harga bahan kebutuhan pokok lalu melambung, inflasi mencapai 650% dan mengarah 1000%. Sanering Kabinet Dwikora sistim Demokrasi Terpimpin ini menyulut kemarahan para mahasiswa ibukota yang langsung turun ke jalan-jalan raya untuk berdemonstrasi.
Sebagai akibat dari rangkaian sanering Rupiah yang diabil pemerintah dibawah pimpinan Presiden Sukarno: pertama 1/2, kedua 1/1000, dan ketiga 1/1000, maka uang Rupiah tahun 1965 menjadi tinggal  1/2.000.000 dari Rupiah tahun 1950, membuat para pekerja, baik pegawai negeri maupun karyawan swasta, tidak lagi mampu menghidupi keluarga dari tempat mereka bekerja mencari nafkah. Ketiga langkah sanering Rupiah dalam sistim Demokrasi Terpimpin mengantarkan ekonomi Indonesia menemui kehancuran yang menyengsarakan hidup rakyatnya dalam tempo 16 tahun, atau satu setengah dasawarsa, sesudah  kerajaan Belanda  menyerahkan kedaulatan tanah Hindia Belanda kepada RIS di Den Haag tahun 1949 yang diterima Dr. Mohammad Hatta.
Pada tanggal 10 Januari 1966, di halaman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Salemba, Front Pancasila menyampaikan “Tri Tuntutan Rakyat”, disingkat Tritura, kepada pemerintah untuk segera dijawab. Adapun ketiga tuntutan mahasiswa tadi ialah:
1. Bubarkan PKI,
2. Rombak Kabinet Dwikora, dan
3. Turunkan harga-harga bahan kebutuhan hidup rakyat.
Tiga hari setelah Tritura dibacakan, Presiden Sukarno menunjukkan kemarahan sekaligus penyesalan atas para menteri kabinet yang diteriaki para mahasiswa dengan kata-kata: “goblok dan tolol”, “suka kawin”, “menteri gundik” dan “vestin (vested interest)”. Hartini yang sedang menjadi ibunegara ketika itu tidak luput dari kecaman para mahasiswa yang sedang marah. Mahasiswa menuntut agar vestin dienyahkan karena menjadi musuh pembaharuan bangsa dan koreksi total perekonomian negara. Tiga perbendaharaan kata, masing-masing: Tritura, Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat), dan Tuhanura (Tuntutan Hati Nurani Rakyat) menjadi seruan populer yang diteriakkan massa yang berdemonstrasi saat itu. Kepala Negara rupanya tidak menghiraukan tuntutan para mahasiswa membuat kesatuan aksi menjalar ke berbagai kota lain di tanah-air.
Pada tanggal 15 Januari 1966, berlangsung sidang Kabinet Dwikora di Bogor dipimpin Presiden Sukarno  yang ketika itu dihadiri pula oleh sejumlah tokoh KAMI. Kepala Negara juga berjanji akan menyelesaikan persoalan politik di tanah-air. Pada saat itu ia juga menawarkan kepada siapa saja yang dapat memperbaiki ekonomi Indonesia yang telah hancur dalam waktu singkat.
Tuntutan mahasiswa, pelajar, masyarakat, terus menggema dalam perjalanan waktu. Keadaan Jakarta saat itu, digambarkan mingguan Amerika Serikat terkenal: Newsweek dengan ungkapan: “sixty days that shook the world” (60 hari yang mengguncang dunia). Pemerintah Indonesia ketika itu berusaha keras menekan aktivitas beragam kesatuan aksi, dan Menteri Luar Negeri R.I. selaku Waperdam I Dr. Subandrio, semakin memperlihatkan perlawanan dengan melangsungkan rapat akbar di Senayan. Ia bahkan mengatakan:“bahwa tindakan teror harus dibalas dengan teror pula”. Ucapan ini memicu bentrokan fisik antara pendukung pemerintah dengan penentangnya. Selain dari itu Presiden Sukarno juga menganjurkan dibentuk: “Barisan Sukarno”, dengan semboyan “Hidup matiku bersama Bung Karno”. Presiden Sukarno menunjuk Chaerul Saleh selaku Waperdam III menjadi pemimpin tertinggi Barisan Sukarno. Tindakan ofensif  dilancarkan Dr. Subandrio selaku Waperdam I sekaligus Menteri Luar Negeri yang didukung Presiden Sukarno saat itu, tidak menyurutkan gerakan beragam kesatuan aksi, bahkan semakin menyalakan dan menggelorakan semangat mereka memperlihatkan perlawanan.
Kabinet Dwikora Disempurnakan
Presiden Sukarno lalu mereshuffle Kabinet Dwikora, menjadikannya Kabinet Dwikora disempurnakan, lebih dikenal lagi dengan Kabinet 100 Menteri. Dalam kabinet yang disempurnakan ini terdapat seratus orang menteri yang memimpin departemen, termasuk mereka yang telah dicurigai masyarakat terlibat dalam G30S. Menjelang pelantikan Kabinet Dwikora disempurnakan tanggal 24 Februari 1966 di Jakarta, sejumlah  kesatuan aksi turun kembali ke jalan-jalan raya di ibukota. Mereka memblokade semua jalan menuju Istana yang akan dilalui para menteri, mengempeskan ban-ban mobil yang ada di sepanjang jalan raya agar tidak dapat bergerak lagi. Lahirlah “Angkatan 66” yang melakukan tindakan koreksi.
Para demonstran di ibukota kemudian bergerak memasuki kantor-kantor yang para menterinya dicurigai terlibat G30S, antara laini: Departemen Luar negeri (Deplu) dan juga lainnya. Lalu muncul istilah “DPR jalanan” di tanah-air. Rumah kediaman Waperdam I Dr. Subandrio dan para menteri dicurigai terlibat G30S tidak luput menjadi sasaran untuk dimasuki. Sejak dilangsungkannya reshuffel, kekuasaan Kabinet Dwikora  telah diganjal kekuatan fisik para demonstran secara formal di lapangan yang mewakili rakyat. Banyak menteri saat itu terpaksa menginap di guest house istana. Kegiatan belajar mengajar dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi di sejumlah kota terlantar; dan baru dapat dimulai lagi berbulan lamanya kemudian.
Pada bulan Januari 1966 berlangsung seminar KAMI di Universitas Indonesia Jakarta, untuk menemukan cara memperbaiki ekonomi bangsa yang hancur. Pada tanggal 30 Januari 1966, KAMI mempelopori massa melaksukan apel Siaga di depan gedung DPRGR guna menolak diselenggarakannya Nawaksara, yakni pidato pertanggungjawaban Presiden Sukarno dihadapan Parlemen. Dan pada tanggal 9 Februari 1966, KAMI mensponsori pawai Ampera sepanjang 4 km di kota Bandung. Pada tanggal 26 Februari 1966, Presiden Sukarno memerintahkan KAMI agar dibubarkan. Lalu pada tanggal 3 Maret 1966, Presiden Sukarno memerintahkan agar UI (Universitas Indonesia) ditutup, akan tetapi gerakan Tritura dan  aktivitas demonstrasi yang dilakukan berjalan terus. 
Sebuah tembakan dilepaskan Pasukan Pengawal Presiden didepan Istana Merdeka mengenai Arief Rachman Hakim, seorang mahasiswa Universitas Indonesia, dan menewaskannya. Di ibukota berlangsung pula pawai motor-notor besar yang menuntut dibubarkannya PKI, mendukung ABRI; lalu menuntut diturunkannya harga-harga bahan kebutuhan pokok rakyat. Pada tanggal 8 Maret 1966 demonstrasi sejenis berlangsung pula di Surabaya. Demikianlah hari-hari menegangkan berlalu satu persatu di tanah-air ditengah  dualisme kepemimpinan yang masih bertahta di ibukota negata ketika itu: disatu fihak Presiden Sukarno yang bersikeras tidak bersedia membubarkan PKI, dan difihak berseberangan berbagai kesatuan aksi dan ABRI yang tetap setia pada pancasila menuntut PKI harus dibubarkan.
Karena yang diharapkan rakyat tidak juga kunjung tiba, perjuangan lalu diarahkan ke pusat tirani kekuasaan, yakni Presiden Sukarno yang jadi benteng Orde Lama. Perlawanan berbagai kesatuan aksi akhirnya sampai pada puncaknya, ketka Presiden Sukarno memerintahkan Mayjen Suharto tanggal 11 Maret 1966 untuk menertibkan keadaan. Perintah Kepala Negara untuk menertibkan keadaan di ibukota tanggal 11 Maret 1966 itu, lalu dikenal dengan: "surat perintah sebelas Maret", disingkat "supersemar". Dan pada tanggal 12 Maret 1966, Mayjen Suharto lalu mengumumkan pembubaran Partai Komunis Indonesia berikut mantel-mantelnya dari seluruh tanah-air.
Pada tanggal 16 Maret 1966 mahasiswa, pemuda, dan pelajar, lalu menuntut DPRGR membersihkan Kabinet Dwikora dari oknum-oknum yang terlibat G30S. Maka pada tanggal 29 Maret 1966, KASI di Bandung mengatakan bahwa perjuangan mahasiswa/pelajar menjadi koreksi “Angkatan 66” terhadap “Angkatan 45” yang sudah menyeleweng dari tujuan revolusi bangsa Indonesia sebenarnya. Dan pada tanggal 27 April 1966, KASI Jakarta menolak DPA bentukan Presiden Sukarno tanggal 23 April 1966 sebelumnya. Keesokan harinya, KAMI juga menolak pelantikan DPA baru itu.
Pada tanggal 6 Mei 1966, di Universitas Indonesia Jakarta dilangsungkan Simposium Ekonomi bertema: “Menjelajah Trace Baru untuk Indonesia” dipimpin moderator Prof. Widjojo Nitisastro. Pada bulan Juni 1966 KAMI, KAPPI, KAPI dan lainnya menyelenggarakan pawai besar di seumlak kota: Jakarta, Bogor, Bandung, untuk menolak SUMPRS. Pada bulan Desember 1966 berlangsung pawai besar di Jakarta yang mendukung pernyataan ABRI untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen.
Keinginan bangsa Indonesia untuk memulihkan kembali perekonomian bangsa yang telah hancur dibawah pemerintah sistim Demokrasi Terpimpin dibawah Presiden Sukarno dengan, berangkat dari:
    1. hasil seminar KAMI bulan Januari 1966 di Jakarta;
    2. ketetapan MPRS No. XXIII/ 1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang Pembaruan Landasan  
       Kebijakan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan;
   3. seminar Angkatan Darat tanggal 11 Agustus 1966 di Bandung,
lalu menelurkan Peraturan 3 Oktober 1966 yang terkenal. Ketiganya menjadi landasan kuat bagi Kabinet Ampera untuk memulihkan dan menstabilkan kembali perekonomian bangsa Indonesia yang telah porak poranda oleh kebijakan pemerintah sebelumnya. Semboyan “Revolusi yang belum selesai” dari zaman pemerintah Demokrasi Terpimpin, kemudian diganti dengan ”Revolusi damai” dalam zaman pemerintah Demokrasi Pancasila yang baru dibangun.

Pada tanggal 3 Februari 1966, umat manusia kembali dikejutkan keberhasilan Uni-Sovyet mendaratkan  Luna-IX, sebuah pesawat angkasa di permukaan bulan, lalu mengirim gambar televsi hitam-putih batuan bulan dari lingkungan sekitarnya ke bumi.
Kendati masih menuai banyak: polemik, kritik, emosi politik, terhadap berbagai langkah dan kebijakan yang akan diambil untuk menyelamatkan perekonomian bangsa Indonesia saat itu, maka sistim Demokrasi Terpimpin berikut segala kebijakan yang ada dialamnya, dikenal dengan Orde Lama, lalu ditinggalkan dan digantikan dengan sistim Demokrasi Pancasila berikut sejumlah kebijakan baru yang akan dilaksanakan, lalu dikenal dengan Orde Baru.
Zaman Demokrasi Pancasila
1. Masa Pemulihan Sosial Ekonomi
Dengan lahirnya Supersemar, maka dualisme kekuasaan lalu lenyap, dan Mayjen Suharto membubarkan PKI dengan seluruh mantel organisasinya dari seluruh Indonesia, dan melarang penyebaran ajaran Komunis di tanah-air, terkecuali di lingkungan Pendidikan Tinggi sebagai bagian dari pengetahuan sosial, dan menangkap para Menteri yang terlibat dalam G30S. Tindakan Pangkopkamtib itu disambut masyarakat dengan gembira, mulai: mahasiswa, pelajar, pemuda hingga dengan ABRI. Para mahasiswa, pemuda, pelajar, ABRI, RPKAD, dan Kavaleri kemudian melangsungkan pawai kemenangan di ibukota Jakarta.
Setelah keadaan ibukota kembali tenang, satu-satunya musuh yang dihadapi bangsa dan negara saat itu  memerangi inflasi untuk memulihkan lagi perekonomian bangsa. Dibawah kepemimpinan Suharto selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera saat itu, Indonesia meminta kembali menjadi anggota PBB; juga menjadi anggota beragam badan yang bernaung dibawah badan dunia itu, antara lain: IMF dan Bank Dunia. Missi ekonomi dipimpin Sultan Hamangkubuono ke IX diutus ke Eropa dan Jepang, untuk menjelaskan kebijakan pemerintah Indonesia yang baru, sekaligus mohon penundaan pelunasan hutang. Ketika itu, Indonesia sudah tidak mempunyai uang samasekali untuk membayar hutang kepada IMF yang besarnya US$ 55.000.000. Ketika itu negara hanya dapat menyerahkan US$ 30,000 sebagai tanda “kemauan baik, atau goodwill”,  dengan janji akan mencicil kekurangannya berangsur-angsur kemudian.
Dalam periode antara tanggal 19 hingga 20 September 1966, di Tokyo berlangsung pembicaraan “Tokyo Club” bertema “The Indonesia Case”. Pada ketika itu delegasi Indonesia dapat bertemu langsung dengan wakil-wakil kreditor IMF dan Bank Dunia. Kemudian ada pula pembicaraan “Paris Club” untuk membahas sejumlah hutang yang pernah dibuat Indonesia. Dari Moskow datang pula utusan Uni-Sovyet yang dipimpin Sergiev menagih hutang berjumlah US$ 2,4 Milyard. Tagihan negeri Beruang Merah ini adalah hutang lama Indonesia untuk membangun berbagai proyek yang tidak banyak manfaatnya kepada pembangunan bangsa oleh lemahnya managemen ketika itu, sehingga baik lokasi maupun ukuran pabrik yang tidak mencerminkan kelayakan ekonomi yang diperlukan; semata dibuat berdasarkan keputusan politik saat itu. Sebagai akibatnya proyek-proyek yang dibiayai dengan pinjaman itu tidak dapat melunasi cicilan pembayaran (debt service) yang diperlukan. Akan tetapi, setelah berunding di Jakarta, utusan Uni-Sovyet itu bersedia menerima cara pelunasan hutang kesepakatan Paris Club.
Negeri Belanda lalu berinisiatif membentuk lembaga IGGI (Inter-Governments Group on Indonesia) yang lalu bersidang di Amsterdam, Negeri Belanda, untuk menolong Indonesia keluar dari kemelut ekonomi lewat pinjaman bersyarat ringan. Pinjaman dari IGGI ternyata lebih ringan persyaratannya ketimbang yang diterima Indonesia dari Blok-Timur silam. Pinjaman dari Blok-Barat lalu kembali berdatangan ke Indonesia, dari: Inggris, Jerman Barat, Kanada, Amerika Serikat, Nederland, Jepang, dan Bank Dunia; seluruhnya berjumlah US$ 2,265 Milyard. Adapun bantuan yang datang dari Australia kebanyakan besifat grant. Pinjaman bersyarat lunak yang diterima Indonesia dalam rangka IGGI menurut Prof. Widjojo Nitisastro merupakan contoh baik yang patut ditiru negara-negara berkembang lain. Dari model pinjaman luar negeri IGGI, Indonesia kemudian beralih ke CGI (Consortium of Governments on Indonesia) yang bermarkas di Paris, Perancis.
Melalui tindakan tiga bidang yang dilakukan Kabinet Ampera: keuangan, moneter, dan perdagangan, maka pada tahun 1967 defisit anggaran negara dapat dikendalikani, dan tahun 1968 lenyap samasekali; lalu pada tahun 1969 pemerintah Indonesia dibawah Sistim Demokrasi Pancasila mulai dapat menabung kembali.
Pada tahun 1967, Proyek Serbaguna Jatiluhur diresmikan, setelah melalui masa pembangunan 10 tahun. Waduk penampung 9.000.000 meter kubik air untuk pengairan persawahan luas di Jawa Barat, juga membangkitkan tenaga listrik 6 x 31 MW, yang disalurkan ke Jakarta dan Bandung lewat saluran udara tegangann tinggi (SUTT) bertegangan 150 kV. Proyek yang dikerjakan konsultan dan kontraktor dari Perancis itu berhasil menyelesaikan satu dari tiga kaskada yang direncanakan terdapat di sepanjang aliran sungai Citarum yang bermata air di Gunung Wayang.
Untuk menghindarkan kepemimpinan nasional ganda di tanah-air, karena Sukarno masih menyatakan diri sebagai Presiden R.I.yang sah meski telah meringkuk dalam penjara, maka Jenderal A.H. Nasution selaku Ketua MPRS pada sidang umum MPRS tahun 1967, kemudian mengangkat Mayjen Suharto menjadi pejabat Presiden Republik Indonesia untuk menggantikan Sukarno.

 Perjalanan Ibadah Haji

 
  Kapal Haji Sunan Gunung Djati

 Pada tanggal 3 Juni 1967, ayah bertolak pulang dari menunaikan ibadah Haji di Tanah Suci di Mekah dan Madinah, Saudi Arabia. Kebetulan ayah ditunjuk Majelis Pimpinan Haji (MPH) sebagai pejabat Pemerintah R.I. untuk memimpin perjalanan Kapal Haji Indonesia terakhir dari Tanjung Periok menuju Jeddah.  Kapal haji Sunan Gunung yang digunakan mengangkut 2213 orang jemaah menuju Tanah Suci. Kapal haji ini memperoleh kesempatan singgah di Djibouti tidak jauh dari tanduk Afrika, saat itu masih berada dibawah pemerintah Perancis, menjelang masuk ke pelabuhan Jeddah. Rombongan kapal haji Indonesia mendapat sambutan yang baik dari pemerintah Saudi Arabia selama di Tanah Suci: Mekah dan Madinah dalam menunaikan  rukun kelima agama Islam. Turut dalam perjalanan kapal haji ke Tanah Suci keponakan ayah si Todas Harahap boru uda Dimpu Harahap dari Hanopan sebagai perawat di kapal haji terakhir itu. Selama di berada di Tnah Suci dari tanggal 5 Februari sampai 2 Juni 1967, ayah tidak putus-putusnya memanjatkan doa kepada kedua orang-tua, kakek, dan Amang Tobangnya. Ia juga sempat menziarahi makam kakeknya Sengel Harahap, gelar Baginda Parbalohan yang dimakamkan di Jeddah pada tahun 1928 dalam perjalanan pulang ke tanah-air setelah menunaikan ibadah haji.
Revolusi dimanapun dan kapanpun terjadi di dunia, tidak ubahnya sekeping uang logam berwajah ganda, terdiri dari: revoltare dan revolvere. Yang pertama bekerja menumbangkan sistim kemasyarakatan lama yang tidak lagi sesuai dengan zamannya, sedangkan yang kedua bertugas membangun sistim kemasyarakatan baru yang lebih baik untuk menggantikannya. Revolusi bangsa Indonesia baru melakukan revoltare dan belum sampai melahirkan revolvere. Akibatnya, "revolusi yang belum selesai" itu tidak memangsa anak-anaknya semata tetapi ikut pula meyeret dan memangsa “Pemimpin Besar Revolusi” yang menggeakannya.
Setelah 20 tahun merdeka, dari tahun 1945 hingga tahun 1965, kaum pergerakan ternyata tidak berhasil menjadikan Revolusi Bangsa Indonesia jembatan emas yang mengantarkan anak-anak bangsa di tanah-air  hijrah dari kemiskinan menuju masyarakat sejahtera yang dijanjikan. Ini terbukti dari adanya keluhan sementara  anak-anak negeri ketika itu yang bertanya oleh masih susahnya kehidupan: “kapan merdeka ini selesai?” Juga oleh kerinduan sementara anak bangsa pada suasana hidup di zaman Hindia Belanda silam, disebut  “zaman normal”, khususnya mereka yang bekerja pada zaman itu.
Maka dalam sidang MPRS tahun 1968, Suharto lalu dengan resmi dikukuhkan menjadi Presiden Republik Indonesia kedua.
Kabinet Ampera dengan Sistim Demokrasi Pancasila bertujuan memperbaiki kesalahan pemerintah Sistim Demokrasi Terpimpin, terlebih Kabinet 100 menteri, yang telah menimbulkan kekacauan administrasi aparatur negara, menciptakan kesimpangsiuran wewenang dan tanggungjawab; membuat perekonomian negara terpuruk dan menyengsarakan kehidupan rakyat. Dalam Sistim Demokrasi Terpimpin kekuasaan ada di tangan satu orang: Presiden Sukarno, baik sebagai: Kepala Negara, Perdana Menteri, dan Pemimpin Besar Revolusi. Karena itu, pengawasan oleh lembaga perwakilan rakyat sesuai UUD 1945 tidak dapat berjalan; pemegang tampuk kekuasaan lalu berbuat liar, sewenang-wenang, dan menjelma menjadi seorang diktator.
Benar kata Lord Acton dari Inggris yang menyatakan: “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely, artinya: kekuasaan cenderung menyeleweng, dan kekuasaan mutlak akan menyeleweng mutlak pula". Ternyata, pengemban kekuasaan tidak lagi dapat dikendalikan lalu membawa malapetaka kepada bangsa Indonesia, baik: pemerintahan, perekonomian, kemasyarakatan, kebudayaan, dan tatanilai yang berlaku ketika itu.

Pada tanggal 6 Juni 1968, Kabinet Pembangunan dilantik untuk mengganti Kabinet Ampera yang selama ini mengemban tugas mengawasi: keuangan, moneter, pedagangan, dan perhubungan. Pada tanggal 30 Desember 1968, Presiden Suharto mencanangkan "Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama", disingkat Repelita I, sebagai tanda dimulainya kegiatan pembangunan di nusantara. Repelita I merupakan bagian dari "Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama", disingkat RPJPTP, periode 25 sampai 30 tahun kedepan untuk Indonesia.


Pada tanggal 23 Februari 1969, jam 16.00, ayah sekeluarga mengantar abang Arifin Harahap ke lapangan terbang Kemayoran yang akan berangkat ke Kuala Lumpur, Malaysia. Abang Arifin Harahap adalah salah seorang dari sekitar 90 orang guru angkatan pertama yang akan diberangkatkan dari tanah-air menuju negeri jiran dalam rangka kerjasama Indonesia-Malaysia, saat ne-geri akhir ini dipimpim Perdana Menteri Tun Abdul Razak. Diantara mereka yang turut melepas abang Arifin Harahap dari Kemayoran ketika itu, ialah: abang Rusli Harahap, namboru-namboru: Utir Harahap, Sahada Harahap, Lige Harahap, iboto Zubaidah Harahap bersama sua-minya, abang Lahuddin Harahap, dan si Irsan Harahap

Pada tanggal 5 Maret 1969, ayah sekeluarga berduka setelah menerima khabar bahwa amangtua: Sutor Harahap, gelar Baginda Pandapotan yang lama bermukim di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan telah berpulang ke rakhmatullah.

Pada tahun 1969 ayah dipromosikan menjadi Gubernur Muda dan bertugas d/p Kantor Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Pada tanggal 20 Juli 1969, umat manusia dikejutkan oleh keberhasilan misi angkasa luar Amerika Serikat: Appolo XI mendaratkan manusia di permukaan bulan, benda langit yang mengitari bumi. Misi ini diluncurkan tanggal 16 Juli 1969 dari Cape Canaveral, Florida, didorong Roket Saturn V. Setibanya di permukaan bulan, Astronout Neil Armstrong menuruni tangga Modul Pendarat (Landing Module) lalu menginjakkan kakinya di permukaan bulan sambil berkata: “one small step of man, but a great leap of mankind, artinya: sebuah langkah kecil manusia, namun langkah besar kemanusiaan", dan disusul Edwin Aldrin. Kenyataan ini masih tidak mudah diterima oleh sebahagian besar umat manusia di bumi saat itu, termasuk juga anak-anak bangsa di tanah-air.
Setelah Penentuan Pendapat Pakyat, disingkat Pepera, yang berlangsung di Iran Barat tanggal 1 Desember 1969 sebagaimana isi kesepakatan segitiga: Indonesia, Belanda, dan PBB, dan dimenangkan Indonesia, maka perjuangan bangsa Indonesia membebaskan Irian Barat pun selesai. Tidak seluruh warga Papua Barat dapat menerima keputusan pepera, karena ada yang berpendapat bahwa pemerintah Belanda berjanji akan memberi kemerdekaan kepada wilayah Papua Barat pada tanggal 1 Desember 1971.
REPELITA PERTAMA
Kabinet Pembangunan I
Pada tanggal 23 hingga 24 Februari 1979, Di Bali, berlangsung Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Association of South East Asian Nations, disingkat ASEAN. Konferensi ini bertujuan untuk merajut kembali kerukunan hidup negara-negara Asia Tenggara yang porak poranda akibat politik konfrontasi rezim Orde Lama Indonesia, dengan meninggalkan logika Nefos melawan Oldefos, yang menjadi kebijakan pemerintah sistim Demokrasi Terpimpin dengan Dwikoranya. Dengan demikian persahabatan bangsa-bangsa yang berdiam dikawasan Asia Tenggara dapat dibangun kembali untuk kemajuan: sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan budaya. 
Pada bulan Desember 1979, Uni-Sovyet menyerbu ke Afganistan untuk menjadikan negara itu satelit Blok-Timur. Presiden Carter dari Amerika Serikat membantu para pejuang rakyat Afganistan untuk melakukan perlawanan dari Pakistan untuk menghalanginya.  
Pada tahun 1972 ayah pensiun dan berhenti dari semua kegiatan pemerintahan yang selama ini menjadi kesibukannya sehari-hari. Ayah tidak berhenti berkegiatan, namun kini mengalihkan perhatian ke praktek hukum menjadi advokat dan pengacara setelah menyelesaikan Fakultas Hukum Extension UI. Pada tahun 1975, setelah menyelesaikan ujian bersangkutan, ayah lalu mendirikan “Kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah” beralamat kantor jalan Hang Tuah VIII/8 Kebayoran Baru, Jakarta.
Pada tahun 1973 Amerika Serikat meluncurkan Stasiun Angkasa Skylab didorong roket Saturn V. Tidak seperti rekannya Stasiun Angkasa Salyut buatan Uni-Sovyet yang mendapat banyak kesukaran teknis saat diluncurkan dua tahun sebelumnya, Skylab sukses mengorbit di angkasa menjadi tempat pemondokan para astronaut pada ketinggian orbit. Akan tetapi, oleh noda matahari yang tinggi saat itu, orbitnya merosot  terlalu cepat. Sebagai akibatnya, tanggal 11 Juli 1979, Skylab terjerumus kedalam atmosfir bumi yang membuat bagian-bagian Skylab yang tidak sempat habis terbakar lalu berjatuhan di benua Australia dan Samudra Hindia. 
REPELITA KEDUA
Kabinet Pembangunan II
2. Masa Represi Sistematis
Mahasiswa ibukota pada tanggal 15 Januari 1974 di Jakarta, beramai-ramai turun ke jalan-raya untuk berdemonstrasi menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang: Kakuei Tanaka. Negara Matahari Terbit saat itu dituduh menjadi lambang dominasi modal asing di Indonesia yang harus ditolak. Aksi long marsh mereka lakukan dari Kampus Universitas Indonesia di Salemba menuju Kampus Universitas Trisakti di Grogol, sambil mengajukan tiga tuntutan kepada pemerintah, yakni:
1. Memberantas korupsi,
2. Mengubah kebijakan ekonomi terhadap modal asing,
3. Membarkan lembaga Asisten Pribadi Presiden.
Usai long marsh mahasiswa berlangsung, sekelompok massa yang tidak jelas darimana datangnya lalu menyerbu: Pasar: Senen, Blok M, dan Pusat Perdagangan Gelodok. Mereka lalu menjarah barang, membakar toko dan mobil bikinan Jepang, memperkosa, dan membunuh, yang menimbulkan "Malapetaka Limabelas Januari", disingkat "Malari". Lalu muncul theori “killing ground” dialamatkan kepada para mahasiswa, karena saat itu mereka dituduh telah merencanakan kerusuhan (vandalisme), dan mereka  berada di lapangan bersamaan dengan kerusuhan yang menimbulkan kekacauan, pembakaran, dan pembu-nuhan. Pemerintah lalu beralasan untuk memberlakukan UU Antisubversi yang represif, dan menangkap, mengadili, dan menjebloskan para mahasiswa aktivis kedalam rumah tahanan dan penjara. Sejarah lalu terulang kembali, Revolusi Damai pemerintah Orde Baru ternyata memangsa juga anak-anaknya sendiri, yakni para mahasiswa aktivis yang telah menolong Orde Baru menumbangkan Orde Lama.
Pada tanggal 19 Desember 1974 di Yogyakarta, bertepatan perayaan Ulang Tahun ke-25 Universitas Gajah Mada, Presiden Suharto menunjukkan perhatian kepada "ideologi pancasila". Menurut pendapat Kepala Negara, ideologi negara ini seharusnya dilaksanakan dengan murni dan konsekuen sejak Dekrit 5 Juli 1959 silam, akan tetapi dalam periode 1959-1965 lalu timbul penafsiran menyimpang. Hal ini muncul ketika Presiden Sukarno menganjurkan digabungkannya tiga pandangan hidup yang berkembang dalam masyarakat Indonesia saat itu: nasional, agama, dan komunis, menjadi: "nasional-agama-komunis", disingkat "nasakom", yang membuka peluang kepada PKI mengembangkan ajaran Marxisme menuru keadaan di Indonesia.
Kemudian pada Dies Natalis ke-25 Universitas Indonesia di Jakarta tanggal 15 Februari 1975, Presiden Suharto memperkenalkan gagasan: "Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila", disingkat "P4", untuk mengamalkan ideologi negara itu. Lalu dibentuk Badan Pekerja MPR untuk menanggapi gagasan Kepala Negara/Mandataris, dan sejumlah rapat Panitia Ad-Hoc dilangsungkan. Lahir dengan demikian Tap MPR No.II/MPR/98 tentang P-4, yang disampaikan kepada pemerintah untuk dilaksanakan. Dengan ketetapan baru ini, semua lembaga negara dan swasta termasuk pendidikan yang ada di tanah-air diharuskan mengikuti penataran P-4. Penataran P-4 menjadi sarana pendidikan politik bangsa yang digariskan oleh pemerintah Orde Baru dibawah pimpinan Presiden Suharto.
Pada tanggal 20 Mei 1975, ayah sekeluarga berduka setelah mendapat khabar dari kampung, bahwa Namboru Siti Angur Harahap yang berdiam di Hanopan telah berpulang ke rakhmatullah.
Sembilan hari setelah wilayah Timor Timur memisahkan diri dari Portugal dan pada tanggal 28 Nopember 1975 memproklamirkan kemerdekaan. Indonesia kemudian menyerbu Timor Timur untuk menjadikannya propinsi yang ke 27 NKRI. dengan menimbulkan banyak korban. Keamanan di propinsi yang baru itu lalu bergolak sampai dengan didatangkannya International Forces for East Timor (Pasukan Keamana Internasional untuk Timor Timur) guntuk mengtasi keadaan. Dan pada Tanggal 20 Mei 2002, Timor Timur diumumkan menjadi sebuah  negara merdeka anggota PBB yang berdaulat.
Untuk menyebarluaskan P-4 ke seluruh tanah-air, lalu dibentuk "Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila", disingkat "BP-7"; sebuah Lembaga non-Departemental yang langsung berada dibawah Presiden Suharto. Selain dari "BP-7 Pusat" beralamat di Pejambon Jakarta, terdapat lagi cabang-cabang BP-7 Pusat di Daerah Tingkat I, dan Daerah Tingkat II., yang bertugas menjadi pelaksana lapangan penataran P-4 di seluruh nusantara.
Rencana  untuk membangun "Taman Mini Indonesa Indah", disingkaat "TMII", yang diusulkan ibunegara  Tien Suharto tidak mendapat persetujuan para mahasiswa di tanah-air saat itu, karena khawatir akan menyebabkan timbulnya korupsi. Pemerintah Orde Baru pimpinan Presiden Suharto lalu memberlakukan "Normalisasi Kegiatan Kampus/Badan Kegiatan Kampus", disingkat NKK/BKK, di seluruh perguruan tinggi  yang ada di tanah-air. Lalu muncul larangan pemerintah Orde Baru terhadap para mahasiswa untuk melakukan kegiatan politik di kampus.
3. Peristiwa Tanjung Periok dan DOM Aceh
Pada tanggal 4 Desember 1976, Tengku Hasan Tiro mendeklarasikan "Gerakan Aceh Merdeka", disingkat "GAM", di Aceh. Ini disebabkan penguasaan "Badan Perencanaan Pembangunan Nasional", disingkat "Bapenas", terhadap "Badan Perencanaan Pembangunan Daerah", disingkat "Bappeda" yang berlebihan. Saat itu GAM menyerang kompleks Mobil Oil di Lhok Seumawe, dan TNI ketika itu masih bernama: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, disingkat ABRI, lalu terlibat saling membunuh dengan GAM. Pemerintah Orde Baru kemudian mengirim pasukan dan menetapkan Aceh sebagai "Daerah Operasi Militer", disingkat DOM. Ribuan pasukan "Komando Opersi Khusus", disingkat "Kopassus", lalu diterjunkan ke bumi Seulawah untuk menumpas gerakan separatis itu. Pada tahun 1990 jumlah pasukan telah mencapai duabelas ribu orang, bersandi Operasi Jaring Merah. Ribuan rakyat menjadi korban DOM, kuburan massal bermunculan dimana-mana di bumi Serambi Mekah itu. Puluhan ribuan wanita lalu menjadi janda, dan tidak terhitung jumlah anak-anak yang telah kehilangan orang tua yang amat mereka cintai.
Pada tanggal 21 September 1979 televisi berwarna pertama muncul di ibukota Jakarta, bertepatan dengan pembukaan SEA (South East Asia) Games ke VIII yang berlangsung di Jakarta.
Pada tahun 1979, Revolusi Iran pimpinan Ayatollah Rohullah Khomeini meletus, dan berhasil menggulingkan Syah Iran dari singgsananya di ibukota Teheran, menimbulkan keberangan Amerika Serikat. Raja yang sedang bertakhta di tanah Persia itu terpaksa harus meninggalkan tanah-air untuk selamanya.
Negeri jiran Malaysia yang memperoleh kemerdekaan tanggal 31 Agustus 1957 secara damai dari Inggris  dengan gemilang berhasil menyelesaikan program ekonomi negara yang mensejahterakan rakyatnya. Sejak tahun 1980 negeri Melayu anggota ASEAN itu, telah berkembang menjadi negara "tujuan wisata kerja" (labour tourism destination) kawasan Asia. Ratusan ribuan tenaga kerja dari: Indonesia, Filipina, Vietnam, Srilangka dan Bengladesh,  lalu mengadu nasib mengunjungi negeri itu untuk menjadi: pembantu rumah tangga, pekerja bangunan, buruh kilang, dan lainnya. Para pengadu nasib dari beragam bangsa ini telah mengubah wajah negeri: Sultan, Datuk, dan Encik itu menjadi segelintir negara Asia terkemuka di duia.
Pada tanggal 13 Oktober 1981, ayah sekeluarga kembali berduka setelah mendapat khabar bahwa paman Dr. Pamusuk Harahap yang bermukim di Padang telah berpulang ke rakhmatullah di kota Mekah, dalam perjalanan menunaikan ibadah Haji ONH ke Tanah Suci. 
Pada tahun 1981 Ronald Wilson Reagen terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat yang baru. Ia berhasil mengalahkan Jimmy Carter dalam kampanye menangani persoalan sandra Amerika Serikat di Iran. Meski menjadi orang tertua yang pernah memerintah di Amerika Serikat ketika pertama terpilih, namun rakyat negeri Paman Sam itu masih memilihnya kembali tahun 1984. Ia lalu digantikan Bill Clinton tahun 1989.
REPELITA KETIGA
Kabinet Pembangunan III
Dalam sidang MPR yang dipimpin oleh ketuanya Haji Amirmachmud, pada tanggal 9 Maret 1983, Presiden Suharto mendapat anugerah gelar Bapak Pembangunan Indonesia. 
Sejak bulan Juli 1983 muncul peristiwa di Indonesia yang kemudian dikenal dengan "Penembakan Misterius", disingkat "Petrus". Ribuan orang telah terbunuh sia-sia oleh perbuatan yang bertentangan dengan sila prikemanusiaan yang terdapat dalam ideologi Pancasila. Fihak berwenang awalnya mengatakan bahwa hal ini disebabkan perkelahian antar geng, atau karena melawan petugas. Ada lagi sumber lain yang mengatakan perbuatan ekstralegal itu sengaja dilakukan pemerintah sebagai terapi kejut guna menekan melonjaknya kejahatan. Negeri Belanda, lewat Menteri Luar Negerinya Hans van den Broek, meminta pemerintah Indonesia untuk menghormati hak azasi manusia, dan menaksir bahwa petrus telah menewaskan sedikitnya 3000 orang.
Pada tanggal 9 Januari 1983, ayah sekeluarga kembali berduka setelah mendapat khabar bahwa Haji Muhammad Nurdin Harahap, abang kandung ayah yang selama ini berdiam di Sibolga, telah berpulang ke rakhmatullah.
Pada tanggal 22 Februari 1983, ayah sekeluarga kembali lagi berduka setelah menerima khabar bahwa Haji Maujalo Harahap, gelar Baginda Paruhum, abang kandng ayah yang berdiam di Hanopan telah berpulang ke rakhmatullah.
REPELITA KEEMPAT
Kabinet Pembangunan IV
Dengan tidak disangka-sangka, pada tanggal 14 September 1984 timbul tragedi kemanusiaan di Tanjung Periok. Awalnya ada spanduk bertuliskan “Agar Wanita Memakai Pakaian Jilbab” terpampang di Musholah As-Sa’adah, yang saat itu dianggap tidak sejalan dengan Asas Tunggal Pancasila yang diberlakukan pemerintah. Lalu muncul penangkapan yang dilakukan Kodim setempat terhadap warga yang dituduh membakar sepeda motor Babinsa. Masyarakat yang memprotes kemudian memenuhi jalan Sindang Raya, Tanjung Priok, dan sekitar jam 23.00 WIB mereka bergerak menuju Kodim setempat dan menuntut pembebasan rekan mereka yang ditahan. Didepan kantor Polres Jakarta Utara rombongan tertembak peluru tajam tanpa peringatan. Ratusan orang gugur jadi korban, huruhara pun meledak, dan toko orang Tionghoa  lalu dijarah massa.
Pada tahun 1985 berlangsung pembangunan waduk Kedungombo untuk pengairan 70 hektar sawah pertanian dan membangkitkan tenaga listrik 22,5 MW dimulai. Waduk yang menyita lahan 6000 hektar itu,  akan merendam 37 desa di kabupaten-kabupaten: Boyolali, Grobogan, dan Sragen, dan memindahkan 5000 kepala keluarga dari tempat mereka berdiam selama ini untuk selamanya.
Pada tanggal 26 April 1986, dunia dikejukan malapetaka nuklir di Pusat Iistrik Tenaga Nuklir (PLTN) Chernobyl, Ukraina, kala itu masih merupakan di Negara Bagian dari Uni-Sovyet. PLTN yang terdiri dari empat reaktor di tepi sungai Dnyeper itu gagal mengendalikan reaktor keempat, menyebabkan suhunya terus meningkat dan menimbulkan kebakaran. Tidak dapat dihindarkan sinar radioaktif yang meninggalkan reaktor yang terbakar itu, begitu pula debu radioaktif yang berterbangan ke udara lalu dibawa angin menyebar ke sebahagian daratan Eropa.
Tidak dapat disangkal kota moderen Pripyat berdekatan PLTN harus segera dikosongkan, begitu juga penduduk dalam radius 30 km dari pusat bencana; lalu membunuh semua hewan dijupai untuk menghindarkan penyebaran radioaktif. Pemerintah negeri Beruang Merah saat  itu kelabakan, tidak tahu harus berbuat apa. Partai komunis yang berkuasa bahkan berbuat kesalahan dengan tetap melaksanakan perayaan hari buruh 1 Mei 1986 di kota berdekatan dengan sumber radiasi. Korban pasca “little boy” dijatuhkan di Hiroshima (Jepang) 41 tahun silam lalu terulang kembali, meski bukan dalam keadaan perang. Tak kurang dari 93.000 orang tewas termasuk 25.000 para pekerja PLTN. Jutaan warga di sekitar yang mengidap kanker akibat radiasi, termasuk anak-anak yang terpaksa menjalani hidup di atas perbaringan rumah-rumah sakit di negeri tirai besi itu.
Pemerintah Uni-Sovyet terpaksa memulangkan para penerbang helikopter terbaik dari Afghanistan untuk menjatuhkan bertonton grafit dan timah hitam ke atas reaktor yang tengah terbakar ketika itu, guna segera menghentikan reaksi nuklir yang masih berjalan. Hal ini perlu dilakukan karena reaktor yang tengah terbakar sewaktu-waktu dapat berubah menjadi bom nuklir lebih dahsyat dari di Hiroshima. Sangat mengharukan kisah veteran Perang Dunia ke-II negeri Beruang Merah yang ikut membendung radiasi nuklir di Chernobyl ketika itu, yang mengatakan: “Dalam perang dunia silam, saya tahu darimana musuh datang”, ujarnya, “akan tetapi dalam perang melawan radiasi, saya tidak melihat ada musuh apalagi darimana ia datang. Ditengah amukan sinar radioaktif seakan terasa bagai berada di sebuah planit yang asing”. Bantuan lalu diminta dari Blok-Barat, dan pertolongan pun berdatangan ke Uni-Sovyet dari segala penjuru, seakan para pemimpin Blok-Timur yang Sosialis/Komunis berwajah totaliter dengan ekonomi komando yang bermarkas di Kremlin, Moskow, dengan para sekutu Perang Dunia ke-IInya ketika itu sedang lupa, bahwa “Perang Dingin” antara kedua kubu masih belum berakhir.
Titik balik Perang Dingin antara Blok-Barat dan Blok-Timur terjadi saat parlemen Jerman Barat tahun 1983 menyetujui ditempatkannya Peluru Kendali Pershing II buatan Amerika Serikat di negerinya, untuk menandingi Peluru Kendali SS-20 yang dikenal akurat bikinan Uni-Sovyet ditujukan ke berbagai kota di Eropa Barat. Keputusan parlemen Jerman Barat ketika itu juga mendapat dukungan Perdana Menteri Inggris: Margareth Thatchser dan Presiden Perancis: Francois Mitterrand. Amerika Serikat ketika itu sedang dipimpin Presiden Ronald Reagen yang anti-komunis. 
Setelah mengetahui bahwa Pershing II dapat mencapai Kremlin dalam waktu 6 menit, kurang dari waktu peringatan dini yang diperlukan untuk menangkalnya, Sentral Komite Partai Komunis Uni-Sovyet tidak memiliki pilihan lain kecuali menunjuk Mikhail Gorbachev menjadi Presiden Uni-Sovyet menggantikan  Konstantin Chernenko. Gorbachev adalah seorang tokoh moderat yang diharapkan mampu membujuk Blok-Barat untuk berunding. Pengangkatannya dibayangi beredarnya lagu “We are the World” yang tersohor, dan direkam tanggal 28 Januari 1985.
Pada tahun 1986 Mikhail Gorbachev mengumumkan “perstroika” (reformasi) yang diterima oleh Kongres ke-22 Partai Komunis Uni-Sovyet. Perestroika adalah kebijakan baru untuk reorganisasi: ekonomi, politik, dan budaya, akan tetapi tetap dalam rangka komunisme. Selain dari itu, kebijakan ini bertujuan untuk menanggapi ketidak puasan rakyat Uni-Sovyet terhadap Sistim Sosialis/Komunis dan totaliter yang bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat di negeri tirai besi itu. Sistim pemerintahan Sosialis/Komunis dan diktator proletariat saat itu mengalami krisis kepercayaan, sehingga perlu diambil langkah reformasi untuk menyelamatkannya. Sistim pemerintahan negeri Beruang Merah itu tidak lagi berkenan di hati sebahagian besar rakyatnya, karena selain telah kuno, juga ketinggalan zaman; tampak dari kegagalan para pemimpin mensejahterakan kehidupan rakyatnya, juga menghalangi individu mengemukakan pendapat.
Sistim Sosialis/Komunis yang otoriter itu ternyata kalah bersaing dengan Sistim Kapitalis/Liberal yang demokratis berkembang pesat di Jepang dan Jerman saat itu. Kendati kedua negara akhir ini hancur di bom Sekutu dalam Perang Dunia ke-II silam; akan tetapi mereka berhasil bangkit kembali membangun ekonomi nyaris dalam satu generasi untuk kembali mensejahterakan kehidupan rakyatnya. Keduanya meninggalkan jauh ekonomi negeri Beruang Merah berikut negara-negara satelitnya yang tergolong sedikit hancur dalam perang dunia silam. Jepang berkembang menjadi negara ekonomi terkuat dunia nomor 2, sedangkan Jerman menjadi negara ekonomi terkuat dunia nomor 3, setelah Amerika Serikat yang menduduki peringkat pertama.   
Pada tanggal 27 Oktober 1988, Indonesia meluncurkan "Paket Oktober", disingkat "Pakto". Pakto dicetuskan Meteri Keuangan J.B. Sumarlin bermaksud untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi Indonesia stabil pada tingkat 7 %. Sejak dikumandangkannya Pakto, jumlah bank di tanah-air meningkat  dari 60 menjadi lebih dari 200. Hampir semua konglomerat mempunyai bank sendiri, dan melakukan mismatch (pinjaman jangka pendek digunakan untuk melunasi pinjaman jangka panjang), menyalurkan kredit kepada grup sendiri melampaui "Batas Maksimum Pemberian Kredit", disingkat "BMPK", dan meminjam valuta asing dari luar negeri.
Pada bulan Desember 1988, sebuah gempa besar menghantam Armenia, kala itu masih merupakan sebuah negara bagian Uni-Sovyet di pegunungan Kaukasia, menewaskan sekitar 80.000 orang dan puluhan ribu warga yang kehilangan rumah tempat berdiam.  
Setelah lebih dari sepuluh tahun berusaha menjadikan Afghanistan satelit Blok Timur, maka oleh tahun 1989 tentara Uni-Sovyet terpaksa angkat kaki meninggalkan negeri Muslim kecil itu, karena terlalu membebani ekonomi negara super power dunia kedua itu. Perpecahan dikalangan kaum pejuang Afganistan membuat pemerintah boneka bikinan Uni-Sovyet masih mampu bertahan beberapa lama. Namun akhirnya, pada tanggal 28 April 1992 pasukan Mujahidin berhasil masuk ke ibukota Kabul untuk menggulingkan pemerintah boneka tidak berdaya ketika itu.
Pada tahun 1989, ayah sekeluarga kembali berduka setelah mendapat khabar bahwa Amangtua: Hisar Harahap, gelar Baginda Harahap yang berdiam di Hanopan telah berpulang ke rakhmatullah.
Pada hari Senin tanggal 7 Februari 1989, muncul peristiwa subuh bersimbah darah di Talangsari, Way Jepara, Lampung Tengah. Korem Garuda Hitam lalu menembaki bangsal pengikut Warsidi, sebuah kelompok pengajian yang saat itu dituduh tengah mempersiapkan berdirinya negara Islam. Ratusan orang dikhabarkan telah terbunuh sia-sia disana.
Pada tanggal 24 Agustus 1989 muncul pertelevisian dilola swasta yang pertama di Indonesia, diawali Rajawali Citra Televisi Indonesia, disingkat RCTI. Stasiun televisi swasta ini diprakarsai putra Presiden Suharto yang menjelang dewasa lalu berusaha terjun ke dunia usaha ketika itu.
Pada tahun 1990 Grup Musik Rock Jerman bernama: “Scorpion” menegeluarkan lagu berjudul “Wind of Change” dari album Crazy World buatan grup musik itu.
Menurut theori pertamanya dalam abad ke-19 silam, Karel Marx meramalkan bahwa Kapitalisme akan dengan sendirinya berubah menjadi Komunisme oleh pertentangan yang muncul didalamnya, akan tetapi ternyata tidak terbukti dalam abad ke-20. Sebaliknya, negara-negara dari Blok-Timur lalu beramai-ramai meninggalkan sistim Sosialis/Komunis dan totaliter, kemudian beralih menjadi sistim Kapitalis/Lalural dan demokratis. Cara perlombaan, pemberian hadiah, dan penghargaan sebagai pahlawan pembangunan yang diberlakukan sistim Sosialis/Komunis dan totalier untuk memajukan perekonomian negara, ternyata tidak mampu menandingi cara pemilikan pribadi, persaingan bebas, effisiency, keadilan, dari sistim Kapitalis/Liberal demokratis yang telah lama berkembang di muka bumi sebelumnya. 
Untuk memperoleh dukungan dan bantuan Blok-Barat terhadap gagasan perstroika, Gorbachev lalu mencabut Doktrin Brezhnev dari Blok Timur, membubarkan Partai Komunis, dan mengurangi campurtangan Uni-Sovyet terhadap keamanan negara-negara satelitnya Eropa Timur. Kerusuhan kemudian berkecamuk dari ibukota Moskow lalu menyebar ke negara-negara satelit Uni-Sovyet. Bagai runtuhnya kartu domino, diawali Hongaria, yang pernah diserbu Uni-Sovyet saat melakukan perbuatan yang sama tahun 1956 silam, satu persatu negara-negara satelit Uni-Sovyet di Blok-Timur memerdekakan diri dengan membuka perbatasan negara masing-masing dengan Blok-Barat. Sebagai akibatnya popularitas Gorbachev runtuh di dalam negeri, akan tetapi di luar negeri namanya melambung tinggi sampai dicalonkan jadi peraih hadiah Nobel Pedamaian tanggal 15 Oktober 1990.
Pada musim dingin tanggal 9 Nopember 1989, rakyat Jerman di Berlin Barat dan Berlin Timur, beramai-ramai meruntuhkan Tembok Berlin yang memisahkan kedua bagian kota itu. Kegiatan ini lalu memicu penyatuan Jerman Barat dengan Jerman Timur, sekaligus melenyapkan ketegangan antara Blok-Barat dengan Blok-Timur dari seluruh dunia.
Pada tanggal 26 Maret 1989, berlangsung Pemilihan Umum pertama dalam sejarah di diseantero Uni-Sovyet setelah Kaum Bolshevik berhasil memenangkan revolusi bulan October tahun 1917. Sebanyak 190 juta orang memberikan suara dalam pemilihan langsung itu, dan mayoritas warga negara memihak Boris Nikolayevich Yeltsin dengan langkah perubahan: politik, sosial, yang demokratis. Tahun berikutnya ia terpilih kembali menjadi Presiden Republik Federasi Sosialis Rusia, disingkat RFSR, dengan 57 % suara, dan memerintah hingga tahun 1999.
Pada tanggal 19 Agustus 1991, kelompok Partai Komunis garis keras yang kehilangan pekerjaan dengan beragam jabatan  dengan runtuhnya Uni-Sovyet, lalu menyandra Michail Gorbachev di Cremia sebuah tempat peristirahatan ditepian Laut Hitam, dan berusaha menangkap B. N. Yeltsin yang memenangkan jabatan Presiden RFSR secara demokratis. Yang akhir ini kemudian bergegas menuju gedung Parlemen Rusia untuk memimpin perlawanan menghadapi pasukan Uni-Sovyet yang hendak melakukan kudeta. Ribuan rakyat pendukungnya bertahan dibawah hujan lebat didepan Gedung Putih kota Moskow menghadapi kendaraan lapis baja militer yang tengah menyerbu Balai Rakyat itu. Dalam keadaan yang amat tegang, Yeltsin memberanikan diri naik keatas sebuah tank militer penyerang dan menantang; akan tetapi pimpinan militer yang melaksanakan penyerbuan urung memberi perintah tembak kepadanya, dan usaha kudeta dari kelompok garis keras pun gagal. Untuk keberaniannya yang luar biasa itu Yeltsin memperoleh pujian dunia Internasional.
Pada …..tahun 1992, ayah sekeluarga kembali berduka setelah mendapat khabar bahwa Namboru Hj. Erjep Masteri Chairani Harahap yang berdiam di Bogor berpulang ke rakhmatullah.
Jajak pendapat anti-konservatif dilangsungkan di Moskow tahun 1990 menunjukkan keunggulan B.N. Yeltsin atas Mikhail Gorbachev, kendati yang akhir ini telah menyatakan diri keluar dari keanggotaan Partai Komunis Uni-Sovyet. Keberanian B. N. Yeltsin yang mengagumkan itu telah mengantarkannya menjadi orang terkuat di Kremlin, kantor pusat pemerintah negara Beruang Merah itu di kota Moskow. Akan tetapi keperkasaan Yeltsin telah mengantarkan sistim Sosialisme/Komunisme yang totaliter selama ini berkuasa di Kremlin menuju kehancurannya. Super Power kedua dunia berlambang: CCCP, pemimpin Blok-Timur, bersama dengan para sekutunya dari Eropa Timur lalu lenyap ditelan sejarah. Sejak dari saat bersejrah itu, Bendera Merah dengan paluarit dan sebuah berbintang di sudutnya lalu diturunkan dari Kremlin, dan digantikan sitigawarna bendera Rusia dari zaman Tsar Nikolas II silam.
Pada tanggal 8 Desember 1990, tiga orang pemimpin bekas Uni-Sovyet, masing-masing: Boris Yeltsin dari Republik Federasi Sosialis Rusia, Stanislav Shushkevich dari Belarusia, dan Leonid Kravchuk dari Ukraina  melangsungkan pertemuan di hutan Bialowieza, di perbatasan Belarusia-Polandia. Yang tidak hadir dalam pertemuan di pondok perburuan Nikita Kruschev itu, hanyalah wakil republik trans-Kaukasia, pemerakarsa keempat berdirinya Uni-Sovyet pada tahun 1922. Awalnya, tujuan pertemuan untuk membahas masalah ekonomi dan berburu, akan tetapi dengan cepat berkembang menjadi pembubaran Uni-Sovyet. Mereka lalu tampil mejadi para wakil negara pendiri Uni-Sovyet silam, lalu menandatangani dokumen “Bialowieza Treaty” bersejarah yang terkenal di bagian bumi itu. 
Menurut Stanislav Shushkevich, nostalgia pertemuan para pemimpin bekas negara-negara bagian Uni-Sovyet ini, amatlah membekas di benak berjuta orang, mulai Riga di Latvia hingga ke Kivak, sebuah kota kecil di Selat Bering di perbatasan Uni-Sovyet dengan Amerika Serikat. Di Moskow banyak warga bekas negara adidaya Uni-Sovyet terserang penyakit kecewa berat, karena CCCP dilahirkan revolusi Kaum Buruh bulan Oktober tahun 1917 di Petrograd, dan dipimpin Partai Komunis kaum Bolshevik ajaran Diktator Proletariat, lenyap begitu saja dari permukaan bumi ditelan sejarah. 
Negara Super Power dunia kedua setelah Amerika Serikat, berdiri lebih dari 70 tahun, awalnya dipimpin:: W. I. Lenin, kemudian J. V. Stalin, N. Kruschev, L. Brezhnev, Y. Andropov, K. Chernenko dan terakhir M. Gorbachev, hilang ditelan sejarah akibat bencana geopolitik menimpanya di abad ke-20. Dampaknya berimbas kepada seluruh negara satelit Beruang Merah, lalu ramai-ramai meninggalkan sistim ekonomi Sosialis/Komunis yang otoriter lalu beralih menjadi sistim ekonomi Kapitalis/Liberal yang demokratis. Tiga negara Baltik, masing-masing: Estonia, Lithuania, dan Latvia, yang di caplok Uni-Sovyet masuk ke Blok Timur usai Perang Dunia ke-II silam, lalu memisahkan diri menjadi negara-negara merdeka yang berdaulat anggota PBB; demikian juga Georgia yang berada di Kaukasia di bagian Selatan.
Negara-negara bekas pecahan Uni-Sovyet yang telah merdeka dan berdaulat anggota PBB lainnya, ialah: Armenia, Azerbaijan, Kirgistan, Kazakstan, Moldowa, Turkmenistan, Tajikistan dan Uzbekistan. Pada pertemuan Alma Ata tanggal pada 21 Desember 1990, kedelapan negara ini membentuk "Confederation of Independent States" (Persemakmuran Negara-negara Merdeka), disingkat "CIS", kemudian bergabung dengan Republik Federasi Sosialis Rusia.
Karena tidak ada lagi pekerjaan yang haarus dilakukan, maka pada tanggal 25 Desember 1990 Mikhail Gorbechev mengundurkan diri dari jabatan Presiden Uni-Sovyet. Keesokan harinya lembaga tertinggi negara  bernama “Werhovny Sovyet” (Sovyet Tertinggi) yang tidak lagi berguna juga dibubarkan.
B.N.Yeltsin menghadapi amat banyak persoalan didalam negeri: politik, ekonomi, dan sosial, yang amat pelik di Rusia saat berhijrah dari "sistim Sosialis/Komunis yang otoriter" ke "sistim Kapitalis/Liberal yang demokratis". Ia mengakhiri masa jabatan sebagai Presiden Rusia pada tanggal 31 Desember 1999 dengan korupsi yang merajalela di seluruh negeri, menjadi orang yang tidak disukai di negerinya sendiri pada akhir masa jabatan, lalu menunjuk penggantinya: Vladimir Vladimirovich Putin.  
Pada tanggal 24 Agustus 1990, muncul pula televisi sewasta Surya Citra Tele Visi, disingkat SCTV, dan Televisi Pendidikan Indonesia, disingkat TPI. Kedua pertelevisian swasta ini juga berdiri atas prakarsa putra dan putri Presiden Suharto yang sekaligus juga pelolannya.
Siaran TeleVision Receive Only, disingkat TVRO, muncul di tanah-air dipancarkan langsung dari sejumlah transponder satelit-satelit geostasionair, yang dapat diterima di bumi dengan antena parabola. Awalnya antena parabola digunakan berukuran besar, lalu beralih ke ukuran antena kecil. Melalui berbagai transponder terpasang pada sebuah satelit beragam acara televisi dari mancanegara dapat disaksikan di berbagai tempat di nusantara, termasuk ibukota Jakarta. Stasion-stasion pemancar televisi swasta lainnya bermunculan pula kemudian, seperti: Metro TV, AN-TV, Lativi, Trans TV, Global TV, dan lainnya.
REPELITA KELIMA
Kabinet Pembangunan V
REPELITA KEENAM
Kabinet Pembangunan VI
Sebagai akibat menyerahnya Thanong Bidaya sebagai Menteri Keuangan Thailand kepada para spekulan di negaranya pada tanggal 2 Juli 1997, kendali mata uang Bhat dilepas dan bendungan penahan devisa negara Gajah Putih itu dibiarkan bobol, maka krisis ekonomi melanda negeri Siam. Uang Bhat lalu terjun bebas, dan krisis moneter, disingkat krismon, melanda Thailand. Krismon negeri Gajah Putih itu ternyata menular (contagion effect) karena memporak-porandakan tidak hanya bangunan ekonomi Thailand, tetapi turut pula melanda: Indonesia, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, dan Singapura. Tiga negara disebut terakhir tidak terlalu parah karena cepat pulih, akan tetapi tiga negara yang disebut terdahulu parah, dan yang paling parah  Indonesia, karena memerlukan pertolongan dokter ekonomi: International Monetary Fund, disingkat IMF.
Dengan pertolongan IMF, Thailand yang telah terperosok ke minus 10,5 % setahun kemudian bangkit ke plus 4,5 %. Begitu pula Korea Selatan yang jatuh ke minus 5,8 %, dengan suntikan IMF dalam waktu 18 bulan lalu kembali ke plus 10,3%. Akan halnya Indonesia yang terperosok jauh lebih dalam, dengan suntikan IMF justru menuai bencana, terlebih resep dokter ekonomi IMF yang menganjurkan ditutupnya 16 buah bank dan menaikkan harga BBM. Biaya krisis moneter yang membebani Indonesia menjadi 1,6 ongkos krisis Korea Selatan, 2,1 ongkos krisis Thailand, dan menyita waktu pemulihan krisis lebih dari 10 tahun.
Dalam pidatonya di DPR tanggal 16 Agustus 1997, Presiden Suharto mengatakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih cukup kuat. Demikian pula keterangan Menteri Keuangan Indonesia Mar’ie Muhammad yang meramal krisis moneter di Indonesia masih pada peringkat moderat. Akan tetapi hari-hari berikutnya memperlihatkan bahwa penilaian mereka meleset. Pada bulan Januari 1998 kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika terperosok dalam dari Rp 2400,- menjadi Rp.17.000,- lebih dari tujuh kali, atau 708%.
Usaha keras Bank Indonesia menahan gejolak kurs gagal total, sehingga pada tanggal 14 Agustus 1997 Rupiah terpaksa diambangkan. SBI lalu diterapkan, suku bunga kredit dan pinjaman dinaikkan untuk meredam gejolak kurs. Sebgai akibatnya sektor perbankan menghadapi penunggakan hutang (debitor), nasabah kabur, dan pelarian modal yang menyebabkan kredit macet. Dunia usaha terpaksa berhenti, tidak mampu lagi berproduksi akibat menggelembungnya biaya. Sektor-sektor properti dan konstruksi  berpenghasilan Rupiah terpaksa melunasi hutang dengan Dollar Amerika. Puluhan bank terpaksa ditutup, sejumlah terpaksa harus merger, ribuan perusahaan harus gulung tikar, jutaan pekerja mendapat PHK, angka pegangguran membengkak melampaui 20 juta orang; semuanya tidak dapat lagi dihindarkan. Pendapatan perkapita bangsa Indonesia lalu terperosok dari US$ 1.080 menjadi US$610, angka kemiskinan di tanah-air meledak melampaui 50% jumlah penduduk ketika itu. Krismon di Indonesia lalu menjelma menjadi krisis multidimensi: perbankan, ekonomi, dan kemasyarakatan.
Atas usul sebuah team ekonomi, maka pada tanggal 31 Oktober 1997, Indonesia mengajukan Letter of Intent yang pertama, disingkat LoI pertama, untuk mndapat suntikan dana dari IMF dan Bank Dunia sebanyak US$ 18 Milyar, berikut sejumlah strategi guna memulihkan kepercayaan, menahan merosotnya kurs Rupiah, memperkuat ekonomi makro, mengetatkan moneter, reformasi finansial dan perbaikan struktural. Anjuran IMF menutup 16 buah bank tanggal 1 Nopember 1997 menimbulkan bank rush. Bank Indonesia terpaksa mengucurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, disingkat BLBI, lewat Badan Penyehatan Perbankan Nasional, disingkat BPPN, untuk mengisi kembali brankas-brankas perbankan Indonesia yang telah dibobol krismon guna memulihkan kepercayaan masyarakat. Biaya supermahal terpaksa harus dikeluarkan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan program BLBI yang mencapai Rp 650 Trilyun. Karena rush perbankan tidak kunjung mereda, maka tanpa tim ekonominya Presiden Suharto  berunding langsung dengan Stanley Fisher, Deputi Direktur Pelaksana IMF tanggal 15 Januari 1998. Foto memilukan lalu menghiasi halaman depan surat-surat khabar ibukota Jakarta, penandatanganan LoI kedua saat Presiden Suharto tampak membungkuk menandatangani dokumen didepan Michel Camdessus, Direktur Pelaksana IMF, yang tengah berdiri bersidekap. 
Meski telah terdapat Tim Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Luar Negeri (TKP2LN) yang dibentuk berdasarkan Keppres No.39/1991 untuk mengawasi implementasi pinaman luar negeri, namun krismon di tanah-air terus berlangsung. Dari seluruh hutang luar negeri Indonesia sebesar US $ 140 Milyar saat itu, hanya US$ 58 Milyar hutang pemerintah sedangkan sisanya US $ 82 Milyar adalah hutang swasta. Banyak dari hutang akhir ini luput dari pengawasan TKP2LN, lalu digunakan debitur bukan untuk penambah modal kerja yang meningkatkan pendapatan eksport guna melunasi pinjaman (debt service), tetapi dibelanjakan begitu saja untuk keperluan konsumtif para pemegang saham perusahaan yang menyebabkan timbulnya kredit macet. Pelunasan hutang jatuh tempo kemudian memicu permintaan Dollar yang tinggi di pasaran selama bergejolaknya nilai tukar mata uang.
Ibu Berpulang ke Rahmatullah
 Dengan tidak memperlihatkan gangguan kesehatan berarti, karena masih dapat berkegiatan dan berjalan dalam rumah sebagaimana biasanya, maka pada pagi tanggal 20 Januari 1998 ibu yang tercinta: Nila Kesuma Pane, berpulang ke rachmatullah di rumah dengan tenang oleh gangguan gula darah yang lama telah diidapnya. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun. Kahanggi, anakboru, mora, kerabat dan handai tolan yang mendapat khabar duka, dari Jakarta, Medan, pematang Siantar, Padang Sidempuan, hingga Hanopan, lalu berdukacita dan  kehilangan. Di rumah duka berdatangan para pelayat: kahanggi, kerabat, kenalan, handai tolan; semuanya menyampaikan ucapan belasungkawa yang dalam kepada: ayah, putra dan putri yang ditinggalkan, seraya mengharap ketabahan dan bertawakkal kepada Allah Suhanahu Wataala.
Banyak sanak saudara berdatangan ke rumah duka di jalan Hang Tuah VIII/8 Kebayoran Baru untuk menyampaikan rasa duka yang dalam kepada ayah dan anak-anak almarhumah yang ditinggalkan. Ayat-ayat suci Al-Quran ul Karim berkumandang di ruang keluarga rumah duka. Menjelang sholat zuhur, setelah segala sesuatu yang berhubungan fardhu kifayah agama Islam ditunaikan, jenazah ibunda lalu diberangkatkan dari Rumah Duka menuju TPU (Tempat Pemakaman Umum) di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Acara tahlilan tiga malam berturut-turut dilangsungkan di rumah duka untuk memanjatkan doa kepada Allah Subhanahu Wataala, agar kepada almarhumah diberi tempat yang lapang di alam barzah, diampuni dosa yang pernah dilakukan selama hayatnya, begitu juga terhadap kedua orangtua alarhumah berpulang di kampung halaman silam, dan keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran dan ketabahan.
Peringatan 40 Hari Wafat Ibu
Pada tanggal 2 Maret 1998, dilangsungkan peringatan 40 hari wafatnya ibu: Nila Kesuma Pane di rumah duka jalan Hang Tuah VIII/8 Kebayoran Baru. Banyak saudara dan kaum kerabat datang menghdiri pembacaaan “Surat Yasin” untuk memanjatkan doa kepada almarhum. Ustadz yang memimpin pembacaan ayat-ayat suci dikutip dari Al-Quran ul Karim juga menyampaikan ceramah yang berhubungan dengan perjalanan anak Adam menemui Khaliknya.
Reformasi Kabinet
Kabinet Pembangunan VII
4. Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan Mei 1998
Titik nadir perekonomian Orde Baru muncul, ketika pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM pada bulan April tahun 1998 yang menimbulkan kerusuhan sosial panjang, berujung pada peristiwa Mei berdarah yang menimbulkan banyak korban. Krisis multidimensi melahirkan krisis kepemimpinan. Sebagaimana pada tahun 1966, Presiden Sukarno selaku Kepala Negara harus mepertanggungjawabkan kehancuran ekonomi bangsa pertama ketika itu, kini 32 tahun kemudian, Presiden Suharto harus pula mempertanggungjawabkan malapetaka ekonomi kedua yang menimpa bangsa Indonesia. Dua orang Kepala Negara yang pernah menjanjikan kesejahteraan hidup kepada rakyatnya, akan tetapi berakhir dengan menyengsarakan kehidupan rakyat mereka. Mahasiswa kembali turun ke jalan-raya untuk berdemonstrasi menuntut Presiden Suharto mengundurkan diri.
Pada tanggal 12 Mei 1998 timbul lagi kerusuhan di ibukota Jakarta menjelang Presiden Suharto kembali dari lawatannya ke Mesir. Lima orang mahasiswa Universitas Trisakti dikhabarkan tewas diterjang peluru aparat keamanan yang represif ketika itu: empat orang di Semanggi I dan satu orang lagi di Semanggi II. Gugurnya mahasiswa-mahasiswa Universitas Trisakti pada kerusuhan itu lalu menyulut demonstrasi mahasiswa besar-besaran yang menuntut Presiden Suharto turun dari jabatan Presiden RI dan dilaksanakannya reformasi pemerintahan di segala bidang.
Kerusuhan berlanjut dari tanggal 13 hingga 15 Mei 1998, dengan perusakan dan pembakaran terhadap bangunan pertokoan dan penjarahan barang di berbagai pusat perdagangan Jakarta. Tidak kurang dari 1250 jiwa melayang sia-sia: mulai dari yang terpanggang api dipusat-pusat perbelanjaan ibukota sedang terbakar,  dianiaya tidak berprikemanusiaan melanggar pancasila, 31 orang hilang, 91 luka terkena pukulan membabibuta aparat keamanan Orde Baru yang repressif, hingga pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan etnis Tionghoa. Banyak dari etnis akhir ini terpaksa hengkang menyelamatkan diri dengan keluarganya yang pindah ke pulau lain, atau meninggalkan tanah-air hijrah negeri jiran. Antara tahun 1997 hingga 1998 berlangsung penculikan para  mahasiswa aktivis di ibukota.
Lalu muncul “theori provokasi” mengatakan, bahwa Presiden Suharto telah menuduh pemuda dan mahasiswa membuat provokasi yang menimbulkan kerusuhan, karena itu harus diambil langkah repressif guna membungkam suara-suara vokal mereka. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Tidak ada orang yang menyangka bahwa Suharto yang telah berkuasa sejak tanggal 22 Februari 1967, dan berhasil memenangkan enam kali pemilu lima tahun, masing-masing: 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998, dan masih berniat kembali menjadi calon tunggal dari tiga partai: Golkar, PDIP, PPP, menjadi Presiden untuk masa jabatan berikutnya, tiba-tiba menyatakan dirinya berhenti dari Presiden Republik Indonesia kedua disiarkan lewat televisi hari Kemis tanggal 21 Mei 1998.
Itulah rupanya harga yang harus dibayar seorang Kepala Negara yang baru saja melakukan reformasi kabinet untuk menjawab tuntutan masyarakat ketika itu lewat pilihan reshuffle, dan menamakannya Kabinet Pembangunan VII. Mundurnya Suharto sebagai pemegang tampuk kekuasaan otoriter di Indonesia ketika itu, berarti tumbangnya rezim Orde Baru, lenyapnya penguasa militer represif persuasif beragam lembaga, dilaksanakan lewat pendidikan dan pers terhadap kebebasan berfikir dan berpendapat anak bangsa di tanah-air. Meski awalnya Orde Baru berhasil memperbaiki ekonomi bangsa yang ditinggalkan Orde Lama, namun sebagai akibat penularan krisis ekonomi Thailand tanggal 2 Juli 1997, dan kebijakan pengelolaan hutang yang salah, uang Rupiah kembali terpelanting, menyebabkan banyak perusahaan, bank, industri, lalu gulung tikar. Pemutusan hubungan kerja tidak lagi dapat dielakkan, jumlah pengangguran dalam masyarakat miskin membengkak. Bangsa Indonesia kembali jatuh miskin untuk kedua kalinya: tahun 1998 di zaman Orde Baru sesudah jatuh miskin: tahun 1966 di zaman Orde Lama.
Uni-Sovyet adalah induknya revolusi, lahir dari revolusi kaum buruh dan proletar Rusia yang berhasil menumbangkan Tsar Nikolas II dari singgasananya, dinasti Ramanov yang telah berkuasa lebih dari 300 tahun lamanya, pada bulan Oktober 1917, lalu berkembang menjadi salah satu super power dunia. Akan tetapi 72 tahun kemudian negara adidaya itu lenyap begitu saja ditelan sejarah, karena sistim pemerintahan Sosialis/Komunis dan totaliter yang diterapkan para pemimpinnya selama ini tidak berhasil mensejahterakan kehidupan rakyat yang selama ini telah dijanjikan. 
 Sejarah membuktikan Negara Federasi Malaysia lahir tanggal 31 Agustus 1957, dan mendapat kemerdekaan cara damai dari Inggris, dan dipimpin Yang Dipertuan Agung dengan para Sultan berhasil membangun perekonomian bangsa tahun 2007, setelah merdeka 50 tahun. Indonesia lahir dari revolusi tahun 1945 dipimpin seorang Presiden dengan para veteran perang menamakan diri pahlawan pada tahun yang sama, telah 62 tahun merdeka, ternyata kesejahteraan rakyanya jauh tertinggal dari Malaysia. Singapura yang merdeka juga tanpa revolusi, lebih berhasil mensejahterakan rakyatnya dengan mengubah status negeranya dari: “dunia ketiga tahun 1965” menjadi: “dunia pertama tahun 1995”, artinya: setara dengan negara-negara maju di Eropa dan Amerika Utara, hanya dalam waktu 30 tahun, atau satu generasi.
Zaman Demokrasi Reformasi
Presiden Suharto lalu menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden, menyebabkan Prof. Dr. B.J. Habibie lalu menjadi Kepala Negara Republik Indonesia ketiga. Karena yang akhir ini lama berdiam, belajar, bekerja di Jerman, Kanzler Helmut Kohl berkomentar, bahwa Indonesia kini dipimpin oleh orang Jerman. Orde Baru lalu digantikan dengan Orde Reformasi, dan sistim Demokrasi Pancasila (SDP) berganti menjadi sistim Demokrasi Reformasi (SDR), tujuannya untuk memperbaiki pelaksanaan negara yang selama ini telah menyalahi ketentuan Undang-Undang Dasar, menimbulkan krisis moneter, lalu krisis multidi-mensi, ditandai oleh kehancuran ekonomi, inflasi berat, naiknya harga bahan kebutuhan pokok rakyat, terperosoknya Rupiah, dan tidak ditegakkannya hukum yang berkeadilan di tanah-air.
Hubungan Indonesia yang kembali cair dengan IMF menyebabkan B. J. Habibie melakukan gebrakan besar: bank sentral dibuat independen, sistim pemerintahan yang selama ini sentralistis lalu didesentralisasi. Ia juga menyuntikkan dana besar sebanyak Rp 430 Trilyun kepada berbagai bank, dan menetapkan cara penyelesaian kewajiban terhadap para taipan. Dengan pemerintahan yang didesentalisasi, uang pembangunan lalu mengalir deras ke daerah-daerah, sehingga para pemimpin daerah yang pandai melola anggaran pembangunan dapat dengan cepat mensejahterakan kehidupan rakyatnya masing-masing.
Karena tidak sesuai lagi dengan alam demokrasi zaman reformasi, pendidikan politik lewat penataran P-4 menirukan tata-cara pelaksanaan negara-negara Sosialis/Komunis yang otoriter silam oleh Presiden B. J. Habibie dihentikan dari seluruh Indonesia. Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7) kemudian dilikwidasi dari tanah-air, dan mengembalikan pengajaran politik yang menyangkut ideologi negara kepada perguruan tempat dimana murid/siswa/mahasiaswa menimba pengetahuan yang bersangkutan.
Tanda Jasa Dari Pemerintah R.I.
Kehidupan dunia karunia Ilahi ini telah mengantarkan ayah menelusuri berbagai zaman: zaman Belanda, zaman Jepang, zaman perjuangan, dan zaman kemerdekaan Republik Indonesia. Berbagai peran yang telah dilakukan ayah telah mengantarkannya mendapat penghargaan dari pemerintah dibawah ini:
1. Bintang Gerilya.
2. Satya Lencana Peristiwa Perang Kemerdekaan Pertama.
3. Satya Lencana Peristiwa Perang Kemerdekaan Kedua.
4. Satya Lencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan.
5. Satya Lencana Karya Satya.
6. Satya Lencana Wira Karya.
7. Satya Lencana Satya Dharma.
8. Satya Lencana 16 tahun pengabdian pada Pemerintah Daerah Khusus.
Ayah Berpulang ke Rahmatullah
Ayah tidak terlalu memperlihatkan gangguan kesehatan berarti, kendati usianya telah mencapai 85 tahun ketika itu. Ia masih dapa berjalan sendiri hilir mudik di rumah dan tongkat diangan lebih banyak dibawa ketimbang digunakan untuk menopang badan. Beliau juga tergolong orang yang tidak banyak berkenalan dengan rumah sakit selama hayatnya, meski di akhir hidupnya beliau beberapa kali menjalani perawatan di  Rumah Sakit Pertamina di Kebayoran Baru dan Rumah Sakit Fatmawati di daerah Cipete.
Di rumah sakit yang disebut akhir ini, pada tanggal 20 Februari 2000 ayah tercinta berpulang ke rakhmatullah akibat gangguan pernafasan dan tekanan darah tinggi. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun. Sanak saudara lalu berduyun duyun datang ke rumah duka di jalan Hang Tuah VIII/8 Kebayoran Baru untuk menyampaikan rasa duka yang dalam kepada keluarga yang ditinggalkan. Ayat-ayat suci Al-Quran ul Karim pun berkumandang di ruang keluarga rumah duka. Ketiga anak ditinggalkan lalu berduka, begitu juga kahanggi anakboru dan mora dari perantauan hingga kampung Hanopan yang menerima khabar.
Sebelum ayah meninggal dunia, ia telah berwasiat untuk dimakamkan di Hanopan, kampung halamannya bersama orang tua dan sanak keluarga lainnya. Setelah fardhu kifayah menurut agama Islam dilangsungkan, keesokan harinya almarhum ayah diberangkatkan rombongan keluarga dengan pesawatterbang menuju Padang. Dari kota akhir ini, turut serta keluarga paman yang berdiam di Padang dalam jalan darat yang ditempuh siang dan malam. Menjelang subuh keesokan harinya, rombongan yang membawa almarum ayah tiba di Hanopan, disambut kaum kerabat yang telah berkumpul menantikan. Karena banyak di Hanopan  yang ingin melihat almarhum ayah, maka peti jenazah lalu dibuka, dan setelah kaum kerabat menyaksikannya lalu disolatkan kembali di mesjid Hanopan. Dari mesjid, almarhum ayah lalu diantarkan ke tempat peristirahatannya yang terakhir dalam Bale Julu makam Hanopan. Acara tahlilan tiga malam berturut-turut kemudia berlangsung di rumah duka kampung di Hanopan guna memanjatkan doa bagi almarhum.
Peringatan 40 Hari Ayah Wafat   
Pada tanggal 2 April 2000, berlangsung peringatan 40 hari wafatnya ayah H.M.Diri Harahap S.H., gelar Baginda Raja Muda Pinayunagan di jalan Hang Tuah VIII/8 Kebayoran Baru. Banyak saudara dan kaum kerabat yang datang untuk turut membacakan “Surat Yasin” guna memanjatkan doa kepada almarhum. Ustadz yang memimpin pembacaan ayat-ayat suci yang diambil dari Al-Quran ul Karim juga menyampaikan ceramah yang berhubungan dengan perjalanan seorang anak manusia yang menemui Al-Khalik.
Adat Pasidung Ari
Karena tanda kebesaran adat telah dipancangkan ketika ayah berpulang ke Rakmatullah tanggal 20 Februari 2000 di Jakarta silam, maka sesuai adat Batak perlu dilanjutkan dengan menyelenggarakan acara adat na gok kepada untuk ayah H. M. Diri Harahap, gelar Baginda Raja Muda Pinayunagan, yang dinamakan: Pasidung Ari. Acara akhir ini lalu diselenggarakan di rumah duka kampong Hanopan, pada hari …. , tanggal 2000.
Pasidung Ari almarhum ayah H. M. Diri Harahap, gelar Baginda Raja Muda Pinayunagan
1. Menyampaikan undangan Pasidung Ari almarhum H. M. Diri Harahap, gelar Baginda Raja Muda Pinayunagan kepada: Dalihan na Tolu, Hatobangon, dan Harajaon, mulai dari kampung Hanopan, Arse Julu, Bunga Bondar, Parau Sorat, hingga ke Panggulangan.
2. Personalia dalam Acara Pasidung Ari.
           a. Raja Panusunan Bulung
           b. Paralok-alok na Pande
           c. Suhut Sihabolonan
           d. Kahanggi
           e. Hombar Suhut/Pareban
           f. Anak Boru
           g. Pisang Raut/Sibuat Bere
           h. Mora
           i. Hatobangon ni Huta Hanopan (Namora Natoras):
           j. Raja ni Huta Hanopan
           k. Raja-raja ni Huta Torbing Balok
           l. Raja-raja Luat ni Desa na Walu
3. Pemasangan bendera-bendera adat depan rumah duka di Hanopan.
4. Mengeluakan Barang Adat:
       a. Bulang
       b. Koper dengan pakaian peninggalan almarhum.
       c. Abit Godang (Abit Batak, atau Ulos)
       d. Tikar Lapis (3, 5, atau 7 lapis)
       e. Burangir Nahombang dan Burangir Panyurduan.
       f. Payung Rarangan
       g. Bendera
       h. Tombak, Podang
       i. Tawak-tawak
       j. Tanduk Kerbau
5. Acara Adat Pasidung Ari
     I.  Pemakaman Jenazah Almarhum H. M. Diri Harahap, gelar Baginda Raja Muda  
          Pinayungan.
          Telah berlangsung tanggal 20 Februari 2000 dengan Acara Adat Mandali (ditangguhkan)
          ketika itu.
   II. Upacara Adat Pasidung Ari.
         a. Menyembelih hewan kurban Nabontar (Kerbau) di halaman rumah duka.
         b. Menyiapkan ruangan.
         c. Dalihan Na Tolu, Hatobangon, Harajaon, dan masyarakat mengambil tempat dalam
              ruang tengah rumah duka di Hanopan.
Bagian Pertama
(Sidang para Raja tidak diikuti kaum ibu)

        d. Sidang Adat Haruaya Mardomu Bulung dipimpin Raja Panusunan Bulung   (RPB).
        e. Orang Kaya pembawa acara minta anakboru manyurduhon burangir (panyurduan dan    
            nahombang) dan meletakkan keduanya dihadapan Raja Panusunan Bulung.
        f. Orang Kaya minta kepada Suhut Sihabolonan mengutarakan isi hatinya. Adapun isi
            pokok pembicaraan ialah:   
               - melaporkan kepada Raja bahwa: H. M. Diri Harahap, gelar Baginda Raja Muda
                 Pinayungan telah berpulang ke Rachmatullah.
               - memohon kepada para Raja untuk menyampaikan khabar duka pada khalayak ramai.
               - bahwa keluarga almarhum telah menyelesaikan segala hutang adat (mandali), dan
                 diperkenankan menyelenggarakan horja siriaon.
               - memohon kepada para Raja untuk menyaksikan Suhut Sihabolonan menghadap
                 Moranya untuk secara resmi menyampaikan berita duka ini.
       g. Setelah Suhut Sihabolonan berbicara, kemudia disusul Pareban, Anakbpru, Pisang, Raut,
           Mora, Hatobangon, Harajaon, hingga dengan Raja-raja torbing balok.
       h. Setelah seluruhnya selesai berbicara, Raja Panusunan Bulung lalu memutuskan untuk      
           mengabulkan semua permohonan Suhut Sihabolonan.
 Pembacaan doa, dan sidang adat bagian pertama selesai.  
      i. Pembagian daging Nabontar terjinjing baiyon loging dibagikan kepada semua yang hadir peserta
         sidang adat.
         Inilah cara adat di Bona Bulu menyebarluaskan khabar duka kepada masyarakat, bahwa
         ayahanda: H. M. Diri Harahap, gelar Baginda Raja Muda Pinayungan, telah berpulang
         ke Rachmatullah dari tengah yang hadir semuanya. 
         Adapun cara pembagian nabontar di Bona Bulu yang masih berlaku hingga kini adalah
         sebagai berikut:
                                  1. Suhut dan Kahanggi : ate-ate dan pusu-pusu.
                                      (maknanya agar sapangkilalaan, atau sependeritaan)
                                  2. Anakboru : juhut jantung, udut rungkung
                                      (artinya: yang memiliki kekuatan tenaga untuk manjuljulkon)
                                  3. Pisang Raut : juhut holi-holi dan kaki depan.
                                      (maknanya: agar cekatan dan rajin bekerja)
                                  4. Raja-raja dan Hatobangon : juhut na marbobak, sude gorar-goraran.
                                      (maknanya: agar memberi pangidoan ni bisuk dohot uhum)
                                  5. Raja Panusunan Bulung : lancinok sude gorar-goraran
                                      (maknanya: tempat mendapatkan parsilaungan, paronding-ondingan)
                                  6. Mora tulan rincan, gorar-goraran
                                      (maknanya: tempat permomohon sahala dohot bisuk).
                                  Ketika menyerahkan Bagian Mora, daging diletakkan diatas anduri
                                  beralaskan daun pisang, lalu ditutup lagi dengan daun yang sama dengan
                                  abit Batak diatasnya.

Bagian Kedua
(Sidang Dalihan Natolu yang disersertai kaum ibu)  
Raja Panusunan Bulung, Raja Pamusuk, Harajaon Torbing Balok, dan Hatobangon bertindak sebagai saksi pada jalannya persidangan.
   a. Menyerahkan Hasaya ni Karejo dilakukan Suhut Sihabolonan:
      1. Kepada Mora: tulan rincan, ate-ate, mata, dan pinggol diletakkan diatas anduri beralaskan    
          daun pisang.
           Mora menebus dengan kembalian diatas Pinggan Raja (porselen) yang bertabur beras.
       2. Kepada Anakboru: udut rungkung, juhut jantung diletakkan diatas anduri beralaskan daun    
           pisang. Anakboru menebus dengan kembalian diatas Pinggan Raja (porselen) yang
           bertabur beras.
       3. Suhut Sihabolonan dan kahanggi menyerahkan pemberian mereka kepada Mora.
   b. Persiapan ruangan. Mora duduk di juluan berseberangan dengan Suhut, Kahanggi, Anak-
       boru, Pisang Raut, mengambil tempat saling berhadapan. Hatobangon dan para Raja duduk
       di sebelah kanan dan kiri Mora untuk menyaksikan.
   c. Anakboru manyurduhon Burangir.
   d. Suhutsihabolonan mengutarakan isi hatinya kepada Mora, tentang:
                     - bahwa ayah dari di rumah ini telah berpulang ke Rakhmatullah
                     - agar mora tidak lagi mengharapkan kedatangannya di masa depan menunjukkan
                        hormat kepada mora sebagaimana yang dilakukannya selama ini.
    e. Setelah Suhutsihabolonan berbicara, disusul Pareban, Anakboru, Pisang Raut.
    f. Pakaian peninggalan ayah H. M. Diri Harahap, gelar Baginda Raja Muda Pinayungan dalam
       kopor lalu diperlihatkan kepada mora sebagai “pangitean ni namangolu”, dengan harapan
       agar mora tidak lagi menantikan kedatangan anakboru sebagaimana yang diperbuatnya
       selama ini.
   g. Mora kemudian menjawab Suhut Sihabolonan dan menerima resmi menerima kopor   
       peninggalan almarhum ayah .M. Diri Harahap, gelar Baginda Raja Muda Pinayungan
       berikut isinya. Mora meminta agar isi kopor peninggalan almarhum dibagikan kepada
       kahanggi semuanya.
Acara Adat Pasidung Ari ayahanda H.M. Diri Harahap, gelar Baginda Raja Muda Pinayungan selesai.
Pendidikan Putera dan Puteri
Anak-anak ayah, putera dan puteri ayah menyelesaikan pendidikan mereka setelah keluarga berdiam di jalan Hang Tu-ah VIII/8 Kebayoran Baru, Jakarta. Anak sulung, Dirwan Yuliansyah Harahap, usai SMA lalu melanjutkan pelajaran ke Universitas Trisakti di Jakarta. Dari Trisakti ia melanjutkan pendidikan ke University of Wollonggong, di negara Bagian New South Wales, Australia. Setelah kembali ke tanah-air ia berwirausaha. Anak ayah kedua, putri Dirwani Evy Yuswita, usai SMA juga meneruskan ke Universitas Trisakti dan memilih Fakultas Hukum. Usai Trisakti, ia lalu mengikuti sekolah Fashion Design di Lodon, Inggris, selama 3 tahun. Anak ayah ketiga, Machnora Chairina Harahap, usai SMA lalu mengikuti Sekolah Tarakanita selama 3 tahun, kemudian meneruskan ke Universitas Trisakti dan memilih Fakultas Hukum, akhirnya mengambil pendidikan Marketing Management selama dua tahun dari United States International University Sandiego, USA.
Ayah dan Ibu menikahkan Putera dan Puteri
Ayah dan ibu menikahkan putra-putrinya setelah keluarga tinggal di Jalan Hang Tuah VIII/8 Kebayoran Baru, Jakarta. Puteri kedua Dirwani Evy Yuswita menikah dengan Alvin Zahiruddin Tanjung dari Sorkam, tidak jauh dari Sibolga, dan berdiam di Villa Pejaten Mas, Jalan Pejaten Mas I no. 7, Jakarta. 12520. Putri ayah ketiga, Machnora Chairina Yulianti Harahap, menikah dengan: Ir. Gunawan Wibisono (Sony), putra Bapak Suradi Wongsohartono dari Solo, Jawa Tengah. Mereka berdiam di jalan Kuricang 3, Blok GC4 no.5, Bintaro Jaya Sektor 3A, Jakarta. 12330. Anak ayah sulung, Dirwan Yuliansyah Hamonangan Harahap, menikah dengan: Raden Irna Selma Purnamasari, putri Bapak Permana Harjakusuma dari Jawa Barat, dan berdiam di Kompleks Jati Indah, Jalan Jati Indah V no. 20, Pangkalan Jati, Podok Labu, Jakarta Selatan.
Ayah dan Ibu bersama Cucu
Dari ketiga anak-anaknya, putra dan putri, ayah dan ibu mendapat 6 (enam) orang cucu. Dari putri kedua menikah dengan Alvin Tanjung, ayah dan ibu mendapat dua orang cucu semuanya laki-laki, masing-masing: Arianjie Alvin Zahiruddin dan Hatasie Alvin Zahiruddin. Dari putri ketiga yang menikah dengan Ir. Sony, ayah dan ibu mendapat dua orang cucu: Rendy Gunawan dan Karina Gunawan. Akhirnya putra yang sulung yang menikah dengan Irna Selma Purnamasari, ayah dan ibu mendapat dua orang cucu: yang sulung laki-laki bernama: Adrian Harahap, dan kedua perempuan bernama: Elky Harahap.

---------- Selesai ----------

Sumber Tulisan:
  1. Catatan peninggalan papa, termasuk kelahian anak, dan surat keluarga lainnya.
  2. Penuturan, dan himpunan tanya jawab disampaikan kepada papa dan mama oleh putera dan
      puterinya dalam banyak kesempatan
 3. Himpunan kenangan dengan papa dan mama oleh putera dan puteri dalam kehidupan  
     keluarga dari kecil hingga dewasa dan berumah tangga.
  4. Daftar Riwayat Hidup yang ditulis papa.
  5. Mr.Palti-Radja Siregar. Hukum Warisan Adat Batak. Disusun Januari 1958.
  6. H. Porkas Daulae. Sedikit Tentang Marga Batak. Sebuah Studi. Cetakan Pertama. Lembaga
      Kebudayaan Rakyat. Sumatera Utara, Medan. 1960.
  7. Yayasan Kesejahteraan Keluarga Pemuda 66. Pantja Windu Kebangkitan Perjuangan
      Pemuda Indonesia.  Maret 1970. Departemen Penerangan R.I.
  8. H.M.D Harahap S.H. Perang Gerilya Tapanuli Selatan. Front Sipirok. Cetakan Pertama.
      Penerbit P.T Azan Mahani, Jakarta 1986.
  9. Baginda Hanopan Harahap. Pengalaman Masa Perang Jepang “Dai Toa Senso” 1942-1945
      Dalam Gotong Royong ‘Kingrohoshitai’. Penerbit Sendiri. Desember 1992.
10. Time-Life Books. Live at War. Special Edition. First Printing. Dai Nippon Printing Co. Ltd
      Hong Kong 1985.
11. Drs. E.K.Siahaan. Monografi Kebudayaan Angkola-Mandailing. Proyek Pengembangan
      Permuseuman Sumatera Utara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
      Indonesia, Medan. 1982.
12. Jenderal Dr.Abdul Haris Nasution. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Jilid 1 s/d 11.
      Cetakan Kedua. Disjarah-AD, Penerbit Angkasa, Bandung. 1977.
13. Encyclopaedia Britannica, London, Great Britain. 1957.
14. Encyclopaedia International, Grolier, USA. 1963.
15. Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta. 1982.
16. Ensiklopedi Nasional Indonesia, P.T.Cipta Adi Pustaka, Jakarta. 1990.
17. Nazwir Abu Nain. Siapa Dalang G30S 1965 PKI atau Tentara. Antara Fakta dan Pemutar-
      balikan Sejarah. Cetakan Pertama. Penerbit Studio Press, Jakarta. 2001.
18. Hadi Soebadio. Keterlibatan Australia dalam Pemberontakan PRRI/PERMESTA. Terbitan
      Pertama. Penerbit P.T.Gramedia Pustaka Utama. 2002.
19. Lee Kuan Yew. Memoirs From Third World To First. The Singapore Story: 1965-2000
      Time Media Private Limited of the Times Publishing GroupTimes Centre,
      1 New Industrial Road Singapore 536196.
20. PDAT Tempo. Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai. Perjalanan Hidup A.H. Na-
      sution. Percetakan Temprint Jakarta. 1998.
21. Antonie C.A.Dake. Sukarno File. Cetakan Keempat. Berkas-berkas Soekarno 1965-1967.
      Kronologi Suatu Keruntuhan. Penerbit Aksara Kaunia 2006.
22. Badan Penerbit Y.D.B.K. M.I. Jakarta. Cetakan Pertama. Presiden Suharto Bapak Pemba-
      gunan Indonesia, Evaluasi Pembangunan Pemerintahan Orde Baru., P.T. Harapan
      Bandung 1983.
23. Rosanna Kelly. Russia. A Motovun Group Book, Second Printing, Flint River Press Ltd.,
      143-149 Great River Portland Street, London WIN 5FB, U.K. 1996.
24. Majalah Tempo, Edisi 23-29 Juli 2007 dan Edisi 13-18 Agustus 2007.

Penulis:
Drs. Dirwan Yuliansyah Harahap
Komplex Jati Indah, Jalan Jati Indah V no. 20
Pangkalan Jati, Pondok Labu, Jakarta Selatan.
Tel: 765-6695.